tahun 2001. Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa hukumnya untuk mewakilinya.
Upaya pengembalian kerugian keuangan negara menggunakan instrument perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata materiil maupun formil,
meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Hal ini berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil, maka proses perdata
menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit daripada pembuktikan materiil.
C. Implementasi Gugatan In Rem Dalam Sistem Hukum Di Indonesia
Konsep menggugat aset koruptor secara perdata bukanlah hal yang baru di Indonesia. Pemerintah sudah memulai memperkenalkan upaya ini melalui
Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo. Pasal 38 Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi.
Misalnya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 memperbolehkan JPN untuk menggugat aset koruptor secara perdata
apabila telah terbukti adanya “kerugian negara” tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsur-unsur pidana korupsi.
116
Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Jo Undang- Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
116
Bismar Nasution, Memerankan Rejim Civil Forfeiture Memberantas Korupsi,Op.Cit. Hal 2.
Universitas Sumatera Utara
dinyatakan pemberantasan korupsi dengan “cara luar biasa” dan dengan “cara yang khusus”, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistimatik dan meluas
serta telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Khusus mengenai kondisi sebagaimana diatur dalam Pasal 38 C Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, menunjukkan bahwa gugatan perdata merupakan komplemen atas kegagalan
proses pidana melakukan perampasan kekayaan terpidana yang diduga dari hasil korupsi. Gugatan perdata itu pun tampak bersifat fakultatif tidak wajib. Hal
tersebut dapat dipahami dari kata “negara dapat melakukan gugatan perdata”, yang berarti pula negara dapat juga tidak mempersoalkan kekayaan tersebut atau
tidak menggugat kekayaan yang diduga hasil korupsi. Apabila gugatan perdata merupakan instrumen yang komplementer dari perampasan seharusnya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 menjadikannya sebagai kewajiban. Ketentuan tersebut sesungguhnya tidak
mencerminkan prinsip pengembalian aset negara atau kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Seyogianya, kata “dapat” dalam frasa ketentuan pasal
tersebut dihilangkan, sehingga JPN menjadi wajib. Hal ini sejalan dengan prinsip “assets recovery”, sehingga semangat pemberantasan tindak pidana korupsi tidak
Universitas Sumatera Utara
hanya terkesan menekankan pemidanaan terdakwa atau koruptor, namun juga pengembalian kerugian keuangan negara.
117
Beberapa kegunaan gugatan bersifat in rem sebagai alat yang berguna untuk menyita dan mengambilalih aset dari para koruptor di Indonesia dalam
membantu para aparat hukum dalam proses pengembalian aset para koruptor, yaitu:
1. Tidak menunggu penanganan secara pidana;
2. Adanya pembuktian secara perdata tanpa unsur kerugian negara.
3. Bertitik tolak terhadap asetkekayaan
Ad. 1. Tidak menunggu penanganan secara pidana;
Upaya penyitaan terhadap aset koruptor harus dilakukan secara cepat dan tepat merupakan hal yang penting dalam melaksanakan proses stolen asset
recovery. karena seringkali para koruptor memindahkan asetnya ke luar negeri untuk mempersulit aparat hukum Indonesia dalam menyita dan mengambilnya
begitu ada indikasi bahwa dirinya akan diperiksa dalam keterlibatan sebuah tindak pidana.
Ketentuan hukum terdahulu yang berlaku di Indonesia mengisyaratkan pemberantasan korupsi harus mendahulukan instrumen hukum pidana, yaitu
117
Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi Bagian VI, 29 September 2008 http:gagasanhukum.wordpress.com20080929prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsi-bagian-vi
diakses pada tanggal 3 Juni 2009;
Universitas Sumatera Utara
berupa penundaan tuntutan mengenai ganti rugi,
118
gugatan perdata merupakan upaya terakhir
119
, dan mengutamakan penanganan secara pidana.
120
Gugatan perdata dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 hanya dapat dilakukan setelah adanya
status tersangka, terdakwa atau terpidana. Mengingat cepatnya aset berpindah tangan, penerapan gugatan bersifat in rem mempunyai kelebihan untuk
melakukan penyitaan karena gugatan yang diajukan dapat dimasukkan ke pengadilan sebelum adanya status tersangka atau bahkan sebelum pelaku tindak
pidananya diketahui identitasnya, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan daripada criminal forfeiture. Berbeda dengan penyitaan dalam
proses pidana yang mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah, penyitaan civil forfeiture dapat dilakukan dengan secepat mungkin
begitu pemerintah menduga adanya hubungan antara sebuah aset dengan tindak pidana.
