Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

2. Pandangan al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan

Bagi aliran kalam yang berpandangan bahwa manusia mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, seperti yang dianut oleh Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tidak lagi mutlak sepenuhnya. Sebaliknya, bagi aliran kalam yang berpandangan bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dalam berkehendak dan berbuat, seperti yang dianut oleh Asy’ariyah dan

Maturidiyah Bukhara, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan memang mutlak sepenuh-peniuhnya.

Baagaiman pandangan al-Syaukani tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan ini? Apakah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan mesti berlaku sepenuh-penuhnya, sehingga boleh timbul kesan bahwa Tuhan dapat berbuat apa saja berdasarkan kehendak-Nya. Ataukah kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan tersebut tidak layak berlaku sepenuh-penuhnya, Karena Tuhan mempunyai janji-janji yang harus di tepati.

Dalam pandangan al-Syaukani, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan berlaku dalam koridor sesuai dengan sunnatullah. Itulah sebabnya, dalam pandangan al-Syaukani, kemutlakan Tuhan menjadi terbatas. Hal ini sesuai dengan pendapat al-Syaukani dalam menafsirkan ayat 62 surat al- Ahzâb sebagai berikut:

“Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada sunah Allah” yaitu pemindahan dan perubahan, bahkan sunnah Allah akan tetap selamanya pada koridornya apakah itu menurut ulama khalaf ataupun salaf.

`Secara jelas al-Syaukani dalam ayat di atas, menjelaskan bahwa sunnatulah akan selamanya pada koridornya, ia tidak akan dapat dijumpai perubahan, baik dalam pandangan ulama khalaf maupun salaf. Penafsiran ini, nampaknya lebih mendekati pandangan rasional.

Kemudian, ketika al-Syaukani menafsirkan Q.S. al-Insân (76) : 30, al- Syaukani mengatakan bahwa segala keputusan, kehendak itu akan disandarkan pada Allah. Begitu juga dengan kebaikan dan kejelekan itu ada di tangan Allah sebagaimana penafsiran al-Syaukani berikut ini:

Artinya: “Dan tiadalah apa yang kamu kehendaki kecuali atas kehendak Allah” Dan tiadalah kamu menghendaki untuk menuju jalan kepada Allah kecuali sesuai dengan kehendak Allah. Maka keputusan itu disandarkan kepada Allah Swt, bukan disandarkan kepada mereka (manusia), adapun kebaikan dan kejelekan itu di tangan Allah, tidak ada

Lebih lanjut, lihat Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 366.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 419.

Dari penafsiran al-Syaukani di atas, dapat dipahami bahwa ada dua kehendak. pertama adalah kehendak manusia dan kedua kehendak Allah. Sehingga kuranglah tepat paham kaum Mu’tazilah yang menjadikan manusia memiliki kebebasan memiliki apa yang dinamai al-Qur’an kasb (usaha), tetapi usaha itu sama sekali tidak mengurangi kuasa dan kehendak Allah. Sesuatu baru dapat terjadi bila Allah menghendaki. Semua orang mempunyai

kehendia, anda berkehendak, aku pun berkehendak dan dia serta mereka pun berkehendak, tetapi hanya Allah yang terlaksana kehendak-Nya. Namun demikian harus diingat bahwa kehendak Allah itu bukan tanpa dasar atau terjadi semena-mena. Demikian pemahaman dari penafsiran al-Syaukani di atas.

Dalam memperkuat pendapat kehendak manusia dan kehendak Tuhan, al-Syaukani mengutip hadis sebagai berikut:

Lebih lengkapnya lihat, Muhammad bin Ismail Abû Abdullah al-Bukhari (194- 256), Sahîh al-Jami’, (Beirut: Dâr Ibn Katsir, 1987), tahqîq Dr. Mustafa al-Bagha, juz, 1, h. 3, Muslim al-Hajjâj Abu al-Husain al-Qusyairi al-Naisaburi (206-261) Sahih Muslim, (Beirut: Dâr al-Turas al-‘Araby, tt.), juz. 3, h. 1515, Abu Dawud al-Asy’ats al-Sijastani al-Azdy (202- 275), Sunan Abî Dâwûd, (Dâr al-Fikr, tt.), tahqiq Muhyiddin ‘Abdul Hamid, juz. 2. h. 262. Muhammad bin ‘Isa bin Abu ‘Isa al-Turmudzi al-Sulami (209-279), Sunân al-Turmudzi, (Beirut: Dâr al-Ihyâ al-Turâs al-‘Araby, tt.), tahqiq Ahmad Muhammad Syakir wa Arkanuh, juz. 4, h. 179., lihat pula CD Mausu’ah Program Hadis, tahun 2003.

