Al-Syaukânî dan Syi’ah Zaidiyah

D. Al-Syaukânî dan Syi’ah Zaidiyah

1. Syiah Zaidiyah Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin ‘Ali sebagai imam

kelima, putra imam keempat, ‘Ali Zainal ‘Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte Syiah lain yang mengakui Muhammad al-Baqir, putra Zainal ‘Abidin yang lainnya, sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin ‘Ali inilah, nama Zaidiyah diambil. 103 Zaidiyah berasal dari Zaid ibn ‘Ali Zainal Abidin ibn al-Husain ibn ‘Ali ‘Alaih al-Salam ibn ‘Abi Talib (80-122 H.) dan kemudian dikembangkan oleh beberapa mujtahid dari kalangan anak cucunya sendiri, atau keturunan ‘Ali dan Fatimah pada umumnya, dan yang paling populer adalah: al-Qasim ibn Ibrâhim al-Rass (w. 170-242 H.), yang kemudian terkenal dengan pendiri kelompok al-Qasimiyyah, yang merupakan salah satu dari cabang madzhab Zaidi; al-Nasir al-Utrusyi (w. 230- 304 H.), ia adalah pengembang Syiah Zaidiyah di wilayah Dailam, Jabal, dan Khurasan; al-Hadi ila al-Haqq Yahya ibn al-Husain ibn al-Qasim al-Rass (245-298 H.), yang kemudian dikenal sebagai pendiri dari cabang Zaidiah

103 Ignaz Golziher, Pengantar Teologi dan Hukum Islam, terj. Heri Setiawan, (Jakarta: INIS, 1991), h. 121.

yakni al-Hadawiyyah. Selain itu, masih ada beberapa mujtahid yang tumbuh dalam kalangan Zaidiyah. 104

Syiah Zaidiyah merupakan sekte Syiah yang moderat, Abu Zahrah menyatakan bahwa kelompok ini merupakan sekte yang paling dekat dengan Sunni. Lengkapnya Abu Zuhrah memberikan keterangan:

Artinya: Syiah Zaidiyah ini adalah firqah Syiah yang paling dekat (tidak banyak menyimpang) kepada Ahlussunnah dan yang paling lurus. Ia tidak mengangkat imam-imamnya sampai kepada martabat kenabian, bahkan juga tidak mengangkatnya kepada martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-imam mereka seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-utama orang sesudah Rasulullah Saw. Mereka tidak mengkafirkan seorangpun di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama orang (Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Ustman) yang dibai’at oleh ‘Ali dan mengakui keimanannya. 105

104 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j.

1, h. 155 105 Muhammad Abu Zahrah, al-Madzâhib al-Islamiyyah, (Mesir: Maktabah al-Adab,

tt.), juz 1, h. 42. bisa dilihat pula dalam terj Abdurrahman Dahlan dan Ahamd Qarib, h. 45

2. Pandangan Kalam Syiah Zaidiyah

a. Pandangan Zaidiyah tentang Imamah Imamah 106 merupakan doktrin fundamental dalam Syiah secara

umum. Berbeda dengan doktrin imamah yang dikembangkan Syiah lainnya, Syiah Zaidiyah mengembangkan doktrin imamah yang tipikal. Syiah Zaidiyah menolak pandangan yang menyatakan bahwa seorang imam yang mewarisi kepemimpinan Nabi Saw. telah ditentukan nama dan orangnya oleh Nabi, akan tetapi hanya ditentukan sifat-sifatnya saja. Ini jelas berbeda dengan

Syiah lain yang percaya bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk ‘Ali sebagai orang yang pantas menjabat menjadi imam setelah wafatnya. Karena ‘Ali memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh orang lain, seperti keturunan Bani Hasyim, wara’ (saleh, menjauhkan diri dari segala dosa), bertakwa, baik, dan

