Tinjauan tentang Perkembangan Desa di Indonesia

b. Perkembangan Desa dari Aspek Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan aspek yuridis formal, perkembangan Desa di Indonesia dapat ditelusuri melalui implementasi berbagai produk perundang-undangan yang mengatur tentang Desa, mulai dari Pemerintahan Kolonial Belanda, sebelum masa kemerdekaan hingga produk hukum Pemerintah Republik Indonesia setelah masa kemerdekaan (Sudu dan Tahir, 2007 : 17).

1) Pemerintahan Kolonial Belanda

Ketentuan yang mengatur khusus tentang Desa pertama kali terdapat dalam Regeringsreglement (RR) Tahun 1854 yaitu Pasal 71 yang mengatur tentang Kepala Desa dan Pemerintah Desa. Sebagai pelaksanaan dari ketentuan tersebut kemudian Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan peraturan Inlandse Gemeente Ordonantie (IGO) pada tahun 1906, yaitu peraturan dasar mengenai Desa khususnya di Jawa dan Madura. IGO pada dasarnya tidak membentuk Desa, melainkan hanya memberikan landasan bentuk pengakuan atas adanya Desa sebelumnya. Untuk Desa-desa di luar Jawa dan Madura diatur sendiri antara lain :

a) Stbl. 1914 No. 629, Stbl. 1917 No. 223 juncto Stbl.

1923 No. 471 untuk Amboina;

b) Stbl. 1918 No. 677 untuk Sumareta Barat;

c) Stbl. 1919 No. 453 untuk Bangka;

18

commit to user

xxxv

d) Stbl. 1919 No. 1814 untuk Palembang;

e) Stbl. 1922 No. 574 untuk Lampung;

f) Stbl. 1923 No. 469 untuk Tapanuli;

g) Stbl. 1924 No. 75 untuk Belitung;

h) Stbl. 1924 No. 275 untuk Kalimantan;

i) Stbl .1931 No. 6 untuk Bengkulu; j) Stbl. 1931 No. 138 untuk Minahasa.

Peraturan-peraturan tersebut dirangkum dalam Inlandse Gemeente Ordonantie Buitengewesteen (IGOB) yang artinya IGO untuk luar Jawa dan Madura, disingkat IGOB Tahun 1938 No. 490 (Sudu dan Tahir, 2007 : 18).

2) Pendudukan Militer Jepang

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942 yang dikeluarkan oleh Penguasa Militer Jepang pada waktu itu, mengamanatkan tidak adanya perubahan yang berarti terhadap peraturan yang ada sebelumnya mengenai Desa sepanjang tidak bertentangan dengan aturan pamerintahan militer Jepang. Satu-satunya peraturan mengenai Desa yang dikeluarkan oleh Penguasa Militer Jepang adalah Osamu Seirei No. 7 Tahun 2604 (1944). Perturan ini hanya mengatur dan merubah pemilihan Kepala Desa (Ku-tyoo) yang menetapkan masa jabatan Kepala Desa menjadi 4 (empat) tahun (Sudu dan Tahir, 2007 :19).

3) Pasca Kemerdekaan

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945)

Sejak awal kemerdekaan Pemerintah Indonesia telah memberikan pengakuan terhadap kedudukan dan keberadaan Desa. Dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945 Nomor Romawi II disebutkan bahwa :

19

commit to user

xxxvi

Dalam Teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbestuurundelandschappen dan Volksgemeenschappen seperti Desa di Jawa dan Bali. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Kesatuan Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan Negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut.

Pengakuan UUD 1945 tersebut kemudian dipertegas lagi melalui Amandemen II Pasal 18B yang berbunyi :

(1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

b) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 tentang Undang-Undang Pokok Pemerintahan Daerah

Dilihat dalam pasal 1 Undang-Undang ini, telah mengarahkan Desa (dan kota kecil) negeri, marga dan sebagainya, menjadi Daerah Otonom Tingkat III, yaitu:

Negara Indonesia disusun dalam 3 tingkatan yaitu provinsi, kabupaten (kota besar) dan desa (kota kecil) negeri, marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

20

commit to user

xxxvii

c) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-

Pokok Pemerintahan Daerah.

