Ratifikasi UNCAC PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT

kurun waktu tertentu setelah dilakukannya penyitaan tidak ada pihak lain yang berkeberatan, negara langsung dapat merampas aset yang tak bertuan tersebut. Keberhasilan penggunaan gugatan in rem di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan.

D. Ratifikasi UNCAC

Tidak cukup banyak perhatian diberikan oleh pers ketika Dewan Perwakilan Rakyat DPR pada Sidang Paripurna, tanggal 20 Maret 2006, mengesahkan UU Ratifikasi terhadap Konvensi PBB tentang Anti-Korupsi United Nations Convention Against CorruptionUNCAC, 2003. Bahkan, dipertanyakan pula apakah para anggota dewan, atau para aparat penegak hukum juga sadar mengenai hal ini khususnya terhadap konsekuensi dan pemanfaatannya secara optimal dalam upaya pemberantasan kasus-kasus tindak Universitas Sumatera Utara pidana korupsi. Isu ini diangkat di tengah-tengah upaya para penegak hukum dalam mengejar para koruptor yang melarikan hasil korupsi dari dalam negeri ke luar negeri, maupun di tengah-tengah upaya gencar memberantas korupsi. Saat ini bahkan hidup di tengah masyarakat wacana apakah patut mengampuni para debitor yang melarikan dana BLBI sehingga uang itu kembali, atau menghukum mereka tapi uang tidak kembali. UNCAC adalah konvensi antikorupsi pertama yang berlaku global, yang dirancang untuk mencegah dan memerangi korupsi secara komprehensif. Konvensi itu terdiri dari delapan bab dan 71 pasal, yang cukup ekstensif dan terperinci, dengan mewajibkan negara-negara yang menjadi pihak untuk menerapkan langkah-langkah anti-korupsi ini secara meluas dan terperinci sehingga akan berdampak langsung pada berbagai undang-undang, institusi maupun pelaksanaannya. Artinya, harus ada upaya memadukan konvensi itu dalam aturan-aturan lokal. Sementara itu semua negara yang menjadi pihak wajib memberikan kerja sama internasional untuk memberantas korupsi. UNCAC yang pertama kali ditandatangani di Merida, Meksiko, pada 9 Desember 2003, diikuti oleh 133 negara. Setelah diratifikasi sekurangnya oleh 30 negara, ia berlaku efektif 14 Desember 2005. Diharapkan pada akhir tahun ini akan digelar sebuah konferensi PBB yang menghadirkan seluruh negara yang menjadi pihak sebagai tindak lanjutnya dan berharap akan semakin banyak negara meratifikasinya, sehingga UNCAC benar-benar menjadi instrumen global yang kuat. Dengan meratifikasi UNCAC, sepatutnya salah satu aspek dari Universitas Sumatera Utara konvensi itu adalah runtuhnya hambatan birokrasi dari negara-negara sahabat yang selama ini dinilai mempersulit upaya para penegak hukum dalam memburu para koruptor dan kekayaannya. Namun, seperti yang disinyalir oleh sejumlah kalangan, sehebat apa pun instrumen pemberantasan korupsi, tetap saja semua kembali kepada para aparat penegak hukumnya. Artinya, harus ada perubahan budaya dan moralitas para aparat penegak hukum. Kasus-kasus mafia pengadilan, bahkan ribut-ribut antara Komisi Yudisial dengan para hakim agung di Mahkamah Agung, misalnya, menunjukkan ada persoalan cukup serius dalam dunia penegakan hukum. Itu pula yang disebut sejumlah kalangan mengapa para penegak hukum di negara-negara lain banyak yang tidak percaya dengan kinerja aparat penegak hukum Indonesia, sehingga bantuan agak seret diberikan karena meragukan kredibilitas dan kejujuran aparat. Kesediaan Indonesia menjadi salah satu dari 130 negara yang menjadi pihak di UNCAC menunjukkan adanya tekad untuk membersihkan diri. Hal itu baik bagi sebuah negara yang diletakkan dalam ranking ke-6 negara terkorup di dunia, demi mengubah diri menjadi bangsa bermartabat dan bersih. Hanya saja, jangan sampai hal ini sekadar formalitas, sehingga hanya ideal di atas kertas dan tidak ada tindak lanjutnya. Nanti akan dievaluasi, apakah setelah diratifikasi para birokratnya akan tetap senang