Faktor Penghambat yang Muncul dari Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Perangkat Desa Melalui Pengangkatan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

b. Faktor Penghambat yang Muncul dari Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Perangkat Desa Melalui Pengangkatan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1) Kurangnya Partisipasi Masyarakat dalam Penyusunan RUU Desa Peraturan adalah dasar dari negara hukum, negara yang pemerintahannya tunduk pada hukum, khususnya Undang-Undang (I.C. van der Vlies, 2005 : 1). Sebagai negara hukum, Indonesia merupakan negara yang sering melakukan perubahan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan dengan mengikuti perkembangan yang terjadi di dalam negara, sehingga seringkali perubahan tersebut menimbulkan kontroversi dari berbagai kalangan, sebagai contoh yaitu Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Pornografi dan Porno Aksi yang dulunya memunculkan kontroversi (Hestu Cipto Handoyo, 2008 : 162). RUU tersebut sekarang sudah disahkan menjadi Undang-Undang 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Seperti halnya Undang-Undang Pornografi tersebut, RUU Desa sekarang ini menjadi kontroversi. Problematik

82

commit to user

xcix

mengenai RUU Desa yang sampai sekarang belum juga disahkan oleh DPR, memunculkan banyak kontroversi dari berbagai kalangan khususnya kalangan Perangkat Desa yang menginginkan tingkat kesejahteraannya diperhatikan oleh pemerintah.

Menurut Eugen Ehlich hukum positif yang baik dan oleh karenanya efektif bila diterapkan di dalam lingkungan kehidupan masyarakat/bangsa adalah hukum yang sesuai dengan living law (hukum yang hidup dalam masyarakat) (Mochtar Kusumaatmadja, 1981 : 18). Sedangkan living law itu sendiri bersumber pada volkgeist (jiwa bangsa) (Lili Rasjidi, 1991 : 123). Oleh karena itulah tidak mungkin jika hukum positif selalu mengedepankan proses penyeragaman terhadap living law. Setiap bentuk penyeragaman living law dalam masyarakat yang plural tentu akan menimbulkan rasa ketidakadilan (Hestu Cipto Handoyo, 2008 : 161).

Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa persoalan- persoalan hukum yang berkembang di masyarakat dengan latar belakang volksgeist dan living law ini, pada hakikatnya dapat dibedakan dalam dua dimensi yaitu : (Mochtar Kusumaatmadja, 1981 : 18)

a) Persoalan hukum yang bersifat netral; dan

b) Persoalan hukum yang berpihak.

Dengan demikian jika ada suatu penyusunan kaidah hukum yang ditolak atau kontroversial di lingkungan masyarakat tentu persoalan yang terkandung di dalam naskah rancangan kaidah hukum tersebut dapat diindikasikan mengandung persoalan hukum yang berpihak (Mochtar Kusumaatmadja, 1981 : 18). Seperti halnya RUU Desa yang melahirkan kontroversi dari berbagai kalangan dan belum disahkan. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, maka pemantauan secara kritis terhadap lahirnya kaidah hukum bisa dilakukan oleh seluruh komponen Civil Society, melalui : (Mochtar Kusumaatmadja, 1981 : 18)

83

commit to user

a) Membuka akses informasi diseluruh komponen masyarakat tentang proses penyusunan suatu Peraturan Perundang- undangan.

b) Merumuskan aturan main (rule of the game) khususnya yang menyangkut transparansi penyusunan dan perumusan Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

c) Untuk langkah awal pelaksanaan pemantauan, perlu merumuskan secara bersama-sama sebuah prosedur dan tata cara pelibatan partisipasi masyarakat dalam penyusunan Peraturan Perundang-undangan.

d) Bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Pusat maupun Daerah) menyusun kode etik sekaligus membentuk Majelis Kehormatan yang susunan keanggotaannya terdiri dari unsur Dewan, Masyarakat atau Non Government Organization (NGO) , Akademisi, dan media massa.

e) Memperluas jaringan kerja di kalangan civil society yang selama ini sifatnya selalu ad hoc. Jaringan kerja sama tersebut harus bersifat permanen sekaligus ada pembagian tugas dan tanggung jawab dalam memantau proses perumusan suatu kaidah hukum. Termasuk dalam hal ini juga perlu menyusun semacam petunjuk praktis tentang etika koalisi dan aliansi bersama. Persyaratan utama untuk melakukan aliansi atau koalisi NGO adalah sinergi diantara unsur-unsur yang ada serta komitmen untuk menyelesaikan tugas advokasi secara tuntas.

Partisipasi publik dalam pembentukan suatu perauran perundang-undangan dapat dijelaskan melalui bagan di bawah ini : (Hestu Cipto Handoyo, 2008 : 162)

84

commit to user

ci

Gambar. 7 Partisipasi Publik dalam Pembentukan Undang-Undang

(1) Publik dalam hal ini para pemangku kepentingan (stakeholder) atau infra struktur politik (Tokoh politik/intelektual, partai politik, golongan kepentingan, golongan penekan, media massa) dapat menyampaikan naskah tertulis berupa draf naskah tandingan Rancangan Undang-Undang (RUU). Selain itu publik dapat juga hanya menyampaikan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari naskah RUU.

(2) Draf naskah tandingan ataupun DIM yang berasal dari publik tersebut dapat diserahkan kepada DPR (jika RUU merupakan usul inisiatif DPR) atau dimasukkan ke pemerintah (jika RUU berasal dari pemerintah).

(3) Berdasarkan masukan publik itulah kemudian DPR dan Pemerintah melakukan pembahasan sesuai dengan mekanisme tata tertib DPR. Sekaligus melakukan publikasi tahap I untuk memperoleh masukan dari publik.

(4) Setelah melakukan publikasi tahap I dan memperoleh masukan dari publik, maka dilakukan langkah redrafting RUU dalam rangka penyempurnaan. Dari hasil redrafting ini kemudian