Metode ( Tarîqah) Syaukani dalam Tafsirnya

C. Metode ( Tarîqah) Syaukani dalam Tafsirnya

Seiring perjalan waktu, ilmu tafsir terus berkembang dan jumlah kitab tafsir terus bertambah dalam beraneka corak. Para ulama tafsir belakangan memilih kitab-kitab itu berdasarkan metode penulisannya ke dalam empat bentuk tafsir, yaitu metode tahlili, ijmâli, muqarin, dan maudû’î. 137

Sebagaimana disebutkan di atas, al-Farmawi, membagi metode (tarîqah) tafsir yang selama ini dipakai ulama menjadi empat, yakni: tahlili, ijmali, muqaran, dan maudu'i. Kemudian dari empat metode tersebut, metode tahlili diperinci kembali menjadi tujuh corak, yakni: al-tafsir as-Sufi, fiqhi, falsafi, ‘ilmi dan tafsir al-adab al-Ijtima’i. 138

Dalam menafsirkan al-Qur'an, al-Syaukânî menggunakan metode tahlili 139 sebuah metode yang mendominasi tafsir-tafsir klasik baik yang

dengan penekatan bi al-ma’tsur seperti al-Durr al-Mansur fi al-Tafsîr bi al- Ma’tsur karya Jalaluddin al-Suyuti (849-911 H), Jami’ al-Bayân ‘an Ta’wil ayat al-Qur’an, karya Abu Ja’far Muhammad Ibnu Jarir al-Tabari (224 H-310 H), dan Tafsîr al-Qur’an al-Azîm karya Imaduddîn Abu al-Fida’ al-Quraisy al-

136 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 31.

Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, (Dirâsah Manhajiyyah Mauduiyyah, 1977), h. 23. 138 Abd. Al-Hayy al-Farmawi, al-Bidâyah fî al-Tafsîr al-Maudû‘I, h. 25.. 139 Tafsir Tahlili biasa juga tafsir analitis, menafsirkan al-Qur’an secara tahlili berarti

menafsirkan al-Qur’an sesuai urutan mushaf dengan memaparkan berbagai aspek yang terkandung di dalamnya seperti makna lafaz, sabab al-nuzul, munasabat, riwayat-riwayat yang terkait dan lain-lain, lihat Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 2.

Dimasyqy Ibnu Katsir (700-774 H), ataupun yang bercorak bi al-ma’qul seperti Tafsir Jalalain karya Jalal al-din al-Mahalli dan Jalal al-din al-Suyuti .

Dibanding dengan metode yang lainnya, metode tahlili atau tajzi’I 140 adalah paling tua. Untuk mengatakan Al-Syaukani memakai metode tahlili

paling tidak ada beberapa kriteria penilaian bahwa dalam melakukan penafsirannya, al-Syaukani memberikan perhatian penuh kepada semua aspek yang terkandung dalam ayat yang ditafsirkan, dengan tujuan menghasilkan makna yang benar dari setiap bagian ayat. Dalam menafsirkan

al-Qur’an, ada empat metode penafsiran yang dapat dipilih oleh calon mufassir untuk menyusun tafsir. Berikut ini perincian tentang langkah-langkah yang dilakukan mufassir. Metode tahlili biasa melakukannya sebagai berikut: 141

1. Menerangkan hubungan (munasabah) baik anatara satu ayat dengan ayat yang lainnya, maupun satu surat dengan surat yang lainnya;

2. Menjelaskan sebab turunnya ayat (asbâb al-nuzûl);

3. Menganalisis mufradat dan lafal dari sudut pandang bahasa Arab;

4. Memaparkan kandungan ayat secara umum dan maksudnya;

5. Menjelaskan hukum yang ditarik dari ayat yang dibahas. Selain dari kriteria di atas, yang menjadi ciri khusus dari metode tahlili

adalah menafsirkan seluruh ayat al-Qur’an dari surat al-Fatihah sampai surat

140 Tajzi’I adalah istilah lain tahlili, yang dipopulerkan oleh Muhammad Baqir Sadr, lihat tulisannya dalam al-Madrasah al-Qur’aniyyah: al-Tafsîr al-Maudu’I wa al-Tafsîr al-Tajzi’I

fî al-Qur’ân al-Karîm, (Beirut: Dâr al-Ta’âruf li al-Matbu’ah, t.t.), h. 7-10 141 Quraish Shihab, et. All, dalam Azyumardi Azra, Sejarah Ulum al-Qur’an, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1999), h. 173-174.

al-Nâs. Dan hal itu telah dilakukan oleh al-Syaukani melalui tafsirnya yang berjumlah 5 jilid, atau dalam cetakan lain 6 dan 8 jilid.