Meskipun dalam Undang-Undang yang mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di daerah ini disebutkan tentang kemungkinan dibentuknya Daerah Otonom III, namun tidak ada rincian yang jelas yang mengatur tentang hal tersebut. Sedangkan menyangkut hal yang berkaitan dengan dengan Desa, tidak diatur sama sekali.

d) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja Sebagai Bentuk Peralihan Untuk Mempercepat Terwujudnya Daerah Tingkat III Di Seluruh Wilayah Republik Indonesia Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 menyebutkan bahwa :

Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertantu batas-batas daerahnya, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta bendanya sendiri.

Substansi terpenting dari materi Undang- Undang ini adalah tentang peningkatan Desapraja menjadi Daerah Tingkat III. Berdasarkan usul Pemerintah Daerah Tingkat I dan II kepada Menteri Dalam Negeri untuk meningkatkan satu atau beberapa Desapraja dalam daerahnya untuk menjadi Daerah Tingkat III.

e) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang

Pemerintahan Desa

21

commit to user

xxxviii

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa merupakan produk hukum Pemerintah Orde Baru yang dipandang sangat condong menopang Orde Baru dengan politik stabilitas dan sentralisasinya, sehingga menghambat demokratisasi masyarakat Desa karena adanya upaya penyeragaman pengaturan masyarakat desa.

f) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

Pemerintahan Daerah

Dalam pasal 1 huruf (o) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 disebutkan bahwa : Desa atau yang disebut dengan nama lain,

selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

g) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah

Menurut Undang-Undang ini, Desa diberi pengertian sebagai berikut :

Desa adalah suatu masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Perkembangan Desa dilihat dari aspek pengaturannya dalam peraturan perundang-undangan seperti yang telah disebutkan di atas,

22

commit to user

xxxix

dapat dijelaskan dengan tabel di bawah ini (Sudu dan Tahir, 2007 : 23).

Tabel. 1 Perkembangan Desa menurut Dimensi Peraturan Perundang-

undangan di Indonesia

No. Dimensi Waktu

Produk Hukum

Substansi

1. 1906-1942 (Kolonial Belanda)

Inlandse

Gemeente

Ordonantie (IGO) Stbl.

83 Tahun 1906

Desa di Jawa dan Madura

2. 1938-1942 (Kolonial Belanda)

Inlandse

Gemeente

Ordonantie Buitengeweesten (IGOB) Stbl. 490 Tahun 1938

Desa di luar Jawa dan Madura

3. 1942-1945 (Militer Jepang)

UU No. 1 Tahun 1942 Osamu Seirei

IGO dan IGOB masih berlaku

4. 1948-1965 (Pemerintah RI)

UU No. 22 Tahun 1948

Kemungkinan Desa sebagai Daerah Tingkat III

5. (Pemerintah RI) UU No. 1 Tahun 1957

6. 1965-1979 (Pemerintah RI)

UU No. 19 Tahun 1965

Desapraja

7. 1979-1999 (Pemerintah RI)

UU No. 5 Tahun 1979

Desa (sebutan secara beragam)

8. 1999-sekarang (Pemerintah RI)

UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 32 Tahun 2004 jo. UU No. 12 Tahun 2008

Desa / disebut dengan nama lain

commit to user

xl

c. Urgensi Pengembangan Keorganisasian Pemerintah Desa

Negara-negara berkembang yang sedang membangun bangsanya seringkali dihadapkan pada dilema pilihan antara pertumbuhan dengan pemerataan, antara pembangunan kelas menengah di perkotaan dengan pembangunan sektor pedesaan, antara pembangunan materi dengan non materi, ataupun antara pembangunan yang menitikberatkan bidang ekonomi dengan non ekonomi. Pilihan prioritas pembangunan suatu bangsa ditentukan sendiri oleh bangsa bersangkutan berdasarkan atas kesepakatan antara infrastruktur dan suprastruktur politiknya melalui mekanisme tertentu, dengan berlandaskan pada ideologi dari negara bersangkutan. Secara lebih luas lagi, prioritas pembangunan bangsa seringkali ditentukan oleh para elit yang sedang berkuasa (Sudu dan Tahir, 2007 : 41).