121
118
Pasal 29 AB Algemene Bepalingen van Wetgevin voor Indonesie yaitu Peraturan Umum mengenai Perundang-Undangan untuk Indonesia menentukan :” Selama dalam proses tuntutan pidana,
ditundalah tuntutan perdata mengenai ganti rugi yang sedang ditangani oleh hakim perdata, dengan tidak mengurangi cara-cara pencegahan yang diperkenankan oleh undang-undang.”
119
Pasal 32, 33 dan 34 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mengisyaratkan bahwa pengajuan gugat perdata oleh Jaksa Pengacara Negara baru dapat dilakukan
sesudah penuntutan perkara pidana terhadap tindak pidana korupsi tidak dapat dilakukan.
120
Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 052JAV1996, yang mengatur hubungan antara Satuan Kerja Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara dengan satuan kerja lainnya,
menentukan bahwa jika satu perkara ditangani bersama-sama secara pidana dan secara perdata, maka penanganan secara pidana harus didahulukan.
121
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery StAR Initiative. Ibid. Hal 7
Universitas Sumatera Utara
Ad. 2 Adanya pembuktian secara perdata tanpa unsur kerugian negara.
a. Tindakan korupsi di sektor pemerintah
Upaya hukum gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara ternyata tidak mencakup keseluruhan jenis tindak pidana korupsi yang diatur
dalam UU PTPK. Hal tersebut disebabkan penyebutan tindak pidana korupsi yang menimbulkan kerugian keuangan negara hanya diatur dalam dua pasal.
Pasal yang dimaksud, yaitu Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 3 UU PTPK. Ketentuan lain yang mengatur jenis tindak pidana korupsi sama sekali
tidak menyinggung kemungkinan dapat atau secara nyata menimbulkan kerugian keuangan negara. Secara keseluruhan, tindak pidana korupsi yang diatur dalam
UU PTPK, meliputi ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12 B, 13, 14, 15, 16 untuk jenis “Tindak Pidana Korupsi”. Di sisi lain dikenal
“Tindak Pidana Lain yang Berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi”, yang diatur dalam Pasal 21, 22, 23, dan 24 UU PTPK. Jenis ini tidak dapat
dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi meskipun diatur dalam UU PTPK.
122
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi KPK membedakan tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 13 UU PTPK
tersebut kedalam 30 tiga puluh jenis. Berdasarkan pengelompokan yang dibuat
122
Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi Bagian VI, 29 September 2008 http:gagasanhukum.wordpress.com20080929prinsip-pengembalian-aset-hasil-korupsi-bagian-vi
diakses pada tanggal 3 Juni 2009;
Universitas Sumatera Utara
oleh KPK, tindak pidana korupsi yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara hanya diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Jenis tindak pidana
korupsi selebihnya 28 jenis dianggap tidak memiliki unsur merugikan keuangan negara, sehingga tidak dapat dilakukan upaya gugatan perdata sebagaimana
tindak pidana korupsi yang dapat menimbulkan kerugian keuangan negara.
123
Menentukan keberadaan dan besarnya kerugian negara selalu menjadi perdebatan antara berbagai pihak, misalnya antara terdakwa dan pembelanya
dengan jaksa penuntut umum. Untuk menentukan hal tersebut, selama ini jaksa banyak dibantu ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, atau
ahli lain yang ditunjuk. Keterangan dari ahli ini diberikan berdasarkan keahlian atau setelah melakukan semacam audit khusus terhadap instansi atau perusahaan
yang menimbulkan kerugian negara. Apabila kerugian negara ini terkait dengan suatu barang yang sulit untuk dilakukan penilaian, misalnya pabrik petrokimia
perlu dilakukan penilaian oleh jasa penilai, maka untuk melakukan penilaian ini perlu dilakukan dengan metode yang prudence dan baku.
124
Untuk itu perlu diatur tentang metode yang dapat dilakukan jasa penilai agar diperoleh hasil yang standar yang dapat diterima semua pihak. Keterangan
ahli ini diperlukan untuk menjelaskan dan membuktikan kerugian negara yang timbul dan berasal dari berbagai transaksi yang disebutkan di atas yang terkait
123
Ibid.
