Alasan Perangkat Desa Menuntut Diangkat Menjadi Pegawai Negeri Sipil

b. Alasan Perangkat Desa Menuntut Diangkat Menjadi Pegawai Negeri Sipil

1) Adanya Kecemburuan Perangkat Desa Terhadap Sekretaris Desa

(Sekdes) yang Diangkat Menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)

Problematik pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS muncul karena adanya pengangkatan Sekretaris Desa yang selanjutnya disebut Sekdes yang memenuhi persyaratan menjadi PNS. Hal ini tentu saja menimbulkan kecemburuan bagi Kepala Desa dan Perangkat Desa lainnya yang juga ingin tingkat kesejahteraannya diperhatikan oleh Pemerintah dengan cara diangkat menjadi PNS.

Pengisian jabatan Sekdes dari PNS merupakan langkah maju dalam upaya mengembangkan manajemen pemerintahan di tingkat desa. Hal tersebut diatur dalam Pasal 202 ayat (3) Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi : “Sekretaris Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diisi dari Pegawai Negeri Sipil yang memenuhi

persyaratan.” Selanjutnya penjelasan pasal ini berbunyi : “Sekretaris Desa yang ada selama ini yang bukan Pegawai Negeri Sipil secara bertahap diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil sesuai peraturan perundang- undangan” (Sudu dan Tahir, 2007 : 136). Secara eksplisit

57

commit to user

lxxiv

pemahaman dari isi batang tubuh pada Pasal 202 ayat (3) tersebut jelas berbeda dengan apa yang menjadi penjelasannya. Makna yang terkandung dari batang tubuh ketentuan ini adalah jabatan Sekdes diisi atau ditempati oleh PNS yang sudah ada, sedangkan penjelasannya mengamanatkan Sekdes yang belum menjadi PNS saat ini secara bertahap akan diangkat menjadi PNS.

Sekdes diangkat menjadi PNS pelaksanaan lebih lanjut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil. Melalui Peraturan Pemerintah tersebut, Sekdes secara bertahap diangkat menjadi PNS dengan persyaratan yang tercantum dalam Pasal

2 Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, yang berbunyi “Sekretaris Desa yang diangkat dengan sah sampai dengan 15 Oktober 2004 dan masih melaksanakan tugas sampai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini diangkat langsung menjadi PNS, apabila memenuhi pers yaratan.” Persyaratan tersebut tercantum dalam Pasal 3 Ayat (1) sampai Ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2007 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pengangkatan Sekretaris Desa Menjadi Pegawai Negeri Sipil, yaitu :

(1) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:

a. bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia serta Pemerintah;

c. tidak sedang menjalani hukuman karena melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap;

d. sehat jasmani dan rohani;

e. memiliki ijazah paling rendah Sekolah Dasar atau yang sederajat; dan

f. berusia paling tinggi 51 (lima puluh satu) tahun terhitung pada 15 Oktober 2006.

(2) Sekretaris Desa yang memenuhi persyaratan diangkat sebagai PNS dalam pangkat Pengatur Muda golongan ruang II/a.

commit to user

lxxv

(3) Sekretaris Desa yang memiliki ijazah lebih tinggi dari Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) diangkat sebagai PNS dalam pangkat/golongan ruang sesuai dengan ijazah SLTA.

(4) Sekretaris Desa yang memiliki ijazah lebih rendah dari STTB SLTA diangkat sebagai PNS dalam pangkat/golongan ruang sesuai dengan ijazah yang dimiliki.

Pengisian jabatan Sekdes oleh PNS juga dilatarbelakangi oleh adanya Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi Nomor 7 yang substansi isinya adalah kemungkinan pemberian otonomi bertingkat terhadap Provinsi, Kabupaten/Kota serta Desa/Nagari/Marga, dan sebagainya. Dari isi Tap MPR tersebut terkandung maksud untuk mengubah otonomi Desa dari otonomi yang bersifat pengakuan karena muncul dan tumbuh dari masyarakat, menjadi otonomi pemberian dari pemerintah pusat (Sudu dan Tahir, 2007 : 33).

