Ayat-ayat tentang Keadilan Tuhan dan Pandangan Aliran Kalam

1. Ayat-ayat tentang Keadilan Tuhan dan Pandangan Aliran Kalam

Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan tentang keadilan Tuhan di antaranya: Ayat-ayat al-Qur’an yang dijadikan sandaran dalam memperkuat pendapat Mu’tazilah adalah adalah Q.S. al-Anbiyâ’ (21) : 47 187 , Yâsîn (36) :

54 189 , Fusilat (41) : 46, al-Nisâ’ (4) : 40, al-Kahfi (18) : 49 .

Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 42.

Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, Adnan Muhammad Zarzawar (ed.) (Kairo: Dâr al-Turâs, 1969), h. 500 188 Al-Qâdi Abdul Jabbâr bin Ahmad al-Hamazani, Mutasyâbih al-Qur’ân, h. 576

Artinya: Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, Maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikitpun. dan jika (amalan itu) Hanya seberat biji sawipun pasti kami mendatangkan (pahala)nya. dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan. (Q.S. al-Anbiyâ’ (21) : 47).

Pandangan Mu’tazilah sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Jabbar, mengandung makna keadilan Tuhan. Demikianlah, ayat 47 surat al-Anbiyâ’ ditafsirkan oleh Mu’tazilah bahwa Tuhan tidak akan menganiaya seseorang sedikitpun, dan Ia mempergunakan timbangan dengan adil untuk melakukan perhitungan dengan cermat. 190

Artinya: Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun dan kamu tidak dibalasi, kecuali dengan apa yang Telah kamu kerjakan. (Q.S. Yâsîn (36) : 54). Tuhan bersifat adil, dengan demikian kata Abdul Jabbar dalam

manafsirkan ayat 54 surat Yâsîn, sebab di akhirat seseorang tidak diminta

Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960), h. 315. 190 Al-Qâdi Abdul Jabbar, al-Mutasyâbih, h. 500-501.

Artinya: Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (Q.S. Fusilat (41) : 46)

Artinya: Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi- Nya pahala yang besar. (Q.S. al-Nisâ’ (4) : 40).

Artinya: Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami, Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya; dan mereka dapati apa yang Telah

191 Al-Qâdi Abdul Jabbar, al-Mutasyâbih, h. 576.

mereka kerjakan ada (tertulis). dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun". (Q.S. al-Kahfi (18) : 49)

Abdul Jabbar dalam memberikan komentar terhadap tiga ayat di atas, Tuhan di puji dengan penafian sifat zalim dari diri-Nya. Sebagaimana uraiannya: "... ﻪﺴﻔﻧ ﻰﻠﻋ ﻢﻟﺎﻈﻟأ ﻰﻔﻨﺑ حﺪﻤﺘﯾ نأ ..."

Dalam teologi Islam, persoalan keadilan Tuhan berkaitan dengan perbuatan-Nya. Aliran Mu’tazilah berpendapat, bahwa Tuhan dikatan adil karena semua perbuatan-Nya baik. Ia wajib berbuat baik. Ia wajib berbuat yang baik, tidak berbuat yang buruk. Sebagaimana Abdul Jabbar memberikan keterangan sebagai berikut:

Abdul Jabbar menegaskan sebagaimana dikutip Harun Nasution sebagai berikut: Kata-kata “Tuhan adil” mengandung arti bahwa segala

perbuatan-Nya bersifat baik. bahwa Ia tidak dapat berbuat yang buruk, dan bahwa Ia tidak dapat mengabaikan kewajiban-kewajiban- Nya terhadap manusia. 193

Berkaitan dengan pendapat di atas, aliran Mu’tazilah berpandangan bahwa semua perbuatan yang timbul dari Allah dan berhubungan dengan insan mukallaf ditentukan berdasarkan kemaslahatan manusia. Sementara

Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960), h. 132, 301. 193 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 132.

Asy’ariyah cenderung memahami keadilan Tuhan dari segi Tuhan sebagai pemilik dan penguasa alam semesta, mengatur kerajaan yang dimiliki-Nya menurut kehendak-Nya. 194 Dengan demikian, Tuhan yang adil menurut mereka adalah Ia berkuasa mutlak di dalam menghisab hamba-hamba-Nya.

