Mengenal Tafsir Fath al-Qadîr dan Metode Penyusunannya

A. Mengenal Tafsir Fath al-Qadîr dan Metode Penyusunannya

Tafsir Fath al-Qadîr merupakan sumber utama dalam bidang tafsir dan referensi penting. Karena tafsir ini menggabungkan antara dirâyah dan riwâyah, membahas secara komprehensip masalah-masalah dirâyah dan riwâyah. Sebagaimana diterangkan pada pendahuluan tafsir ini, bahwa tafsir

Fath al-Qadîr disusun pada bulan Rabiul Awal tahun 1223 H.. Dalam penyusunannya beliau merujuk kepada Abu Ja’far al-Nuhas, Atiyyah al- Dimasyqi, Ibnu Atiyyah al-Andalusi, Qurtubi, Jamakhsyari dan ulama-ulama lainnya. 123

Mengenal sosok al-Syaukani tidak bisa terluput dari perhatian kita terhadap kitab tafsîr Fath al-Qadîr al-Jâmi‘ Baina Fannai al-Riwâyat wa al- Dirâyat min ‘Ilm al-Tafsîr sebagai karya terbesarnya dalam bidang tafsir. Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr adalah kitab tafsir yang dikarang oleh ulama besar bernama al-Imâm

Muhammad bin ‘Ali bin Muhammad al-Syaukânî al-San‘any (W. 1250 H.). Al-Syaukânî termasuk salah seorang ulama Yaman yang banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti seperti tafsîr, hadîts, fiqh, usul fiqh, sejarah, ilmu kalâm, filsafat, balaghah, mantiq, dan lain sebagainya.

123 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 31

Selanjutnya penulis mencoba mengenal kitab tersebut lebih jauh, dan sebagai langkah awal kita harus harus mengingat pendapat al-Syaukani sendiri tentang kitabnya.

Menurut keterangan al-Syaukani, penulisan tafsîr Fath al-Qâdîr ini dilatarbelakangi oleh keinginan al-Syaukânî untuk menjadikan al-Qur’an sebagai jawaban bagi penentang, menjadi penjelas bagi yang ragu, dan menjelaskan dan sesuatu yang halal dan haram. hal ini seperti yang diungkapkan al-Syaukânî sendiri dalam kata pengantar tafsîr Fath al-Qadîr

sebagai berikut:

”Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Qur’an sebagai penjelas bagi hukum-hukum yang mencakup tentang hal yang haram dan halal, yang menjadi rujukan bagi para cendikiawan ketika terjadi perbedaan pendapat diantara mereka, dan menjadi jawaban bagi penentang, obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang bepegang teguh kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siapa yang mengikuti tuntunannya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus...”

Berdasarkan data di atas, nampaknya al-Syaukânî cukup bersemangat dalam menuangkan pemikirannya melalui tafsirnya. Karena melihat

124 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), juz 1, h. 29 124 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), juz 1, h. 29

Di antara kelebihan kitab ini, sebagaimana disebutkan oleh al- Syaukani sendiri yaitu ditemukan penyebutan sahih, hasan, daif, bahkan ditemukan kritik, komparasi dan penunjukkan pendapat yang paling kuat.

Kitab tafsir ini karena besar dan banyak, sudah pasti banyak sekali ilmu yang yang terkandung di dalamnya, telah sampai kepada kebenaran yang dimaksud, mengandung sekian banyak manfaat. Jika hendak membuktikan kebenaran itu, coba perhatikan tafsir-tafsir yang menggunakan metodologi dirâyah (kontekstual), kemudian perhatikan kitab ini, jelas sekali bahwa kitab ini merupakan sumber inspirasi, yang merupakan keajaiaban dan rujukan para pencari ilmu. Sehingga, kitab ini diberi nama Kitab tafsîr Fath Al-Qadîr

al-Jâmi Bain Fanny al-Riwâyah wa al-Dirâyah min Ilm al-Tafsîr. 125 Nama tafsir al-Syaukanî adalah tafsîr Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain

Fannay al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari nama tafsir karya al-Syaukânî ini, bisa diketahui bahwa pendekatan (manhaj) yang dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya adalah menggunakan pendekatan bi

al-riwayah 127 dan bi al-dirayah .

