PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Mediasi Ombudsman dalam Menyelesaikan Laporan dari Masyarakat yang Terkena Dampak Pembangunan

SUTT 150kV Bantul Wonosari

Ombudsman merupakan Lembaga Negara yang kewenangannya mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang di selenggarakan oleh penyelenggara negara maupun pemerintahan. Pendirian Ombudsman didasarkan pada disahkannya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Sebagai Lembaga Negara yang tugas dan fungsinya mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, Ombudsman mempunyai peran penting dan posisi strategis dalam peningkatan kualitas pelayanan publik. Sasaran pengawasan Ombudsman adalah pemberian pelayanan oleh pejabat atau aparat penyelenggara negara. Salah satu metode pengawasan yang digunakan adalah pelayanan berbasis masyarakat dengan cara menerima laporan dari masyarakat mengenai tindakan maladministrasi yang dilakukan penyelenggara negara. Hal ini dilakukan mengingat masyarakat merupakan pihak yang bersentuhan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga data mengenai perbaikan yang perlu dilakukan lebih mutakhir dan sesuai dengan kondisi lapangan. Penanganan laporan dari masyarakat tersebut juga harus dilakukan dengan prosedur yang singkat dan sederhana agar lebih efektif dan efisien, salah satunya dengan menerapkan metode yang metode mediasi dalam menyelesaikan laporan masyarakat tersebut.

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya Ombudsman mendasarkan tindakannya pada Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman (selanjutnya disebut Undang-Undang No. 37 Tahun 2008), Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik (selanjutnya disebut Undang- Undang No. 25 Tahun 2009), serta khusus dalam menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk Ombudsman mempunyai acuan berupa Surat Keputusan

Ombudsman yang dikeluarkan pada tanggal 26 Desember 2006, dan Peraturan Ombudsman Republik Indonesia Nomor 002 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan yang dikeluarkan pada tanggal 29 Desember 2006 (selanjutnya disebut Peraturan Ombudsman No.2 Tahun 2009) Ketika dikeluarkan Surat Keputusan No.029/KON-SK/XII/2006 sebagai SOP Penanganan Laporan, Ombudsman masih merupakan Komisi yang didirikan berdasarkan Keppres No. 44 tahun 2000 tentang Komisi Ombudsman Nasional. Setelah Ombudsman secara struktural mengalami penguatan kelembagaan menjadi Lembaga Negara yang pendiriannya didasari oleh Undang-Undang No.

37 Tahun 2008 dan penguatan kewenangan dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009, beberapa bagian dari surat tersebut yang dinilai relevan masih digunakan, sementara yang sudah tidak relevan tidak digunakan. Bagian tersebut antara lain:

1. Bab I, mengenai Administrasi laporan yang berisi tentang Registrasi Laporan, Seleksi dan Pemilihan Laporan, dan Resume Laporan.

2. Bab II, mengenai Investigasi yang berisi tentang Batasan Umum, Prasyarat, Metode, Tahapan Investigasi, Kesimpulan, Laporan Investigasi

3. Bab III, mengenai Pasca Investigasi yang berisi tentang: Mediasi dan Konsiliasi

4. Bab IV, mengenai Rekomendasi

5. Bab V, sebagian sudah tidak digunakan yaitu Pembagian Bidang Tugas, sementara untuk bagian alur penanganan Laporan sampai saat ini masih digunakan sebagai acuan.

Peraturan perundang-undangan dan regulasi diatas digunakan sebagai acuan setiap anggota dan asisten Ombudsman dalam menangani dan menyelesaikan setiap laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman, termasuk juga dalam menangani Laporan dari warga Desa Nglegi, Desa Beji, Desa Bunder, dan Desa Salam, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul, DI Yogyakarta yang lahannya dilewati jalur transmisi SUTT 150kV, Bantul-Wonosari.

1. Penanganan Laporan dari Masyarakat yang Terkena Dampak Pembangunan SUTT 150KV Bantul Wonosari sebelum Mediasi

Warga Desa Nglegi, Desa Beji, Desa Bunder, dan Desa Salam, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (selanjutnya disebut warga), melalui kuasa hukumnya menyampaikan Laporan kepada Ombudsman sebanyak dua kali. Laporan pertama disampaikan kepada Ombudsman RI Perwakilan DIY-Jateng pada tanggal 6 Oktober 2010, laporan tersebut berisi keluhan atas sikap PT. PLN Persero Prokitring Jateng-DIY yang dinilai warga sebagai tindakan Maladministrasi dalam pelayanan. Laporan Kedua disampaikan kepada Ombudsman RI Pusat di Jakarta pada tanggal 7 Juni 2011 setelah laporan pertama ditutup oleh Ombudsman karena terhadap substansi laporan pertama yang diajukan tersebut dianggap sudah selesai karena Terlapor sudah memperbaiki keluhan Pelapor.

a. Penanganan Laporan Pertama dengan Substansi Laporan berupa Keluhan Pelayanan

Pada laporan pertama warga desa Kecamatan Pathuk yang disampaikan pada tanggal 6 Oktober 2010 mengungkapkan bahwa sudah beberapa kali warga menyampaikan surat kepada PT. PLN (Persero) Prokitring DIY-Jateng untuk meminta penjelasan mengenai pemberian ganti rugi tanaman dan diskusi ulang mengenai besar nilai kompensasi tanah dan bangunan yang dilewati proyek pembangunan jaringan transmisi SUTT 150 kV Bantul-Wonosari oleh PT. PLN (Persero) Unit Pelaksana Konstruksi Jaringan Jawa Bali III, akan tetapi permintaan warga tersebut tidak mendapatkan tanggapan sebagaimana mestinya. PT. PLN (Persero) Prokiting Jateng-DIY semula tidak mau bertemu dengan warga beserta kuasa hukumnya untuk memberikan penjelasan dan melakukan diskusi ulang karena menganggap permasalahan pemberian ganti rugi dan kompensasi tersebut telah selesai dibayarkan pada tahun 2008 dan bagi warga yang belum mau menerima ganti rugi dan kompensasi tersebut telah di konsinyasi ke Pengadilan Negeri Wonosari. Disisi lain warga Pada laporan pertama warga desa Kecamatan Pathuk yang disampaikan pada tanggal 6 Oktober 2010 mengungkapkan bahwa sudah beberapa kali warga menyampaikan surat kepada PT. PLN (Persero) Prokitring DIY-Jateng untuk meminta penjelasan mengenai pemberian ganti rugi tanaman dan diskusi ulang mengenai besar nilai kompensasi tanah dan bangunan yang dilewati proyek pembangunan jaringan transmisi SUTT 150 kV Bantul-Wonosari oleh PT. PLN (Persero) Unit Pelaksana Konstruksi Jaringan Jawa Bali III, akan tetapi permintaan warga tersebut tidak mendapatkan tanggapan sebagaimana mestinya. PT. PLN (Persero) Prokiting Jateng-DIY semula tidak mau bertemu dengan warga beserta kuasa hukumnya untuk memberikan penjelasan dan melakukan diskusi ulang karena menganggap permasalahan pemberian ganti rugi dan kompensasi tersebut telah selesai dibayarkan pada tahun 2008 dan bagi warga yang belum mau menerima ganti rugi dan kompensasi tersebut telah di konsinyasi ke Pengadilan Negeri Wonosari. Disisi lain warga

Penanganan Ombudsman terhadap laporan yang masuk dari warga desa tersebut secara garis besar malalui 4 tahapan sebagaimana diatur dalam SOP Penanganan Laporan dan Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009. Tahapan penanganan Laporan masyarakat tersebut terdiri dari Tahap Administrasi, Tahap Klarifikasi, Tahap Rekomendasi dan Tindak Lanjut, serta terakhir adalah Tahap Monitoring. Secara garis besar alur penanganan laporan di Ombudsman dapat digambarkan sebagai berikut:

Pelapor

Registrasi

Seleksi Administrasi

Seleksi Substansi

Rapat Anggota

Mediasi/ Konsiliasi

Terlapor Rekomendasi Ketua

Administrasi

Klarifikasi

Rekomendasi dan Tindak Lanjut

Monitoring

2 hari 7 hari

Bukan 2 hari kewenangan

3 hari 5 hari

3 hari

Arsip

Bagan 2. Alur Penanganan Keluhan Masyarakat

Sumber: Surat Keputusan No.029/KON-SK/XII/2006

Pada tahap administrasi, laporan diseleksi dan dipilah. Seleksi ini merupakan seleksi administratif untuk mengetehui kelengkapan laporan dan mengetahui apakah laporan tersebut sudah memenuhi syarat formil dan materiil. Syarat formil sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 Peraturan Ombudsman No.2 Tahun 2009 berupa kelangkapan formil yang berisi data-data pendukung laporan yaitu identitas lengkap, uraian keluhan, uraian kerugian, permintaan penyelesaian yang diajukan, uraian bahwa sebelumnya pernah menyampaikan keluhan kepada instansi terkait, tempat dan waktu laporan, serta tanda tangan. Kelengkapan laporan juga diperlukan untuk membantu mengetahui masalah yang sebenaranya terjadi dan membantu menemukan solusi dari masalah tersebut. Sedangkan syarat materiil laporan lebih mengacu kepada syarat yang harus dipenuhi isi atau substansi laporan. Syarat materiil disebutkan dalam Pasal 5 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009. Lama waktu yang digunakan pada tahap administrasi dibatasi selama 3 hari.

Apabila laporan telah lolos seleksi administrasi maka selanjutnya laporan tersebut masuk kedalam tahap klarifikasi. Klarifikasi dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Permintaan klarifikasi secara tertulis dikirim kepada Pelapor, Terlapor dan/atau atasan Terlapor paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak ditandatangani Ketua Ombudsman atau yang mewakilinya. Pada tahap klarifikasi laporan yang masuk mengalami pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan laporan bertujuan untuk mengetahui apakah laporan tersebut merupakan kewenangan Ombudsman atau bukan. Tahap klarifikasi merupakan tahap dimana Ombudsman melakukan pemeriksaan laporan secara lebih mendalam berdasarkan regulasi yang ada, serta mendengarkan permasalahan dari sudut pandang pihak lain yaitu Terlapor maupun atasannya. Klarifikasi juga sering disebut sebagai tahap investigasi, dapat dilakukan melalui pemeriksaan dokumen maupun pemeriksaan lapangan. Klarifikasi bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi secara Apabila laporan telah lolos seleksi administrasi maka selanjutnya laporan tersebut masuk kedalam tahap klarifikasi. Klarifikasi dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan. Permintaan klarifikasi secara tertulis dikirim kepada Pelapor, Terlapor dan/atau atasan Terlapor paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak ditandatangani Ketua Ombudsman atau yang mewakilinya. Pada tahap klarifikasi laporan yang masuk mengalami pemeriksaan pendahuluan. Pemeriksaan pendahuluan laporan bertujuan untuk mengetahui apakah laporan tersebut merupakan kewenangan Ombudsman atau bukan. Tahap klarifikasi merupakan tahap dimana Ombudsman melakukan pemeriksaan laporan secara lebih mendalam berdasarkan regulasi yang ada, serta mendengarkan permasalahan dari sudut pandang pihak lain yaitu Terlapor maupun atasannya. Klarifikasi juga sering disebut sebagai tahap investigasi, dapat dilakukan melalui pemeriksaan dokumen maupun pemeriksaan lapangan. Klarifikasi bertujuan untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya terjadi secara

Tahap selanjutnya adalah tahap Rekomendasi dan Tindak Lanjut. Tahap ini merupakan tahap setelah dilakukan investigasi dan diperoleh kesimpulan dari laporan yang diajukan tersebut. Kesimpulan dari laporan dapat berupa terbukti atau tidak terbukti melakukan maladministrasi, permasalahan bukan merupakan kewenangan Ombudsman, atau permasalahan sudah diselesaikan pelapor. Bila terbukti melakukan maladministrasi maka akan diterbitkan rekomendasi kepada atasan terlapor atau bisa juga dilakukan tindak lanjut sesuai dengan uraian penyelesaian yang diinginkan Pelapor. Bila tindakan maladministrasi tidak terbukti, permasalahan sudah dilakukan tindak lanjut, dan permasalahan bukan merupakan kewenangan Ombudsman maka hal tersebut diberitahukan kepada Pelapor secara resmi melalui surat dan kemudian laporan ditutup.