1. Shahih Bukhari juz 1 hal 3

“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, dan tiap- tiap perbuatan seseorang itu, tergantung pada apa yang ia niatkan”. Bagi kaum ahl al-sunnah wa al-jama’ah, menurut salah seorang tokoh aliran Maturidiyah, 175 menunjukkan bahwa segala yang dikehendaki hamba

2. Shahih Ibn Hibban juz 2 hal 113

3. Sunan Ibn Majah Juz 2 hal 1413

4. Sunan Abi Daud juz 2 hal 262

5. sunan al-baihaqi kubra juz 1 hal 41

Yakni Abu Mansur Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi (421-493 H.). ia merupakan tokoh cabang Bukhara dari aliran Maturidiyah yang mempunyai paham-paham tertentu yang berbeda dengan pendapat al-Maturidi sendiri. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam, h. 77-78.

kehendak Allah qadim, maka hal itu berarti bahwa tidak ada lagi kemungkinan pilihan pada perbuaatan itu.

Ayat yang serupa banyak dibahas. Misalnya surat al-Kahfi (18) : 23-24 yang melarang memastikan diri untuk melakukan pekerjaan tertentu pada hari yang akan datang, melainkan menyandarkannya kepada kehendak Allah. Al-Syaukani menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

“Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu” “sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi” yaitu waktu yang ditentukan pada masa akan datang, disebut besok tetapi belum tentu pada hakikatnya besok, yang termasuk besok adalah masuknya terlebih dahulu, “dan tidak ada bagi kami yang bisa mendahuluinya kecuali dengan menyebut Insya Allah” karena kembalinya mereka ke tempat mereka itu, sesuatu yang tidak dikehendaki Allah., “dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa” pengecualian dengan kalimat “insya Allah” (baik perbuatan itu dilakukan) dalam jangka pendek ataupun jangka panjang.

176 Al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn, ed. Hans Peter Linss, (Kairo: ‘Isâ al-Bâbî al-Halabî wa al-Syurakh, 1963), h. 45.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 351.

Ayat di atas mendukung bahwa segala perbuatan hamba tidak terjadi melainkan dengan kehendak Allah. Ayat tersebut jelas-jelas merupakan tuntutan Allah kepada Nabi-Nya untuk tidak memastikan sesuatu yang akan dilakukannya. Apa yang akan dilakukannya itu bisa jadi nanti tidak dapat benar-benar dilakukannya sehingga dengan itu, kalau ia memastikan sebelumnya, maka ia telah berdusta atau dituduh dengan tuduhan-tuduhan yang serupa dengan itu. Betapapun kuatnya tekad dan besarnya kemampuanmu bahwa: “sesungguhnya aku akan mengerjakan besok pagi”

pekerjaan yang remah atau penting itu, besok, yakni waktu mendatang, kecuali dengan mengaitkan kehendak dan tekadmu itu dengan kehendak dan izin Allah atau kecuali dengan mengucapkan insyâ Allâh/jika Allah menghendaki.

Dapat pula diambil contoh ayat-ayat yang digunakan oleh Maturidiyah Samarkand misalnya Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48. ayat ini kata al- Syaukani, dipahami sebagai menunjukkan bahwa Allah tidak menghendaki seluruh mukallaf untuk beriman. Ada yang dikehendaki-Nya untuk beriman dan ada yang dikehendaki-Nya untuk menjadi kafir. Kalau sekiranya Ia menghendaki mereka semua untuk menjadi beriman, maka pastilah Ia telah berkemauan membuat mereka satu umat saja. Namun semua itu, sesungguhnya Allah hanya hendak menguji manusia. Sebagaimana penafsiran al-Syaukani:

Artinya: “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja)” dengan satu syariat, satu kitab dan satu Rasul, “tetapi Allah hendak menguji kamu” yakni Allah belum menghendaki satu umat itu, tetapi Dia menghendaki untuk mengujimu dalam hal bermacam-macam syariat, maka kata “untuk mengujimu” dikaitkan dengan indikasi konteks kalimat

yang telah kita sebutkan sebelumnya, adapun makna “terhadap pemberiannya kepadamu” yaitu terhadap sesuatu yang diturunkan

kepadamu dari beberapa syariat yang berbeda dengan waktu dan orang- orang yang berbeda pula. Firman Allah “maka berlomba-lombalah dalam kebaikan” yakni jika kehendak itu telah ditetapkan dengan berbeda-bedanya syariat maka berlomba-lombalah untuk mengerjakan apa yang telah diperintahkan kepadamu untuk mengerjakannya dan meninggalkan apa yang diperintahkan kepadamu untuk meninggalkannya.

Potongan ayat di atas, konteksnya berbicara tentang kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa, dan kitab Injjil yang ditunkan kepada Nabi ‘Isa, dan al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian, dalam tafsiran al-Syaukani “sekiranya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu, wahai Musa, ‘Isa, umat Muhammad dan umat-umat lain sebelum itu, satu umat. Al-Syaukani menambah satu kitab, dan satu Rasul. Yaitu dengan jalan dengan meyatukan secara naluriah pendapat kamu serta tidak menganugrahkan kamu kemampuan memilih,

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 65.

