93 Pada dasarnya semua warga negara yang memenuhi persyaratan minimal
dalam usia, yaitu sudah berumur 17 tujuh belas tahun atau telahpernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warga negara yang sudah
berumur 21 duapuluh satu tahun berhak dipilih. Jadi pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh
bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi pengecualian berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis
kelamin, kedaerahan, dan status sosial.
e. Bebas
Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap
warga negara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya.
f. Rahasia
Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan apapun.pemilih memberikan
sarannya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada siapa suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang
telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara suka rela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak mana pun.
5. Partisipasi dan Kualitas Pemilu Setelah Reformasi
Sebanyak apa pun kritik yang diarahkan pada kurang demokratis dan kurang berkualitasnya pemilu 1999, tidak dapat memungkiri bahwa pemilu 1999
adalah salah satu tonggak sejarah politik Indonesia. Terselenggaranya pemilu 1999 adalah sebuah bukti yang paling nyata atas penolakan bangsa ini terhadap
berlakunya sistem lama di bawah kendali Soeharto. Sebab, dengan adanya pemilu 1999 berarti semua hasil proses politik pada tahun 1997, yang seharusnya baru
akan berakhir tahun 2002, sama sekali tidak diakui keabsahannya, baik secara legal formal maupun substansi demokrasi.
Dengan adanya percepatan pemilu ini berarti bukan hanya ada pergantian total keanggotaan di MPRDPR, melainkan juga harus segera digantinya pejabat
Presiden yang pada masa itu dipegang oleh BJ Habibie. Sebelum menyelenggarakan pemilu yang dipercepat itu, pemerintah mengajukan RUU
tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Ketiga draf UU ini disiapkan oleh sebuah tim
Depdagri yang disebut Tim 7, yang diketuai oleh Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid.
Setelah disyahkannya UU No. 2 tahun 1999 tentang Partai Politik, mulailah babak baru dalam dunia politik di Indonesia. Pada waktu itu sebanyak 141 partai
politik terdaftar di Departemen Kehakiman dan HAM yang akhirnya yang dilegalisasi sebanyak 48 partai. Persiapan pemilu ini relatif sangat singkat, yaitu
selama 13 bulan. Singkatnya persiapan ini bukan dilihat dari rentang waktu yang ada melainkan dilihat dari berbagai gejolak sosial politik yang terjadi yang juga
menghabiskan konsentrasi seluruh elemen bangsa.
Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara pada pemilu 1999 ini bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni tanggal 7 juni 1999.
Tidak seperti yang diprediksikan dan dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya,
94 ternyata pemilu 1999 bisa berjalan damai, tanpa ada kekacauan yang berarti. Hanya
di beberapa daerah tingkat II di Sumatera Utara yang pelaksanaan pemungutan suaranya terpaksa diundur satu pekan. Itupun karena adanya keterlambatan atas
datangnya perlengkapan pemungutan suara Fadillah Putra, 2003:88.
Tidak seperti pada proses pemungutan suara yang berjalan lancar, tahap penghitungan suara dan pembagian kursi pada pemilu kali ini sempat menghadapi
hambatan. Pada tahap penghitungan suara, 27 partai politik menolak menandatangani berita acara perhitungan suara dengan dalih pemilu belum jurdil
jujur dan adil. Sikap penolakan tersebut ditunjukkan dalam sebuah rapat pleno KPU. Ke-27 partai tersebut adalah sebagai berikut: PK, PNU, PBI, PDI, Masyumi,
PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPI, PUMI, PSP, dan
PARI Fadillah Putra, 2003:88. Karena ada penolakan, dokumen rapat KPU kemudian diserahkan pimpinan KPU kepada presiden. Oleh presiden hasil rapat
dari KPU tersebut kemudian diserahkan kepada Panwaslu Panitia Pengawas Pemilu. Panwaslu diberi tugas untuk meneliti keberatan-keberatan yang diajukan
wakil-wakil partai di KPU yang berkeberatan tadi. Hasilnya, Panwaslu memberikan rekomendasi bahwa pemilu sudah sah. Lagipula mayoritas partai
tidak menyertakan data tertulis menyangkut keberatan-keberatannya. Presiden kemudian juga menyatakan bahwa hasil pemilu sah. Hasil final pemilu baru
diketahui masyarakat tanggal 26 Juli 1999.