124
Yunus Husein [Kepala PPATK dan Anggota Komite Nasional Kebijakan Governance] Kerugian
Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi , 24 Juni 2008 http:www.legalitas.org?q=contentkerugian-negara-dalam-tindak-pidana-korupsi
diakses pada tanggal 10 September 2009;
Universitas Sumatera Utara
dengan terdakwa, misalnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK dapat membantu dengan memberikan laporan hasil analisisnya tentang
berbagai transaksi yang menimbulkan kerugian negara tersebut. Di samping itu, PPATK juga dapat membantu melihat perbuatan melawan hukum yang
menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melihat berbagai transaksi dari pihak-pihak yang terkait, misalnya melihat apakah ada penyuapan kickback
yang diterima seorang pejabat negara.
125
b. Tindakan korupsi di sektor swasta
Tindak pidana korupsi yang tidak merugikan keuangan negara secara langsung, seperti tindak pidana penyuapan. Dalam hal ini yang dirugikan adalah
masyarakat, bukan negara. Walaupun tidak merugikan keuangan negara, dampak tindak pidana suap ini sangat merugikan pelaku pasar yang secara tidak langsung
dapat merugikan perekonomian. Banyaknya suap akan menimbulkan high cost economy yang membuat
daya saing pelaku pasar menjadi lemah dan harga barang menjadi lebih mahal. Hal ini memberatkan masyarakat. Suap ini sangat merugikan rakyat kecil yang
tidak memiliki uang dan kekuasaan. Pengaturan gugatan in rem mengadopsi prinsip pembuktian terbalik
dimana para pihak yang merasa keberatan apabila yang membuktikan aset yang
125
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi yang mengakibatkan adanya kerugian pada negara.
126
Tugas JPN dalam gugatan in rem adalah cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak
pidana korupsi. Hal tersebut yang membedakan dengan gugatan perdata dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang memberikan beban pembuktian
adanya unsur kerugian negara kepada JPN.
127
Sistem pembuktian undang-undang tindak pindana korupsi diterapkan pembuktian terbalik, sebagaimana diatur dalam penjelasannya. Sistem ini tidak
sama dengan hukum pembuktian dalam KUHAP dalam hal hukum pembuktian, maka sistem hukum KUHAP sama dengan sistem HIR.
128
Keduanya memiliki persamaan dalam sistem dan cara menggunakan alat bukti, yakni sistem
pembuktian negatif menurut undang-undang negatief wettelijke yang tercermin dalam Pasal 183 KUHAP
129
dan Pasal 294 ayat 1 HIR.
130
126
Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi Bagian VI, 29 September 2008 Ibid.
127
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menentukan :” Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara”, kemudian dalam Pasal 3 menentukan:” Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara.”
128
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999, Bandung : Mandar Maju, 2001, Hal 100
129
Pasal 183 KUHAP menentukan :” Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Universitas Sumatera Utara
Pembuktian tindak pidana korupsi selain merupakan kewajiban penuntut umum, terdakwa juga mempunyai beban pembuktian, yaitu terdakwa wajib
membuktikan tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta benda miliknya, harta benda isterinya atau
suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan. Beban pembuktian pada terdakwa
disebut “pembuktian terbalik terbatas” Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999.
131
Penerapan pembalikan beban pembuktian dalam perkara pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 38 B jo Pasal 37 UU PTPK, bukan digunakan
secara langsung untuk membuktikan terjadinya tindak pidana, tetapi bagi terdakwa digunakan agar hakim tidak menjatuhkan pidana perampasan barang
terhadap harta benda yang belum didakwakan. Pembalikan beban pembuktian bagi jaksa penuntut umum digunakan untuk menuntut agar hakim menjatuhkan
pidana perampasan barang. Kepentingan hakim dalam pembalikan beban pembuktian digunakan untuk menolak tuntutan jaksa penuntut umum atau
130
Pasal 294 ayat 1 HIR menentukan : Tiada seorang pun dapat dihukum, kecuali hakim berdasarkan alai alat bukti yang sah, memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi
dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukannya.
131
Penjelasan Pasal 37 menentukan :”Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang memnetukan bahwa jaksa yang wajib
membuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuan ini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan
hal tersebut tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktian terbalik
yang terbatas, karena jaksa masih tetap wjib membuktikan dakwaannya.
Universitas Sumatera Utara
menerimanya in casu untuk menjatuhkan pidana perampasan harta benda yang belum didakwakan.
132
Pembalikan beban pembuktian secara ekstensif dapat juga dilakukan dalam hal gugatan perdata sehubungan dengan Pasal 38 C UU PTPK. Apabila
demikian, maka hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan tergugat.