125 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 31

126 Tafsîr al-riwâyah atau dalam sebutan lain bi al-Ma’tsur, atau al-manqûl ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka

menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt. Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-

Tafsir Fath Al-Qadîr merupakan salah satu tafsir yang cukup penting dan tafsir ini juga salah satu kitab yang mu’tabar di abad moderen, bukan hanya dikalangan Syi’ah Zaidiyah, namun juga dikalangan Ahlussunnah wa al-jama’ah. Meskipun al-Syaukânî menganut Zaidiyah, namun buku-bukunya dijadikan rujukan oleh para penulis modern Suni, khususnya dibidang tafsir, hadits, dan usul fikih. 128

Kandungannya mencakup banyak hal yang berusaha menjawab problem-problem kontemporer dengan sebuah kesinambungan pemikiran

yang cemerlang dari penulisnya. Penerapan tafsir berusaha diletakkan sesuai dengan kaidah tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an yakni sebuah metode tafsir moderen, dimana pencarian maknanya dilakukan lewat bantuan ayat lain

Sunnah nabawiyyah. Dengan demikian tafsir bi al-ma’tsur adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat. Lihat, Muhammad Ali al-Sabûnî, al- Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyîk: Maktabah al-Ghazali, 1981), h. 63

127 Sedangkan tafsîr bi al-dirâyah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi al-ra’yi, dan bii al-ijtihad ialah penafsirn yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali

lebih dahulu bahasa Arab dari segi argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan syai’r-sya’ir jahili serta mempertimbangkan sebab nuzul dan lain-lain yang dibutuhkan oleh mufassir. Lihat, Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 1, h. 295

Di antara sekian karya-karya al-Syaukânî, yaitu Fath al-Qadîr (tafsir), Nail al- Autâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr (hadis), dan Irsyâd al-Fuhûl (usul fikih). Hal yang menarik dari uraian ketiga bukunya ini adalah bahwa ia menguraikan suatu persoalan secara objektif tanpa dibarengi subjektifitas madzhabnya. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika para penulis kumpulan biografi tokoh, seperti al-Marâghi (188-1945), ahli usul fikih dari Mesir dan penulis buku al-Fath al-Mubîn fi Tabaqât al-Usûliyyîn (kumpulan biografi tokoh usul fikih), mengemukakan bahwa unsur Zaidiyah dalam kitab-kitab al-Syaukânî tidak terlihat sama sekali. Lihat lebih lanjut, Hasan Mu’arif Ambary… (et al.), pembaca ahli, Taufik Abdullah (ed.), Abdul Aziz Dahlan..(et al.), Suplemen Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), cet. 1, h. 189-190.

Kitab tafsir Fath Al-Qadîr yang diteliti penulis berjumlah 5 jilid besar, yang dicetak oleh penerbit Dâr al-Hadîs, Kairo, tahun 2007. Kitab ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:

Pada jilid 1, dimulai dengan muqaddimah, kemudian dilanjutkan dengan penjelaskan surat al-Fâtihah, kemudian dimulai dengan tafsir al- Basmalah dan dilanjutkan dengan tafsir ayat 2-7. Selanjutnya dilanjutkan

dengan tafsir surat al-Baqarah yang dimulai dengan tafsir ayat pertama, selanjutnya ayat 2, 3 sampai akhir ayat 286. Setelah itu, Penafsirkan surat Âli ‘Imran yang dimulai dengan penafsirkan ayat ayat 1-6, kemudian dilanjutkan penafsirannya dari ayat 7-9, dan seterusnya, dan dilanjutkan surat al-Nisâ.

Pada jilid 2, penafsiran al-Syaukani dimulai dari surat al-Mâ’idah, al- An‘âm, al-A’râf, al-Anfâl, al-Taubah, Yûnus dan surat Hûd. Jilid 3, penafsiran al-Syaukani dimulai dengan tafsir surat Yûsuf, al- Ra‘d, Ibrâhîm, al-Hijr, al-Nahl, al-Isrâ’, al-Kahf, Maryam, Tâhâ, al-Anbiyâ’, al- Hajj,dan surat al-Mu’minûn.

Jilid 4, penulisan al-Syaukani dimulai dari tafsir surat al-Nûr, al- Furqân, al-Syu‘arâ’, al-Naml, al-Qasas, al-Ank‘abût, al-Rûm, Luqmân, al- Sajdah, al-Ahzâb, Saba’, Fâtir, Yâsîn, al-Sâfât, Sâd, al-Zumar, Ghâfir, Fusilat, al-Syûrâ, al-Zukhruf, dan surat al-Dukhân.

al-Sayyid Muhammad ali Iyazi, al-Mufassirûn Hayâtuhum wa Manhâjuhum, (Teheran: Mu’assasah al-Tab’ah wa al-Nasyr Wazarah al-Tsaqafah wa al-Irsyâd al-Islâmî, tt.), cet. 1, h. 705