Menurut Schumacher persoalan pokok yang dihadapi oleh negara- negara berkembang terletak pada dua juta desa yang miskin dan terbelakang. Schumacher berpendapat bahwa “Selama beban hidup di

pedesaan tidak dapat diringankan, masalah kemiskinan di dunia ini tidak akan dapat diselesaikan, dan mau tidak mau pasti akan lebih memburuk. Saya yakin bahwa dari berbagai sebab kemiskinan, faktor-faktor material seperti kekurangan kekayaan alam, atau tak ada modal, tak cukup prasarana hanya merupakan sebab kedua saja. Sebab-sebab utamanya adalah k ekurangan di bidang pendidikan, organisasi dan disiplin” (Schumacher dalam Sudu dan Tahir, 2007 : 42).

Dari pandangan Schumacher sebagaimana dikemukakan di atas, dapat diketahui adanya tiga sebab utama kemiskinan di pedesaan yang ternyata berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia serta wadah kerjasama antar mereka. Pendapat tersebut juga sejalan dengan pandangan Johnston dan Clark (dalam Karsyno dan Stepanek, 1985 : 218) yang mengatakan adanya tiga daerah lingkup kegagalan dalam program pembangunan desa. Salah satunya adalah kegagalan menciptakan organisasi yang tepat guna untuk memecahkan masalah pada tingkat lokal

24

commit to user

xli

ini pada dasarnya merupakan “struktur perantara” (mediating structure), yakni lembaga yang berdiri di antara individu dalam kehidupan pribadinya dengan lembaga-lembaga besar dalam kehidupan umum (Berger dan Neuhaus dalam Korten dan Syahrir, 1988 : 338). Permasalah yang muncul di desa semakin kompleksitas sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi masyarakat desa yang berubah dengan cepat sejalan dengan perkembangan zaman. Untuk memahami perubahan sosial, Parsons mengembangkan kerangka model A-G-I-L yaitu empat persyaratan fungsional yang harus dipenuhi oleh sistem sosial meliputi : (Parsons dalam Sudu dan Tahir, 2007 : 46)

1)

A – Adaptation; menunjuk pada keharusan bagi sistem sosial untuk menghadapi lingkungan. Adaptasi ini menyangkut dua

dimensi permasalahan. Pertama, harus ada penyesuaian dari sistem terhadap “kondisi tindakan”, yakni suatu tuntutan kenyataan yang keras dan yang tidak dapat diubah, yang datang dari lingkungan. Kedua, adanya transformasi aktif dari situasi sebagai “cara untuk memperoleh alat untuk mencapai tujuan”.

2)

G – Goal Attainment; merupakan persyaratan fungsional yang muncul berdasarkan pandangan bahwa setiap tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuan tertentu. Dalam sistem yang

diutamakan adalah tujuan bersama bukan tujuan individu.

3)

I – Integration; merupakan prasyarat yang berhubungan dengan antarhubungan para anggota dalam sistem sosial dengan tujuan supaya sistem sosial berfungsi secara efektif sebagai satu

kesatuan, diperlukan solidaritas di antara induvidu anggota kelompok. Solidaritas dan kerelaan saling berkorban merupakan ikatan emosional yang menjadi perekat bagi keutuhan sistem sosial.

