maupun yang baru yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001, menetapkan kebijakan bahwa kerugian
keuangan negara itu harus dikembalikan atau diganti oleh pelaku korupsi. Menurut Undang-Undang korupsi tersebut, pengembalian kerugian
keuangan negara dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen pidana dan instrumen perdata. Instrumen pidana dilakukan oleh penyidik dengan
menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum dituntut agar dirampas oleh hakim. Instrument perdata dilakukan oleh Jaksa Pengacara
Negara selanjutnya disingkat dengan JPN atau instansi yang dirugikan terhadap pelaku korupsi tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya bila terpidana
meninggal dunia. Instrumen pidana lebih lazim dilakukan karena proses hukumnya lebih sederhana dan mudah.
107
B. Instrumen Perdata dalam Gugatan Korupsi
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata KUHPerdata di Indonesia sebenarnya ada mengatur mengenai gugatan atas suatu kerugian dari perbuatan
melawan hukum. Hal ini yang disebut dengan istilah “tanggung gugat” yang kemudian diiukuti dengan bentuk ‘pembalikan beban pembuktian’ dan ‘tanggung
gugat risiko’. Dua hal tersebut, yaitu :
108
107
Ibid.
108
Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi Bagian X, 27 Oktober 2008 http:gagasanhukum.wordpress.com20081027prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsi-bagian-x
diakses pada tanggal 3 Juni 2009;
Universitas Sumatera Utara
Pertama, posisi pihak yang dirugikan mungkin diperkuat dengan sambil mempertahankan persyaratan: sifat melanggar hukum dan kesalahan,
mengubah pembagian beban pembuktian yang normal tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian, demi kerugian pelaku
dan oleh demi keuntungan yang dirugikan. Kalau dalam keadaan normal pihak yang dirugikan wajib membuktikan bahwa pelaku telah melakukan
perbuatan melanggar hukum, maka di sini pelanggaran norma dianggap ada, dan selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan dan
persangkaan ini untuk menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar hukum.
Kedua, mungkin pula mempertajam tanggung gugat ditimbulkannya kerugian dengan menimbulkan syarat-syarat: sifat melanggar hukum dan
kesalahan tanggung gugat risiko. Dalam hal ini, masih dapat dibedakan antara hanya meniadakan kesalahan dalam arti sempit di satu pihak dan
peniadaan sifat melanggar hukum dan kesalahan sebagai syarat tanggung gugat di lain pihak. Contoh yang pertama adalah Pasal 6.3.6 Rancangan
KUHPerdata baru Belanda: anak yang masih sangat muda dan orang gila, yang tentu tidak bersalah, dalam keadaan-keadaan tertentu dapat
dinyatakan bertanggung gugat atas perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan. Contoh yang kedua adalah tanggung gugat majikan atas
perbuatan melanggar hukum bawahannya. c.f. Pasal 1367 ayat 3 KUHPerdata.
Gugatan perdata dalam tindak pidana korupsi, lebih berkaitan dengan
penajaman tanggung gugat kesalahan dengan pembalikan beban pembuktian sebagaimana diatur dalam Pasal 1367 KUHPerdata
109
.
109
Pasal 1367 KUHPerdata menentukan :” 1. Seseorang tidak hanya bertanggung jawab, atas kerugian yang disebabkan
perbuatannya sendiri, melainkan juga atas kerugian yang disebabkan perbuatanperbuatan orang- orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan barang-barang yang berada di bawah
pengawasannya. 2. Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh anak-
anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali.
3. Majikan dan orang yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau bawahan mereka
dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada orang-orang itu. 4. Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu orang-orang itu berada di bawah pengawasannya.
Universitas Sumatera Utara
Contoh dalam hal ini Anak A yang berumur tiga tahun merusakkan jendela rumah tetangganya B. A hanya bertanggung gugat atas kerugian B jika A
tidak melakukan kewajibannya selaku “orang tua yang baik” dan menjaga agar anak tersebut tidak menimbulkan kerugian pada pihak ketiga sifat melanggar
hukum dan selain itu, ia dapat disesali karena telah mengabaikan tugasnya itu kesalahan. Maka bentuk tanggung gugat dalam perkara tersebut adalah B tidak
perlu membuktikan bahwa A tidak secukupnya menjaga anaknya. Sebaliknya, untuk menghindari tanggung gugat, maka A harus membuktikan bahwa ia sudah
cukup baik menjaga anak itu.