Untuk mempersiapkan otonomi pemberian dari pemerintah pusat tersebut, maka organisasi pemerintah desa harus diperkuat terlebih dahulu. Kelemahan utama organisasi pemerintah desa saat ini adalah status kepegawaian para perangkatnya yang tidak jelas. Tetapi apabila seluruh Perangkat Desa diangkat menjadi PNS, sudah pasti memberatkan keuangan negara. Oleh karena itu yang diangkat hanya Sekretaris Desa, dengan alasan Sekretaris Desa menjadi otaknya proses manajemen dan administrasi di kantor pemerintahan desa. Melalui pengangkatan Sekretaris Desa sebagai PNS dimulai proses modernisasi organisasi pemerintah desa, sampai pada kondisi siap untuk menerima pemberian otonomi dari pemerintah pusat (Sudu dan Tahir, 2007 : 34).

Ditinjau dari pengisian Sekdes oleh PNS, terdapat kelebihan kelemahan yaitu : (Sudu dan Tahir, 2007 : 34)

a) Kelebihan pengisian Sekdes oleh PNS :

commit to user

lxxvi

(1) Sekdes memiliki kepastian kedudukan kepegawaian, penghasilan serta karier, sehingga dapat memberikan motivasi untuk berprestasi.

(2) Adanya aktor penggerak perubahan di bidang manajemen dan

administrasi pemerintahan untuk tingkat desa. (3) Adanya aktor penghubung yang dapat menjadi perantara kebijakan perubahan yang datang dari pemerintah.

b) Kekurangan pengisian Sekdes oleh PNS : (1) Menimbulkan kecemburuan bagi Kades dan Perangkat Desa lainnya, terutama desa-desa yang tidak memiliki sumber keuangan yang cukup untuk memberi imbalan bagi Perangkat Desanya. Kecemburuan ini dapat menimbulkan suasana kerja yang kontraproduktif.

(2) Rawan manipulasi dalam proses pengisian jabatan Sekdes,

sehingga dapat menimbulkan konflik. (3) Intervensi pemerintah terhadap desa menjadi lebih besar melalui

tangan-tangan Sekdes. (4) Terbuka peluang terjadinya konflik antara Kepala Desa dengan Sekdes dalam hal hubungan kerja, apabila tata kerjanya tidak diatur dengan rinci dan dilaksanakan secara konsisten, karena adanya publikasi komando terhadap Sekdes.

Dari sejumlah Sekdes yang ada di Indonesia, akan diperoleh 3 (tiga) kategori untuk kemungkinannya diangkat sebagai PNS, yakni : (Sudu dan Tahir, 2007 : 35)

a) Kategori yang telah memenuhi syarat, yakni mereka yang usianya di bawah 40 tahun dan berpendidikan SLTA;

b) Kategori yang belum memenuhi syarat, yakni mereka yang usianya di bawah 40 tahun tetapi pendidikannya di bawah SLTA, jadi masih ada kesempatan untuk mengikuti pendidikan persamaan SLTA dan yang sederajat;

60

commit to user

lxxvii

c) Kategori yang tidak memenuhi syarat, yakni mereka yang usianya di atas 40 tahun dan pendidikannya di bawah SLTA. Kategori ketiga kemungkinan jumlahnya paling banyak

dibandingkan kategori lainnya, sehingga perlu kebijakan yang adil, agar tidak menimbulkan keresahan, antara lain melalui pengangkatan sebagai tenaga kontrak sampai masuk usia pensiun (56 tahun).

Pengangkatan Sekdes menjadi PNS memang menimbulkan masalah serius, bahkan membuat Kementerian Dalam Negeri kewalahan mengatasinya. Pengangkatan Sekdes menjadi PNS jelas berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian,

sekaligus menimbulkan beban kepegawaian dan anggaran yang berat. Pemerintah daerah dan pemerintah desa umumnya menghadapi kesulitan tentang hal ini. Peraturan belum juga dilaksanakan, sudah terjadi benturan antara Kepala Desa, Sekdes dan Perangkat Desa lain. Para kepala desa umumnya merasa keberatan dan iri, sekaligus bertanya kenapa yang di- PNS-kan hanya Sekdes. Sikap yang sama juga muncul dari Perangkat Desa lain, mereka juga menuntut agar bisa di-PNS-kan seperti Sekdes.