Berdasarkan wawancara dengan Asisten Penanganan Laporan Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng, Jaka Susila W. pada tanggal 9 Juli 2012. Laporan dari warga desa Kecamatan Pathuk tersebut setelah mengalami seleksi administrasi dinilai telah memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan, maka terhadap laporan tersebut bisa dilakukan pemilahan. Substansi dari laporan tersebut berupa keluhan masyarakat atas sikap PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY yang dinilai melakukan maladministrasi pelayanan karena tidak memberikan tanggapan sebagaimana mestinya atas permintaan penjelasan dan diskusi ulang yang disampaikan warga. Karena substansi laporan merupakan keluhan tindakan Maladministrasi yang dilakukan Penyelenggara negara yaitu PT.PLN (Persero) maka Ombudsman berwenang untuk menangani laporan tersebut. Setelah tahap registrasi tersebut selesai maka laporan tersebut dapat ditindak lanjuti. Berdasarkan surat yang dikirim Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng kepada kuasa hukum warga pada Berdasarkan wawancara dengan Asisten Penanganan Laporan Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng, Jaka Susila W. pada tanggal 9 Juli 2012. Laporan dari warga desa Kecamatan Pathuk tersebut setelah mengalami seleksi administrasi dinilai telah memenuhi persyaratan administrasi yang ditetapkan, maka terhadap laporan tersebut bisa dilakukan pemilahan. Substansi dari laporan tersebut berupa keluhan masyarakat atas sikap PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY yang dinilai melakukan maladministrasi pelayanan karena tidak memberikan tanggapan sebagaimana mestinya atas permintaan penjelasan dan diskusi ulang yang disampaikan warga. Karena substansi laporan merupakan keluhan tindakan Maladministrasi yang dilakukan Penyelenggara negara yaitu PT.PLN (Persero) maka Ombudsman berwenang untuk menangani laporan tersebut. Setelah tahap registrasi tersebut selesai maka laporan tersebut dapat ditindak lanjuti. Berdasarkan surat yang dikirim Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng kepada kuasa hukum warga pada

1) Melakukan klarifikasi untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya dengan cara meminta penjelasan langsung ke kantor PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY serta meminta data pembayaran dan ganti rugi tanaman pada tanggal 23 November 2010. Pada Pertemuan ini Ombudsman mendengarkan permasalahan dari sudut pandang Terlapor yaitu PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY.

2) Memfasilitasi pertemuan antara PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng- DIY dengan perwakilan warga beserta kuasa hukumnya pada tanggal

10 Februari 2011. Pertemuan tersebut merupakan prakarsa Ombudsman dengan mengundang Manager PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY dan perwakilan warga desa beserta kuasa hukumnya. Pada pertemuan ini PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng- DIY yang semula tidak mau bertemu dengan warga, memenuhi undangan Ombudsman bertemu dengan warga untuk memberikan penjelasan dan mendengarkan keluhan warga mengenai permbayaran ganti rugi dan kompensasi. Kedua belah pihak menyampaikan permasalahan dari sudut pandang masing-masing pihak dan berdiskusi untuk menyelesaikan masalah tetapi pada pertemuan ini tidak dapat mencapai kesepakatan. Pada pertemuan ini pihak PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY juga belum bisa memperlihatkan data pembayaran ganti rugi dan kompensasi kepada warga.

3) Mendatangi kantor PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY untuk memonitoring dan meminta data pembayaran dan gati rugi tanaman pada tanggal 1 Maret 2011. Hal tersebut dilakukan sebagai tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya dimana pihak PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY menjanjikan akan memberikan data ganti rugi dan kompensasi yang dimaksud.

menunjukkan data pembayaran ganti rugi tanaman yang diminta pelapor pada tanggal 11 Maret 2011 di kantor Ombudsman RI Perwakilan DIY-Jateng.

5) Mengirimkan surat pemberitahuan kepada Pelapor yaitu warga dan kuasa hukumnya pada tanggal 16 Maret 2011 mengenai tindakan yang sudah dilakukan Ombudsman serta memberitahukan bahwa PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY sudah memberikan pelayanan sebagaimana mestinya dengan memberikan penjelasan yang diminta Pelapor.

Setelah beberapa tindakan diatas proses penanganan laporan dari warga desa oleh Ombudsman dianggap sudah selesai. Pada Pasal 37 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 menyebutkan bahwa Permasalahan yang dikeluhkan dianggap telah diselesaikan oleh Terlapor apabila:

1) Terlapor sudah memperbaiki kesalahnnya, atau

2) Terlapor sudah melakukan tindakan sesuai yang diharapkan Pelapor, atau

3) Pelapor telah memperoleh kompensasi.

Hasil dari penyelesaian laporan tersebut adalah Terlapor yaitu PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY sudah melakukan pelayanan dalam bentuk memberikan penjelasan dan data pembayaran ganti rugi dan kompensasi yang diminta oleh warga serta melakukan diskusi dengan warga untuk mendengarkan permasalahan yang dialami warga.

Hasil dari laporan tersebut sebenarnya sudah menjawab keluhan warga mengenai sikap PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY yang dinilai melakukan maladministrasi, karena Terlapor sudah memperbaiki kesalahannya, namun warga masih belum puas terhadap pelayanan yang sudah diberikan PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY.

Warga merasa permasalahan belum selesai karena belum mendapatkan keadilan dalam pembayaran ganti rugi dan kompensasi.

pendiriannya tidak dapat melakukan diskusi ulang, karena permasalahan pembayaran ganti rugi dan kompensasi merupakan kewenangan PT. PLN (Persero) Pusat, sehingga PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng-DIY tidak bisa memberi keputusan mengenai pembayaran ganti rugi dan kompensasi. Memperhatikan pertimbangan dari PT. PLN (Persero) Prokitring Jateng- DIY tersebut, Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng berkoordinasi dengan Ombudsman RI Pusat untuk menjembatani diskusi ulang warga dengan PT. PLN (Persero) Pusat. Meskipun demikian Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng harus menutup laporan pertama karena permasalahan yang dikeluhkan dianggap telah diselesaikan Terlapor. Akan tetapi Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng memberikan saran kepada kuasa hukum dari warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul untuk menyampaikan laporan lagi dengan substansi berbeda. Namun karena kuasa hukum warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul merasa tidak puas dengan penanganan dari Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng sehingga laporan tersebut disampaikan langsung kepada Ombudsman RI Pusat dengan isi substansi laporan yang baru yaitu permintaan untuk dilakukan mediasi.

b. Penanganan Laporan Kedua dengan Substansi Laporan Berupa Permintaan Pelaksanaan Mediasi

Pada laporan kedua, warga tersebut menyampaikan laporan kepada Ombudsman RI Pusat di Jakarta. Pada laporan kedua ini, warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul meminta kepada Ombudsman RI Pusat agar diadakan mediasi dengan PT. PLN (Persero) Pusat guna menyelesaikan sengketa ganti rugi dan kompensasi tersebut. Seperti yang sudah disampaikan diatas laporan tersebut disampaikan kepada Ombudsman pada tanggal 7 Juni 2011.

mengalami seleksi administratif. Setelah laporan tersebut diseleksi dan telah memenuhi syarat formil dan materiil laporan maka laporan tersebut dilakukan seleksi pendahuluan apakah substansi laporan merupakan kewenangan Ombudsman. Substansi yang disampaikan pada laporan kedua adalah permintaan untuk mengadakan mediasi antara warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul yang lahannya dilalui SUTT 150 kV Bantul- Wonosari dengan PT. PLN (Persero) Pusat.

Sebagai Lembaga Negara yang fungsinya adalah mengawasi penyelenggaraan pelayanan pelayanan publik yang diselenggarakan penyelenggara negara, Ombudsman diberikan kewenangan untuk melaksanakan mediasi antara masyarakat dengan Pejabat Pelayanan Publik untuk menyelesaikan laporan atau keluhan masyarakat. Kewenangan Ombudsman untuk menyelenggarakan proses mediasi diberikan oleh Pasal

8 huruf e Undang-Undang No. 37 Tahun 2008, yang menyebutkan bahwa dalam menjalankan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan Pasal 7, Ombudsman berwenang menyelesaikan laporan melalui mediasi dan konsiliasi atas permintaan para pihak.

Dari pasal tersebut kita dapat mengetahui bahwa kewenangan Ombudsman untuk menyelesaikan laporan masyarakat melalui metode mediasi baru timbul ketika proses mediasi tersebut merupakan kehendak kedua belah pihak yaitu Pelapor dan Terlapor. Tanpa kehendak atau persetujuan dari kedua belah pihak atau hanya salah satu pihak saja yang setuju menyelesaikan sengketa secara mediasi maka kewenangan tersebut tidak dapat timbul, sehingga Ombudsman tidak berwenang untuk memaksa para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui mediasi. Kewenangan ini juga terbatas hanya pada saat kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Ombudsman sebagai mediator, sehingga apabila para pihak sepakat mengadakan mediasi dengan menunjuk mediator selain Ombudsman maka kewenangan ini juga tidak timbul. Pasal diatas juga menjelaskan bahwa Ombudman memberikan Dari pasal tersebut kita dapat mengetahui bahwa kewenangan Ombudsman untuk menyelesaikan laporan masyarakat melalui metode mediasi baru timbul ketika proses mediasi tersebut merupakan kehendak kedua belah pihak yaitu Pelapor dan Terlapor. Tanpa kehendak atau persetujuan dari kedua belah pihak atau hanya salah satu pihak saja yang setuju menyelesaikan sengketa secara mediasi maka kewenangan tersebut tidak dapat timbul, sehingga Ombudsman tidak berwenang untuk memaksa para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui mediasi. Kewenangan ini juga terbatas hanya pada saat kedua belah pihak sepakat untuk menunjuk Ombudsman sebagai mediator, sehingga apabila para pihak sepakat mengadakan mediasi dengan menunjuk mediator selain Ombudsman maka kewenangan ini juga tidak timbul. Pasal diatas juga menjelaskan bahwa Ombudman memberikan

Selain kewenangan bersyarat diatas, ternyata Ombudsman juga mempunyai kewajiban mengadakan proses mediasi, Pada Pasal 46 ayat (5) Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 melakukan mediasi dan konsiliasi dalam menyelesaikan pengaduan atas permintaan para pihak.". Dari Pasal tersebut dapat kita ketahui jika terdapat pengaduan yang masuk ke Ombudsman dan para pihak yang terlibat didalamnya sepakat untuk mengadakan mediasi, maka Ombudsman tidak boleh menolak permintaan para pihak tersebut untuk melakukan proses mediasi.

Melihat dari kewenangan yang diberikan dari Pasal 8 huruf e Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 diatas maka Ombudsman mempunyai kewenangan untuk menangani laporan masyarakat dengan substansi laporan permintaan untuk melakukan mediasi. Meskipun mempunyai kewenangan untuk melakukan mediasi namun hal tersebut harus tetap memperhatikan karakteristik mediasi yang dapat dilakukan Ombudsman. Pembatasan kriteria substansi permasalahan yang dapat diselesaikan dengan mekanisme mediasi tersebut disesuaikan dengan tugas dan fungsi Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik. Beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu:

1) Kasusnya murni permasalahan administrasi pelayanan seperti masalah pelayanan atas ganti rugi tanah, pelayanan uang pesangon pegawai BUMN/BUMD, kenaikan pangkat, penghitungan masa pensiun, dan sebagainya.

2) Kasusnya tidak mengandung aspek tindak pidana dan korupsi

3) Antara pelapor dan terlapor terdapat perbedaan intepretasi, misalnya perbedaan cara menghitung ganti rugi, perbedaan cara menghitung pesangon, perbedaan penggunaan ketentuan perundangan.

Ombudsman maka proses mediasi dapat dijalankan, sedangkan apabila tidak memenuhi karakteristik seperti yang disebutkan diatas maka Ombudsman tidak dapat melaksanakan proses mediasi untuk menyelesaikan laporan yang disampaikan.

Substansi dalam laporan dari warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul tersebut merupakan kasus murni permasalahan administrasi pelayanan dalam masalah ganti rugi dan kompensasi yang disebabkan perbedaan intepretasi penggunaan peraturan perundangan yang mendasari pembayaran ganti rugi dan kompensasi sehingga menyebabkan perbedaan cara menghitungnya. Pada laporan yang disampaikan juga tidak mengandung aspek korupsi, sehingga laporan tersebut dianggap telah memenuhi kriteria untuk dapat dilakukan mediasi.

Tahap selanjutnya dalam penanganan laporan adalah melakukan klarifikasi. Dalam rangka melakukan tahap Klarifikasi ini Ombudsman mengundang Direktur Utama PT. PLN (Persero) untuk datang ke Kantor Ombudsman RI Pusat di Jakarta pada tanggal 19 Juli 2011. Pada pertemuan tersebut Ombudsman menyampaikan kepada Direktur PT. PLN (Persero) mengenai laporan dari warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul yang meminta kepada Ombudsman diadakan mediasi dengan PT. PLN (Persero) untuk menyelesaikan permasalahan pembayaran ganti rugi dan kompensasi terhadap tanah yang dilalui SUTT 150 Kv Bantul- Wonosari.