Dan pada bagian terakhir Jilid 5, penulisan al-Syaukani dimulai dari surat al-Jâtsiah, al-Ahqâf, Muhammad, al-Fath, al-Hujurat, Qâf, al-Dzuriyât, al-Tur, al-Najm, al-Qamar, al-Rahmân, al-Wâqi’ah, al-Hadid, al-Mujâdalah, al-Hasyr, al-Mumtahanah, al-Saf, al-Jumu’ah, al-Munâfiqun, al-Taghâbun, al- Talaq, al-Tahrîm, al-Mulk, al-Qalam, al-Hâqah, al-Ma’arij, Nuh, al-Jin, al- Muzammil, al-Mudatsir, al-Qiyâmah, al-Insân, al-Mursalât, al-Naba’, al- Nâzi’ât, ‘Abasa, al-Takwîr, al-Infitar, al-Mutaffifîn, al-Insyiqâq, al-Burûj, al- Tariq, al-A’lâ, al-Fajr, al-Balad, al-Syams, al-Laîl, al-Duha, al-Insyirah, al-Tîn,

al-‘Alaq, al-Qadr, al-Bayyinah, al-Zalzalah, al-‘Âdiyât, al-Qâri‘ah, al-Takâtsur, al-‘Asr, al-Humazah, al-Fîl, Quraisy, al-Mâ‘ûn, al-Kautsar, al-Kâfirûn, al-Nasr, al-Masad, al-Ikhlâs, al-Falaq, dan surat al-Nâs. Dan pada jilid ini, al-Syaukani memberikan kata penutup menandakan selesainya penulisannya dari surat al-Fâtihah sampai surat al-Nâs.

Memperhatikan sitematika yang digunakan oleh al-Syaukani dalam kitab tafsir Fath Al-Qadîr al-Jâmi Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr tampaknya tidak jauh berbeda dengan sistematika ulama-ulama tafsir pada umumnya. Al-Syaukani sebelum masuk ke ayat, ia menyebutkan jumlah ayat dan tempat turunnya ayat, atau kategori Madaniah atau Makiyah. Setelah itu, al-Syaukani menjelaskan nama surat disertai dengan pendapat mufassir, yang kemudian diikuti dengan dalil baik dari hadis maupun al-Qur’an. Setelah itu, kemudian masuk pada penafsiran ayat 1.

al-Syaukani dalam menafsirkan dari susunan surat, ia mengawali dengan pengelompokkan ayat, baru kemudian masuk pada penafsiran. Pada penafsiran yang dilakuakn al-Syaukani, ditemukan penafsiran ayat dengan al-Syaukani dalam menafsirkan dari susunan surat, ia mengawali dengan pengelompokkan ayat, baru kemudian masuk pada penafsiran. Pada penafsiran yang dilakuakn al-Syaukani, ditemukan penafsiran ayat dengan

Dalam tafsir Fath al-Qadîr al-Jâmi’ Bain Fannai al-Riwâyah wa al- Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr akan dipaparkan berbagai macam penafsiran yang bertentangan, pendapat yang paling kuat maknanya tanpa begitu jelas, akan dijelaskan maknanya secara panjang lebar dalam tinjauan bahasa, gramatika dan sastra, memperhatikan secara seksama pendapat-pendapat tentang tafsir tang dilakukan oleh Rasulullah, para sahabat, tabi’in, tabi’it-tabi’in, dan para

imam yang terkenal. Kadang al-Syaukani meyebutkan sebuah hadis daif, hal itu dilakukan baik dalam rangka memperkuat pendapat saja atau karena keserasiannya dengan makna secara bahasa. Kadang-kadang disebutkan sebuah hadis tanpa menyertakan sanadnya, hal ini dilakukan karena demikian yang ditemukan dalam sumber aslinya, kasus seperti ini juga dalam Tafsîr Jarîr, al- Qurtûby, Ibnu Katsîr, al-Suyûty dan yang lainnya. Hal ini seperti diungkap al- Syaukani sebagai berikut:

Yang jelas mereka tidak memasukkan hadis daif kecuali menjelaskan dan menerangkan kedudukannya, sekalipun demikian tidak berarti ketika mereka meyebutkan hadis sahih lantas tidak meyebutkan sanadnya, bahkan

130 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 31 130 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 31

Dalam kitab tafsir ini, al-Syaukânî banyak menulis hadits-hadits yang menerangkan keutamaan al-Qur’an, dan ahli-ahli al-Qur’an tidak akan mendapatkan sesuatu yang dicari dari hadits-hadits sahih sebelum memahami makananya, karena sebuah pemahaman merupakan buah dari bacaan. 132

Demikian selintas tentang tafsir Fath al-Qadîr, karya Imam al-

Syaukani.