Setelah disahkan oleh presiden, PPI Panitia Pemilihan Indonesia langsung melakukan pembagian kursi. Pada tahap ini juga muncul masalah. Rapat
pembagian kursi di PPI berjalan alot. Hasil pembagian kursi yang ditetapkan kelompok kerja PPI menunjukkan bahwa partai Islam yang melakukan stembus
accoord
penggabungan sisa hasil suara dari beberapa partai yang platfomnya relatif sama hanya mendapatkan 40 kursi. Sementara kelompok stembus accoord 8 partai
Islam menyatakan bahwa mereka berhak atas 53 dari 120 kursi sisa. Perbedaan pendapat di PPI tersebut akhirnya diserahkan kepada KPU. Di
KPU perbedaan pendapat itu akhirnya diselesaikan melalui voting dengan dua opsi. Opsi pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara
stembus accoord , sedangkan opsi kedua pembagian tanpa stembus accoord. Hanya 12
suara yang mendukung opsi pertama, sedangkan yang mendukung opsi kedua 43 suara. Lebih dari 8 partai walk out. Ini berarti bahwa pembagian kursi dilakukan
tanpa memperhitungkan lagi stembus accoord. Berbekal keputusan KPU tersebut, PPI akhirnya dapat melakukan pembagian kursi hasil pemilu pada tanggal 1
September 1999. Hasil pembagian kursi itu menunjukkan, lima partai besar memborong 417 kursi DPR atau 90,26 persen dari 462 kursi yang diperebutkan.
Sebagai pemenangnya adalah PDI-P yang meraih 35.689.073 suara atau 33,74 persen dengan perolehan 153 kursi. Golkar memperoleh 23.741.758 suara atau 22,44
persen sehingga mendapatkan 120 kursi atau kehilangan 205 kursi dibanding pemilu 1997. PKB dengan 13.336.982 suara atau 12,61 persen, mendapatkan 51
kursi. PPP dengan 11. 329.905 suara atau 10,71 persen, mendapatkan 58 kursi atau kehilangan 31 kursi dibanding pemilu 1997. PAN meraih 7.528.956 suara atau 7,12
persen, mendapatkan 34 kursi. Di luar lima besar, partai lama yang masih ikut, yakni PDI merosot tajam dan hanya meraih 2 kursi dari pembagian kursi sisa, atau
kehilangan 9 kursi dibanding pemilu 1997 Fadillah Putra, 2003:91.
95 Selengkapnya diluar lima partai besar di atas PBB 13 kursi, Partai keadilan
7 kursi, PKP 4 kursi, PNU 5 kursi, PDKB 5 kursi, PBI 1 kursi, PDI 2 kursi, PP, PDR, PSII, PNI Front Marhaenis, PNI Masssa Marhaen, IPKI, PKU, Masyumi,
PKD masing-masing satu kursi Fadillah Putra:91. Sebaiknya Anda Tahu
DPR dan Fungsi Legislasinya
Kebiasaan titip tanda tangan pertanda hadir bukan monopoli mahasiswa yang sedang malas, tapi juga anggota DPR. Lihatlah daftar hadir rapat paripurna
pengesahan UU Ketenaganukliran pada 26 Februari 1997. Tak kurang dari 317 baris nama terbubuh tanda tangan. Namun yang hadir secara fisik dalam rapat itu tak
lebih dari 75 anggota. Begitu pula saat UU Tindak Pidana Pencucian Uang disahkan tanggal 25 maret 2002. Sebanyak 260 dari 309 anggota menyatakan
kehadirannya hanya dengan tinta. Tindak kriminal atau perbuatan amoral telah berlangsung di gedung parlemen, yaitu pemalsuan tanda tangan atau berbohong.