korupsi, pengusahanya masih saja suka curang, Universitas Sumatera Utara jaksa, dan polisinya masih suka disuap, atau hakimnya juga masih suka tidak memberi kepastian hukum, dst. 154 Menyelamatkan aset negara yang telah dijarah koruptor, terutama para diktator, tidaklah mudah. Pemburuan harta koruptor yang telah dicuci money laundering melalui mekanisme keuangan dan investasi internasional akan menghadapi kendala hukum dan politik yang pelik. Karena itu, harus dipersiapkan strategi yang matang untuk mengembalikan harta rakyat yang telah dicuri orang yang telah menyalahgunakan kekuasaannya itu. Pencurian aset negara oleh kepala negara terjadi di berbagai negara, terutama di negara-negara berkembang dengan sistem politik otoriter, antara lain: 155 1. David A. Chaikin 2001, penasihat hukum pemerintah Filipina dalam pengembalian aset yang dijarah mantan Presiden Marcos, memetakan berbagai modus korupsi yang dilakukan para diktator dan kesulitan yang dihadapi dalam pengembalian aset itu. Sah Iran termasuk dalam daftar diktator yang korup itu. Dia diperkirakan mencuri harta negara senilai USD 35 miliar selama 25 tahun berkuasa. Sang diktator itu menggunakan yayasan dan kegiatan sosial untuk menutupi kejahatan korupsinya. 154 Harian Sinar Harapan, “Ratifikasi UNCAC”, 23 Maret 2006, diakses pada http:www.sinarharapan.co.idberita060323taj01.html, tanggal 11 Mei 2009; 155 Jawa Post,” Konferensi UNCAC Bali; Menyelamatkan Aset Negara”, dalam http:www.antikorupsi.orgmod.php?mod=publisherop=viewarticlecid=6artid=12121, diakses 11 Mei 2009. Universitas Sumatera Utara Namun, pemerintah Islam di bawah Ayatullah Khomeini tidak berhasil menyelamatkan satu sen pun dari harta yang dijarah. 2. Ferdinand Marcos menjarah harta rakyat, sebagian diinvestasikan dalam batangan emas, dengan menyalahgunakan kekuasaannya sebagai presiden Filipina dari 1965 sampai 1986. Sang tiran itu dan keluarganya meraup harta haram lebih dari USD 5 miliar. Dengan bantuan pejabat bank dan pengacara Swiss, Marcos menggunakan nama palsu seperti William Saunders, nama orang lain, dan membuat yayasan di Liechtenstein untuk menutupi kejahatan korupsinya. Saking besarnya harta yang dicuri, Guinnes Book of Records memasukkannya sebagai salah satu pencuri terbesar dalam sejarah. Meski demikian, pihak otoritas Swiss hanya menemukan USD 340 juta aset Marcos. Setelah sepuluh tahun proses litigasi, uang itu dan bunganya berhasil dikembalikan kepada rakyat Filipina. 3. Nicholas Ceausescu, mantan kepala negara komunis Rumania, mencuri harta negara sebesar jutaan dolar Amerika untuk kepentingan kekuasaan dan keluarganya selama lebih dari 20 tahun berkuasa. Tim investigasi dari Kanada berhasil melacak aset yang dikorup Ceausescu dalam jumlah signifikan. Tetapi, karena kemauan politik yang lemah, pemerintah yang berkuasa tidak menindaklanjuti hasil temuan tersebut. Universitas Sumatera Utara Menurut Roby Arya Brata, kandidat doktor kebijakan antikorupsi pada The Australian National University ANU 156 Negara pihak UNCAC harus terus mengupayakan dan memperkuat harmonisasi sistem hukum perdata, pidana, ekstradisi, dan keuangan internasional untuk mempermudah pengembalian aset, yaitu : , dari pengalaman pemburuan harta para diktator, ada tiga hal yang menjadi perhatian. Pertama, korupsi adalah masalah global dan kejahatan lintas batas. Karena itu, penyelesaian dan penegakan hukum antikorupsi nasional tidak akan pernah efektif tanpa memperkuat sistem kerja sama dan penegakan hukum antikorupsi internasional. Selama masih ada negara yang melindungi koruptor, seperti Swiss dan Singapura, selama itu pula korupsi akbar para penguasa akan terus berlangsung. 157 1. Pertama, UNCAC otomatis menjadi perjanjian ekstradisi multilateral bagi negara pihak. Untuk itu, harus ada sistem disinsentif internasional bagi negara yang menolak menjadi pihak UNCAC atau perjanjian ekstradisi. 