133
Menurut M. Yahya Harahap dikenal ada 4 empat macam teori pembuktian, yaitu:
134
1. Sistem pembuktian conviction in time, menentukan salah tidaknya terdakwa
semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan terdakwa terbukti melakukan kesalahan, dari mana hakim
menarik dan menyimpulkan keyakinannya tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
2. Sistem pembuktian conviction rasionce, dalam sistem ini pun dapat
dikatakan keyakinan hakim tetap memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa, akan tetapi dalam sistem pembuktian
ini keyakinan hakim dibatasi, yang mana keyakinan hakim itu harus didukung dengan alasan-alasan yang jelas.
132
Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Aset Hasil Korupsi Bagian VI, Op.Cit.
133
Ibid.
134
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, Hal 797
Universitas Sumatera Utara
3. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, dalam
membuktikan kesalahan terdakwa sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditemukan undang-undang. Untuk
membuktikan salah tidaknya terdakwa semata-mata digantungkan kepada alat bukti yang sah.
4. Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif, sistem ini
merupakan teori gabungan antara sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.
135
Menurut Adami Chazawi, dinyatakan bahwa ada tiga sistem pembebanan pembuktian tindak pidana korupsi sebagai kemajuan yang luar biasa dalam
sistem hukum Indonesia yaitu tidak lagi terfokus pada JPU untuk membuktikan kesalahan terdakwa terhadap tindak pidana yang didakwakannya, yaitu antara
lain:
136
1. Pertama, sistem pembebanan sepenuhnya pada terdakwa in casu jika
terdakwa tidak berhasil membuktikan bahwa ia tidak bersalah mengenai
135
Sistem pembuktian Conviction-in Time menentukan salah tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang menentukan
keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat
bukti yang diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan dan pengakuan terdakwa. Sistem
pembuktian ini, sudah barang tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka tanpa didukung oleh alat bukti yang
cukup. Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa. M. Yahya Harahap, , Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi Kedua, 1985, hal. 256
136
Adami Chazawi,Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung : PT. Alumni, 2006 Hal 411.
Universitas Sumatera Utara
tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka dia dianggap telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi tersebut sistem pembuktian
terbalik; 2.
Kedua, sistem pembebanan sebagian kepada terdakwa, bila tidak berhasil membuktikan ketidakbersalahannya dalam tindak pidana korupsi yang
didakwakan in casu asal muasal kekayaannya yang didakwakan maupun yang belumtidak didakwakan, maka akan digunakan untuk memperkuat
bukti yang sudah ada in casu JPU bahwa terdakwa telah bebrsalah melakukan tindak pidana korupsi. Sistem ini disebut dengan semi terbalik.
3. Ketiga, khusus tindak pidana korupsi menerima pemberian gratifikasi sistem
berimbang bersyarat. Jika penerimaan gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah atau lebih maka berlaku sistem terbalik.
Ada juga yang menyebutnya dengan sistem terbalik murni, yakni pembuktian yang ada pada terdakwa sendiri. Jika terdakwa berhasil
membuktikan ketidakbersalahannya, maka keberhasilan terdakwa itu digunakan majelis hakim untuk menyatakan bahwa dakwaan JPU tidak
terbukti Pasal 37 ayat 2. Dalam hal demikian JPU pasif dan pembuktian JPU tidak diperlukan. Akan tetapi, dalam hal nilai penerimaan gratifikasi itu
kurang dari Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah pembuktian ada pada JPU dengan menggunakan sistem biasa. Jadi, syarat dalam sistem
berimbang bersyarat dalam hal hendak menggunakan sistem terbalik atau
Universitas Sumatera Utara
sistem biasa yang diletakkan pada syarat nilai kurang atau lebih dan Rp. 10.000.000,00 sepuluh juta rupiah.
Martiman Prodjohamidjojo
137
Penerapan pembuktian terbalik yang digunakan untuk menghukum terdakwa, ini jelas bertentangan dengan beberapa asas hukum pidana di
Indonesia yaitu asas praduga tidak bersalah presumption of innocence dan non- selfincrimination. Asas praduga tidak bersalah sudah lama dikenal di Indonesia,
yang sekarang diatur dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 tentang Hak Asasi Manusia; Asas ini intinya menyatakan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan dan dituntut karena disangka melakukan tindak
pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahannnya secara sah dalam sidang pengadilan. Sementara itu asas non-selfincrimination ditemui
dalam praktek dan dalam peraturan tertulis di Indonesia seperti dalam undang- undang tentang Hak Asasi Manusia.
memandang bahwa sistem hukum pembuktian diartikan sebagai suatu keseluruhan dari unsur-unsur hukum
pembuktian yang berkaitan dan berhubungan satu dengan yang lain serta saling berpengaruh mempengaruhi dalam suatu keseluruhan atau kebulatan.