Secara etimologi imamah berarti tampil kemuka, seperti kamu berkata: “kamu mengimami suatu kaum”, artinya kamu maju ke depan atau berada di depan mereka. Kata imamah tidak terdapat dalam al-Qur’an al-Karim, tetapi kata yang disebutkan dalam al- Qur’an adalah kata “imam” dan “a’immah” pada Q.S. al-Baqarah / 2 : 124, al-Anbiyâ’ / 21 :

73, al-Taubah / 9 : 12, dan al-Qasas / 28 : 41. Imam adalah suatu yang diikuti oleh manusia seperti seorang pemimpin atau kepala, atau lainnya, baik yang benar ataupun yang sesat. Kata imam kadangkala disinonimkan dengan kata khilafah yang berarti penguasa/pemimpin tertinggi dan pemimpin rakyat. Saya menjadi imam bagi suatu kaum di dalam salat, yang berarti diikuti. Kata imam dipakai juga untuk sebutan al-Qur’an al-Karim, sebab al-Qur’an merupakan imam bagi kaum muslimin. Begitu juga kata imam juga dipakai untuk predikat Rasulullah Saw. Karena ia adalah imam bagi seluruh umat. Dalam kapasitas keimamahannya, manusia wajib mengikuti Rasulullah Saw. Yang telah ditegaskan di dalam hadits. Kata imam kadangkala dipakai untuk mengindikasikan norma-norma perintah yang transformative, juga kata imam dapat disematkan bagi seorang panglima tentara, serta kata imam digunakan untuk arti selain yang disebutkan di atas. lihat, Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah – Syiah Studi Perbandingan Aqidah dan Tafsir, diterjemahkan dari kitab aslinya yang berjudul Ma‘a al-Syi‘ah al-Itsnâ ‘Asyariyah fî al-Usûl wa al-Furû‘ (Mausû‘ahnSyâmâh) Dirâsah Muqâranah fî al-Hadîts wa ‘Ulûmih wa Kutubih, terj. Bisri Abdussomad, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), cet. 1, h. 9.

membaur dengan rakyat untuk mengajak mereka hingga mengakuinya sebagai imam. 107

Selanjutnya, dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dijelaskan bahwa seorang imam paling tidak harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut: pertama, ia merupakan keturunan ahl al-bait, baik melalui garis keturunan Hasan maupun Husein. Kedua, memiliki kemampuan mengangkat senjata sebagai upaya mempertahankan diri atau menyerang. Atas dasar ini, mereka menolak mahdiisme yang merupakan salah satu ciri syiah lainnya. Ketiga,

memiliki kecenderungan intelektualisme yang dapat dibuktikan melalui ide dan karya dalam bidang keagamaan. Mereka menolak kemaksuman imam, bahkan mengembangkan doktrin imamah al-mafdûlah. Artinya, seseorang dapat dipilih menjadi imam meskipun ia mafdul (bukan yang terbaik) dan pada saat yang sama ada yang afdal. 108

Zaidiyah memandang bahwa ‘Ali adalah seorang yang paling pantas menjadi imam pasca meninggalnya Rasulullah Saw. Karena dialah orang yang paling dominan memiliki sifat-sifat, yang sebelumnya telah disebut-sebut oleh Rasulullah Saw. Dan imam sesudah ‘Ali seharusnya dari keturunan Fatimah. Itulah sifat-sifat terbaik bagi seorang imam (al-fdal). Akan tetapi, sekalipun demikian, jika sifat-sifat itu tidak terpenuhi , maka bolehlah yang lain sebagai pengganti posisi yang menduduki jabatan tersebut. Imam dalam bentuk kedua inilah disebut dengan imam mafdul. Berangkat dari sinilah,

Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 47.

Harun Nasution, (ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), h. 998.

