Faktor Pendukung yang Muncul dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Perangkat Desa Melalui Pengangkatan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

a. Faktor Pendukung yang Muncul dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Perangkat Desa Melalui Pengangkatan Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

1) Ruang Lingkup Pembaharuan Rancangan Undang-Undang Desa (RUU) Desa sebagai Ujung Tombak Perjuangan Perangkat Desa Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa belum juga disahkan DPR RI menjadi Undang-Undang. Padahal, inisiatif penyusunan RUU tersebut sudah diusung Pemerintah sejak tahun 1999. Menyikapi lambannya pembahasan tersebut, Guru Besar Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) Iberamsjah menilai lambannya perjalanan RUU Desa tersebut akan berdampak buruk pada pembangunan desa kedepannya (Edwin Firdaus, UU Desa Lamban Disahkan, Pembangunan Desa Bermasalah. http://id.berita.yahoo.com/uu-desa-lamban-disahkan- pembangunan-desa-bermasalah-210535495.html). Pihak pemerintah telah menyerahkan draf RUU Desa melalui Surat Presiden R_02/

73

commit to user

xc

Pres/01/2012 tanggal 4 Januari 2012 (Hariyanto Kurniawan, Perangkat

Desa

diajukan

jadi PNS. http://www.sindonews.com/read/2012/02/03/435/568675/perangkat- desa-diajukan-jadi-pns#).

RUU Desa memiliki 6 (enam) isu krusial menyangkut pembenahan pengaturan mengenai desa, meliputi kedudukan desa, penataan desa, kewenangan desa, penyelenggaraan pemerintahan desa, keuangan desa, serta pembanguanan desa dan kawasan pedesaan Pemerintah berpandangan, desa merupakan komunitas masyarakat mandiri dengan kewenangan tertentu yang diberikan bupati. Tidak ada arahan khusus dari Presiden terhadap RUU Desa karena dalam rapat kabinet terbatas hanya dikaji drafnya dan diharmonisasikan dengan peraturan perundangan lain. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin mengatakan, proses harmonisasi RUU Desa dengan peraturan perundang-undangan yang lain telah mencapai tahap final, tetapi masih ada hal yang perlu dicermati. Dalam perspektif hukum, keberadaan masyarakat hukum adat dan lingkungan yang sudah eksis puluhan tahun, bahkan sebelum kemerdekaan, perlu dipikirkan betul pengaturannya. (Nta/Why/Dik, 2011 : 2).

Penyampaian RUU Desa dinilai lamban. Menurut Ronald Rofiandri dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, kelambanan penyampaian RUU Desa oleh pemerintah tersebut, mengindikasikan adanya tarik ulur kepentingan antara Kementerian Dalam Negeri dan kementerian sektoral, khususnya bidang keuangan, perencanaan pembangunan, hingga pemberdayaan aparatur negara (Nta/Why/Dik, 2011 : 2).

RUU Desa sebagai arah dasar legislasi kental politik rekognisi, bukan desentralisasi. Pekerjaan pemerintah/DPR/DPD memang menjadi sulit karena tidak bisa “asal pukul rata” seperti halnya Undang-Undang Pemerintah Daerah. Lebih dari sekedar kemampuan teknis legal-drafting, yang jauh lebih dibutuhkan adalah

74

commit to user

xci

kecerdasan legislative-assessment guna menakar “segala yang eksistensial ” di 70.000 desa seluruh nusantara. Jelas, derajat kebertahanan otonomi asali tidak merata, di sebagian tempat malah telah lama hilang karena adanya “modernisasi” atau dampak orde baru yang menghendaki keseragaman desa. Tingkat perkembangan sosio- ekonomi juga pasti bervariasi, bahkan banyaknya perbedaan antara desa di Jawa dan di Papua. Untuk mengatasi kesulitan politik legislasi, sebagian pihak mengusulkan Undang-Undang Desa bersifat generik, digariskan pada dasarnya saja, sementara rincian lebih lanjut diatur kabupaten. Sebagian pakar datang dengan substansi usulan lain: pembuatan tipologi desa sebagai formula akomodasi pluralitas lokal dan derajat perkembangan sosial sehingga pengaturan mesti bersifat asimetris. Namun. ada saja yang optimistis: realitas keragaman lokal dan hakikat otonomi asali dalam instrument kebijakan akan terpelihara sejauh anggota DPR/DPD bisa memahami karakter desa perwakilannya. Jika perkara kedudukan desa ini tetap tidak selesai secara baik, maka kita hanya kembali kecerita lama ketika desa dijadikan miniatur negara. Otonomi desa hanya sebagai bagian/turunan dari otonomi daerah (R Endi Jaweng, 2011 : 6).