138
137
Martiman Prodjohamidjojo, Penerapan Pembuktian Terbalik dalam Delik Korupsi UU No. 31 Tahun 1999, Bandung : Mandar Maju, 2001, Hal 98
138
Mulyanto, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, Varia Peradilan No. 254 Januari 2007, Hal 46
Universitas Sumatera Utara
Artidjo Alkostar,
139
Pada gugatan in rem yang dianut pada sistem hukum Common Law, asas praduga tak bersalah dikenal dengan istilah the privilege against self
incrimination yaitu seseorang tidak dapat dituntut secara pidana atas dasar keterangan yang diberikannya atau dokumen yang ditunjukkannya. Secara
konsekuensi tersangka atau terdakwa dapat diam dan tidak menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, asas ini dapat berjalan dengan baik di Negara yang
menganut sistem hukum common law, akan tetapi sistem hukum di Negara Indonesia apabila terdakwa tidak menjawab pertanyaaan yang diajukan, maka hal
itu dianggap menyulitkan jalannya persidangan hingga dapat memperberat hukuman nantinya, sehingga terdapat kecendrungan seorang terdakwa akan
menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, hingga pada akhirnya tidak merugikan dirinya.
pemberlakuan pembuktian terbalik dituntut untuk memiliki postulat moral yang kokoh sehingga dalam aplikasinya memiliki nilai
legitimasi yang kuat dan tidak kontradiktif dengan prinsip hukum yang universal. Sehingga jika atas dasar tuntutan sosial-politik harus membenarkan adanya
diskriminasi positif dengan pemberlakuan pembuktian terbalik kepada kejahatan korupsi dalam dalam kacamata penegakan hukum terlihat sudah menjadi extra-
ordinary crime di Indonesia.
140
139
Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern,Yogyakarta : FH-UII Press, 2008 Hal 99-100.
140
Mulyanto, Pembuktian terbalik dalam tindak pidana pencucian uang, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun ke XXII No. 254 , Jakarta : Ikatan Hakim Indonesia, 2007 Hal 46
Universitas Sumatera Utara
Pada sistem hukum di Indonesia, objek yang wajib dibuktikan oleh masing-masing pihak berbeda, tetapi agar dapat menguntungkan bagi
pembuktian jaksa penuntut umum, maka hasil akhir pembuktian dari terdakwa haruslah ada hubungan dengan hasil pembuktian jaksa penuntut umum. Indikator
adanya hubungan itu, adalah :
141
1. Pertama, terdakwa tidak berhasil membuktikan tentang adanya
keseimbangan antara harta bendanya dengan sumber pendapatannya atau sumber penambahan kekayaannya Pasal 37 ayat 2
2. Kedua, jaksa dapat membuktikan bahwa menurut sifat dan keadaannya serta
berdasarkan akal, tindak pidana yang didakwakan menghasilkan kekayaan. Misalnya, menerima suap, menggelapkan uang Negara atau
menyalahgunakan kewenangan. Analisis perbandingan mengenai ketentuan pembalikan beban
pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maka peraturan terdahulu tidak mengatur mengenai
kesalahan pelaku dengan asas praduga tidak bersalah presumption of innocence untuk melakukan pembalikan beban pembuktian akan tetapi hanya terhadap
kewajiban tersangka untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya
141
Adami Chazawi , Ibid. Hal 147
Universitas Sumatera Utara
dan harta benda isterisuami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa.
142
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 5 ayat 1 Perpu Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi,
menyebutkan, “Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isterisuami dan anak dan harta benda sesuatu
badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa”. Substansi pasal ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya
apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan
tentang seluruh harta bendanya. Akan tetapi dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 diatur
mengenai pembalikan beban pembuktian baik terhadap kesalahan maupun harta kepemilikan pelaku tindak pidana korupsi. Ketentuan kedua pasal tersebut
mensiratkan adanya beberapa asumsi yaitu di satu sisi, dimensi pembalikan beban pembuktian untuk kesalahan pelaku dan kepemilikan harta terdakwa hanya
diperkenankan sepanjang hakim memandang perlu untuk kepentingan pemeriksaan. Konsekuensi logisnya, di sisi lain maka pembalikan beban
pembuktian tidak dimiliki terdakwa sebagai hak dan terdakwa baru dapat
142
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi, Program Pascasarjana Program Studi Doktor S3 Universitas
Padjadjaran, Bandung, 2007, hlm. 241.