Perilaku buruk ini sempat menyerap perhatian publik. Tak mengherankan bila DPR dicap tak pernah bisa optimal menyalurkan aspirasi rakyat. Jajak pendapat
Kompas 10 juni 2002 mengungkapkan tingkat ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja DPR terus menguat. Bila pada Agustus 2000 sekitar 52,5 persen dari 1569
responden menyatakan tidak puas, pada Mei 2002 tingkat ketidakpuasan naik menjadi 81,0 persen dengan 830 responden.
Begitu kekuasaan Soeharto berakhir, aktualisasi fungsi DPR bergeser. Bila pada masa orde baru lembaga ini tak lebih dari tukang stempel pemerintah, kini
DPR cenderung berkonsentrasi pada fungsinya sebagai pengawas kebijakan pemerintah. Hal ini dipertontonkan kepada rakyat, melalui siaran televisi dalam
masa pemerintahan Abdurrahman Wahid. Rapat paripurna pengambilan keputusan untuk membentuk Pansus Bulog I pada 5 september 2000, misalnya,
dijejali anggota yang antusias maupun yang menentang. Konsentrasi pada fungsi pengawasan ini mengendorkan fungsi lainnya. Salah satu adalah fungsi legislasi,
fungsi membuat UU. Fakta ini barangkali bisa menjelaskan. Sejak tahun 1966 hingga 2001 terdapat 493 undang-undang yang dihasilkan pemerintah dan DPR.
Rata-rata 13 sampai 14 undang-undang per tahun. Itu masa lalu. Tahun 2001 ditargetkan penetapan 30 undang-undang dan menyusun 40 RUU. Nyatanya
hanya 22 UU yang ditetapkan sepanjang tahun 2001. Dalam hal penyusunan RUU, hanya 9 RUU dari 58 buah prioritas yang akhirnya menjadi UU.
Indikasi fungsi legislasi yang belum optimal ini diperlihatkan pula oleh minimnya RUU inisiatif DPR. Dari 493 UU yang dihasilkan selama 35 tahun, hanya
8,1 persen yang merupakan inisiatif DPR. Selang waktu 1966-1972 merupakan masa yang menghasilkan usulan terbanyak, tapi 20 RUU inisiatif akhirnya kandas
di tengah jalan. Hanya tujuh usulan yang berhasil disyahkan menjadi UU.
Fungsi legislasi untuk menciptakan UU yang benar-benar dibutukan rakyat banyak tampaknya jauh dari optimal. DPR hasil lima kali pemilu, sejak tahun 1971
sampai 1992, adalah DPR vakum mutlak dalam urusan ini. Tak satupun usulan inisiatif dalam 25 tahun itu. Sepanjang itu pula hak inisiatif hanya dikenal dalam
buku-buku pelajaran sekolah. Ia baru muncul lagi dalam tahun 1997-1999. Lima dari delapan RUU inisiatif disahkan menjadi UU. DPR hasil pemilu demokratis
sejak tahun 1955, hingga tahun 2001 telah menghasilkan lima RUU inisiatif. Namun
96 rupanya kepentingan politik sangat mendominasi usulan inisiatif DPR itu. Tujuh
dari sepuluh RUU usul inisiatif DPR mengatur politik dan keamanan. Dua tentang ekonomi, keuangan, dan industri. Hanya satu RUU yang menyangkut
kesejahteraan rakyat.
Dari substansinya, tak sedikit undang-undang yang setelah disahkan justru menimbulkan kontroversi hingga pelaksanaannya harus ditunda. UU Nomor 14
Tahun1992 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan dan UU Nomor 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih merupakan undang-undang yang menimbulkan polemik.
Kewenangan eksekutif mengusulkan RUU bisa jadi alasan mengapa RUU banyak datang dari pemerintah. Namun, amandemen UUD 1945 yang memberi porsi besar
pada dewan ternyata juga bukan jaminan membaiknya kinerja DPR dalam fungsi legislasi.
6. Mendukung Terselenggaranya Pemilu yang Berkualitas