Pertemuan ini selain untuk melakukan klarifikasi laporan juga digunakan Ombudsman untuk mendekati pihak Terlapor yaitu PT. PLN (Persero) agar menyetujui untuk diadakan mediasi dengan warga. Pihak PT. PLN (Persero) juga menunjukakan itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sehingga pada pertemuan ini dicapai kesepakatan untuk melakukan mediasi guna mengoptimalkan proses penyelesaian laporan tersebut dengan Ombudsman bertindak sebagai mediator. Pada pertemuan ini juga dicapai kesepakatan pertemuan mediasi pertama akan Pertemuan ini selain untuk melakukan klarifikasi laporan juga digunakan Ombudsman untuk mendekati pihak Terlapor yaitu PT. PLN (Persero) agar menyetujui untuk diadakan mediasi dengan warga. Pihak PT. PLN (Persero) juga menunjukakan itikad baik untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Sehingga pada pertemuan ini dicapai kesepakatan untuk melakukan mediasi guna mengoptimalkan proses penyelesaian laporan tersebut dengan Ombudsman bertindak sebagai mediator. Pada pertemuan ini juga dicapai kesepakatan pertemuan mediasi pertama akan

2. Pelaksanaan Mediasi Ombudsman

Berdasarkan dokumen dan wawancara dengan Pelaksana Tugas Kepala Ombudsman Perwakilan DIY Jateng yang sekaligus bertindak sebagai Co Mediator Budhi Masturi pada tanggal 15 Juni 2012. Pertemuan mediasi antara Warga Desa Nglegi, Desa Beji, Desa Bunder, dan Desa Salam, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan PT. PLN (Persero) terjadi sebanyak 5 kali yaitu pada tanggal 9 Agustus 2011, 11 Oktober 2011, 9 Desember 2011, 26 Januari 2012, dan mencapai kesepakatan pada tanggal 15 Maret 2012. Setelah tercapai kesepakatan para pihak masih mengadakan pertemuan pada tanggal 8 April 2012 untuk menyusun jadwal pelaksanaan kesepakatan. Dari lima pertemuan diatas mediasi yang dihadiri kedua belah pihak sebanyak tiga kali, yaitu pada tanggal 9 Agustus 2011, 11 Oktober 2011, dan 15 Maret 2012. Mediasi tersebut dilaksanakan di Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng. Sedangkan untuk dua pertemuan lainnya adalah pertemuan kaukus antara Ombudsman dengan PT. PLN (Persero) Pusat. Yang bertindak sebagai mediator adalah Anggota Ombudsman, Budi Santoso dengan dibantu beberapa Co Mediator yang merupakan Asisten Ombudsman. Para pihak yang hadir dalam mediasi ini adalah PT. PLN (Persero) Pusat, PT. PLN (Persero) UPK JJB III, Warga Desa Nglegi, Desa Beji, Desa Bunder, Desa Salam, Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dan didampingi pihak Kejaksaan Tinggi Daerah Istimewa Yogyakarta. Berikut ini akan diuraikan pelaksanaan mediasi Ombudsman antara Warga Desa Nglegi, Desa Beji, Desa Bunder, dan Desa Salam, Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul, dengan PT. PLN (Persero).

a. Deskripsi Mediasi Ombudsman

Pengaturan mengenai mediasi Ombudsman terdapat dalam beberapa peraturan. Peraturan tersebut antara lain adalah Undang-Undang No. 37 Tahun 2008, Undang-Undang No. 25 Tahun 2009, Peraturan

pelaksanaan mediasi selain berpedoman kepada peraturan-peraturan tersebut Ombudsman juga menggunakan kebiasaan umum yang berlaku dalam proses mediasi. Mediasi dalam SOP Penanganan Laporan diatur pada Bab III tentang Pasca Investigasi meliputi batasan umum mediasi, kriteria mediasi, dan tahapan mediasi. Sedangkan pada Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 pengaturan mengenai mediasi terdapat pada Pasal 46 sampai dengan Pasal 61. Pengaturan mediasi pada SOP Penanganan Laporan merupakan pengaturan yang sifatnya teknis dalam pelaksanaan proses mediasi, sedangkan pada Peraturan Pemeriksaan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 lebih condong pada pengaturan yang sifatnya umum.

Dalam beberapa peraturan tersebut dapat ditemukan beberapa definisi mengenai mediasi yang dilaksanakan Ombudsman yaitu:

1) Dalam Pasal 1 ayat 10 Undang-Undang No. 25 Tahun 2009 memberikan pengertian mengenai mediasi yang dilaksanakan

Mediasi adalah penyelesaian sengketa pelayanan publik antar para pihak melalui bantuan, baik oleh Ombudsman sendiri

2) Dalam bagian batasan umum pada SOP Penanganan Laporan disebutkan mengenai penger Ombudsman adalah proses penyelesaian sengketa pelayanan umum antara masyarakat dengan pejabat publik yang dilakukan oleh

3) Pada Pasal 1 angka 9 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 memberikan definisi Mediasi oleh Ombudsman adalah proses penyelesaian keluhan masyarakat dengan pejabat badan publik, pejabat badan swasta maupun perseorangan yang dilakukan oleh mediator Ombudsman dengan tujuan untuk memperoleh penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (win-win solution) melalui 3) Pada Pasal 1 angka 9 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 memberikan definisi Mediasi oleh Ombudsman adalah proses penyelesaian keluhan masyarakat dengan pejabat badan publik, pejabat badan swasta maupun perseorangan yang dilakukan oleh mediator Ombudsman dengan tujuan untuk memperoleh penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (win-win solution) melalui

1) Mediasi merupakan proses penyelesaian sengketa atau keluhan masyarakat.

Hal tersebut memperjelas kedudukan proses mediasi dalam Ombudsman bahwa mediasi yang dilaksanakan Ombudsman digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau keluhan masyarakat. Sengketa atau keluhan yang dimaksud adalah khusus pada sengketa yang telah dilaporkan masyarakat kepada Ombudsman tentang tindakan maladministrasi oleh Penyelenggara Negara. Laporan tersebut juga harus memenuhi syarat-syarat laporan agar dapat ditindaklanjuti.

2) Sengketa yang dimaksud adalah khusus pada ranah pelayanan umum atau pelayanan publik.

Unsur ini merupakan pembatasan pada ranah sengketa yang dapat diselesaikan melalui mekanisme mediasi Ombudsman. Ombudsman membatasi penyelenggaraan mediasi hanya pada ranah sengketa pelayanan umum atau pelayanan publik, sehingga Ombudsman tidak melakukan mediasi untuk kasus selain sengketa pelayanan umum. Pada Pembatasan tersebut dilakukan sesuai dengan fungsi Ombudsman dalam mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik.

3) Para pihak yang terlibat dalam mediasi adalah masyarakat dengan pejabat yang bertugas memberikan pelayanan publik baik pejabat badan publik, pejabat badan swasta maupun perseorangan.

Dalam pelayanan publik pihak-pihak yang berhubungan secara langsung adalah pejabat badan publik, pejabat badan swasta maupun perseorangan sebagai pemberi pelayanan publik dengan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Pada saat terjadi hubungan pemberian pelayanan ini sangat dimungkinkan terjadinya tindakan maladministrasi baik berupa kesengajaan maupun kealpaan oleh Dalam pelayanan publik pihak-pihak yang berhubungan secara langsung adalah pejabat badan publik, pejabat badan swasta maupun perseorangan sebagai pemberi pelayanan publik dengan masyarakat sebagai pengguna pelayanan publik. Pada saat terjadi hubungan pemberian pelayanan ini sangat dimungkinkan terjadinya tindakan maladministrasi baik berupa kesengajaan maupun kealpaan oleh

4) penyelesaian sengketa tersebut dilakukan dengan bantuan dari Ombudsman sendiri maupun mediator Ombudsman

Mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang menekankan pada hadirnya pihak ketiga netral untuk membantu para pihak yang bersengketa menemukan solusi yang dapat disepakati kedua belah pihak. Disini yang bertindak sebagai pihak ketiga netral adalah Ombudsman maupun mediator yang dibentuk Ombudsman. Pertimbangan yang mungkin dengan menunjuk Ombudsman sebagai mediator adalah karena sengketa yang terjadi dilaporkan kepada Ombudsman dan sedang dalam penanganan. Para pihak menganggap Ombudsman telah memahami duduk perkara dan kehendak para pihak dalam sengketa tersebut. Ombudsman sebagai lembaga negara yang fungsinya mengawasi penyelenggaran publik dan bertujuan untuk menciptakan good governance melalui pelayanan publik yang baik dinilai sebagai pihak yang netral dalam sengketa.

5) tujuannya untuk memperoleh penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua belah pihak (win-win solution)

Pada proses mediasi sangat dimungkinkan terjadi ketidak seimbangan posisi tawar dimana salah satu pihak lebih kuat dibanding pihak lain. Mediator membantu para pihak membangun komunikasi positif yang menjembatani atau menciptakan saling pengertian antara para pihak. Dengan adanya saling pengertian tersebut maka dapat ditemukan jalan tengah dari sengketa yang disepakati para pihak.

Mediasi sebenarnya merupakan proses lebih lanjut dari negosiasi dimana para pihak yang bersengketa bertemu dan bermusyawarah. Mediator Ombudsman disini hanya membantu para pihak dalam menjaga agar negosiasi antara para pihak didalam proses mediasi dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan kesepakatan yang disetujui para pihak. Mediator Ombudsman sebagai pihak ketiga netral tidak mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan. Dalam mediasi para pihak yang bersengketa mempunyai kewenangan penuh dalam pengambilan keputusan.

b. Tujuan Mediasi Ombudsman

Tujuan mediasi yang dilaksanakan Ombudsman tertuang dalam beberapa peraturan yang menjadi pedoman dalam penyelesaian laporan masyarakat. Menurut Pasal 46 ayat (3) Peraturan Ombudsman No. 2 T mencapai atau menghasilkan penyelesaian yang disepakati dan dapat

tujuan mediasi yang dilaksanakan Ombudsman adalah untuk mencapai atau menghasilkan penyelesaian, dimana penyelesaian dari sengketa yang terjadi tersebut diharapkan dapat disepakati dan diterima para pihak yang bersengketa yakni Pelapor dan Terlapor. Tujuan mediasi tersebut semakin ditegaskan dalam SOP Penanganan Laporan dan juga disebutkan dalam definisi mediasi Ombudsman yang terdapat pada Pasal 1 angka 9 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009. Pada bagian Batasan Umum Mediasi, Bab Pasca Investigasi dalam SOP Penanganan Laporan

penyelesaian yang disepakati dan dapat diterima oleh pihak Pelapor dan

Peraturan Ombudsman No. 2 T Peraturan Ombudsman No. 2 T

i atas permintaan ari bunyi Pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa tujuan mediasi bagi Ombudsman selain untuk mencapai atau menghasilkan penyelesaian yang disepakati dan dapat diterima para pihak yakni Pelapor dan Terlapor juga sebagai upaya untuk menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman.

Mediasi dianggap sebagai cara yang efektif dan effisien dalam menyelesaikan laporan atau keluhan masyarakat khususnya mengenai sengketa pelayanan publik yang terjadi antara masyarakat sebagai pengguna layanan dan Penyelenggara Negara sebagai pemberi layanan. Dalam sengketa pelayanan masyarakat merupakan pihak yang lemah sedangkan Penyelenggara Negara sebagi pihak yang kuat. Dalam sengketa dengan perbedaan kekuatan tersebut Ombudsman yang mempunyai kewenangan untuk melakukan mediasi bertindak sebagai penengah untuk lebih menyeimbangkan posisi kedua belah pihak. Dengan posisi yang lebih seimbang maka penyelesaian yang dihasilkan akan lebih menguntungkan dan dapat diterima kedua belah pihak.

c. Para Pihak Yang Terlibat dalam Proses Mediasi

Dalam melakukan mediasi ini masing-masing pihak menunjuk perwakilannya untuk melakukan negosiasi. Demikian juga yang dilakukan PT. PLN (Persero), karena merupakan lembaga pemerintah maka sebagai perwakilan untuk melakukan mediasi dikirim pejabat yang bertanggung jawab dalam pembayaran ganti rugi baik dari PT. PLN (Persero) Pusat maupun dari PT. PLN (Persero) UPK JJB III. Dari pihak warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul ditunjuk masing-masing tiga orang dari masing-masing desa dengan didampingi kuasa hukum dari warga desa Dalam melakukan mediasi ini masing-masing pihak menunjuk perwakilannya untuk melakukan negosiasi. Demikian juga yang dilakukan PT. PLN (Persero), karena merupakan lembaga pemerintah maka sebagai perwakilan untuk melakukan mediasi dikirim pejabat yang bertanggung jawab dalam pembayaran ganti rugi baik dari PT. PLN (Persero) Pusat maupun dari PT. PLN (Persero) UPK JJB III. Dari pihak warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul ditunjuk masing-masing tiga orang dari masing-masing desa dengan didampingi kuasa hukum dari warga desa

d. Mediator

Dalam pelaksanaan mediasi ini yang ditunjuk sebagai mediator adalah Anggota Ombudsman yaitu Budi Santoso. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai mediator Anggota Ombudsman tersebut dibantu oleh beberapa Asisten Ombudsman baik dari Ombudsman Pusat maupun Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng. Mediator pada proses mediasi ini tidak dipilih dengan penunjukan langsung oleh para pihak namun dilakukan dengan penunjukan secara tidak langsung. Para pihak disini menunjuk lembaga dengan kewenangan mediasi yaitu Ombudsman untuk memediasi sengketa yang terjadi diantara para pihak. Ombudsman ini yang kemudian menunjuk mediator dari kalangan Ombudsman sendiri.

Pada pengertian mediasi Ombudsman diatas telah disebutkan bahwa mediasi Ombudsman dilakukan oleh mediator Ombudsman. Hal tersebut diperkuat dengan ketentuan pada Pasal 48 ayat (1) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 yang Ombudsman adalah Anggota Ombudsman dan/atau Asisten Ombudsman

yang dilakukan Ombudsman tidak menunjuk pihak selain dari Anggota Ombudsman dan/atau Asisten Ombudsman untuk bertindak sebagai mediator. Hal tersebut dapat dipahami karena mediasi Ombudsman mempunyai karakteristik tersendiri berkaitan dengan fungsi Ombudsman dalam mengawasi pelayanan publik, sehingga dalam proses mediasi Ombudsman yang membutuhkan mediator dengan kompetensi pengawas pelayanan publik untuk menyelesaikan sengketa yang dilaporkan.

pribadi melainkan bertindak sebagai wakil dari institusi Ombudsman, sehingga kekuatan mediasi terletak pada Ombudsman itu sendiri bukan terletak pada siapa mediatornya. Kewenangan mediasi yang dimiliki mediator ini berbeda dengan mediasi pada umumnya. Mediator Ombudsman memperoleh kewenangan mediasi untuk menyelesaikan sengketa tidak hanya didapat dari kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa saja, melainkan juga didapat dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 dan Undang-Undang Pelayanan Publik.

