166 yaitu politik berdasarkan pemilahan sosial yang bersumber dari agama, etnisitas,
dan kedaerahan. Herbert Feith dan Lance Castles menggambarkan kepartaian di Indonesia pascakemerdekaan dikelompokkan ke dalam lima aliran besar, yaitu
Islam, Jawa Tradisional, Sosialis Demokrasi, Nasionalis Radikal, dan Komunis. Pemilahan itu sangat tajam, sehingga menyulitkan dalam mengelola konflik.
Koalisi tidak mudah terbentuk karena harus memenuhi syarat adanya kedekatan ideologi dan kompatibilitas antara pemimpin partai. Kedua, faktor basis sosial
–
ekonomi yang sangat lemah. Ketiga, faktor struktur sosial yang masih sangat hierarkhis, yang bersumber pada nilai-nilai feodal. Hal ini terlihat kehadiran elit
pemecah masalah problem solver yang mendominasi sistem pemerintahan parlementer belum sepenuhnya diterima. Ada kecenderungan elit pembentuk
solidaritas solidarity makers seperti Presiden Soekarno yang pada awal kemerdekaan sangat dominan merasa tersingkir karena posisi hanya sebatas
sebagai kepala negara tidak dapat menentukan kebijakan strategis. Begitu pula kepentingan politik dari kalangan Angkatan Darat tidak memperoleh tempat yang
sewajarnya.
4. Pelaksananaan Sistem Pemerintahan dalam Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin tampak merupakan alat untuk mengatasi pertentangan parlementer di antara partai-partai politik ketika berlaku demokrasi
liberal. Cara yang dilakukan adalah dengan memberlakukan kembali UUD 1945. UUD 1945 dikenal cenderung menganut sistem campuran atau sering disebut juga
sebagai sistem quasi presidentil. Alasannya, karena sistem presidensial juga memasukkan unsur parlementer, yakni berupa pertanggungjawaban presiden
kepada MPR; tidak langsung kepada rakyat sebagaimana umumnya pada sistem presidensial.
Bagi Soekarno, demokrasi parlementer dinilai tidak sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan
kekeluargaan. Soekarno juga menekankan pentingnya peranan pemimpin dalam proses politik dalam masyarakat Indonesia. Sebagai presiden Soekarno membentuk
kabinet yang erdana menterinya adalah presiden sendiri. Soekarno kemudian juga membentuk DPR
–GR Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong sebagai lembaga perwakilan rakyat yang menggantikan Dewan Konstituante. Bagaimana
hubungan presiden dengan DPR –GR? Meskipun DPR–GR periode demokrasi
terpimpin telah berhasil menghasilkan 124 produk undang-undang dan pernyataan pendapat namun kedudukannya tetap lemah. Alasannya adalah sebagai berikut.
Pertama, anggota DPR –GR dipilih dan ditunjuk Soekarno dari mereka yang
dipercaya loyal kepadanya. Kedua, Presiden Soekarno masih suka membuat Penpres, suatu produk peraturan yang sederajat dengan undang-undang. Dengan
perkataan lain telah terjadi pergeseran hubungan parlemen dengan pemerintah. Jika pada berlakunya demokrasi liberal parlemen menekan pemerintah, ketika
demokrasi terpimpin parlemen memberikan kelonggaran begitu besar bagi pemerintah. Pada masa pemerintahan Soekarno ini dikenal dengan demokrasi
terpimpin. Soekarno mengemukakan demokrasi terpimpin sebagai demokrasi kekeluargaan yang tanpa anarki liberalisme dan tanpa otokrasi diktator.
Demokrasi kekeluargaan yang dimaksud oleh Soekarno adalah demokrasi yang mendasarkan sistem pemerintahan kepada musyawarah dan mufakat dengan
167 pimpinan serta kekuasaan sentral di tangan seorang ‗sesepuh‘, seorang tetua yang
tidak mendiktatori, tetapi memimpin dan mengayomi. Yang dimaksud dengan tema-
tema ‗sesepuh‘ atau ‗tetua‘ pada waktu itu tidak lain adalah dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari
keluarga besar bangsa Indonesia. Seperti telah disinggung di atas, di bawah demokrasi terpimpin yang
kekuasaannya terhimpun pada Soekarno, ada dua kekuatan lain, yaitu Angkatan Darat dan PKI Partai Komunis Indonesia. Gambaran hubungan antara ketiganya
dapat dikemukakan sebagai berikut. Soekarno dibutuhkan oleh PKI untuk menjadi pelindung melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan
Soekarno untuk memberi legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik. Soekarno sendiri membutuhkan PKI dan Angkatan Darat. Angkatan Darat
dibutuhkan untuk dihadapkan dengan PKI untuk menghambat agar tidak menjadi terlalu kuat. PKI dibutuhkan untuk menggerakkan dukungan rakyat dan
mendapatkan massa yang besar untuk mendengarkan pidato Soekarno.
Dalam pola hubungan yang demikian, Soekarno menjadi penyeimbang antara PKI dan Angkatan
Darat. Atau semacam pola hubungan ―tarik tambang‖. Pola hubungan itu dapat dilihat seperti yang dipaparankan oleh ahli politik Afan
Gaffar 2002 berikut ini. Perbedaan yang sangat mencolok antara Angkatan Darat dan Presiden Soekarno adalah menyangkut hubungan dengan PKI dan hal itu
sesungguhnya bersifat ideologis. Angkatan Darat yang sangat banyak dipengaruhi oleh Hatta dan sejumlah partai Masyumi memiliki posisi antikomunis yang sangat
kental, sementara Soekarno dapat menerima komunis karena ia menganggapnya bukan sebagai ancaman. Tambahan pula, Soekarno sangat membutuhkan kaum
komunis agar agenda politiknya dapat diwujudkan. Sementara itu, Soekarno tidak memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan Angkatan Darat dibandingkan dengan
Angkatan Udara. Oleh karena itu, Soekarno tidak pernah merasa aman terhadap Angkatan Darat.
Peristiwa G –30 SPKI tahun 1965 mengubah perjalanan politik bangsa
Indonesia dan menyingkirkan Soekarno dari puncak kekuasaan, kemudian mengantar Soeharto menjadi seseorang yang sangat berkuasa dengan
memanfaatkan secara maksimal UUD 1945 untuk kepentingan politiknya selama 32 tahun.
5. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan dalam Pemerintahan Orde Baru