Syiah Zaidiyah dapat menerima Abu Bakar, ‘Umar bin Khatab, dan ‘Utsman bin Affan. 109

Bertolak dari doktrin tentang al-imamah al-mafdulah. Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab adalah sah dari sudut pandang Islam. Mereka tidak merampas kekuasaan dari tangan ‘Ali bin Abi Talib. Dalam pandangan mereka, jika ahl al-hall wa al-aqd telah memilih seorang imam dari kalangan umat muslim, meskipun ia tidak memenuhi sifat keimanan yang ditetapkan oleh Zaidiyah dan telah di baiat

oleh mereka, keimanan menjadi sah dan rakyat wajib berbaiat kepadanya. 110 Selain itu, mereka juga tidak mengkafirkan seorangpun dari sahabat.

Menurut Abu Zahrah salah satu implikasi yang menyebabkan banyak orang keluar dari Syi’ah Zaidiyah adalah berkurangnya dukungan terhadap Zaid ketika ia berperang melawan pasukan Hisyam bin Abdul Malik. Hal ini wajar mengingat salah satu doktrin Syi’ah yang cukup mendasar adalah menolak kekhalifahan Abu Bakar dan Umar serta menuduh mereka sebagai perampas hak kekhalifahan dari tangan Ali. 111

Salah satu prinsip, keyakinan dan ajaran pokok Zaidiyah yang diungkapkan dalam beberapa pendekatan atau cara adalah : sekalipun fakta menunjukkan bahwa ahl al-bait memilki keunggulan dibanding yang lainnya, dan Imam Ali, Imam Hasan dan Husein telah ditunjuk Allah untuk menjadi

109 Imâm Abî al-Fath Muhammad bin ‘Abdul Karîm al-Syahrastanî, Ta’liq al-Ustadz Ahmad Nahmi Muhammad, al-Milal wa al-Nihal, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.th.), j.

1, h. 155.

Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam, terj. Abdurrahman Dahlan dan Ahmad Qarib, (Jakarta: Logos, 1996), h. 47. 111 Muhammad Abu Zahrah, h. 48.

Imam, tetap saja kaum Zaidiyah berpendapat bahwa siapa saja dari kalangan ahl al-bait, bila dia bangkit melawan kekejaman, maka dia memiliki kualitas

untuk menjadi imam. Sikap seperti ini menunjukkan bahwa pandanagn Zaidiyah tentang imamah beda dengan pandangan kaum muslim Syi’ah imamiah. Zaidiyah melihat imamiyah bukan menjadi masalah yang penting. Zaidiyah bahkan bisa menerima sikap Abu Bakar dan Umar tidak menghendaki ‘Ali untuk menjadi Khalifah.

b. Pandangan Zaidiyah tentang Pelaku Dosa Besar

Di samping hal di atas, penganut Syiah Zaidiyah percaya bahwa orang yang melakukan dosa besar akan kekal dalam neraka jika dia belum bertobat dengan pertobatan yang sesungguhnya. Dalam hal ini Zaidiyah lebih dekat dengan Mu’tazilah. Hal ini bisa dipahami karena Zaid adalah salah seorang murid Wasil ibn ‘Ata’ (80-131 H.), pendiri aliran Mu’tazilah. Abu Zahrah mengatakan bahwa dalam teologi Syi’ah Zaidiyah hampir sepenuhnya mengikuti Mu’tazilah. Selain itu, secara etis mereka boleh dikatakan anti Murji’ah, dan berpendirian puritan dalam menyikapi tarekat. 112

c. Pandangan Zaidiyah tentang Nikah Mut’ah dan Taqiyah Ajaran Syi’ah Zaidiyah yang lain adalah Zaidiyah menolak taqiyah dan nikah mut’ah. Sebagaimana disampaikan oleh Wj. Hamblin dan Daniel

C. Pettersen mengatakan:

Harun Nasution, (ed.), Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992), h. 999.

“…They reject practices of taqiyah (prudential concealment), and temporary marriage.” 113

“…Mereka menolak praktik-praktik taqiyah dalam Syiah serta perkawinan mut’ah”.

