167 pimpinan serta kekuasaan sentral di tangan seorang ‗sesepuh‘, seorang tetua yang
tidak mendiktatori, tetapi memimpin dan mengayomi. Yang dimaksud dengan tema-
tema ‗sesepuh‘ atau ‗tetua‘ pada waktu itu tidak lain adalah dirinya sendiri sebagai penyambung lidah rakyatnya, sebagai seorang ayah yang serba bijak dari
keluarga besar bangsa Indonesia. Seperti telah disinggung di atas, di bawah demokrasi terpimpin yang
kekuasaannya terhimpun pada Soekarno, ada dua kekuatan lain, yaitu Angkatan Darat dan PKI Partai Komunis Indonesia. Gambaran hubungan antara ketiganya
dapat dikemukakan sebagai berikut. Soekarno dibutuhkan oleh PKI untuk menjadi pelindung melawan Angkatan Darat, sedangkan Angkatan Darat membutuhkan
Soekarno untuk memberi legitimasi bagi keterlibatannya di dalam politik. Soekarno sendiri membutuhkan PKI dan Angkatan Darat. Angkatan Darat
dibutuhkan untuk dihadapkan dengan PKI untuk menghambat agar tidak menjadi terlalu kuat. PKI dibutuhkan untuk menggerakkan dukungan rakyat dan
mendapatkan massa yang besar untuk mendengarkan pidato Soekarno.
Dalam pola hubungan yang demikian, Soekarno menjadi penyeimbang antara PKI dan Angkatan
Darat. Atau semacam pola hubungan ―tarik tambang‖. Pola hubungan itu dapat dilihat seperti yang dipaparankan oleh ahli politik Afan
Gaffar 2002 berikut ini. Perbedaan yang sangat mencolok antara Angkatan Darat dan Presiden Soekarno adalah menyangkut hubungan dengan PKI dan hal itu
sesungguhnya bersifat ideologis. Angkatan Darat yang sangat banyak dipengaruhi oleh Hatta dan sejumlah partai Masyumi memiliki posisi antikomunis yang sangat
kental, sementara Soekarno dapat menerima komunis karena ia menganggapnya bukan sebagai ancaman. Tambahan pula, Soekarno sangat membutuhkan kaum
komunis agar agenda politiknya dapat diwujudkan. Sementara itu, Soekarno tidak memiliki pengaruh yang kuat di lingkungan Angkatan Darat dibandingkan dengan
Angkatan Udara. Oleh karena itu, Soekarno tidak pernah merasa aman terhadap Angkatan Darat.
Peristiwa G –30 SPKI tahun 1965 mengubah perjalanan politik bangsa
Indonesia dan menyingkirkan Soekarno dari puncak kekuasaan, kemudian mengantar Soeharto menjadi seseorang yang sangat berkuasa dengan
memanfaatkan secara maksimal UUD 1945 untuk kepentingan politiknya selama 32 tahun.
5. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan dalam Pemerintahan Orde Baru
Dari 1.000 orang anggota MPR pada rekruitmen tahun 1997, sebanyak 575 orang yang berasal dari partai politik, utusan daerah, dan golongan diangkat oleh
presiden. Rekruitmen untuk ketua MA Mahkamah Agung, misalnya DPR mengajukan dua calon. Calon yang diajukan terlebih dulu mendapat isyarat
persetujuan presiden dan kemudian salah satu orang dari calon tersebut diangkat oleh presiden. Demikian pula, untuk jabatan wakil ketua MA dan sejumlah Hakim
Agung. Hal yang sama terjadi pula pada rekruitmen pimpinan dari BPK Badan Pemeriksa Keuangan dan anggota DPA Dewan Pertimbangan Agung. Begitu
pula dengan rekruitmen di luar lembaga negarapemerintah, seperti partai politik. Ketua partai politik direkrut atas dasar prinsip akomodatif. Artinya, mereka yang
menunjukkan sikap kritis apalagi menentang pemerintah tidak akan dapat memimpin partai politik.
168 Dalam hal APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja negara presiden
sangat menentukan. Dalam hal ini DPR tidak mampu mengubah secara substantif apapun yang diajukan oleh Presiden. Anggaran tersebut kemudian didistribusikan
ke daerah-daerah dalam bentuk DIP Daftar Isian Proyek, inpres, dan banpres. Mekanisme anggaran seperti ini merupakan proses distribusi kekayaan negara
yang membawa implikasi mobilisasi politik bagi kepentingan dukungan terhadap Presiden. Hal tersebut masih ditambah dengan atribut yang sifatnya personal yang
disandang oleh presiden, seperti pengemban supersemar, mandataris MPR, dan bapak pembangunan. Dilihat dari pembagian kekuasaan sebagai alternatif
pemisahan kekuasaan, tampak ketidakjelasan hubungan di antara lembaga tinggi negara. Misalnya, kalau MPR sebagai lembaga legislatif, seharusnya anggotanya
tidak boleh merangkap sebagai pejabat eksekutif. Kenyataannya, sejumlah anggota MPR adalah para menteri, gubernur, dan pangdam. Artiya, mereka adalah pejabat
eksekutif, bukan rakyat, sehingga makna perwakilan rakyat menjadi dipertanyakan.