Ketentuan pada Pasal 48 ayat (2) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 menyebutkan pengangkatan mediator dilakukan berdasarkan surat tugas dari Ketua Ombudsman. Seperti telah dijelaskan sebelumnya mediator Ombudsman merupakan Anggota Ombudsman dan atau Asisten Ombudsman. Kepala Perwakilan mempunyai kewenangan mutandis bertindak menjadi mediator untuk menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk ke Kantor Perwakilan Ombudsman di daerah. Pada umunya para pihak menyetujui mediator yang diangkat oleh Ketua Ombudsman maupun Kepala Perwakilan yang bertindak sebagai mediator. Hal tersebut karena mediator yang berasal dari Ombudsman merupakan pihak netral dan juga terdapat ketentuan bahwa mediator Ombudsman menghindari konflik kepentingan. Namun apabila para pihak tetap tidak menyetujui mediator yang diangkat tersebut Ombudsman tidak dapat memaksa para pihak untuk tetap melaksanakan mediasi. Para pihak tetap diberi kebebasan untuk memilih apakah akan melaksanakan mediasi atau tidak melaksanakan mediasi. Bila para pihak memilih untuk tidak melaksanakan mediasi maka sengketa tersebut akan diselesaikan dengan mekanisme regular. Mediator Ombudsman mempunyai tugas:

1) Sebelum memulai mediasi Ombudsman memberikan penjelasan awal kepada semua pihak yang hadir mengenai: (1) Penjelasan tentang mediasi Ombudsman

(3) Penjelasan mengenai kasus, hal-hal yang akan dibahas dan hal-hal yang harus dapat diselesaikan serta disepakati para pihak (4) Tahapan yang akan dilalui dalam mediasi

2) Menyususn daftar agenda kesepakatan bersama yang telah dihasilkan dan menjaga kerahasiaan

3) Memastikan para pihak saling menjaga kehormatan dan tidak boleh saling merendahkan

4) Memastikan para pihak memberikan data dan/atau keterangan yang benar

5) Menyusun berita acara setelah mediasi berakhir yang ditandatangani Mediator Ombudsman dan para pihak

6) Setelah mediasi berakhir mediator menyusun dan menyampaikan laporan kepada ketua Ombudsman

Kewenangan mediator:

a) Menjaga dan mengendalikan keadaan bilamana terjadi suasana yang tidak kondusif

b) Memberikan kesempatan yang sama kepada para pihak untuk mengajukan pertanyaan dan pendapat

c) Mediator Ombudsman dapat menambahkan usulannya kedalam daftar agenda yang disusun oleh para pihak

d) Dapat mengadakan pertemuan terpisah kepada masing-masing pihak

e) Jika diperlukan Ombudsman dapat mengusulkan mediasi lanjutan

f) Meminta persetujuan para pihak untuk mengumumkan kesepakatan penyelesaian yang dihasilkan dalam mediasi

e. Tempat dan Biaya Mediasi

Para pihak yang bersengketa yaitu warga desa Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul dan PT. PLN (Persero) atas saran dari Ombudsman sepakat memilih Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng sebagai tempat

Jateng sebagai tempat mediasi berdasarkan beberapa alasan yaitu:

1) Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng dipandang sebagai tempat yang netral karena bukan merupakan milik salah satu pihak. Kantor tersebut merupakan milik pemerintah.

2) Ombudsman bertindak sebagai mediator dalam proses mediasi tersebut.

3) Bila menggunakan Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng lebih hemat biaya. Karena tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk menyewa tempat dan peralatan yang diperlukan. Hal ini sesuai dengan asas dalam Ombudsman yang tidak memungut biaya dalam melakukan penanganan laporan.

Dalam mediasi yang dilakukan Onbudsman berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 dalam penanganan laporan tidak dipungut biaya sehingga dalam mediasi ini tidak dipungut biaya.

f. Tahapan Mediasi

Tahapan dalam mediasi Ombudsman diatur dalam SOP Penanganan Laporan dan Peraturan Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009. Pada Pasal 50 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009, tahap mediasi dibagi dalam enam tahap yaitu:

1) Keputusan Ketua Ombudsman untuk melakukan mediasi

2) Penunjukan mediator Ombudsman

3) Penyusunan rencana pelaksanaan mediasi

4) Verifikasi para pihak yang akan hadir dalam mediasi

5) Pelaksanaan mediasi

6) Dokumentasi dan pelaporan hasil mediasi Tahap mediasi yang diatur dalam Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009. Laporan diatas merupakan tahap penanganan laporan melalui mediasi. Untuk tahapan teknis pelaksanaan mediasi diatur dalam SOP 6) Dokumentasi dan pelaporan hasil mediasi Tahap mediasi yang diatur dalam Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009. Laporan diatas merupakan tahap penanganan laporan melalui mediasi. Untuk tahapan teknis pelaksanaan mediasi diatur dalam SOP

1) Persiapan

a) Persiapan fasilitas dan tempat penyelenggaraan mediasi.

b) Pengaturan tempat sedemikian rupa agar para pihak merasa merasa nyaman dan jangan sampai menimbulkan kesan keberpihakan Mediator Ombudsman pada salah satu pihak.

c) Penerimaan para pihak di tempat penyelenggaraan mediasi dilakukan pada hari yang sama.

2) Perkenalan dan menentukan kerangka

a) Mempersilakan para pihak mengambil tempat duduk yang sudah ditentukan .

b) Kata sambutan, memperkenalkan Mediator dan para pihak, menjelaskan bagaimana tata cara mengemukakan pendapat dan sanggahan yang patut dan sopan.

c) Menjelaskan apa itu mediasi Ombudsman, bagaimana peran Mediator, tahapan yang akan dilalui pada tiap-tiap sesi.

d) Mediator Ombudsman menghindari adanya konflik kepentingan

e) Mediator Ombudsman membuat kesepakatan bersama memilih proses mediasi dan menjaga kerahasiaan.

f) Mediator Ombudsman memastikan bahwa para pihak sepakat memberikan kewenangan kepada mediator untuk mengendalikan keadaan bilamana terjadi suasana yang tidak kondusif.

g) Mediator Ombudsman memastikan para pihak memegang teguh komitmen untuk menjaga kehormatan dan tidak boleh saling merendahkan.

h) Mediator Ombudsman menjelaskan posisinya adalah independen dan tidak berpihak.

i) Mediator Ombudsman membuat catatan dan dokumentasi. j) Mediator Ombudsman mempersilakan para pihak bertanya.

proses mediasi dapat segera dimulai.

3) Mengumpulkan pendapat atau pertanyaan para pihak dan membuat ringkasan

a) Alasan para pihak mengapa bersedia memilih mediasi

b) Mempersilakan para pihak berbicara kepada mediator.

c) Mediator mengendalikan interupsi dari pihak yang keberatan dan mengupayakan agar suasananya relaks dan kondusif.

d) Membuat catatan untuk mendukung proses penyusunan ringkasan

e) Para pihak tidak memberikan tanggapan terhadap pihak lainnya, mereka hanya menyampaikan dengan sudut pandangnya masing- masing.

f) Mediator menampung semua pernyataan dan mengucapkan terima kasih kepada masing-masing pihak.

g) Setelah semua pernyataan didengarkan, sampaikanlah laporan ringkasan dari pernyataan masing-masing pihak dengan urutan: (1) Dengan mengingatkan kembali terhadap fokus dan area

kesepakatan, (2) Menghargai perasaan dan harapan masing-masing peserta, (3) Memastikan bahwa ringkasan yang disusun adalah sudah

akurat.

4) Menyusun Daftar Agenda

a) Mempersilakan masing-masing pihak untuk mengusulkan topik pembicaraan.

b) Menyusun daftar usulan masing-masing pihak yang paling mungkin dilaksanakan sedikitnya tiga sampai empat topik.

c) Merangkai kembali usulan dari masing-masing pihak dan menyusunnya dengan menggunakan bahasa yang positif.

d) Mediator dapat menambahkan gagasannya kedalam daftar yang disusun.

sudah disusun secara final.

5) Eksplorasi

a) Membahas topik yang sudah disepakati secara berurutan dari yang terdahulu, sekarang dan akan datang.

b) Mediator memfasilitasi diskusi antara para pihak tentang masa lalu dan sekarang.

c) Mediator mengarahkan para pihak untuk masing-masing berfikir ke depan bukan kembali ke belakang.

d) Mediator memberikan penafsiran-penafsiran, mencatat penafsiran- penafsiran dari para pihak, merangkum kembali, dan membalikkan peran kepada para pihak (bagaimana kalau pihak A mejadi B, pihak B menjadi A)

6) Pertemuan Terpisah

a) Penjelasan yang diberikan adalah bersifat rahasia, ringkas dan memberikan peluang kepada mediator untuk melihat adakah kemajuan dari tiap-tiap pihak dalam memandang (upaya penyelesaian) permasalahan.

b) Mediator meminta agar pihak lainnya tetap di luar.

c) Mediator mengingatkan kembali bahwa pembicaraan dalam pertemuan harus dirahasiakan, batasan waktu dan tujuan dari pertemuan.

d) Memeriksa kembali bagaimana perasaan para pihak terhadap proses mediasi yang sedang berjalan.

e) Pembicaraan tidak boleh keluar dari agenda utama mediasi.

f) Mediator mengingatkan kembali tentang perlunya merahasiakan hasil pembicaraan karena para pihak akan kembali bertemu dalam satu ruangan untuk melanjutkan mediasi.

7) Menggali beberapa alternatif, memilah-milah, dan negosiasi

a) Curahkan sebanyak mungkin alternatif solusi.

b) Buatlah daftar alternatif yang mungkin dan realistis.

pilihan tersebut dan bila masih mungkin menambah pilihan baru.

d) Memberi saran agar para pihak fokus pada pilihan solusi yang memberikan cakupan penyelesaian secara luas.

e) Mediator meminta masing-masing pihak untuk memeriksa bahwa semua topik yang diagendakan sudah dibahas semua.

f) Mediator mendorong para pihak melakukan negosiasi kepentingannya masing-masing dengan menggunakan parameter yang objektif diantara opsi yang dipilih.

8) Menyusun Kesepakatan

a) Mediator memfasiltasi para pihak untuk membuat kesepakatan yang sifatnya umum, setelah itu baru pada yang lebih spesifik.

b) Kesepakatan haruslah realistis dan dapat diterapkan

c) Termasuk penerapan yang sangat detail dan spesifik seperti misalnya peran para pihak, perilaku dan sebagainya.

d) Mediator menulis kesepakatan-kesepakatan yang dibuat oeh para pihak.

e) Jika diperlukan Mediator memberikan kesempatan kepada para pihak untuk menysunnya pada pertemuan selanjutnya.

f) Dalam pertemuan yang kedua Mediator menyusun review pertemuan sebelumnya.

g) Jika diperlukan Mediator dapat meminta persetujuan kepada para pihak untuk mengumumkan kesepakatan tersebut kepada pihak luar (publik).

9) Mengakhiri Mediasi

a) Para pihak mencapai kesepakatan (1) Mediator Ombudsman memastikan para pihak menandatangani

naskah kesepakatan (perjanjian) penyelesaian masalah mereka. (2) Mediator harus memastikan bahwa para pihak bersedia untuk

memenuhi apa yang telah disepakati.

kerahasiaan. (4) Mediator mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan

partisipasi para pihak. (5) Mediator memastikan bahwa para pihak menyetujui bahwa

proses mediasi sudah berakhir. (6) Mediator menutup mediasi secara resmi.

b) Para pihak tidak mencapai kesepakatan (1) Mediator harus memastikan bahwa meskipun mediasi gagal

mencapai kesepakatan tetapi proses penyelesaian masalahnya telah mengalami kemajuan.

(2) Mediator menjelaskan kepada para pihak tentang penghentian proses mediasi, konsekwensi, alternatif dan sebagainya. (3) Mediator mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan

partisipasi para pihak. (4) Mediator memastikan bahwa para pihak tetap menjaga

kerahasiaan. (5) Mediator menutup mediasi secara resmi.

10) Penutup

a) Mediator Ombudsman memberikan laporan kepada Ketua Komisi Ombudsman Nasional paling lambat 5 (lima) hari setelah Mediasi berakhir.

b) Dalam hal Mediasi gagal dan para pihak tidak berkenan melanjutkan ke tahap Konsiliasi, maka Mediator Ombudsman menyusun draft rekomendasi Ombudsman yang disampaikan bersamaan pada saat penyampaian laporan kepada Ketua Ombudsman.

c) Draft rekomendasi dibahas dan diputuskan dalam rapat Anggota Ombudsman paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Mediator Ombudsman menyampaikan laporan Kepada Ketua Ombudsman.

Ketua Ombudsman rekomendasi sudah harus dikirim

g. Waktu pelaksanaan mediasi

Pertemuan mediasi antara Warga Desa Nglegi, Desa Beji, Desa Bunder, dan Desa Salam, Kecamatan Pathuk, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan PT. PLN (Persero) pertama pada tanggal 9 Agustus 2011 dan mencapai kesepakatan pada tanggal 15 Maret 2012. Apabila dilakukan perhitungan maka pelaksanaan mediasi dari mulai hingga tercapai kesepakatan adalah selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan.