2. Kedua, Badan atau komisi ahli PBB sangat perlu dibentu untuk membantu dan mengoordinasikan upaya negara-negara dalam pengembalian aset hasil korupsi. Badan ini terdiri atas para ahli dan profesional dalam bidang antikorupsi, investigasi, keuangan, dan hukum internasional. Dalam kerangka UNCAC dan dengan kuasa khusus dari negara yang meminta requesting 156 Ibid. 157 157 Jawa Post,” Konferensi UNCAC Bali; Menyelamatkan Aset Negara”, Op.Cit Universitas Sumatera Utara state, badan ini melakukan investigasi dan upaya hukum untuk mengembalikan aset itu. 3. Ketiga, sistem antikorupsi internasional sebaliknya tidak akan pernah efektif tanpa kemauan politik pemimpin nasional untuk mengembalikan aset hasil jarahan para penguasa. Karena itu, sekali lagi, perlu dibuat sistem disinsentif nasional maupun internasional bagi negara dan pemimpin pemerintahan yang tidak memiliki komitmen dalam pemberantasan korupsi dan pengembalian aset koruptor. Misalnya, perlu dibuat daftar hitam oleh PBB atau lembaga swadaya masyarakat internasional independen bagi negara dan pemimpin pemerintahan yang tak memiliki komitmen atau tidak mau dengan sungguh- sungguh mengimplementasikan UNCAC dalam hukum nasionalnya. 4. Keempat, selanjutnya yang dapat dilakukan untuk mengembalikan harta rakyat yang telah dijarah para koruptor dan dicuci di luar negeri antara lain, pemerintah perlu membentuk tim yang kuat yang terdiri atas para pakar dan profesional baik nasional maupun internasional. Tim pemburu aset koruptor Kejaksaan Agung selama ini kurang efektif. Perlu dimasukkan dalam tim itu pakar internasional yang berpengalaman dalam pengembalian aset yang dijarah para koruptor. Secara simultan, kerangka UNCAC terus diperkuat. Selain itu, pemerintah harus mengawasi dengan ketat dan sistematik terhadap pembukaan rekening bank dan transaksi keuangan oleh pejabat publik. Keuntungan sita perdata, menurut Salman Maryadi Direktur Penuntutan pada Jampidsus, penanganan aset relatif menjadi lebih cepat. Sebab dalam Universitas Sumatera Utara pidana, penentuan tersangka harus melalui proses yang panjang. Harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat, bukan sekadar bukti permulaan yang cukup. Secara teori, lanjut Salman, yang “dianggap jahat” adalah benda atau asetnya. Sedangkan pemilik benda “yang dianggap jahat” bukan menjadi fokus dalam sita perdata ini. 158 “Cara luar biasa” dan “cara yang khusus” yang dimaksud adalah pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, alat bukti elektronik, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai delik formil, korporasi sebagai subyek tindak pidana korupsi, ancaman pidana minimum, pidana penjara bagi terpidana yang tidak dapat membayar uang pengganti, perluasan pengertian pegawai negeri, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara dan sebagainya. Kalau diperhatikan uraian mengenai hambatan-hambatan yang diperkirakan dapat timbul dalam penggunaan instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, maka gugatan perdata terhadap tersangka, terdakwa atau terpidana yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 merupakan upaya standard bahkan konvensional dan sama sekali bukan “cara luar biasa” atau “cara yang khusus”. Mengingat proses perdata yang tidak mudah, maka dapat diperkirakan bahwa upaya pengembalian kerugian keuangan negara sulit memperoleh 158 “Sita Perdata, Terobosan Baru Dalam RUU Tipikor”, dalam http:www.hukumonline.comdetail.asp?id=18005cl=Berita, diakses 11 Mei 2009. Universitas Sumatera Utara keberhasilan. Kalau ketidakber-hasilan ini sering terjadi, maka akan menimbulkan penilaian yang keliru, khususnya terhadap JPN karena dianggap gagal melaksanakan perintah Undang-Undang.

E. Kendala-kendala Dalam Menerapkan Instrumen Gugatan Bersifat In Rem