4) L – Laten Pattern Maintenance; pemeliharaan pola-pola yang menetap merupakan konsep yang menunjukkan adanya kemacetan interaksi antar anggota sistem sosial, yang mungkin

commit to user

xlii

disebabkan karena kebosanan atau tekanan. Oleh karena itu harus dikembangkan pola interaksi lainnya yang menetap, guna memulihkan dorongan motivasional dan memperkuat pernyataan terhadap nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam suatu sistem sosial. Pembangunan masyarakat desa sebagai suatu proses perubahan

sosial pada dasarnya adalah upaya untuk memodernisasikan masyarakat desa yang umumnya masih tradisional. Proses perubahan sosial tersebut dapat digambarkan melalui A-G-I-L sebagai berikut : (Parsons dalam Sudu dan Tahir, 2007 : 49) Masyarakat Desa

Masyarakat Desa

Modernisasi

I Gambar. 1 Modernisasi masyarakat desa menurut Model A-G-I-

Teori perubahan dari tradisional menjadi modern disebut modernisasi. Menurut Black, yang dimaksud dengan modernisasi adalah :

Proses mana secara historis lembaga-lembaga yang berkembang secara perlahan disesuiakan dengan perubahan fungsi secara tepat, yang menimbulkan peningkatan dalam hal pengetahuan manusia yang belum pernah dicapai sebelumnya, yang memungkinkan untuk menguasai lingkungannya sehingga menimbulkan revolusi ilmiah (Black dalam Sudu dan Tahir, 2007 : 55).

Ada 3 (tiga) unsur pokok modernisasi yang tergambarkan sebagai segitiga faset yang saling berkaitan, yaitu : (Abraham dalam Sudu dan Tahir, 2007 : 55)

26

commit to user

xliii

Gambar. 2 Segitiga Faset Unsur Modernisasi Menurut Abraham, segitiga faset di atas dapat dijelaskan

sebagai berikut :

A. Struktural

: diferensi struktur kelembagaan

B. Kesikapan (attitudinal) : orientasi individu ke arah maju

C. Prosesual (processual) : spesialisasi fungsional proses sosial Modernisasi desa sebagai upaya pengembangan desa melalui proses yang sadar dan terencana disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang kompleks dengan batasan peraturan perundang-undangan sebagai payung hukum yang dibuat sesuai kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Hal ini sejalan dengan urgensi pembentukan peraturan perundang- undangan yang baru mengenai Desa yang tentunya harus disesuaikan dengan perkembangan zaman seperti yang sekarang ini masih belum jelas nasipnya yakni RUU Desa.

Pemerintah desa yang diberi kepercayaan masyarakat tidak cukup mempunyai kewenangan untuk berbuat banyak. Kedudukan dan bentuk organisasinya yang mendua (ambivalen) yaitu antara bentuk organisasi pemerintah dengan lembaga kemasyarakatan, tidak adanya sumber pendapatan yang memadai, keterbatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut isi rumah tangganya, keterbatasan kualitas dan kuantitas personilnya, merupakan sebagian

Prosesual (Processual)

27

commit to user

xliv

kendala yang menghambat kinerja Pemerintah desa (Sudu dan Tahir, 2007 : 43).

d. Proyeksi Pengembangan Desa

Kedudukan Desa sebenarnya tidak secara eksplisit disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Desa, namun secara implisit dapat disimpulkan melalui materi yang diatur pada Pasal 126 ayat (3), yakni tugas Camat menyelenggarakan tugas umum pemerintahan, antara la in butif f disebutkan “membina penyelenggaraan pemerintahan desa dan/atau kelurahan”. Lebih lanjut Bagian Penjelasan

Butir 10, tentang Desa dijelaskan bahwa Kepala Desa pada dasarnya bertanggungjawab kepada rakyat desa yang prosedur pertanggung- jawabannya disampaikan kepada Bupati atau Walikota melalu Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawab dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap memberi peluang kepada masyarakat melalui BPD untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban yang dimaksud.