3. Tinjauan Pelaksanaan Mediasi Ombudsman Berdasarkan Norma-Norma Umum Mediasi di Luar Pengadilan dalam Peraturan Perundang- Undangan

a. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Mediasi dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 diatur dalam Pasal 6 ayat (3) sampai dengan Pasal 6 ayat (9). Pada Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 mediasi merupakan proses lanjutan dari negosiasi yang gagal mencapai kesepakatan. Mediasi sebenarnya merupakan proses lebih lanjut dari negosiasi dimana para pihak yang bersengketa bertemu dan bermusyawarah. Namun ketika konfrontasi dalam negosiasi meningkat maka komunikasi tidak bisa berjalan dengan baik sehingga diperlukan pihak ketiga netral untuk membantu memperlancar komunikasi yaitu mediator.

Dalam pengertian mediasi Ombudsman yang terdapat pada Pasal 1 angka 9 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009, terdapat salah satu unsur dalam mediasi Ombudsman yaitu mediasi dilakukan dengan Dalam pengertian mediasi Ombudsman yang terdapat pada Pasal 1 angka 9 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009, terdapat salah satu unsur dalam mediasi Ombudsman yaitu mediasi dilakukan dengan

Mengenai tahapan mediasi ketentuan pada Pasal 6 Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tidak menyebutkan secara rinci mengenai tahap-tahap yang harus dilalui dalam melaksanakan mediasi. Pada Pasal 6 Undang- Undang No. 30 tahun 1999 hanya mensyaratkan para pihak untuk melakukan negosiasi untuk menyelesaikan sengketa, dan apabila negosiasi tersebut gagal mencapai kesepakatan maka para pihak baru dapat melanjutkan pada tahap mediasi. Karena tidak ada pengaturan secara rinci mengenai tahap-tahap mediasi pada peraturan perundang-undangan maka yang digunakan sebagai acuan adalah pendapat para ahli dan tahapan mediasi yang digunakan oleh lembaga mediasi terakreditasi di luar pengadilan.

Pada pasal 6 ayat (3) menjelaskan bahwa mediasi dapat dilaksanakan apabila sudah ada kesepakatan tertulis dari para pihak untuk melakukan mediasi. Permohonan mediasi pada awalnya disampaikan oleh warga melalui kuasa hukumnya secara tertulis kepada Ombudsman dalam bentuk laporan masyarakat. Permohonan tersebut disampaikan hanya dari satu pihak yang bersengketa saja yaitu pihak Pelapor, sedangkan pihak yang lain belum sepakat untuk melakukan mediasi. Namun karena Ombudsman mempunyai kewajiban untuk melakukan mediasi apabila ada laporan masyarakat yang meminta diadakan mediasi, maka Ombudsman selaku mediator harus mendekati pihak lain yaitu PT. PLN (Persero) agar tercapai kesepakatan untuk melaksanakan mediasi. Pendekatan yang Pada pasal 6 ayat (3) menjelaskan bahwa mediasi dapat dilaksanakan apabila sudah ada kesepakatan tertulis dari para pihak untuk melakukan mediasi. Permohonan mediasi pada awalnya disampaikan oleh warga melalui kuasa hukumnya secara tertulis kepada Ombudsman dalam bentuk laporan masyarakat. Permohonan tersebut disampaikan hanya dari satu pihak yang bersengketa saja yaitu pihak Pelapor, sedangkan pihak yang lain belum sepakat untuk melakukan mediasi. Namun karena Ombudsman mempunyai kewajiban untuk melakukan mediasi apabila ada laporan masyarakat yang meminta diadakan mediasi, maka Ombudsman selaku mediator harus mendekati pihak lain yaitu PT. PLN (Persero) agar tercapai kesepakatan untuk melaksanakan mediasi. Pendekatan yang

Penunjukan mediator dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 dilakukan dapat dilakukan melalui dua cara, pertama adalah penunjukan langsung oleh para pihak yang terlibat dalam mediasi. Untuk penunjukan mediator langsung mempunyai batasan waktu 14 (empat belas) harus sudah mencapai kesepakatan. Apabila dalam jangka waktu tersebut mediator tidak berhasil mempertemukan kedua belah pihak atau tidak dapat mencapai kesepakatan maka para pihak dapat menggunakan cara kedua yaitu dengan menunjuk sebuah lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa untuk menunjuk seorang mediator. Ketentuan penunjukan yang berlaku pada mediasi Ombudsman menggunakan cara penunjukan kedua.

Pada mediasi Ombudsman, pihak pelapor menyampaikan permintaan dilakukan mediasi kepada Ombudsman dalam bentuk laporan, maka secara otomatis Ombudsman merupakan lembaga yang ditunjuk pelapor untuk melakukan mediasi. Mediator pada proses mediasi ini tidak dipilih dengan penunjukan langsung oleh para pihak melainkan diangkat oleh lembaga yang disepakati para pihak yaitu Ombudsman sedangkan Ombudsman sendiri bukan merupakan lembaga arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa tetapi mempunyai kewenangan untuk melakukan mediasi. Pengangkatan mediator dilakukan berdasarkan surat tugas dari ketua Ombudsman. Mediator Ombudsman disini bukan bertindak secara pribadi melainkan sebagai perwakilan dari institusi Ombudsman. Kewenangan mediator Ombudsman untuk meyelesaikan sengketa melalui mediasi selain diperoleh dari kesepakatan kedua belah pihak juga didasari oleh Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 2009, sehingga mediator memiliki kekuatan lebih dibandingkan dengan mediator dari penunjukan langsung.

Ketua Ombudsman maupun Kepala Perwakilan yang bertindak sebagai mediator. Hal tersebut karena mediator yang berasal dari Ombudsman merupakan pihak netral dan juga terdapat ketentuan bahwa mediator Ombudsman menghindari konflik kepentingan. Namun apabila para pihak tetap tidak menyetujui mediator yang diangkat tersebut Ombudsman tidak dapat memaksa para pihak untuk tetap melaksanakan mediasi. Para pihak tetap diberi kebebasan untuk memilih apakah akan melaksanakan mediasi atau tidak melaksanakan mediasi. Bila para pihak memilih untuk tidak melaksanakan mediasi maka sengketa tersebut akan diselesaikan dengan mekanisme regular.

Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 menekankan memegang teguh kerahasiaan dalam pelaksanaan mediasi. Kerahasiaan ini juga diterapkan dalam mediasi Ombudsman seperti di tunjukkan pada Pasal 53 ayat (1) Peraturan Ombudsman No. daftar agenda kesepakatan bersama yang telah dihasilkan dan menjaga

Penanganan Laporan. Pada bagian Perkenalan dan Menentukan Kerangka dalam Tahapan Mediasi yang menyatakan Mediator Ombudsman membuat kesepakatan bersama memilih proses mediasi dan menjaga kerahasiaan. Pada Tahap Pertemuan Terpisah juga disebutkan berulang kali mengenai pentingnya para pihak untuk menjaga kerahasiaan.

Mengingat bahwa tujuan pembentukan Ombudsman adalah melakukan perbaikan dalam pelayanan publik, terdapat kekhususan mengenai penerapan kerahasiaan dalam mediasi Ombudsman. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 57 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009, apabila dipandang perlu Ombudsman dapat meminta persetujuan kepada para pihak untuk mengumumkan kesepakatan penyelesaian yang dihasilkan dalam mediasi kepada publik. Meskipun Ombudsman dapat mengumumkan kepada publik namun bukan berarti Ombudsman meninggalkan prinsip kerahasiaan mediasi. Ombudsman hanya

lain yang terjadi pada saat berlangsungnya proses mediasi tetap harus dijaga kerahasiaannya, termasuk dalam hal ini adalah kepentingan- kepentingan tersembunyi para pihak yang terungkap dalam mediasi dan nama-nama pihak yang hadir. Pengumuman hasil mediasi ini juga harus atas ijin para pihak yang bersengketa. Dalam kasus mediasi antara warga desa dengan PT. PLN (Persero) terkait ganti rugi dan kompensasi yang diberikan dalam pembangunan SUTT 150 kV sampai saat ini Ombudsman hanya mengumumkan hasil mediasi kepada masyarakat korban pembangunan SUTT 150 kV Bantul-Wonosari, namun tidak menutup kemungkinan untuk mengumumkan kepada pers apabila permasalahan tersebut sudah selesai.

Mengenai waktu pelaksanaan mediasi Undang-Undang No. 30 tahun 1999 menyebutkan pada Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (6) mempunyai ketentuan yang membatasi waktu pelaksanaan mediasi. Pasal

6 ayat (4) tersebut membatasi jangka waktu mediasi dengan bantuan mediator yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak. Sementara pada Pasal 6 ayat (6) membatasi waktu pelaksanaan mediasi. Pasal 6 ayat (4) tersebut membatasi jangka waktu mediasi dengan bantuan mediator yang ditunjuk lembaga arbitrase dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis. Melihat batasan waktu yang diberikan Undang-Undang No. 30 tahun 1999 tersebut maka pelaksanaan mediasi antara warga desa di Kecamatan Pathuk, gunung Kidul dengan PT. PLN (Persero) yang berlangsung selama kurang lebih 7 (tujuh) bulan telah melebihi batasan waktu yang diberikan sehingga dapat dikatakan tidak sesuai dengan ketentuan tersebut.

Mengenai kesepakatan yang terdapat dalam mediasi, Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang No. 30 tahun 1999 juga mengatur bahwa kesepakatan yang dicapai dalam mediasi dituangkan dalam bentuk tertulis dan

Kecamatan Pathuk, gunung Kidul dengan PT. PLN (Persero) setelah tercapai kesepakatan secara lisan kesepakatan tesebut kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Kesepakatan dalam bentuk tertulis tersebut harus ditandatangani para pihak dan mediator. Hal ini ditunjukkan pada tahap mengakhiri mediasi, apabila tercapai kesepakatan maka mediator harus memastikan para pihak menandatangani naskah kesepakatan penyelesaian masalah mereka sebelum mengakhiri dan menutup mediasi. Penandatanganan kesepakatan oleh kedua belah pihak dilakukan pada hari yang sama dimana warga dengan PT. PLN (Persero) mencapai kesepakatan yaitu pada tanggal 15 Maret 2012. Kesepakatan yang berupa jadwal pelaksanaan kesepakatan hasil mediasi pada tanggal 8 April 2012 juga ditandatangani oleh kedua belah pihak pada hari yang sama. Dengan demikian mediasi yang dilakukan Ombudsman sesuai dengan ketentuan pada Pasal 6 ayat (6) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999.

Pada Pasal 6 ayat (7) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 terdapat ketentuan bahwa penyelesaian sengketa secara tertulis sifatnya final dan mengikat bagi para pihak untuk dilaksanakan dan wajib didaftarkan di Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak penandatanganan. Penyelesaian sengketa yang didapat dari hasil mediasi Ombudsman bersifat final, karena tidak ada upaya banding atau upaya mediasi ulang apabila telah berhasil mencapai kesepakatan. Namun demi memastikan hasil kesepakatan yang didapat melalui mediasi dilaksanakan oleh kedua belah pihak maka Ombudsman melakukan monitoring pelaksanaan hasil mediasi. Apabila ternyata ada pihak yang tidak melaksanakan kesepakatan hasil mediasi yang dicapai maka Ketua Ombudsman dapat menerbitkan Rekomendasi yang sesuai dengan Pasal

36 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2009. Mengenai pendaftaran akta kesepakatan kepada pengadilan negeri tidak belum terdapat peraturan yang dapat menjelaskan apakah kesepakatan yang diperoleh dalam 36 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2009. Mengenai pendaftaran akta kesepakatan kepada pengadilan negeri tidak belum terdapat peraturan yang dapat menjelaskan apakah kesepakatan yang diperoleh dalam

30 Tahun 1999 belum wajib selesai dilaksanakan dalam waktu paling lama

30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran. Karena kesepakatan hasil mediasi tidak didaftarkan pada Pengadilan Negeri maka tidak dapat dihitung batasan waktu yang berlaku dalam pelaksanaan hasil kesepakatan tersebut. Sebenarnya tanpa pendaftaran kesepakatan di Pengadilan Negeri, para pihak masih dapat membuat kesepakatan khusus mengenai tenggat waktu pelaksanaan hasil kesepakatan mediasi. Pada mediasi ini para pihak membuat kesepakatan tersendiri menganai jadwal pelaksanaan mediasi.

Apabila mediasi gagal mencapai kesepakatan Pasal 6 ayat (9) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyarankan para pihak menempuh upaya arbitrase. Ketentuan ini berbeda dengan ketentuan pada Pasal 61 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 apabila mediasi gagal mencapai kesepakatan mediasi para para pihak dapat melanjutkan melakukan konsiliasi apabila sudah disepakati sebelumnya. Namun apabila sebelum proses mediasi tidak terdapat kesepakatan untuk melakukan konsiliasi maka Ombudsman akan menyusun rekomendasi.

b. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (selanjutnya disebut PP No. 54 Tahun 2000) merupakan peraturan yang mengatur mediasi secara lebih terperinci dibandingkan dengan Undang-Undang No. 30 tahun 1999. Pengaturan mediasi dalam Peraturan Pemerintah ini dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan mediasi pada umumnya. Beberapa ketentuan yang terdapat pada PP No. 54 tahun 2000 sesuai dengan Undang-Undang No. 30 tahun Pada Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2000 tentang Lembaga Penyedia Jasa Pelayanan Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan (selanjutnya disebut PP No. 54 Tahun 2000) merupakan peraturan yang mengatur mediasi secara lebih terperinci dibandingkan dengan Undang-Undang No. 30 tahun 1999. Pengaturan mediasi dalam Peraturan Pemerintah ini dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan mediasi pada umumnya. Beberapa ketentuan yang terdapat pada PP No. 54 tahun 2000 sesuai dengan Undang-Undang No. 30 tahun

Pengaturan mengenai penunjukan mediator pada Pasal 20 PP No.