RUU Desa usulan DPR terdiri dari 12 Bab dengan 235 Pasal. Pada Pasal 18 Ayat (2) RUU Desa, disebutkan mengenai posisi Perangkat Desa yang diisi oleh Pegawai Negeri Sipil (PNS), yaitu yang berbunyi : Pasal 18 Ayat (2) : “Desa Asli yang diubah menjadi Desa Swapraja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, seluruh Perangkat Desa diisi dari Pegawai Negeri Sipil .”

Adanya Pasal tersebut tentunya menjadi kunci tuntutan Perangkat Desa yang menuntut diangkat menjadi PNS demi meningkatkan kesejahteraannya. Dalam Pasal 18 Ayat (2) RUU Desa tersebut, menyebutkan mengenai Pasal 16, yang berbunyi :

75

commit to user

xcii

Pasal 16 : “Desa Asli dapat diubah menjadi Desa Praja atau Desa Swapraja

berdasarkan prakarsa dan kesepakatan masyarakat hukum adat setempat. ”

Berdasarkan Pasal 16 RUU Desa tersebut, maka Perangkat Desa yang diangkat menjadi PNS merupakan Perangkat Desa dari Desa Swapraja yang terbentuk dari perubahan Desa Asli dengan prakarsa dan kesepakatan masyarakat hukum desa yang bersangkutan. Mengenai karakteristik Desa Asli, Desa Praja dan Desa Swapraja, diatur pula dalam Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 RUU Desa ini, yaitu : Pasal 7

Desa Asli mempunyai karakteristik, yaitu:

a. terdapat masyarakat yang dari generasi ke generasi menempati dan menguasai wilayah serta mengelola urusan kepentingan masyarakat setempat,

b. terdapat hukum adat yang masih hidup dan wajib dipatuhi,

c. wilayahnya berkedudukan di daerah pedesaan sebagai wilayah

pemberlakuan hukum adat,

d. susunan dan bentuk pemerintahannya sesuai dengan hukum

adat,

e. kepemimpinan adatnya dihasilkan melalui musyawarah adat,

f. mengurus dan mengatur kepentingan masyarakat berdasarkan

hukum adat setempat,

g. penduduknya mematuhi hukum adat,

h. jumlah penduduknya relatif kecil,

i. mobilitas penduduknya rendah, j. sumber pendapatan Desa diperoleh dari hasil pengelolaan

sumber daya alam dalam wilayahnya, swadaya masyarakat, dan bantuan dari Pemerintah,

k. adanya kemandirian dalam pelaksanaan dan penegakan hukum

adat, l. struktur sosial paguyuban dalam masyarakatnya, dan m. sektor ekonomi primer merupakan sumber utama penghidupan

penduduk dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Pasal 8 Desa Praja mempunyai karakteristik, yaitu:

a. unit pemerintahan Kabupaten/Kota,

76

commit to user

xciii

b. wilayahnya berkedudukan dalam wilayah Kabupaten/Kota,

c. susunan dan bentuk pemerintahannya didasarkan pada peraturan

perundang-undangan,

d. mengurus urusan pemerintahan yang dilimpahkan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dan tugas pembantuan dari Pemerintah,