Kemudian kalau kita memperhatikan birokrasi pemerintahan orde baru memiliki karakteristkik umum, yakni ketatnya hierarkhi dan legalistik. Coba kamu
simak pendapat William Liddle ahli politik tentang Indonesia dari Amerika Serikat dalam memberikan gambaran karakteristik khusus tentang birokrasi era
orde baru. Liddle menggambarkan sebagai berikut. Karakteristik khusus birokrasi Indonesia memiliki citra diri yang baik hati benevolence. Dalam citra seperti ini,
birokrasi di Indonesia mempunyai persepsi diri sebagai pelindung atau pengayom, pemurah, dan baik hati terhadap rakyatnya. Sementara itu, mereka birokrasi juga
mempunyai persepsi bahwa rakyat itu tidak tahu apa-apa alias bodoh dan oleh karena itu mereka rakyat masih perlu dididik. Karena birokrasi sudah benevolence,
seharusnya rakyat harus patuh, taat, dan setia obidience kepada pemerintahnya. Pola hubungan yang bersifat benevolence
–obidience inilah yang mewarnai secara dominan interaksi antara pemerintah dan masyarakat di Indonesia.
Untuk memperkuat pola hubungan yang bersifat baik hati dan kepatuhan dalam interaksi pemerintah dengan rakyat diterapkan kebijakan depolitisasi
rakyat dijauhkan dari pemahaman yang kritis dan dibatasi partisipasi dalam bidang politik. Kebijakan depolitisasi dilakukan dengan cara menerapkan konsep
―massa mengambang‖ floating mass. Konsep massa mengambang ini memudahkan kontrol pemerintah terhadap partai politik nonpemerintah dan
memudahkan pemerintah mewujudkan prinsip monoloyalitas bagi semua pegawai negeri. Begitu pula memudahkan upaya pengebirian emaskulasi bagi partai
politik. Pengebirian ini dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan melakukan penyederhanaan sistem kepartaian regrouping dari 10 partai politik
dikelompokkan menjadi 3 partai politik Golkar, PPP dan PDI. Kedua, dengan cara melakukan kontrol terhadap rekruitmen pimpinan utama partai politik, sehingga
dihasilkan pimpinan partai politik yang akomodatif terhadap pemerintah.
Dengan perkataan lain interaksi pemerintah dengan rakyat yang bersifat baik hati dan kepatuhan, mengharuskan DPR, partai politik, organisasi massa, dan
media pers harus menempatkan diri untuk menopang pemerintah. Anggota DPR yang vokal terhadap pemerintah dikenai recall. Partai politik yang
mengembangkan sikap sebagai oposisi ditekan. Begitu pula pers yang kritis terhadap pemerintah dibredel. Pilar-pilar demokrasi seperti DPR, partai politik,
169 dan media pers dalam kondisi sangat lemah. Namun angkatan bersenjata dalam
kehidupan politik orde baru, terutama Angkatan Darat sebagai alat negara yang seharusnya memfokuskan diri pada fungsi pertahanan, justru memiliki peran
politik sangat penting. Peranan politik sangat penting itu, terutama sebagai stabilisator dan dinamisator. Peranan politik Angkatan Darat terutama tampak
melalui keterlibatannya di MPR, DPR, jabatan menteri, gubernur, dan bupati. Juga tampak melalui keterlibatannya dalam organisasi sosial dan politik, terutama di
Golkar Golongan Karya. Bahkan dari peranan politik kemudian merambah ke bidang ekonomi, olahraga, kesenian, dan bidang sosial kemasyarakatan yang lain.
Peran dalam berbagai bidang tersebut dikenal sebagai ―Dwi Fungsi ABRI‖. Dengan peran sebagai stabilisator dan dinamisator, militer tampak sebagai
pembentuk suasana agar semua kebijakan pemerintah Orde Baru dapat diimplementasikan dengan baik. Kemudian yang dirasakan dalam pemerintahan
Orde Baru lebih mengedepankan pendekatan keamanan security approach daripada pendekatan kesejahteraan prosperity approach. Sehingga pemerintahan
Orde Baru dikenal mengembangkan sistem politik otoriter, bukan sistem politik demokrasi. Meskipun pemerintahan Orde Baru ketika itu menyebut dirinya
mengembangkan demokrasi Pancasila.
6. Pelaksanaan Sistem Pemerintahan pada Era Reformasi