54 tahun 2000 dimana para pihak berhak menunjuk mediator dari lembaga penyedia jasa. Mediator pada proses mediasi ini tidak dipilih dengan penunjukan langsung oleh para pihak melainkan ditunjuk oleh lembaga mediasi yang disepakati para pihak yaitu Ombudsman. Pada mediasi Ombudsman pengangkatan mediator Ombudsman dilakukan berdasarkan surat tugas dari Ketua Ombudsman.

Mediator Ombudsman bukan bertindak sebagai seorang mediator pribadi melainkan bertindak sebagai wakil dari institusi Ombudsman, sehingga kekuatan mediasi terletak pada Ombudsman itu sendiri bukan terletak pada siapa mediatornya. Kewenangan mediasi yang dimiliki mediator ini berbeda dengan mediasi pada umumnya. Mediator Ombudsman memperoleh kewenangan mediasi untuk menyelesaikan sengketa tidak hanya didapat dari kesepakatan kedua belah pihak yang bersengketa saja, melainkan juga didapat dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 dan Undang-Undang Pelayanan Publik.

Ketentuan pada Pasal 48 ayat (2) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 menyebutkan pengangkatan mediator dilakukan berdasarkan surat tugas dari Ketua Ombudsman. Seperti telah dijelaskan sebelumnya mediator Ombudsman merupakan Anggota Ombudsman dan atau Asisten Ombudsman. Kepala Perwakilan mempunyai kewenangan mutandis bertindak menjadi mediator untuk menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk ke Kantor Perwakilan Ombudsman di daerah. Pada umunya para pihak menyetujui mediator yang diangkat oleh Ketua Ombudsman maupun Kepala Perwakilan yang bertindak sebagai mediator. Hal tersebut karena mediator yang berasal dari Ombudsman merupakan pihak netral Ketentuan pada Pasal 48 ayat (2) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 menyebutkan pengangkatan mediator dilakukan berdasarkan surat tugas dari Ketua Ombudsman. Seperti telah dijelaskan sebelumnya mediator Ombudsman merupakan Anggota Ombudsman dan atau Asisten Ombudsman. Kepala Perwakilan mempunyai kewenangan mutandis bertindak menjadi mediator untuk menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk ke Kantor Perwakilan Ombudsman di daerah. Pada umunya para pihak menyetujui mediator yang diangkat oleh Ketua Ombudsman maupun Kepala Perwakilan yang bertindak sebagai mediator. Hal tersebut karena mediator yang berasal dari Ombudsman merupakan pihak netral

Mengenai mediator PP No. 54 tahun 2000 memberikan syarat yang harus dipenuhi seseorang apabila menjadi mediator. Persyaratan tersebut terdapat pada Pasal 15 PP No. 54 tahun 2000. Syarat pertama sebagai mediator adalah disetujui para pihak yang bersengketa pendekatan yang dilakukan mediasi persyaratan ini sama dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999. Pendekatan yang dilakukan agar kedua belah pihak menyetujui Ombudsman bertindak sebagai mediator dilakukan dalam kerangka klarifikasi laporan.

Mengenai persyaratan lain pada Pasal 15 PP No. 54 tahun 2000 yaitu tidak memiliki hubungan keluarga, hubungan kerja serta tidak memiliki kepentingan dengan hasil dan proses mediasi juga diberlakukan pada penunjukan mediator Ombudsman. Pada tahap perkenalan dan menentukan kerangka disebutkan bahwa mediator Ombudsman menghindari adanya konflik kepentingan. Berdasarkan materi Mediasi dan Konsiliasi Ombudsman yang disampaikan pada saat Magang Mahasiswa pada tanggal 11 Januari 2012 oleh Pelaksana Tugas Kepala Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng, Budhi Masthuri bahwa menghindari konflik kepentingan yang dimaksud adalah mediator tidak memiliki hubungan keluarga, hubungan kerja dan tidak memiliki kepentingan dalam proses maupun hasil mediasi. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 15 PP No. 54 tahun 2000 yang menyebutkan mengenai syarat mediator tersebut.

Pasal 21 PP No. 54 tahun 2000 kesepakatan juga mengatur mengenai kesepakatan yang dibuat sebelum mediasi dan harus ditaati para

dimuat dalam kesepakatan yang berlaku sebag dalam pasal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua ketentuan dalam pasal tersebut harus dimuat dalam kesepakatan. Beberapa ketentuan dapat diabaikan misalnya mengenai tempat tinggal para pihak dan mediator. Beberapa ketentuan penting yang merupakan norma kebiasaan dalam mediasi dan sebaiknya tidak diabaikan juga disampaikan dalam tahap perkenalan dan menentukan kerangka untuk menjaga agar mediasi dapat berjalan dengan lancar. Ketentuan tersebut yaitu mengenai kerahasiaan, komitmen untuk saling menghormati dan larangan bagi para pihak untuk saling merendahkan, serta kesediaan para pihak untuk mempercayakan berjalannya mediasi pada mediator. Kesepakatan yang berupa peraturan mediasi tersebut terdapat pada tahap perkenalan dan menentukan kerangka. Pada tahap ini para pihak dan mediator saling memperkenalkan diri, pada tahap ini juga merupakan tahap penjelasan kepada para pihak mengenai mediasi Ombudsman, peran mediator dan membuat kesepakatan yang berlaku sebagai peraturan dalam mediasi. Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis dengan ditandatangani para pihak yang bersengketa untuk menunjukkan komitmen para pihak mematuhi kesepakatan tersebut.

Mengenai waktu pelaksanaan mediasi Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 menyebutkan pada Pasal 6 ayat (4) dan Pasal 6 ayat (6) mempunyai ketentuan yang membatasi waktu pelaksanaan mediasi. Pasal

6 ayat (4) tersebut membatasi jangka waktu mediasi dengan bantuan mediator yang ditunjuk berdasarkan kesepakatan para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh semua pihak. Sementara pada Pasal 6 ayat (6) membatasi waktu pelaksanaan mediasi. Pasal 6 ayat (4) tersebut membatasi jangka waktu mediasi dengan bantuan mediator yang ditunjuk lembaga arbitrase dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari harus tercapai kesepakatan dalam bentuk tertulis. Melihat batasan waktu yang diberikan Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tersebut maka pelaksanaan

Namun apabila melihat ketentuan pada Pasal 21 ayat (2) PP No. 54 Tahun 2000 yang tidak memberikan batas waktu tertentu dan menyerahkan penetapan batas waktu penyelesaian sengketa kepada para pihak, maka mediasi tersebut tidak melanggar ketentuan mengenai batasan waktu mediasi.

Dalam kesepakatan awal mediasi yang berlangsung antara warga dengan PT. PLN (Persero) tidak dicantumkan kesepakatan mengenai batasan waktu pelaksanaan mediasi. Dalam pengaturan mediasi Ombudsman juga tidak ditemukan adanya pembatasan waktu mediasi untuk menyelesaikan sengketa. Sehingga selama para pihak tidak menetapkan batasan waktu tertentu, mediasi dapat terus dilaksanakan sampai dicapai kesepakatan yang disetujui para pihak atau salah satu pihak menarik diri dari proses mediasi ini. Namun mediasi yang tidak mempunyai batasan waktu seperti ini terkesan mengulur-ulur waktu penyelesaian masalah karena tidak adanya jaminan bahwa mediasi tersebut akan mencapai kesepakatan, juga tidak adanya jaminan kesepakatan hasil mediasi pasti akn dilaksanakan para pihak.

Mengenai bentuk kesepakatan Pasal 24 ayat (4) PP No. 54 Tahun 2000 juga mencantumkan bahwa kesepakatan yang dicapai dalam proses mediasi juga harus dituangkan secara tertulis dan ditanda tangani para pihak dan mediator. Dengan demikian maka bentuk kesepakatan yang diperoleh dengan mediasi Ombudsman sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

4. Tinjauan Pelaksanaan Mediasi Ombudsman Berdasarkan Pendapat Ahli

Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mediasi yang berlaku di Indonesia terdiri dari proses mediasi terintegrasi di pengadilan dan proses mediasi diluar pengadilan (I Made Sukadana, 2012:110). Pengaturan untuk proses mediasi di Pengadilan diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008 Mediasi merupakan salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa. Mediasi yang berlaku di Indonesia terdiri dari proses mediasi terintegrasi di pengadilan dan proses mediasi diluar pengadilan (I Made Sukadana, 2012:110). Pengaturan untuk proses mediasi di Pengadilan diatur secara khusus dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2008

Pedoman tahap proses mediasi di luar pengadilan yang bersumber dari pengalaman dan penelitian para praktisi banyak diuraikan dalam kepustakaan atau diajarkan dalam berbagai pelatihan mediasi. Pada umumnya bahan kepustakaan mediasi banyak didapat dari negara- negara yang masyarakatnya telah menggunakan mediasi sebagai pilihan utama dalam menyelesaikan sengketa seperti Amerika, Australia, Inggris, dan Jepang. Kerena mediasi tidak diatur dalam peraturan perundangan maka proses mediasi cenderung bersifat universal, sehingga proses mediasi yang diterapkan beberapa negara diatas dengan sedikit penyesuaian dapat juga diterapkan di Indonesia (Takdir Rahmadi, 2010:101). Penyesuaian tersebut dilakukan dengan mengambil norma kebiasaan mediasi yang berlaku universal dan memadukan dengan norma sosial yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Norma-norma

yang kemudian diimplementasikan dalam pelaksanaan mediasi pada lembaga-lembaga mediasi di Indonesia. Lembaga-lembaga yang mengimplementasikan norma- norma tersebut terdiri dari pengadilan, lembaga atau badan bentukan pemerintah lain yang diberi kewenangan melakukan mediasi, dan lembaga swasta yang menyediakan jasa mediasi. Dalam pembahasan ini penulis ingin mengkaji mengenai pelaksanaan mediasi Ombudsman berdasarkan pendapat ahli yaitu Syahrizal Abbas dan Takdir Rahmadi.

a. Syahrizal Abbas

Syahrizal Abbas tidak memberikan pengertian mediasi secara khusus dan lebih mengacu pada beberapa pendapat mediasi yang Syahrizal Abbas tidak memberikan pengertian mediasi secara khusus dan lebih mengacu pada beberapa pendapat mediasi yang

Tujuan mediasi yang dilaksanakan Ombudsman tertuang dalam beberapa peraturan yang menjadi pedoman dalam penyelesaian laporan masyarakat. Menurut Pasal 1 angka 9 dan Pasal 46 ayat (3) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009, dapat diketahui bahwa tujuan mediasi yang dilaksanakan Ombudsman adalah untuk mencapai atau menghasilkan penyelesaian, dimana penyelesaian dari sengketa yang terjadi tersebut diharapkan dapat disepakati dan diterima para pihak yang bersengketa yakni Pelapor dan Terlapor. Sedangkan di dalam definisi mediasi pada Pasal 1 angka 9 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 disebutkan

oleh kedua belah pihak (win-win solution) Syahrizal Abbas berpendapat dalam bukunya, bahwa tujuan mediasi adalah untuk menyelesaikan sengketa antara para pihak dengan melibatkan pihak ketiga netral atau impartial. Dari tujuan mediasi yang diungkapkan Ombudsman tersebut terdapat persamaan dengan tujuan mediasi pada umumnya yaitu menghasilkan penyelesaian atau menyelesaikan sengketa. Disini ditekankan bahwa penyelesaian sengketa antara para pihak tersebut harus melibatkan pihak ketiga, dimana seperti diketahui keterlibatan pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa merupakan inti dari mediasi itu sendiri.

Tujuan mediasi Ombudsman secara tersirat juga diungkapkan dalam Pasal 8 huruf e Undang-Undang No. 37 Tahun 2008 yaitu

i atas permintaan ari bunyi Pasal tersebut dapat kita ketahui bahwa tujuan mediasi bagi Ombudsman selain untuk mencapai atau menghasilkan penyelesaian yang disepakati dan dapat diterima para pihak yakni Pelapor dan Terlapor juga sebagai upaya untuk menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk ke Ombudsman.

sengketa memiliki ruang lingkup utama berupa wilayah privat atau perdata. Sengketa perdata yang umumnya diselesaikan melalui mediasi umumnya berupa sengketa keluarga, waris, kekayaan, kontrak, perbankan, bisinis dan lingkungan hidup (Syahrizal Abbas, 2011: 22). Namun ada lembaga yang hanya bisa melaksanakan mediasi untuk permasalahan yang mempunyai spesifikasi tertentu, misalnya untuk Lembaga Mediasi pada Bank Indonesia hanya bisa melaksanakan mediasi untuk sengketa perbankan. Demikian pula dengan Ombudsman yang hanya bisa melaksanakan mediasi untuk permasalahan tertentu. Ombudsman hanya bisa menyelesaikan laporan masyarakat yang masuk melalui mekanisme mediasi bila substansi laporan tersebut memenuhi kriteria tertentu. Pembatasan kriteria substansi permasalahan yang dapat diselesaikan dengan mekanisme mediasi tersebut disesuaikan dengan tugas dan fungsi Ombudsman sebagai lembaga pengawas pelayanan publik.