Tuntutan para kepala desa dan Perangkat Desa marak terjadi dengan adanya demonstrasi yang rutin dilakukan Perangkat Desa, asosiasi pemerintahan desa, dan berbagai kelompok terkait lain, yang berisi satu tuntutan puncak yaitu segera sahkan RUU Desa (R Endi Jaweng, 2011 : 6). Seperti yang terjadi di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, dan Kabupaten Sukoharjo, serta Kabupaten Brebes di Jawa Tengah, pada Jumat tanggal 11 November 2011, serentak berunjuk rasa menuntut pemerintah segera mengesahkan RUU desa. Mereka adalah 2.500 Perangkat Desa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Desa (Parade) Nusantara se-Kabupaten Mojokerto, 200-an anggota Parade Nusantara se-Kabupaten Sukoharjo, dan 1.000-an anggota Parade Nusantara se-Kabupaten Brebes. Para pengunjuk rasa melakukan aksinya di kantor bupati dan DPRD setempat. Ketua Parade Nusantara

61

commit to user

lxxviii

Kabupaten Mojokert o, Mandra’i, menyatakan tuntutan mereka agar RUU Desa disahkan dan mendesak agar pemerintah mengalokasikan dana APBN 10 persen untuk anggaran desa. Adapun Ketua Umum Parade Nusantara Kabupaten Mojokerto, Gatot Suyatman, menyatakan, selama ini alokasi anggaran desa bergantung pada perolehan pajak bumi bangunan (PBB) masing-masing desa antara Rp 50 juta-Rp 60 juta per tahun. Selain mendesak agar presiden dan DPR segera membahas RUU Desa, Perangkat Desa di Sukoharjo menyatakan mogok kerja sejak Jumat, 11 November 2011 sampai RUU Desa dibahas DPR atau Surat Presiden ke DPR turun. Ketua Dewan Pimpinan Parade Nusantara Kabupaten Sukoharjo, Agus Tri Raharjo, mengatakan, para Perangkat Desa hanya menagih janji Presiden yang disampaikan Presiden tahun 2009, yang menyatakan pemerintah akan segera membuat RUU Desa. Di Brebes, mengancam akan menolak segala tugas pembantuan, apabila UU Desa tidak segera ditetapkan tahun ini. Ketua Parade Nusantara Brebes, Ahmad Tasdiq, mengatakan, penetapan UU Desa sangat penting demi mempercepat pembangunan negara dan bangsa Indonesia, yang dimulai dari desa. Dengan adanya UU Desa, maka pemerintah desa dan masyarakatnya akan mendapat hak secara utuh (Tif/Uti/Wie, 2011 : 23).

Klausul Sekdes-PNS ini memang menimbulkan masalah serius, bahkan membuat Departemen Dalam Negeri sangat kedodoran dalam menyusun Peraturan Pemerintah mengenai Pemerintahan Desa. Pengangkatan Sekdes menjadi PNS jelas berbenturan dengan UU Kepegawaian, sekaligus menimbulkan beban kepegawaian dan anggaran yang sangat berat. Di aras lokal isu Sekdes-PNS ini juga menimbulkan masalah. Pemerintah daerah umumnya menghadapi kesulitan tentang hal ini. Di aras Desa, masalah menjadi lebih keras. Peraturan belum juga dilaksanakan, sudah terjadi benturan antara kepala Desa, Sekdes dan Perangkat Desa lain. Para kepala Desa umumnya merasa keberatan dan iri, sekaligus bertanya kenapa yang di-

62

commit to user

lxxix

PNS-kan hanya sekdes. Sikap yang sama juga muncul dari Perangkat Desa lain; mereka juga menuntut agar bisa di-PNS-kan seperti Sekdes (E.B. Sitorus dkk, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang

Desa , http://www.forumdesa.org/download/ruudesa/NA_RUU_Desa.pdf).