Pemerintah

Provinsi,

atau Pemerintah

Kabupaten/Kota,

e. kepemimpinannya dihasilkan melalui proses pemilihan

berdasarkan peraturan perundang-undangan,

f. Pemerintah Desa bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota,

g. Pemerintah

Desa

wajib

menyampaikan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Bamusdes,

h. jumlah penduduknya menengah,

i. mobilitas penduduknya sedang, j. sumber pendapatan Desa diperoleh dari alokasi dana desa dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota, bagi hasil pengelolaan sumber daya alam, Badan Usaha Milik Desa, pungutan Desa, dan bantuan Pemerintah, dan

k. sektor ekonomi primer dan ekonomi sekunder merupakan sumber utama penghidupan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Pasal 9 Desa Swapraja mempunyai karakteristik, yaitu:

a. unit pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia,

b. mempunyai wilayah tersendiri di luar wilayah kabupaten/kota

c. susunan dan bentuk pemerintahannya didasarkan pada Undang-

undang ini,

d. mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang ditetapkan

dalam Undang-undang ini,

e. kepemimpinannya dihasilkan melalui pemilihan langsung

berdasarkan peraturan perundang-undangan;

f. Pemerintah

Desa

wajib

menyampaikan keterangan penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada BPD,

g. jumlah penduduknya besar,

h. mobilitas penduduknya tinggi,

i. mandiri dalam pelaksanaan Pemerintahan Desanya, j. sumber pendapatan Desa diperoleh dari alokasi dana desa dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, bagi hasil pengelolaan sumber daya alam, Badan Usaha Milik Desa, pajak dan retribusi Desa, dan bantuan Pemerintah, dan

k. sektor ekonomi tersier merupakan sumber utama penghidupan penduduk dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

77

commit to user

xciv

RUU Desa bukan semata polemik soal status Sekretaris Desa ataupun Perangkat Desa sebagai PNS, mengalokasikan pembiayaan desa dalam APBN hingga 10%, dan seterusnya. Ini jelas ironis dan menimbulkan kecurigaan ketika keprihatinan dasar adalah soal lemahnya posisi desa di depan kedigdayaan lembaga supradesa, padahal kondisi yang memprihatinkan justru soal kesejahteraan dan status kepegawaian pejabat desa (R Endi Jaweng, 2011 : 6). Point penting dalam RUU Desa tersebut ialah terletak dalam Pasal 16 Ayat (2) mengenai pengisian jabatan Perangkat Desa oleh PNS. Inilah tuntutan Perangkat Desa, inilah yang mereka kehendaki demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang layak bagi Perangkat Desa.

2) Peluang Desa sebagai Daerah Otonom Tingkat III Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah khususnya rekomendasi Nomor 7 secara esensial dikemukakan mengenai kemungkinan adanya otonomi bertingkat Provinsi, Kabupaten/Kota serta Desa/Nagari/Marga. Dengan terbentuknya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan sebagai penyempurna Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, maka TAP MPR kembali menjadi salah satu sumber hukum di Indonesia. Hal tersebut diperjelas dalam Bagian Penjelasan Undang- Undang Nomor 32 Tahunn 2004 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa perubahan atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dengan memperhatikan beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR, salah satunya adalah Tap MPR Nomor IV/MPR/2000 tersebut.

Pemberian otonomi bertingkat I, II, dan III kepada daerah sebenarnya telah disinggung dalam beberapa kebijakan Pemerintah mulai dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan Daerah hingga Undang-Undang Nomor 18 Tahun

78

commit to user

xcv

1945 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, serta secara khusus otonomi bagi desa melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja. Namun kondisi sosial politik pada saat itu belum memungkinkan diimplementasikan kebijakan tersebut.

Pemberian otonomi kepada desa sebagai daerah otonom tingkat

III dimaksudkan memberikan diskresi yang lebih besar kepada desa untuk melaksanakan urusan pemerintahannya sebagai kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya. Ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan sehubungan dengan hal tersebut, antara lain : (Sudu dan Tahir, 2007 : 81-82)

a) Sejak zaman Hindia Belanda sampai ditetapkannya Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa telah membawa desa ke titik yang paling rendah. Rentang masa tersebut digunakan sistem “memerintah secara tidak langsung” (indirect rule) terhadap masyarakat desa. Sistem ini menempatkan desa dengan pemerintahannya pada posisi marginal. Secara sosiologis, desa dipandang sebagai tempat dengan nilai-nilai

tradisional

yang

menggambarkan keterbelakangan. Secara administratif pemerintahan, desa lebih diposisikan sebagai objek kekuasaan. Secara politis, selama ini desa hanya dijadikan tempat pengumpulan suara pada waktu pemilu setelah itu dilupakan, dan secara ekonomis, desa dipandang sebagai sumber bahan baku dan tenaga kerja yang murah. Gambaran saat ini adalah desa hanya pelengkap dari sistem pemerintahan yang ada dengan segala kekuasaan yang dimilikinya. Sumber daya manusia maupun sumber daya aparatur desa sangat minim. Tingkat kemiskinan dan pengangguran juga didominasi di daerah pedesaan padahal jumlah penduduk di Indonesia terbesar ada di pedesaan.