Dalam membicarakan masalah keadilan Tuhan, aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa semua perbuatan Tuhan berdasarkan atas hikmah dan tujuan. Sesuatu perbuatan tanpa tujuan adalah bodoh dan main-main. Semua perbuatan Tuhan mengandung manfaat bagi makhluk-Nya. Ia tidak

berbuat untuk kepentingan diri-Nya. 195 Oleh karena itulah manusia dapat mengambil manfaat dari perbuatan-Nya.

Sama dengan sikap dasar terhadap kebebasan manusia dalam kehendak dan perbuatan yang dipahami oleh Mu’azilah, aliran Maturidiyah Samarkand menggarisbawahi makna keadilan Tuhan sebagai lawan dari perbuatan zalim Tuhan terhadap manusia. Tuhan tidak akan membalas kejahatan, kecuali seimbang dengan kejahatan yang ia buat. Tuhan tidak akan menganiaya hamba-hambanya, dan juga tidak akan mengingkari janji- janji-Nya yang telah disampaikan kepada manusia. Sebagaimana Abu Zuhra menuturkan sebagai berikut:

Ahmad Mahmud Subhi, Filsafat Etika, terj. Yunan Askaruzzaman Ahmad, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2001), cet. 1, diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul al-Falsafah al-Akhlâqiyyah fî al-Fikr al-Islâmî, (Kairo: t.p., t.th.), h. 47.

195 Al-Syahrastânî, Kitâb Nihâyah al-Iqdâm fî ‘ilm al-Kalâm, Alfred Guillaume (ed.), (London: Oxford University Press, 1934), h. 397.

Abu Mansur al-Maturidi, sebagai tokoh aliran Maturidiyah mengemukakan ayat-ayat al-Qur’an berkenaan dengan keadilan Tuhan yaitu surat al-An‛âm (6) : 160, ‘Âli Imrân (3) : 9 sebagai berikut 197 :

Artinya: Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan). (Q.S. al-An‛âm (6) : 160).

      Artinya: …Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji. (Q.S. ‘Âli Imrân

(3) : 9). Ayat pertama tersebut di atas, dipahami oleh al-Maturidi bahwa Allah tidak membalas perbuatan jahat seorang hamba kecuali dengan balasan yang

196 Muhammad Abû Zuhrah, al-Madzâhib al-Islâmiyyah, (Kairo: Maktabah al-Adab, t.th.), h. 308.

197 Muhammad Abu Zahrah, al-Madzâhib al-Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al-Adab, tt.), h. 300.

setimpal dengan apa yang ia perbuat. 198 Dan yang selanjutnya dipahami bahwa Allah tidak akan menyalahi janji-Nya serta menganiaya hamba-Nya. 199

Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanl mengemukakan beberapa ayat berkenaan dengan keadilan Tuhan yaitu: ayat 107 surat Hûd (11) 200 ,

ayat 56 surat al-Dzâriyât (51), dan Q.S. Hûd (11) : 20.              

Artinya: Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki. (Q.S. Hûd (11) : 107) 201

       Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia

melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. al-Dzâriyât (51) : 56) 202

Muhammad Abu Zuhra, al-Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Maktabah al-Adab, t.th., h. 308.

Muhammad Abu Zuhra, al-Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Maktabah al-Adab, t.th., h. 308.

Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107. 201 Depag RI, al-Quran dan Terjemahnya, h. 314. 202 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al-

Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 756.

Artinya: Mereka selalu tidak dapat mendengar (kebenaran) dan mereka selalu tidak dapat melihat(nya). (Q.S. Hûd (11) : 20). 203

Asy’ariyah sebagai aliran kalam tradisioanl, karena berpegang pada konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, yang berpandangan, bahwa Allah yang menjadikan orang-orang yang berbuat baik maupun jahat, beriman atau kafir. Dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang

dikehendaki-Nya. Paling tidak itulah yang terkandung dalam pengertian adil menurut al-Asy’ari. Dengan kata lain Allah berbuat apa saja yang dikehendaki-Nya sesuai dengan ayat di atas Q.S. Hûd (11): 107, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” 204

Sejalan dengan pendapat di atas, al-Asy’ari selanjutnya mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Ilhamuddin dalam “Pemikiran Kalam al- Baqillani Studi Persamaan dan Perbedaannya dengan al-Asy’ari”, sebagai berikut:

bahwa Allah menetapkan kesenangan dan rahmat-Nya khusus bagi orang mukmin, tidak bagi orang kafir. Ia juga mengatakan bahwa orang kafir tidak mempunyai qudrat beriman. Allah menetapkan qudrat beriman khusus untuk orang mukmin. Ia berpandangan bahwa satu qudrat tidak bisa untuk dua perbuatan atau lebih. Satu qudrat hanya untuk satu perbuatan. Oleh karena itu, kudrat kufur tidak untuk

203 Yayasan Penyelenggaraan Penterjemah al-Qur’an Departemen Agama RI, al- Quran dan Terjemahnya, (Jakarta: CV. Katoda, 2005), h. 300.