Maka karena itu, melalui satu syariat, satu kitab, dan satu Rasul itu, hendaknya kamu berlomba-lomba berbuat kebajikan dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Maka sekiranya Allah mau, pasti Ia telah memaksa mereka menjadi satu syariat, satu kitab, dan datu Rasul. Akan tetapi, Allah tidak menghendaki hal itu. Demikian al-Syaukani.

Pernyataan seperti ini memang hanya untuk menunjukkan bahwa

Allah mampu melakukan pemaksaan kepada hamba dalam masalah keimanan. Namun dalam kenyataannya, tidak Allah lakukan kekuasaan-Nya itu. Penunjukkan kemampuan atau kekuasaan itu dimaksudkan agar Rasul- Nya, Muhammad Saw, tidak terlalu susah dengan adanya orang-orang yang tidak mau menerima kebenaran risalah yang dibawa-Nya. Karena sesungguhnya petunjuk itu datangnya dari Allah.

Kemudian, dalam surat al-‘An‛âm (6) : 149, dipahami bahwa beriman atau tidaknya seseorang itu bergantung pada hidayah akan kehendak mutlak Tuhan. Sebagaimana al-Syaukani menafsirakn:

Artinya: “Maka jika Dia menghendaki” petunjukmu semuanya “pasti dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya” dan tetapi jika dia belum menghendakinya, dan firman Allah “dan jika Allah

179 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 225.

menghendaki terhadap apa yang mereka sekutukan” dan mereka beriman kecuali dengan kehendak Allah.

Jadi, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan di jelaskan oleh al- Syaukani mempunyai peranan yang sangat dominant, yang menentukan seseorang beriman atau tidak.

Ayat yang senada dengan penjelasan ini, yakni surat Yûnus (10) : 99 sebagaimana al-Syaukani menafsirkan:

“Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya” sehingga tidak satupun mereka yang keluar, semuanya pasti beriman tidak ada yang berpisah dan berbeda-beda, tetapi Allah tidak menghendaki hal itu, karena itu berbeda dengan kemaslahatan yang Allah Swt. kehendaki. Kata “jamî‘an” dinasabkan sebagai hal. Sebagaimana Imam Sibawaih berkomentar “Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? Itu semua bukan berarti keleluasaanmu wahai Muhammad dan tidak pula termasuk kategori kekuasaanmu, tetapi ini merupakan hiburan Nabi Saw. dan penolakan terhadap apa yang menyempitkan dada beliau dalam mencari kebaikan untuk semuanya, yang jika belum tewujud

180 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 597-599.

kebaikan yang diupayakan tapi justru yang terjadi lebih dekat kepada kerusakan maka itulah hikmah yang jelas dari Allah.

Menurut al-Syaukani bahwa jika Allah berkehendak Dia pasti menjadikan semua manusia beriman atau kufur atau sesat. Penafsiran al- Syaukani ini jelas, bahwa Allahlah yang mempunyai kekuasaan penuh akan beriman atau tidaknya seseorang. Maka di sini, bukanlah hak Nabi menjadikan manusia beriman atau tidak. Semua yang terjadi di alam ini adalah atas kehendak dan kekuasaan Tuhan. Orang mukmin tidak akan

beriman kecuali atas kehendak-Nya. Pada dasarnya al-Syaukani telah mengisyaratkan bahwa manusia diberi kebebasan untuk percaya atau tidak. Akan tetapi jangan duga bahwa kebebasan itu bersumber dari kekuatan manusia. Tidak! Itu adalah kehendak dan anugrah Allah. Dengan demikian, ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah yang memandang Allah hanya menghendaki ketaatan dan keimanan, sementara kufur dan maksiat terjadi bukan atas kehendak-Nya. 181

Dari apa yang dipaparkan di atas, baiklah disimpulkan sementara bahwa dalam pemikiran al-Syaukani, Tuhan memang berkuasa dan berkehendak mutlak. Namun, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu semuanya adalah atas izin-Nya, bukan kehendak manusia.

Bila diperbandingkan pemikiran al-Syaukani tentang kekuasaan mutlak dan kehendak mutlak Tuhan di atas dengan pemikiran yang terdapat di kalangan pemikir kalam yang ada, maka jelas terlihat bahwa kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang dianut oleh al-Syaukani tidak sejalan

181 Abdul Jabbar, Syarh, h. 10 181 Abdul Jabbar, Syarh, h. 10

Oleh sebab itu, dengan ungkapan bahwa kekuasaan dan kehendak

mutlak Tuhan, yang dalam pandangan al-Syaukani berlaku berdasarkan kehendak-Nya secara mutlak, maka dapat disimpulkan pemahaman al- Syaukani tersebut di atas, lebih dekat kepada pemahaman yang dibawa oleh aliran Asy’ariyah.

Sebagaimana diketahui, al-Asy’ariyah menganut paham bahwa Tuhan tetap mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun kebaikan terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu berbuat kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia lemah dan tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya pencipta. Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya. 183