Melalui perjelasan di atas, maka gambaran kedudukan Desa menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dapat dijelaskan sebagai berikut : (Sudu dan Tahir, 2007 : 76)

28

commit to user

xlv

Gambar. 3 Kedudukan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Keterangan : ................. : garis koordinasi - - - - - - - - : garis pembinaan dan pengawasan

Pengembangan desa secara eksplisit tertuang dalam Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yaitu menggambarkan adanya 2 (dua) jenis bentuk desa sebagaimana diuraikan dalam bagian Penjelasan Undang-Undang tersebut :

Undang-Undang ini mengakui otonomi yang dimiliki oleh desa ataupun dengan sebutan lainnya dan kepala desa melalui pemerintah desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari Pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedangkan terhadap desa di luar desa geneologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti desa yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, ataupun heterogen, maka

Pemerintah Pusat

Kelurahan

Kabupaten/

Kota

Desa

Provinsi

Kecamatan

29

commit to user

xlvi

otonomi akan diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan dari desa itu sendiri.

Sebutan desa geneologis tidak lain dimaksudkan untuk mewakili desa-desa asli yang telah ada, apakah menurut teori pembentukannya sebagai desa geneologis, teritori, ataupun campuran. Sedangkan desa yang bersifat administratif adalah desa-desa dengan ciri administratif yang lebih dominan dan otonominya semu karena dibentuk oleh pemerintah supra desa dengan alasan pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, atau heterogen.

Berdasarka uraian di atas, maka dapat disimpulkan bentuk desa dengan masing-masing kerakteristiknya, yaitu : (Sudu dan Tahir, 2007 : 77-78)

1) Desa Asli Karakteristik dari bentuk desa ini adalah antara lain ada sejak dahulu kala/sebelum kemerdekaan, otonomi asli lebih dominan, Self governing Community, kekerabatan tinggi, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat homogen, sifat kawasannya : perdesaan dan perkotaan, dan sebagainya. Bentuk desa seperti ini dapat dilihat sebagaimana Desa Adat di Bali, atau Nagari di Minangkabau, atau beberapa desa di Jawa dan Madura, yakni Desa dengan

bentuk

Zelfbestuurendelandschappen dan Volksgemeenschappen , sebagaimana yang disebut dalam Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Desa Administratif Karakteristik dari bentuk desa ini adalah anatra lain dibentuk oleh Pemerintah supra desa dan setelah kemerdekaan, otonomi pemberian lebih dominan, quasi self governing community, merupakan

kesatuan

masyarakat mulai heterogen/pluralistik/majemuk, sifat kawasannya perdesaan dan

30

commit to user

xlvii

perkotaan, dan sebagainya. Bentuk desa seperti ini adalah desa-des yang dibentuk karena pemekaran desa ataupun karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk, atau heterogen.

Konsekuensi dari hal ini adalah akan terdapat 3 (tiga) jenis sub sistem pemerintahan yang terendah, yaitu : (Sudu dan Tahir, 2007 : 78)

a) Kelurahan;

b) Desa Administratif; dan

c) Desa Asli

31

commit to user

xlviii

Tabel. 2 Alternatif Bentuk Sub Sistem Pemerintahan Terendah dan

Desa Administratif

Desa Asli

Penduduk

Sangat heterogen (kurang dari

25% penduduk asli)

Cenderung heterogen (kira-kira 50% penduduk asli)

Homogen (lebih dari 75% penduduk asli)

Sifat wilayah/teritori

Perkotaan

Perkotaan dan

perdesaan

Perkotaan dan perdesaan

Tata kehidupan

-partisipasi

rendah -kekerabatan

rendah -bukan

kesatuan masyarakat hukum atau

hukum adat

-partisipasi sedang

-kekerabatan

sedang -kesatuan masyarakat hukum (rechtgemeenschap)

-partisipasi tinggi -kekerabatan tinggi -kesatuan masyarakat adat (adatrecht-ge- meenschap)

Otonomi

Tidak ada

Ada, berasal dari

pemberian pemerintah

supradesa

Ada, berasal dari hak-hak

tradisional/asli

Kedudukan

Perangkat

daerah Kab/Kota

Self governing community semu

Self governing community

Pembentukan

Dibentuk

oleh pemerintah

supra desa

Dibentuk oleh pemerintah supra

desa

Ada sejak dulu

(Sudu dan Tahir, 2007 : 78-79)