110
Kaitannya dengan proses perdata yaitu berdasarkan teori hukum normatif dimana pihak yang dibebani tanggungjawab pembuktian pada pokoknya dapat
ditentukan tersendiri oleh undang-undang. Kalau undang-undang sudah menentukan pihak mana yang diberi beban pembuktian, maka pihak itulah yang
bertanggungjawab membuktikan. Misalnya, adanya keadaan memaksa, harus menurut Pasal 1244 KUHPerdata
111
5. Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-masing tidak dapat mencegah perbuatan
itu atas mana meneka seharusnya bertanggung jawab.”
, harus dibuktikan oleh pihak debitur.
110
Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi Bagian X, 27 Oktober 2008.Op.Cit..
111
Pasal 1244 KUHPerdata menentukan :” Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga. bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau
tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya. walaupun tidak ada itikat buruk kepadanya.”
Universitas Sumatera Utara
Barangsiapa menguasai suatu barang bergerak, menurut Pasal 1977 KUHPerdata
112
Demikian pula, dalam Pasal 1394 KUHPerdata , dianggap sebagai pemilik bezitter is eigenaar.
113
Penggunaan instrumen perdata dalam perkara korupsi, menimbulkan kasus perdata yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata yang
berlaku, baik materiil maupun formil. , ditentukan pula bahwa
“Siapa yang mengajukan tiga kuitansi terakhir dianggap telah membayar semua cicilan”.
Pengaturan pada undang-undang korupsi yang terdahulu yaitu Undang- Undang Nomor 3 tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata
untuk mengembalikan kerugian keuangan negara. Tetapi dalam praktek instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya hukuman
tambahan yaitu pembayaran uang pengganti terhadap terpidana vide Pasal 34 C Undang-Undang tersebut
114
112
Pasal 1977 KUHPerdata menentukan : “Barangsiapa menguasai barang bergerak yang tidak berupa bunga atau piutang yang tidak harus di bayar atas tunjuk, dianggap sebagai pemiliknya
sepenuhnya. Walaupun demikian, barangsiapa kehilangan atau kecurian suatu barang, dalam jangka waktu tiga tahun, terhitung sejak hari barang itu hilang atau dicuri itu dikembalikan pemegangnya,
tanpa mengurangi hak orang yang disebut terakhir ini untuk minta ganti rugi kepada orang yang menyerahkan barang itu kepadanya, pula tanpa mengurangi ketentuan Pasal 582.”
. Dalam hal ini JPN melakukan gugatan perdata
113
Pasal 1394 KUHPerdata menentukan : “Mengenai pembayaran sewa rumah, sewa tanah, tunjangan tahunan untuk nafkah, bunga abadi atau bunga cagak hidup, bunga uang pinjaman, dan pada
umumnya segala sesuatu yang harus dibayar tiap tahun atau tiap waktu yang lebih pendek, maka dengan adanya tiga surat tanda pembayaran tiga angsuran berturut-turut, timbul suatu persangkaan
bahwa angsuran-angsuran yang Iebih dahulu telah dibayar lunas, kecuali jika dibuktikan sebaliknya.
114
Pasal 34 C Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 menentukan :” Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari
korupsi.”
Universitas Sumatera Utara
terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan.
Undang-Undang Korupsi yang berlaku saat ini, yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan tegas
menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana pada Pasal 32, 33, 34, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 dan Pasal 38 C Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001. Kasus perdata yang timbul berhubungan dengan penggunaan instrumen
perdata tersebut adalah sebagai berikut:
115
1. Bila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian
keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang
dilakukan. Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 2.
Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi
tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum PU menyerahkan putusan
115
Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi”,http:www.duniaesai.comhukumhukum3.html diakses pada tanggal 14 Februari 2009.
Universitas Sumatera Utara
Hakim kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan
negara Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 3.
Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara.
Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk
dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka Pasal 33 Undang- Undang Nomor 31 tahun 1999.
4. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang
pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada JPN
atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999. 5.
Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana hasil korupsi
yang belum dikenakan perampasan, sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan
karena korupsi, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya Pasal 38 C Undang-Undang Nomor 20
Universitas Sumatera Utara
tahun 2001. Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa hukumnya untuk mewakilinya.
Upaya pengembalian kerugian keuangan negara menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil,
meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Hal ini berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil, maka proses perdata
menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktikan materiil.
C. Implementasi Gugatan In Rem Dalam Sistem Hukum Di Indonesia