2) Tingkat Kesejahteraan Perangkat Desa Kurang Memadai

Perangkat Desa menjadi ujung tombak pemerintahan di desa- desa. Para Perangkat Desa bekerja melaksanakan program-program pemerintah, dan menjadi ujung tombak pelayanan kepada masyarakat. Tuntutan pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS bukan semata- mata karena Perangkat Desa menginginkan gaji dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perangkat Desa hanya ingin mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari Negara dengan memperhatikan tingkat kesejahteraannya yang dinilai minim.

Pengaturan mengenai pendapatan tetap dan pemberian tunjangan bagi Perangkat Desa diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 tentang Desa yang menegaskan : Pasal 27 :

(1) Kepala Desa dan Perangkat Desa diberikan penghasilan tetap setiap bulan dan/atau tunjangan lainnya sesuai dengan kemampuan keuangan desa.

(2) Penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima kepala desa dan Perangkat Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan setiap tahun dalam APBDesa.

(3) Penghasilan tetap sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kabupaten/Kota.

Pasal 27 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa dalam kenyataannya tidak dapat berjalan sesuai ketentuan yang telah disebutkan yaitu penghasilan tetap dan/atau tunjangan lainnya yang diterima Perangkat Desa paling sedikit sama dengan Upah Minimum Regional Kebupaten/Kota. Selama ini, para Perangkat Desa tidak memiliki pendapatan yang merata. Pendapatan disesuaikan

commit to user

lxxx

dengan kebijakan di tiap-tiap daerah. Ada yang hanya mendapatkan tanah "bengkok", ada yang mendapatkan Rp 300.000,00 per bulan, dan ada pula yang hanya menerima Rp 100.000,00 per bulan. (Anita Yossihara dan Marcus Suprihadi, Perangkat Desa Minta Diangkat Jadi PNS . http://nasional.kompas.com/read/2012/02/02/11352711).

Pendapatan Perangkat Desa juga tergantung pada besarnya sumber pendapatan desa yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Berdasarkan Pasal 68 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, sumber pendapatan desa terdiri atas :

a) Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain- lain pendapatan asli desa yang sah; Pendapatan asli desa bersumber dari:

(1) Hasil usaha desa;

Hasil usaha desa merupakan pendapatan yang berasal dari usaha-usaha desa, seperti lumbung desa, perusahaan-perusahaan desa, dan usaha –usaha ekonomi desa lainnya. Hasil kekayaan desa, terdiri atas:

(a) Tanah kas desa

Tanah kas desa tumbuh berdasarkan tradisi/adat istiadat yang berkembang dan hidup di kalangan masyarakat. Hasil dari tanah kas desa ini dipergunakan untuk membiayai penyelenggaraan rumah tangga desa, termasuk tunjanganbagi kepala desa dan perangkatnya. Di samping itu ada tanah desa yang diperuntukan bagi desa dan perangkatnya, yaitu:

i. Tanah bengkok;

ii. Tanah lungguh;

iii. Tanah pengarem-arem;

iv. Tanah pecatu.

64

commit to user

lxxxi

Tanah tersebut di atas adalah tanah jabatan yang ada selama kepala desa dan Perangkat Desa masih memegang jabatan dalam pemerintahan desa. Di samping tanah yang diperuntukan bagi kepala desa dan perangkatnya, terdapat pula tanah yang khusus untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan yang disebut dengan tanah titisara.

(b) Pemandian umum yang diadakan/diurus oleh pemerintah desa; (c) Pasar desa yang diadakan/diurus oleh pemerintah desa; (d) Obyek-obyek rekreasi yang diadakan/diurus oleh pemerintah

desa; (e) Hutan desa; (f) Perairan dalam batas tertentu yang diurus oleh Desa termasuk

irigasi dan sejenisnya; (g) Bangunan milik desa; (h) Lain-lain kekayaan milik desa.