Tampaknya ini merupakan implikasi dari pengakuan mereka atas kekhalifahan ‘Umar bin Khattab. Seperti diketahui, nikah mut’ah merupakan salah satu jenis pernikahan yang dihapuskan pada masa Nabi Saw. Pada perkembangannya, jenis pernikahan di hapus oleh khalifah Umar bin 114 Khattab. Penghapusan ini jelas ditolak oleh Syi’ah selain Zaidiyah. Oleh karena itu, hingga sekarang kecuali kalangan Zaidiyah, ajaran Syi’ah tetap mempraktekkan nikah mut’ah. 115 Selanjutnya, Syi’ah Zaidiyah juga menolak doktrin taqiyah 116 . Padahal menurut Taba’taba’I taqiyyah merupakan salah satu ajaran penting dalam syi’ah. 117

d. Pandangan Zaidiyah Tentang Ibadah Dalam bidang ibadah, Zaidiyah tetap cenderung menunjukkan simbol dan amalan Syi’ah pada umumnya. Dalam adzan misalnya, mereka memberi selingan ungkapan hayya ‘ala khair al-‘amal, takbir sebanyak lima kali dalam

113 Wj. Hamblin, dan Daniel C. Petterson, “Zaidiyah” dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Enscylopedia of The Muslim Modern Islamic World, (Oxford: Oxford University

Press, 1995), jilid IV, h. 374.

Thaba’thaba’I, Muhammad Husain, Shi’a, terj. Husein Nasr dan Ansariyah, (Iran: Qum, 1981), h. 263-265.

Sahla Heri, Perkawinan Mut’ah dan Improvisasi Budaya, dalam jurnal Ulumul Qur’an, (Jakarta: LSAF, 1995), Vol. IV, h. 46-85. 116 Taqiyah dari segi bahasa berasal dari kata taqiya atau ittaqâ yang artinya takut.

Taqiyah adalah sikap berhati-hati demi menjaga keselamatan jiwa karena khawatir akan bahaya yang dapat menimpa dirinya. Dalam kehati-hatian ini, terkadang sikap menyembunyikan identitas dan ketidakterusterangan. Lihat, Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), cet IV, h. 12-13.

117 Thaba’thaba’I, Muhammad Husain, Shi’a, h. 263-265.

salat janazah, menolak sahnya mengusap kaki (maskh al-khuffain), menolak imam salat yang tidak saleh dan menolak binatang sembelihan bukan muslim. 118

3. Hubungan al-Syaukani dengan Syiah Zaidiyah Membincangkan al-Syaukânî erat kaitannya dengan Syi’ah Zaidiyah. Al-Syaukani tumbuh dan terdidik dalam tradisi Syi’ah Zaidiyah. Ayahnya sendiri merupakan pembesar dan tokoh yang di segani di kalangan Syi’ah Zaidiyah. Bahkan disebutkannya sendiri dalam kitab al-Badr al-Tali bi

Mahâsin Man Ba’d al-Qarn al-Sabi‘, sebagaimana di kutip oleh Nasrun Rusli bahwa ia telah hafal kitab al-Azhar, kitab fikih yang popular dalam madzhab Zaidiyah. 119

Meski demikian, al-Syaukani juga mempelajari beberapa buku di luar tradisi Zaidiyah. Misalnya, ia mempelajari kitab usul fikih Syafi’I, Syarh Jam‘ al-Jawâmi‘ karya Jalâluddîn al-Mahalli (w. 864 H.) di bawah bimbingan al-

Hasan ibn Ismail al-Maghribi, juga mempelajari kitab hadits hukum, Bulûgh al-Marâm karya al-Imâm Ibn Hajar al-Asqâlânî (w. 852 H.) pada al-Maghribi, kitab komentar al-Asqâlânî atas Sahîh al-Bukhârî, yang berjudul Fath al-Bârî, yang banyak menyinggung fikih secara luas, dipelajarinya dari al- Kaukabani. 120 Oleh karena itu, tidak heran kalau pendapat al-Syaukani terlihat lebih luas. Meskipun ia dibesarkan dalam kultur Zaidiyah, ia tidak

118 Harun Nasution, (ed.), h. 999.

Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 56

120 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘…, h. 215-217.

merasa terikat dengan madzhab tersebut, terutama setelah ia telah mampu melakukan ijtihad secara mandiri.