Jadi akan menjadi pekerjaan dan masalah yang besar dengan kondisi lemah dan marginal, desa tiba-tiba diberikan

79

commit to user

xcvi

otonomi dengan esensi yang sama dengan otonomi yang diberikan kepada Kabupaten/Kota., sehingga semestinya dilakukan dahulu upaya penguatan otonomi desa dan secara bertahap

cukup mampu menyelenggarakan otonominya diberikan otonomi secara penuh sebagai daerah otonom tingkat III.

b) Akan terjadi perubahan dari otonomi pengakuan, yakni bahwa kewenangan desa selam ini berasla dari hak asal usul dan adat istiadat setempat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, menajdi otonomi pemberian sebagaimana otonomi yang diberikan kepada Provinsi, Kabupaten dan Kota sebagai daerah otonom. Hal ini memiliki konsekuensi hilangnya hak asal-usul yang tumbuh dari masyarakat diganti dengan urusan pemerintahan yang diserahkan dari Kabupaten/Kota kepada Desa. Kedudukan desa sebagai Daerah Otonom Tingkat III dapat digambarkan sebagai berikut :

Daerah Otonom Tk. I

Daerah Otonom Tk. II

Daerah Otonom Tk. III

Gambar. 5 Model Otonomi Bertingkat di masa datang Desa (nama lain)

sebagai Daerah Otonom Tk. III

Pemerintah

Pusat

Desa atau Nama Lain

Kab/Kota

Provinsi

80

commit to user

xcvii

Gambaran di atas dapat dibandingkan dengan kedudukan desa di negara Jepang yang menganut sistem pemerintahan bertingkat dua, dengan gambaran sebagai berikut :

Daerah Otonom Tk. I

Daerah Otonom Tk. II

Gambar. 6 Model Otonomi Bertingkat di Jepang : Desa (village)

sebagai Daerah Otonom Tk. III

c) Pemberian otonomi tingkat III kepada desa berimplikasi pada dihapusnya Kecamatan yang selama ini lebih banyak berfungsi sebagai struktur pemerintahan antara. Kemandirian desa melalui pelaksanaan otonominya jelas akan mematikan peran Kecamatan yang diemban selama ini. Hal ini berarti kurang lebih 6000 struktur pemerintahan akan dihapus dan lebih dari 40.000 jabatan struktural serta sekitar 50.000 pegawai harus dialihkan.

d) Perlu penataan kembali terhadap kurang lebih 62.806 buah desa yang ada saat ini, oleh karena banyak desa-desa tersebut dibentuk pada masa lalu bukan berdasarkan kajian atas kemampuan desa untuk menyelenggarakan pemerintahan desa, tetapi kadang-kadang berdasarkan alasan tertentu. Misalnya memperoleh dana bantuan desa yang lebih besar, maka jumlah desa di wilayahnya dimekarkan dengan jumalah desa yang lebih besar.

Municipalities : Cities (shi), towns (machi/tho),

villages (mura/son)

commit to user

xcviii

Hendaknya perlu didesain kebijakan penggabungan secara lebih alami terhadap desa-desa yang ada tersebut dan sejauh mungkin meminimalisir penggabungan desa yng berakibat benturan atau konflik di antara masyarakat desa. Pendekatan yang bisa dilakukan adalah pengembangan desa sebagai sentra kekuatan ekonomi, dan bukan pendekatan aspek politik semata. Desa dengan kekuatan ekonomi lokalnya akan memperkuat otonominya.

Adanya kemungkinan desa akan menjadi daerah Otonom Tingkat III, tentunya akan mempengaruhi segala kebijakan mengenai desa, seperti yang sedang ramai dibicarakan sekarang ini yaitu RUU Desa. RUU Desa yang memunculkan banyak konstroversi dari berbagai pihak merupakan suatu ujung tombak perubahan desa menuju arah yang lebih baik.