Dalam rangka mencari kebenaran, metode (tarîqah) dan pendekatan (manhâj) apa yang sebenarnya di pakai oleh al-Syaukani? Baiklah akan penulis kemukakan contoh-contoh yang penulis ambil dari penafsiran al- Syaukani tentang keadilan Tuhan sebagai berikut:

al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-Anbiyâ‛ (21) ayat 47 sebagai berikut:

Bila dilihat lebih jauh penafsiran al-Syaukani di atas, ketika menafsirkan surat al-Anbiya‛ (21) ayat 47, al-Syaukani menggunakan corak bahasa yaitu al-Syaukani berusaha mengurai lafaz al-mawâzîn, beliau mengatakan bahwa kata al-mawâzîn adalah bentuk jama’ dari mîzân, juga kata al-qistu diartikan hâsibîn, dan muhsîn. Hal ini menandakan al-Syaukani menggunakan pendekatan dirayah, karena menggunakan bahasa. kemudian memasukkan pula munâsabah dengan mengkaitkan surat al-Anbiyâ’ ayat 47

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 513.

Kemudian, al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-Yâsîn (36) ayat 54 sebagai berikut:

Tafsiran surat Yasin ayat 54 di atas, al-Syaukani dalam menafsirakan ayat tersebut menggunakan penguraian bahasa yakni menjelaskan kata nafsun adalah bentuk jama’ dari nufûs, selain itu al-Syaukani menggunakan penafsiran secara global. Dengan demikian al-Syaukani mengunakan pendekatan dirayah.

al-Syaukani dalam menafsirkan surat Fusilat (41) ayat 46 sebagai berikut:

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 447.

Pada penafsiran surat Fusilat ayat 46 di atas, al-Syaukani tidak melakukan tinjauan bahasa, juga tidak melakukan munasabah dan asbâb al- nuzûl, al-Syaukani dalam ayat ini hanya memaparkan penafsiran dari ayat 46 surat Fusilat secara global.

Selanjutnya al-Syaukani ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 40:

Lain halnya dengan penafsiran al-Syaukani terhadap surat al-Nisa ayat 40, terlihat al-Syaukani menggunakan munasah ayat. Dengan menampilakn ayat bandingan yang tanpa menyebutkan nama suratnya. Hal ini dalam rangka menafsrkan ayat 40 surat al-Nisa. Berarti di sini al-Syaukani menggunakan pendekatan riwayat. Dikatakan menggunakan pendekata riwayat, karena al-Syaukani menafsirkan ayat dengan ayat yang lain.

Kemudian dalam surat al-Kahfi (18) : 49 al-Syaukani menafsirkan sebagai berikut:

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 619.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 623-624.

Pada surat al-Kahfi ayat 49, al-Syaukani menggunakan pendekatan bahasa dengan mencoba mengartikan al-wad‘, dimaknai secara eksplisitnya yaitu “Seseorang meletakkan kertas di atas tangannya”. Selain itu, al- Syaukani juga menafsirkan dengan surat lain yakni surat al-Mâidah. Maka jelas di sini, al-Syaukani menggunakan dua pendekatan riwayat dan dirayat. Dikatakan riwayat karena al-Syaukani mencoba menafsirkan ayat dengan ayat yang lain, dan dikatakan dirayah karena al-Syaukani menggunakan pendekatan bahasa.

al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-An‛âm (6) ayat 160 sebagai berikut:

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid I, h. 366-369.

Selanjutnya surat al-An‛âm (6) ayat 160 al-Syaukani juga melakukan penafsiran ayat dengan hadits, yang hadis tersebut tidak di di takhrij

sedikitpun atau dalam bahasa lain, hadis tersebut dibiarkan saja tanpa dilakukan takhrij al-hadîts. Walupun tidak ditakhrij, penafsiran demikian bisa dikatakan penafsiran dengan menggunakan pendekatan riwayat.

Dan contoh penafsiran terakhir pada ayat-ayat tentang keadilan Tuhan adalah ‘Âli Imrân (3) ayat 9 sebagai berikut:

al-Syaukani pada ayat ini tidak menafsirkan dengan ayat lain, atau bahkan al-Syaukani hanya menafsirkan begitu saja secara global. Pada ayat

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo - Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 233-234. 148 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 332.

Dari beberapa ayat yang dijadikan sampel, maka sesuailah kiranya membuktikan dua pendekatan yang dipakai oleh al-Syaukani yakni dirayah dan riwayah. Jadi, bisa dikatakan bahwa ternyata al-Syaukani menggunakan dua pendekatan (manhaj), yakni riwayah dan dirayah seperti yang tertulis dalam nama tafsirnya. Sedangkan metode yang bisa dipahami dari penafsiran al-Syaukani di atas, adalah lebih kepada metode tahlîlî. Dikatakan

tahlili karena al-Syaukani melakukan penafsiran dari awal surat, sampai surat terakhir, indikasi lain adalah karena al-Syaukani menggunakan penelaahan secara bahasa, munasabah ayat atau surat, dan asbâb al-nuzul. Seperti pada kriteria pembahasan tahlili di atas.

Selain hal di atas, bisa dikatakan pula al-Syaukani adalah seorang mufassir yang tidak murni menggunakan pendekatan riwâyat atau dirâyah semata atau murni riwâyat atau dirâyah. Akan tetapi al-Syaukani menggunakan pendekatan atas keduanya. Hal ini sesuai dengan nama kitab tafsirnya yakni “Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr”.

Maka jelaslah pendekatan yang dipakai dalam tafsir ini, yakni penggabungan antara keduanya riwâyat dan dirâyah.