Dalam bidang fikih, madzhab Zaidiyah lebih dekat kepada madzhab- madzhab Ahl al-sunnah 121 dari pada madzhab fikih Syi’ah. Tegasnya bahwa

diakui bahwa fikih Zaidi sebagai bentuk fikih yang memiliki corak tersendiri, namun tidak jauh berbeda dengan fikih madzhab yang empat.

Dalam usul fikih, Syi’ah Zaidiyah juga tidak banyak berbeda dengan madzhab-madzhab Sunni. Dalil hukum yang menjadi dasar Zaidiyah ada

empat, yakni: al-Qur’an, sunnah, maslahah al-mursalah, dan istihsan. Namun ketika tidak ada dalil syara’ sebagai landasan dalam menetapkan suatu hukum, maka mereka menggunakan dalil akal, dengan mengerahkan penalaran kepada illah hukum dan maqâsid al-‘ammah li al-Syara‘ (tujuan umum syariat). 122

Dari keterangan tentang hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah Zaidiyah di atas, bisa diketahui dan dipahami bahwa al-Syaukani menganut

121 Penyebutan Ahlussunnah sudah dipakai sejak sebelum al-Asy’ari, yaitu terhadap mereka yang apabila menghadapi sesuatu peristiwa, maka dicari hukumnya dari bunyi al-

Qur’an dan hadits, dan apabila tidak diketemukan, maka dia dia saja, karena tidak dapat melampauinya. Mereka lebih terkenal dengan dengan sebutan Ahlul Hadis yang sudah dimulai sejak zaman sahabat, kemudian dilanjutkan samapai masa tabiin. Sedangkan kebalikan dari mereka adalah “ahl al-ra’yi”, yang ketika tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan hadits, kelompok ini tidaklah berhenti samapai disitu, akan tetapi ia lebih berusaha dengan akal pikirannyauntuk menemukan hukum peristiwa yang didapati dengan jalan qiyas atau istihsan dan sebagainya. Dan dari penggabungan kedua metode aliran tersebut, maka timbullah aliran tengah-tengah yang dicetuskan oleh Imâm Syafi’i. meskipun sudah ada orang yang merasa selalu terikat dengan hadis dalam lapangan fikih, namun mereka tidak dikenal dengan sebutan “ahlussunnah”. Lihat, A. Hanafi, Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. al-Husna Zikra, 1995), cet. Ke-6, h. 125

122 Lihat, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid Hayâtuhu wa Ara’uh wa Fiqhuh, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1974), h. 447 122 Lihat, Muhammad Abu Zahrah, al-Imâm Zaid Hayâtuhu wa Ara’uh wa Fiqhuh, (Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1974), h. 447

Zaidiyah. Hal ini artinya bahwa al-Syaukani semenjak kecil sudah bersentuhan dengan paham dan ajaran Syi’ah Zadiyah. Sehingga tidak diragukan lagi ketokohan dan hubungan al-Syaukani dengan Syi’ah Zaidiyah.

Dari uraian di atas tentang hubungan al-Syaukani dengan Syiah Zaidiyah, bisa di tarik kesimpulan sebagai berikut:

1. al-Syaukani adalah dilahirkan dan di besarkan dalam tradisi Zaidiyah;

2. Bapak dari al-Syaukani adalah tokoh besar Zaidiyah;

3. Sejak kecil al-Syaukani sudah mempelajari dengan kitab-kitab yang menjadi pegangan madzhab Zaidiyah;