204 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismâ‘îl al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, (Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Araâbî, 1985), h. 107.

kudrat beriman sekaligus. Menurut qudrat tidak tetap karena kadang- kadang manusia mampu kadang-kadang lemah. Manusia adakalanya bergerak adakalanya tidak. Istitâ’at kemampuan manusia bukanlah diri manusia itu sendiri tetapi lain dari itu yakni Allah. 205

Bagi Asy’ari lanjut Ilhamuddin, kudrat beriman itu merupakan pemberian Allah. orang yang diperintahkan untuk beriman, akan tetapi tidak diberi-Nya kudrat untuk beriman berarti orang tersebut tidak mendapat pertolongan-Nya. 206

Di samping itu, Allah hanya memelihata orang-orang mukmin, bukan orang kafir sesuai dengan ayat di atas Q.S. al-Dzâriyât (51): 56, “ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah- Ku”. Karena Allah menjadikan kebanyakaan dari ciptaan-Nya sebagai pengisi neraka. Dalam masalah taklîf ia berpendapat bahwa Allah membebani orang- orang kafir untuk mendengarkan dan menerima al-Qur’an serta beriman kepada Allah meskipun Allah juga mengatakan "mereka tidak sanggup beriman kepada Allah". Sebagaimana al-Asy’âri dalam keterangannya sebagai berikut:

Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani Studi Persamaan dan Perbedaannya dengan al-Asy’ari, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997), cet. 1, h. 61. 206 Ilhamuddin, Pemikiran Kalam al-Baqillani, h. 61. 207 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, h. 80.

Al-Asy’ari mengatakan, semua perbuatan Tuhan adalah adil. Ia adil dalam menjadikan orang beriman dan tetap adil walaupun ia juga menjadikan orang kafir. Ia juga adil jika menyiksa mereka di akhirat. 208 Menurutnya, Allah juga adil jika menyiksa orang mukmin dan memasukkan orang kafir dalam surga. Namun, menurutnya Allah tidak berbuat demikian karena ia akan menyiksa orang kafir. Allah tidak berbohong terhadap apa yang disampaikan-Nya. 209

Menurutnya Allah tidak bersifat lalim meskipun ia menciptakan

kelaliman karena ia menciptakannya bukan untuk diri-Nya. Ia mengatakan bahwa perbuatan jahat terjadi berdasarkan qada dari Allah karena Allahlah yang menciptakannya. Tetapi Allah tidaklag bersifat jahat karena ia menciptakan bukan untuk diri-Nya. 210

Pandangan yang demikian tampaknya merupakan konsekuensi dari ketidakmampuannya lari dari konsep kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Itulah tampaknya yang membuat Asy’ari memahami keadilan Tuhan sebagai Allah pemilik yang berkuasa mutlak terhadap sesuatu yang dimiliki- Nya dan menggunakannya sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya.

Sementara aliran kalam Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Secara jelas al-Bazdawi, demikian Yunan Yusuf menyebut bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur

208 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, h. 80-81. 209 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig wa al-

Bida’, h. 116-117. 210 Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-Asy’ary, Kitâb al-Luma’ fî al-Radd ‘alâ Ahl al-Zaig

wa al-Bida’, h. 79-81.

pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. 211 Ini berarti demikian Harun Nasution, al-Bazdawi berpendapat

bahwa alam tidak diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia. 212 Atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan pada kepentingan

manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak. Akan tetapi, Maturidiyah Samarkand yang memandang manusia mempunyai kebebasan di dalam berkehendak dan berbuat, pendapat mereka tentang keadilan Tuhan lebih dekat kepada Mu’tazilah. Tetapi kecenderungan

mereka untuk meninjau permasalahan dari sudut kepentingan manusia lebih kecil dari Mu’tazilah. Kecenderungan itu erat kaitannya dengan pandangan masing-masing terhadap masalah kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Mu’tazilah tidak tidak terikat pada paham kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Maturidiyah Samarkand masih terikat pada paham tersebut. 213