(2) Pungutan Desa Pemerintah Desa dapat melakukan pemungutan baik berupa uang maupun benda dan/atau barang terhadap masyarakat desa, didasarkan pertimbangan masyarakat desa yang ditetapkan melalui keputusan desa dalam rangka peningkatan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan desa.Bentuk pungutan desa dapat berupa :

(a) Pungutan yang berasal dari urusan dan/atau iuran sesuai dengan klasifikasi mata pencaharian masyarakat desa berdasarkan kemampuan ekonomi;

(b) Pungutan yang berasal dari penggantian ongkos cetak surat

keterangan dan administrasi; (c) Pungutan yang berasal dari perusahaan yang berada di desa

sesuai dengan klasifikasinya; (d) Pungutan berupa pologoro.

65

commit to user

lxxxii

(3) Hasil swadaya dan partisipasi Swadaya dan partisispasi masyarakat desa merupakan kemampuan kelompok masyarakat desa dengan kesadaran dan inisiatif sendiri mengadakan ikhtiar ke arah pemenuhan kebutuhan jangka pendek maupun jangka panjang yang dirasakan dalam kelompok masyarakat. Swadaya dan partisipasi masyarakat desa dimaksudkan sebagai sumbangan warga desa dalam kegiatan pembangunan.Adapun bentuk swadaya dan partisipasi masyarakat desa meliputi:

(a) Tenaga kerja di desa; (b) Substitusi tenaga kerja, yaitu pengganti tenaga kerja dinilai

dengan uang; (c) Barang atau hasil bumi yang sesuai dengan musyawarah dapat

dilelang atau untuk dijadikan uang; (d) Bahan-bahan bangunan dan bahan makanan yang dapat dinilai

dengan uang.

(4) Hasil gotong-royong Gotong-royong merupakan bentuk kerjasama yang spontan dan sudah melembaga serta mengandung unsur timbal-balik yang bersifat sukarela antara warga desa dan pemerintah desa untuk memenuhi kebutuhan. Hasil kerja sama tersebut misalnya dalam bentuk:

(a) Jalan desa untuk memperlancar transportasi; (b) Tanaman peneduh jalan-jalan desa yang hasil tanaman menjadi

milik desa sebagai sumber pendapatan desa; (c) Pembuatan kolam pembibitan ikan; (d) Pembuatan balai musyawarah; (e) Lapangan olah raga; (f) Kebun-kebun desa dan lainnya.

66

commit to user

lxxxiii

(g) Bangunan tersebut kemudian dimanfaatkan desa sebagai sumber pendapatan desa baik dalam bentuk retribusi desa atau hasil penjualan atau penyewaan dan sebagainya.

(5) Lain-lain pendapatan asli desa yang sah.

b) Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa.

Dari bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) diberikan langsung kepada Desa. Dari retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa yang dialokasikan secara proporsional. Bantuan dari pemerintah kabupaten meliputi:

(1) Bagian perolehan pajak dan retribusi daerah

Hal ini terlihat jelas di dalam Pasal 2A ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000 terntang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 tahun 1997 tentang Pajak dan Retribusi Daerah, yang pada intinya menjelaskan bahwa hasil penerimaan pajak kabupaten diperuntukan paling sedikit 10% bagi desa di wilayah kabupaten yang bersangkutan. Kemudian dalam ayat (4) nya dijelaskan bahwa bagian desa ditetapkan dengan peraturan daerah kabupaten dengan memperlihatkan aspek pemerataan dan potensi antar desa. Pasal 18 ayat (5) dan (6) ditegaskan pula bahwa hasil penerimaan jenis retribusi tertentu daerah kabupaten dengan memperhatikan aspek keterkaitan desa dalam penyediaan layanan tersebut. Retribusi tersebut seperti retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil.

(2) Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah Dana perimbangan merupakan sumber pembiayaan yang berasal dari bagian dari PBB, Bea Perolehan Hak Atas

67

commit to user

lxxxiv

Tanah dan Bangunan dan penerimaan dari SDA serta Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus.

(3) Bantuan yang diterima dari Pemerintah Kabupaten dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas perbantuan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten.

c) Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap desa secara proporsional yang merupakan alokasi dana desa.