Mediator memiliki peran menentukan dalam suatu proses mediasi, bahkan berhasil atau gagalnya mediasi juga sangat ditentukan oleh peran yang ditampilkan mediator (Syahrizal Abbas, 2011:77). Ruang lingkup mediasi Ombudsman yang berada pada ranah penyelesaian sengketa pelayanan publik menyebabkan penunjukan mediator Ombudsman yang berasal dari kalangan Ombudsman sendiri. Hal tersebut dapat dipahami karena mediasi Ombudsman mempunyai karakteristik tersendiri berkaitan dengan fungsi Ombudsman dalam mengawasi pelayanan publik, sehingga dalam proses mediasi Ombudsman yang membutuhkan mediator dengan kompetensi pengawas pelayanan publik untuk menyelesaikan sengketa yang dilaporkan.

Melihat dari tiga tipologi mediator yang dikemukakan oleh Syahrizal Abbas maka mediator Ombudsman lebih cenderung mengarah kepada tipologi mediator Sosial Network. Mediator Ombudsman dalam membantu penyelesaian sengketa para pihak menggunakan jaringan sosial yang luas untuk mendukung kegiatannya dalam menyelesaikan sengketa.

sosial yang luas yang dimiliki Ombudsman dapat dipertahankan hingga mencapai kesepakatan mediasi yang disepakati bersama kedua belah pihak.

Mengenai tempat atau lokasi pelaksanaan mediasi merupakan unsur penting dalam mendukung terselenggaranya proses mediasi. Kenyamanan tempat penyelenggaraan mediasi akan mempengaruhi para pihak untuk membuat kesepakatan-kesepakatan mediasi. Oleh karenanya penentuan tempat mediasi harus benar-benar disetujui bersama oleh para pihak yang bersengketa (Syahrizal Abbas, 2011: 331). Penggunaan tempat mediasi dan fasilitas yang diperlukan dalam proses mediasi juga berkaitan dengan biaya yang dikeluarkan dalam mediasi. Biaya mediasi diperuntukkan untuk biaya jasa mediator, bahan-bahan yang diperlukan dalam proses mediasi seperti fotokopi dokumen, biaya tempat, atau biaya mendatangkan para ahli, dan biaya lainnya yang bersifat insidental (Syahrizal Abbas, 2011:332). Berdasarkan Pasal 23 ayat (2) Undang- Undang No. 37 Tahun 2008 dalam penanganan laporan tidak dipungut biaya sehingga dalam mediasi ini tidak dipungut biaya. Pemilihan Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng sebagai tempat pelaksanaan mediasi oleh para pihak dirasa sebagai hal yang tepat karena selain menghemat biaya juga merupakan tempat netral.

Syahrizal Abbas membagi mediasi menjadi 3 (tiga) tahap yaitu tahap pramediasi, tahap mediasi, tahap implementasi hasil mediasi (Syahrizal Abbas, 2011:36). Tahap Pramediasi yang dimaksud Syahrizal Abbas merupakan tahap awal sebelum mediasi dimulai. Pada Peraturan Pemeriksaan dan Penanganan Laporan Ombudsman tahap pra mediasi meliputi keputusan Ketua Ombudsman untuk melakukan mediasi, penunjukan mediator Ombudsman, penyusunan rencana pelaksanaan mediasi, dan verifikasi pihak yang hadir dalam mediasi. Namun untuk tahapan pramediasi sebagaimana diungkapkan Syahrizal Abbas diatas tidak termasuk dalam pengaturan tahap-tahap mediasi yang dilakukan

Abbas diatas dilakukan pada saat pemeriksaan dan klarifikasi laporan. Sedangkan tahap persiapan yang terdapat pada SOP Pemeriksaan dan Penyelesaian Laporan Ombudsman yang dimaksud adalah tahap persiapan memulai pelaksanaan mediasi, tahap ini masuk ke dalam tahap pelaksanaan mediasi yang dikemukakan Syahrizal Abbas. Tahap pelaksanaan mediasi menurut Syahrizal Abbas dalam tahap mediasi Ombudsman dimulai dari tahap perkenalan dan menentukan kerangka sampai dengan tahap penutup. Sedangkan tahap implementasi hasil mediasi dilakukan pada saat monitoring pelaksanaan kesepakatan mediasi oleh Ombudsman RI Perwakilan DIY-Jateng.

mediasi dalam pelaksanaannya harus memenuhi beberapa prinsip. Syahrizal Abbas mengutip pendapat David Spencer dan Michael Brogan yang merujuk pada pandangan Ruth Carlton mengenai lima prisnsip umum mediasi, kelima prinsip tersebut adalah kerahasiaan (confidentiality), sukarela (volunteer), pemberdayaan (empowerment), Netralitas (neutrality), dan solusi yang unik (a unique solution)(Syahrizal Abbas, 2011:28).

1) Kerahasiaan

Prinsip kerahasiaan (Confidentiality) dalam pengaturan mediasi Ombudsman ditunjukkan pada Pasal 53 ayat (1) Peraturan Ombudsman No.

Prinsip ini juga dipertegas dalam SOP Penanganan Laporan. Pada bagian Perkenalan dan Menentukan Kerangka dalam Tahapan Mediasi yang menyatakan Mediator Ombudsman membuat kesepakatan bersama memilih proses mediasi dan menjaga kerahasiaan. Pada Tahap Pertemuan Terpisah juga disebutkan berulang kali mengenai pentingnya para pihak untuk menjaga kerahasiaan.

Mengingat bahwa tujuan pembentukan Ombudsman adalah melakukan perbaikan dalam pelayanan publik, maka berdasarkan pada

dipandang perlu Ombudsman dapat meminta persetujuan kepada para pihak untuk mengumumkan kesepakatan penyelesaian yang dihasilkan dalam mediasi kepada publik. Meskipun Ombudsman dapat mengumumkan kepada publik namun bukan berarti Ombudsman meninggalkan prinsip kerahasiaan mediasi. Ombudsman hanya diperbolehkan mengumumkan hasil dari mediasi saja, berarti segala hal lain yang terjadi pada proses mediasi tetap harus dijaga kerahasiaannya, termasuk dalam hal ini adalah kepentingan- kepentingan tersembunyi para pihak yang terungkap dalam mediasi dan nama-nama pihak yang hadir. Pengumuman hasil mediasi ini juga harus atas ijin para pihak yang bersengketa. Dalam kasus mediasi antara warga desa dengan PT. PLN (Persero) terkait ganti rugi dan kompensasi yang diberikan dalam pembangunan SUTT 150 kV sampai saat ini Ombudsman hanya mengumumkan hasil mediasi kepada masyarakat korban pembangunan SUTT 150 kV Bantul-Wonosari.

2) sukarela (volunteer)

Pada pengaturan mediasi Ombudsman ditunjukkan dalam Pasal

47 ayat (1)

Mediasi Ombudsman dilaksanakan setelah para pihak menyepakati proses

belah pihak sudah menyetujui melakukan mediasi untuk menyelesaikan sengketa maka proses mediasi baru dapat dimulai. Apabila keinginan melakukan mediasi ini baru timbul dari salah satu pihak maka mediasi belum dapat dilaksanakan. Pada kasus ini, karena permintaan mediasi hanya datang dari salah satu pihak saja maka diperlukan peran mediator untuk mendekati pihak lain yaitu PT. PLN (Persero) untuk memberikan wawasan mengenai proses mediasi sehingga tercipta rasa suka rela untuk melakukan mediasi. Pada mediasi diperlukan itikad baik dari kedua belah pihak yang bersengketa untuk melupakan sejenak permusuhan dan rasa ingin belah pihak sudah menyetujui melakukan mediasi untuk menyelesaikan sengketa maka proses mediasi baru dapat dimulai. Apabila keinginan melakukan mediasi ini baru timbul dari salah satu pihak maka mediasi belum dapat dilaksanakan. Pada kasus ini, karena permintaan mediasi hanya datang dari salah satu pihak saja maka diperlukan peran mediator untuk mendekati pihak lain yaitu PT. PLN (Persero) untuk memberikan wawasan mengenai proses mediasi sehingga tercipta rasa suka rela untuk melakukan mediasi. Pada mediasi diperlukan itikad baik dari kedua belah pihak yang bersengketa untuk melupakan sejenak permusuhan dan rasa ingin

3) pemberdayaan (empowerment)

Prinsip pemberdayaan dalam pengaturan mediasi Ombudsman ditunjukkan pada Pasal 53 ayat (4) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009

kan kesempatan yang sama kepada

menunjukkan pratisi aktif dari para pihak diperlukan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian, karena mediator hanya mengatur jalannya mediasi dan tidak berwenang dalam mengambil keputusan penyelesaian. Dalam SOP Penanganan Laporan pelaksanaan mediasi ini, Ombudsman juga melakukan pendekatan yang sama dengan mengizinkan para pihak menyampaikan pendapat masing-masing, mengusulkan topik pembicaraan, termasuk mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari masing-masing pihak dan mendorong para pihak untuk aktif berdiskusi.

4) Netralitas (neutrality)

Netralitas disini mengacu pada peran mediator. Mediator hanya memfasilitasi pertemuan saja, dan isinya tetap menjadi milik para pihak yang bersengketa. Disini mediator hanya mengontrol berjalannya proses mediasi, mediator tidak berhak mengambil keputusan atau berpihak pada salah satu pihak. Prinsip netralitas ditunjukkan pada Pasal 48 ayat (3) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009

prinsip pemberdayaan yang menunjukkan pratisipasi aktif dari para pihak diperlukan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian, karena mediator hanya mengatur jalannya mediasi dan tidak berwenang dalam mengambil keputusan penyelesaian. Para pihak diberikan kesempatan yang sama untuk mengusulkan topik pembicaraan, pertanyaan, prinsip pemberdayaan yang menunjukkan pratisipasi aktif dari para pihak diperlukan untuk mencapai kesepakatan penyelesaian, karena mediator hanya mengatur jalannya mediasi dan tidak berwenang dalam mengambil keputusan penyelesaian. Para pihak diberikan kesempatan yang sama untuk mengusulkan topik pembicaraan, pertanyaan,

Mengenai netralitas mediator ini, Adam T. Rick berpendapat because truly neutral mediation is impossible (karena pelaksanaan mediasi yang benar-benar netral adalah tidak mungkin), dia menyarankan mediators remain free to define their own styles, so long as they properly inform the parties of the process and of that underlying impossibility (mediator dipersilahkan memilih gaya mereka sendiri sepanjang mediator tersebut memberitahu prosesnya secara menyeluruh kepada para pihak dan dasar ketidakmungkinannya) (Adam T. Rick, 2009:1). Pada mediasi Ombudsman, dalam keadaan tertentu mediator diberi kewenangan untuk menambahkan usulannya kedalam daftar agenda yang diusulkan para pihak. Mediator juga dapat memberikan wawasan kepada para pihak dalam pengembangan pilihan penyelesaian. Dengan kewenangan yang diberikan ini mediator bukan berarti tidak melaksanakan prinsip kerahasiaan karena pada akhirnya keputusan hasil mediasi adalah hasil kesepakatan dari para pihak.

5) solusi yang unik (a unique solution)

Prinsip ini berarti solusi yang dihasilkan dari mediasi tidak harus sesuai dengan standart legal, tetapi dapat dihasilkan dari kreatifitas, sehingga dimungkinkan penyelesaian masalah lebih bisa mengikuti keinginan kedua belah pihak. Pada mediasi antara warga desa dengan PT. PLN (Persero) terkait ganti rugi dan kompensasi yang diberikan dalam pembangunan SUTT 150 kV, hasil kesepakatan yang dicapai salah satunya adalah memberikan CSR sebagai bantuan kepada warga yang mengikuti mediasi. Pemberian CSR dilakukan sebagai solusi alternatif karena PT. PLN (Persero) tidak dapat memenuhi tuntutan warga untuk memberikan ganti rugi dan kompensasi ulang karena sebelumnya telah tercapai kesepakatan dengan sebagian besar warga lainnya mengenai ganti rugi dan kompensasi tersebut.

b. Takdir Rahmadi

Takdir Rahmadi mendeskripsikan mediasi sebagai proses penyelesaian sengketa antara dua pihak atau lebih melalui perundingan atau cara mufakat dengan bantuan pihak netral yang tidak mempunyai kewenangan memutus (Takdir Rahmadi, 2010:12). Unsur-unsur dalam definisi mediasi yang dikemukakan Takdir Rahmadi tersebut sudah sesuai dengan unsur-unsur mediasi dalam definisi mediasi yang dikemukakan Ombudsman. Pendekatan yang digunakan dalam mediasi adalah pendekatan konsensus yang mengandung pengertian bahwa segala sesuatu yang dihasilkan dalam mediasi haruslah merupakan kesepakatan atau persetujuan para pihak (Takdir Rahmadi, 2010:13). Pendekatan ini juga digunakan dalam mediasi Ombudsman. Hal ini ditunjukan selama berlangsungnya proses mediasi dimana mediator selalu memberikan kesempatan yang sama bagi kedua belah pihak untuk menyampaikan pendapat, usulan, dan bernegosiasi hingga tercapainya kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud disini dapat berupa kesepakatan mengenai penunjukan mediator Ombudsman, kesepakatan mengenai peraturan yang berlaku dan harus ditaati pada saat berlangsungnya mediasi, kesepakatan mengenai topik yang akan dibahas dalam mediasi, hingga kesepakatan akhir mediasi.