Yang dimaksud dengan “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah” adalah terdiri dari dana bagi hasil

pajak dan sumberdaya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurang belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (tigapuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan 70% (tujuh puluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat.

d) Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan.

Bantuan dari Pemerintah diutamakan untuk tunjangan penghasilan Kepala Desa dan Perangkat Desa. Bantuan dari Provinsi dan Kabupaten/Kota digunakan untuk percepatan atau akselerasi pembangunan desa.

e) Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Yang dimaksud de ngan “sumbangan dari pihak ketiga” dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf, dan atau lain-lain sumbangan serta pemberian sumbangan yang dimaksud tidak mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Yang dimaksud

“wakaf” dalam ketentuan ini adalah perbuatan hukum wakif untuk

68

commit to user

lxxxv

memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Pendapatan Perangkat Desa yang jauh dari layak menimbulkan gejolak berupa tuntutan Perangkat Desa agar diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS). Kinerja organisasi dan Perangkat Desa yang sangat terbatas berkaitan dengan keterbatasan kesejahteraan mereka dan tidak jelasnya sistem penggajian (remunerasi) yang didesain pemerintah. Meski di atas kertas sistem birokrasi desa dibuat modern, tetapi penggajian Perangkat Desa masih menggunakan pola yang sangat tradisional. Selama ini pemerintah tidak mempunyai kebijakan yang jelas mengenai penggajian (renumerasi) terhadap kepala desa dan Perangkat Desa.

Di sebagian besar desa-desa di Jawa, perangkat memperoleh penghasilan dari tanah bengkok (palungguh), sebagai bentuk renumerasi secara tradisional yang diwariskan secara turun-temurun. Besaran tanah bengkok yang dikelola perangkat itu sangat bervariasi dari satu desa ke desa lain, bahkan ada juga sebagian desa yang sama sekali tidak mempunyai tanah bengkok. Sebagai contoh untuk Desa Wiladeg di Kabupaten Gunungkidul semasa menduduki jabatan sebagai carik desa pejabat tersebut akan memperoleh bengkok sebesar 2,75 ha, sedangkan kepala bagian akan mendapat 2 ha. Kepala desa mendapat bengkok sebagai pelungguh sebesar 4 ha. Desa-desa di Purworejo dan Kebumen yang tidak mempunyai bengkok, misalnya, berlaku mekanisme janggolan sebagai bentuk renumerasi, yakni masyarakat memberikan sebagian hasil panen mereka untuk membayar Perangkat Desa. Di luar tanah bengkok, pemerintah provinsi maupun kabupaten umumnya memberikan bantuan untuk memberikan tambahan penghasilan bagi Perangkat Desa. Sementara para kepala desa di Luar Jawa tidak memperoleh tanah bengkok,

69

commit to user

lxxxvi

mereka hanya memperoleh gaji dari pemerintah yang nilainya sangat rendah. Untuk menopang kehidupan sehari-hari mereka menjalankan aktivitas berkebun, beternak, bertani dan lain-lain. (Huan El Autri, Masukan

Akademik . http://onlyel.wordpress.com). Di era otonomi daerah kebanyakan pemerintah daerah di Luar Jawa mengalokasikan gaji bagi kepala desa dan Perangkat Desa kurang lebih sebesar Upah Minimum Provinsi (UMP). Para Perangkat Desa tentu mempunyai status yang terhormat bagi masyarakat, tetapi pada umumnya tingkat kesejahteraan Perangkat Desa sangat memprihatink an. Perangkat Desa menjadi ”ujung tombak” sekaligus ”ujung tombok” bagi masyarakat. Karena itu sejak lama para Perangkat Desa selalu menuntut dan berharap agar pemerintah betul- betul memperhatikan nasib dan kesejahteraan mereka.

Tabel. 3 Gaji/penghasilan Perangkat Desa per tahun di beberapa desa

Kabupaten Purworejo 2004

Kaur Kadus

Sumber: APBDes 2004 masing-masing desa.