Pada definisi mediasi yang disampaikan Takdir Rahmadi juga menekankan mengenai bantuan pihak netral yang tidak mempunyai kewenangan memutus. Pihak ketiga yang dimaksud disini adalah mediator. Pada mediasi Ombudsman, sesuai dengan ketentuan Pasal 48 ayat (3) Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009, mediator Ombudsman tidak membuat keputusan penyelesaian selama mediasi berlangsung. Mediator disini hanya membantu para pihak dalam menjaga agar negosiasi antara para pihak didalam proses mediasi dapat berjalan dengan baik dan menghasilkan kesepakatan yang disetujui para pihak. Dalam mediasi para

pengambilan keputusan. Kehadiran para pihak memegang peranan penting dalam berjalannya proses mediasi karena para pihak inilah yang akan bernegosiasi untuk menemukan kesepakatan dalam menyelesaikan sengketa. Untuk sengketa yang melibatkan kepentingan orang banyak, maka mediator perlu menentukan siapa diantara masyarakat korban yang akan berbicara mewakili masyarakat korban. Mediator mencari wakil yang dianggap pantas dan layak untuk mewakili masyarakat. Agar mediasi dapat berjalan dengan efisien maka yang berhak berbicara adalah para wakil tersebut, jika masayarakat korban lain ingin berbicara maka harus menyampaikan melalui wakil tersebut (Takdir Rahmadi, 2010:109). Perlu diperhatikan juga para pihak yang ditunjuk untuk bernegosiasi dalam proses mediasi harus mempunyai kekuatan (power) yang seimbang agar dapat mewujudkan kepentingan atau hak-haknya. Karena itulah warga memilih tiga orang dari masing-masing desa dengan didampingi kuasa hukum dari warga desa tersebut sebagai pihak yang berwenang dalam melakukan mediasi.

Para pihak dengan beberapa alasan memilih Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng sebagai tempat pelaksanaan mediasi. Salah satu alasan yang mendasari para pihak memilih Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng sebagai tempat pelaksanaan mediasi adalah tempat tersebut dipandang sebagai tempat yang netral karena bukan merupakan milik salah satu pihak. Tempat yang netral berarti tempat yang tidak berada dalam kontrol salah satu pihak. Ruang pertemuan milik mediator dapat dipandang sebagai tempat yang netral (Takdir Rahmadi, 2010:110). Kantor Ombudsman Perwakilan DIY-Jateng tersebut merupakan milik pemerintah. Gedung-gedung dan ruang-ruang milik pemerintah juga dipandang sebagai tempat yang netral jika pihak pemerintah pemilik gedung tersebut bukan salah satu pihak yang bersengketa.

mediasi pada peraturan perundang-undangan maka yang digunakan sebagai acuan adalah pendapat para ahli. Takdir Rahmadi mengacu pada pandangan Christopher W. Moore membagi mediasi dalam dua belas tahapan, yaitu:

1) Memulai hubungan dengan para pihak yang bersengketa (Initial Contacts with the disputing parties)

2) Memilih strategi untuk membimbing proses mediasi (Selecting Strategy to Guide Mediation )

3) Mengumpulkan dan manganalisis informasi dan latar belakang sengketa (Collecting and analyzing background information)

4) Menyusun rencana mediasi (Designing a Plan for Mediation)

5) Membangun kepercayaan dan kerjasama diantara para pihak (Building Trust and Cooperation)

6) Memulai sidang mediasi (Beginning Mediation Session)

7) Merumuskan masalah-masalah dan menyusun agenda (Defining Issue and Setting Agenda)

8) Mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak (Uncovering Hidden Interests of the Disputing Parties)

9) Mengembangkan pilihan-pilihan penyelesaian sengketa (Generating Option) Menganalisis pilihan-pilihan penyelesaian sengketa (Assessing Option for Settlement)

10) Proses tawar-menawar (Final Bargaining)

11) Mencapai penyelesaian formal (Achieving Formal Agreement) (Takdir Rahmadi, 2010:104)

Pembagian tahap mediasi diatas berbeda dengan pembagian tahap mediasi Ombudsman. Tahap pertama mediasi yaitu memulai hubungan dengan para pihak yang bersengketa sampai dengan tahap kelima mediasi yaitu membangun kepercayaan dan kerjasama diantara para pihak yang diungkapkan Moore, merupakan langkah yang dilakukan Ombudsman sebelum tahap persiapan mediasi Ombudsman. Tahap mediator memulai hubungan dengan para pihak, Tahap memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan tahap membangun kepercayaan diantara para pihak dilakukan pada saat klarifikasi laporan kepada PT. PLN (Persero) dan fasilitasi pertemuan antara warga desa di Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul dengan PT. PLN (Persero). Tahap mengumpulkan dan menganalisis Pembagian tahap mediasi diatas berbeda dengan pembagian tahap mediasi Ombudsman. Tahap pertama mediasi yaitu memulai hubungan dengan para pihak yang bersengketa sampai dengan tahap kelima mediasi yaitu membangun kepercayaan dan kerjasama diantara para pihak yang diungkapkan Moore, merupakan langkah yang dilakukan Ombudsman sebelum tahap persiapan mediasi Ombudsman. Tahap mediator memulai hubungan dengan para pihak, Tahap memilih strategi untuk membimbing proses mediasi dan tahap membangun kepercayaan diantara para pihak dilakukan pada saat klarifikasi laporan kepada PT. PLN (Persero) dan fasilitasi pertemuan antara warga desa di Kecamatan Pathuk, Gunung Kidul dengan PT. PLN (Persero). Tahap mengumpulkan dan menganalisis

Pada tahap perkenalan dan menentukan kerangka dalam mediasi Ombudsman para pihak dan mediator saling memperkenalkan diri. Pada tahap ini juga merupakan tahap penjelasan kepada para pihak mengenai mediasi Ombudsman, peran mediator dan membuat kesepakatan yang berlaku sebagai peraturan dalam mediasi. Kesepakatan tersebut dibuat secara tertulis dengan ditandatangani para pihak yang bersengketa untuk menunjukkan komitmen para pihak mematuhi kesepakatan tersebut. Tahap Persiapan Mediasi Ombudsman dan Pada tahap perkenalan dan menentukan kerangka dalam mediasi Ombudsman sama dengan tahap memulai sidang-sidang mediasi yang diungkapkan Moore. Pada tahap ini Moore sebagai mana dikutip Takdir Rahmadi mengungkapkan, pada pertemuan pertama para pihak ini ada tiga hal pokok yang perlu dilakukan mediator yaitu mediator dan para pihak saling memperkenalkan diri, menjelaskan pengertian mediasi serta peran mediator dalam proses mediasi, dan menekankan perlunya aturan dalam proses serta menganjurkan para pihak agar proses mediasi berjalan sesuai aturan. Setelah melakukan ketiga hal diatas, mediator kemudian bisa memulai mendengarkan pernyataan pembukaan dari para pihak (Takdir Rahmadi, 2010:114-115).

Tahap mengumpulkan pendapat, pernyataan para pihak dan menyusun ringkasan serta tahap menyusun daftar agenda, para pihak

tanpa adanya tanggapan dari pihak lain. Kedua tahapan ini dalam thap mediasi Moore terdapat pada tahap merumuskan masalah dan menyusun agenda. Pada tahap ini para pihak menyampaikan usulan yang paling mungkin untuk dilaksanakan. Agenda perundingan yang jelas merupakan langkah awal penting bagi keberhasilan penyelenggaraan proses mediasi (Takdir Rahmadi, 2010:116). Sehingga pendapat dan usulan para pihak diringkas oleh mediator dan disampaikan ulang kepada para pihak untuk mendapat persetujuan. Dalam menyusun agenda perlu disusun secara sistematis untuk menemukan permasalahan dan kebutuhan yang sebenarnya. Pada tahap menyusun agenda disebutkan bahwa mediator dapat menambahkan gagasannya kedalam daftar agenda yang disusun. Ketentuan ini dibatasi pada pasal 54 Peraturan Ombudsman No. 2 Tahun 2009 bahwa dalam keadaan tertentu saja mediator dapat menambahkan gagasannya. Namun tidak ada pengaturan lebih lanjut mengenai keadaan tertentu yang dimaksud.

Hal-hal yang dilakukan pada tahap eksplorasi dan pertemuan terpisah yang dilakukan Ombudsman, pada tahap mediasi yang di ungkapkan Moore terdapat pada tahap mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak. Tahap eksplorasi adalah tahap dimana para pihak berdiskusi untuk pertama kali dengan dipandu mediator. Mediator mengarahkan para pihak untuk berfikir kearah penyelesaian dan melupakan permusuhan. Diskusi dilakukan berdasarkan urutan yang telah disepakati para pihak. Tahap pertemuan terpisah atau tahap kaukus bertujuan untuk mengetahui perkembangan permasalahan setelah diadakan diskusi. Pada pertemuan terpisah ini sangat penting bagi para pihak dan mediator untuk menjaga kerahasiaan dalam proses sehingga dapat menemukan kepentingan atau kebutuhan khusus masing-masing pihak. Secara teoritis terdapat dua pendekatan bagi mediator untuk mengungkapkan kepentingan tersembunyi, yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung dilakukan dengan Hal-hal yang dilakukan pada tahap eksplorasi dan pertemuan terpisah yang dilakukan Ombudsman, pada tahap mediasi yang di ungkapkan Moore terdapat pada tahap mengungkapkan kepentingan tersembunyi dari para pihak. Tahap eksplorasi adalah tahap dimana para pihak berdiskusi untuk pertama kali dengan dipandu mediator. Mediator mengarahkan para pihak untuk berfikir kearah penyelesaian dan melupakan permusuhan. Diskusi dilakukan berdasarkan urutan yang telah disepakati para pihak. Tahap pertemuan terpisah atau tahap kaukus bertujuan untuk mengetahui perkembangan permasalahan setelah diadakan diskusi. Pada pertemuan terpisah ini sangat penting bagi para pihak dan mediator untuk menjaga kerahasiaan dalam proses sehingga dapat menemukan kepentingan atau kebutuhan khusus masing-masing pihak. Secara teoritis terdapat dua pendekatan bagi mediator untuk mengungkapkan kepentingan tersembunyi, yaitu pendekatan langsung dan pendekatan tidak langsung. Pendekatan langsung dilakukan dengan

Pada tahap menggali alternatif, memilah-milah, dan negosiasi, para pihak diarahkan untuk berperan aktif mencurahkan ide-ide yang paling mungkin yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah. Mediator harus mampu mendorong para pihak untuk dapat menemukan dan membahas sekurang-kurangnya dua opsi penyelesaian atas satu masalah. Jika satu masalah hanya coba diatasi dengan satu opsi penyelesaian, maka para pihak cenderung terperangkap dalam perundingan tawar-menawar yang posisional dan menggiring mereka ke jalan buntu (Takdir Rahmadi, 2010:119). Setelah membuat daftar mediator membantu para pihak untuk melakukan evaluasi pilihan penyelesaian dan apabila mungkin menambah pilihan baru. Terdapat kriteria teoritis untuk menentukan pilihan mana yang dapat diterima dalam penyelesaian masalah, yaitu pilihan penyelesaian yang dapat memuaskan kepentingan para pihak (desirability) dan penyelesaian yang dapat dilaksanakan (enforceability) (Takdir Rahmadi, 2010: 120). Dari daftar yang telah dilakukan evaluasi kemudian dilakukan negosiasi. Pada proses negosiasi kekuatan masing-masing pihak sangat menentukan hasil yang akan dicapai. Mediator harus mengatasi perbedaan kekuatan tersebut sehingga dapat dicapai kesepakatan yang sama-sama menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Setelah tercapai kesepakatan secara lisan kesepakatan tesebut kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis. Kesepakatan dalam bentuk tertulis tersebut harus ditandatangani para pihak dan mediator. Mediator Ombudsman selain memastikan kesepakatan tersebut ditandatangani para pihak juga harus memastikan para pihak melaksanakan kesepakatan yang telah tercapai. Formalisasi kesepakatan penyelesaian menurut Takdir Rahmadi dapat dikuatkan oleh pejabat negara misalnya notaris dalam bentuk akta autentik atau hakim sesuai

Agung Nomor 1 Tahun 2008 (Takdir Rahmadi, 2010:112).

Mengenai mediasi Ombudsman yang tidak mempunyai ketentuan mengenai batasan waktu, penetapan batasan waktu tersebut dapat diserahkan kepada para pihak. Kesepakatan mengenai batas waktu dalam mediasi digunakan untuk membatasi waktu yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa, dan apabila proses mediasi tersebut telah melewati batas waktu maka mediasi tersebut dianggap gagal mencapai kesepakatan (Takdir Rahmadi, 2010:162). Dalam mediasi yang berlangsung antara warga dengan PT. PLN (Persero) tidak dicantumkan kesepakatan awal mengenai batasan waktu mediasi. Selama para pihak tidak menetapkan batasan waktu tertentu, mediasi dapat terus dilaksanakan sampai dicapai kesepakatan yang disetujui para pihak atau salah satu pihak menarik diri dari proses mediasi ini.

B. Hasil Mediasi Ombudsman dalam Menyelesaikan Sengketa Ganti Rugi antara PT PLN (Persero) dengan Masyarakat yang Terkena Dampak

Pembangunan SUTT 150KV Bantul Wonosari