Tabel. 3 menggambarkan gaji/penghasilan resmi Perangkat Desa per tahun di beberapa desa di Kabupaten Purworejo kondisi tahun 2004. Penghasilan itu diperoleh dari tanah bengkok dan insentif dari pemerintah kabupaten. Data dari empat desa itu memperlihatkan bahwa penghasilan Perangkat Desa di satu desa dengan desa lain sangat beragam. Desa Kalijambe, sebuah desa miskin, hanya

70

commit to user

lxxxvii

memberikan penghasilan sebesar Rp 2.520.000,00 per tahun kepada kepala desa. Angka ini berarti kepala desa hanya memperoleh penghasilan Rp 210.000,00 per bulan, angka yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan Upah Minimum Kabupaten Purworejo yang sebesar Rp 380.000,00 pada tahun 2004. Penghasilan sekretaris desa, kepala urusan dan kepala dusun tentu jauh lebih rendah daripada penghasilan kepala desa. Sekdes memperoleh penghasilan sebesar Rp 1.380.000,00 per tahun, setiap kepala urusan bergaji sebesar Rp 675.000,00 per tahun dan setiap kepala dusun berpenghasilan hanya sebesar Rp 570.000,00 per tahun (Huan El Autri, Masukan Perumusan Tentang Naskah Akademik . http://onlyel.wordpress.com).

Selain contoh di atas, penulis juga memberi contoh daftar penghasilan Perangkat Desa di Desa Nambangan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, yaitu dijelaskan dalam tabel di bawah ini :

71

commit to user

lxxxviii

Tabel. 4 Daftar Penerima Bantuan Keuangan Penghasilan Tetap Kepala Desa dan Perangkat Desa Periode Bulan November Tahun 2011 di Desa Nambangan, Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri

No. Nama

PPh (6%) (Rp)

Terima Bersih (Rp)

1. Warno

Kepala Desa

Kaur Pemerintahan

Kaur Keuangan

620.000

37.200 582.000

4. Moh. Rohmat

Kaur Kessos

Kaur Ekbang

620.000

37.200 582.000

6. Sutejo PB

Kadus Nambangan

Kadus Ngepos

Kadus Gadungan

620.000

37.200 582.000

9. Budi Satoto

Kadus Bulak

620.000

37.200 582.000

10. Agus Subagyo

Kadus Nangger

Kadus Kalikatir

620.000

37.200 582.000

12. Paino Effendi

Kadus Pulorejo

620.000

37.200 582.000 Sumber : APBD Kabupaten Wonogiri Tahun 2011

Ketidakpastian mengenai pemberian gaji bagi Perangkat Desa yang disesuaikan berdasarkan Pasal 27 Peraturan Pemerintah Nomor

72 Tahun 2005 tentang Desa seperti yang telah dijelaskan di atas dimana penghasilan Perangkat Desa disesuikan dengan Upah Minimum Kabupaten, yang tentu saja berbeda-beda, dan selama ini tingkat kesejahteraan Perangkat Desa yang minim memunculkan tuntutan peningkatan kesejahteraan bagi Perangkat Desa. Pemerintah betul-betul tidak berdaya menghadapi tuntutan kesejahteraan Perangkat Desa, meski pemerintah sudah mempekerjakan mereka sebagai aparat negara.

72

commit to user

lxxxix

Tidak adanya sumber pendapatan yang memadai seperti yang dikemukakan oleh Sudu dan Tahir di atas, menjadi suatu problematika yang rumit yang tentunya menjadi tugas Pemerintah untuk memikirkan bagaimana nasip abdi negara yang dalam hal ini tentu saja Perangkat Desa yang telah mengabdikan dirinya kepada negara akan tetapi kesejahteraannya sangatlah rendah dibandingkan dengan abdi negara lain yang berkedudukan sebagai PNS seperti Sekretaris Desa (Sekdes) yang secara jelas dan nyata merupakan partner kerja dalam suatu Pemerintahan Desa. Hal ini tentunya yang memicu kecemburuan Perangkat Desa terhadap Sekdes sehingga mereka mengharap agar kesejahteraannya diperhatikan oleh Pemerintah dengan upaya pengangkatan Perangkat Desa menjadi PNS.