Universitas Sumatera Utara
mempergunakan pembalikan beban pembuktian sepanjang hakim
memperkenankan untuk keperluan pemeriksaan.
143
Akan tetapi, apabila dicermati sebenarnya ketentuan Pasal 37 ayat 1, dan 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 sifatnya semu. Dikatakan
demikian, disebabkan ada tidaknya ketentuan tersebut tidak berpengaruh banyak terhadap hak terdakwa untuk melakukan pembelaan diri. Dapat dikatakan lebih
jauh, tanpa adanya ketentuan itu maka dalam persidangan terdakwa lazimnya akan menyangkal dakwaan yang diajukan kepadanya dan sedapat mungkin
berusaha lepas dari dakwaan jaksa penuntut umum.
144
Istilah asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocence Inggris, presumption deinnocence Perancis, presumptie van onschuldig
Belanda diatur ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004, Penjelasan Umum angka 3 huruf c KUHAP, Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999, Bab XA UUD 1945 beserta Perubahannya tidak mencantumkan secara tegas asas ini seperti ketentuan Pasal 14 ayat 1
Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950 yang berbunyi, “Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan sesuatu peristiwa pidana berhak dianggap tak
Sehingga penerapan pada gugatan in rem bisa digunakan untuk memberikan kepastian hukum bagi
terdakwa dalam membela dirinya di persidangan.
143
Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi
Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Ibid.
144
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya dalam suatu sidang pengadilan, menurut aturan-aturan hukum yang berlaku dan ia dalam sidang itu diberikan
segala jaminan yang telah ditentukan dan yang perlu untuk pembelaan”.
145
Dalam sistem peradilan di manapun, pada umumnya, dianut prinsip bahwa siapa yang mendalilkan sesuatu, maka dialah yang harus membuktikan
dalilnya itu.
146
“It is an ancient rule founded on considerations of good sense, and it should not be departed from without strong reasons”
147
Praktik pembalikan beban pembuktian di Hong Kong Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Hui Kin
Hong dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Lee Kwang Kut dan India Putusan Mahkamah Agung India antara
State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan Putusan Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General for India AIR 1963 SC 255
dilakukan terhadap asal usul kepemilikan harta pelaku dengan mempergunakan . Namun, dalam
perkara-perkara tertentu, seperti dalam hukum lingkungan, berlaku prinsip pembebanan terbalik atau yang biasanya disebut sebagai strict liability.
145
Lilik Mulyadi, “Politik Hukum Kebijakan Legislasi Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Indonesia Terhadap Pembalikan Beban Pembuktian” diakses
pada http:www.badilum.infoimagesstoriesartikelpolitik_hukum_kebijakan_legislasi_dalam_uu_pember
antasan_tipikor_indonesia_terhadap_pembalikan_beban_pembuktian.pdf tanggal 5 Juni 2009
146
Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Jakarta : Konstitusi Press, 2006 Hal 260 sebagaimana dikutip dari Phipson and Elliot, “The eneral rule is that he who asserts
must prove, whether the allegation be an affirmative or a negative one, and not he who denies”. D.W. Elliot, Phipson and Elliot Manual of the Law of Evidence, Universal Law Publishing Co. Pvt. Ltd.,
Indian Reprint 2001, hal. 52.
147
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit sebagaimana dikutip dari Joseph Constantine Steamship Line Ltd vs Imperial Smelting Corporation Ltd 1942 A.C. 154, hal. 174.
Universitas Sumatera Utara
teori pembalikan beban pembuktian probabilitas berimbang balanced probability principles sehingga implementasinya tetap menjunjung tinggi hak
asasi manusia dan ketentuan hukum acara pidana. Teori balanced probability principles
148
Kemudian secara bersamaan di satu sisi khusus terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi diterapkan asas pembalikan beban
pembuktian melalui teori probabilitas berimbang yang diturunkan lowest balanced probability principles sehingga kedudukannya lebih rendah
dibandingkan dengan asas praduga tidak bersalah presumption of innocence karena harta kekayaan orang ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku
tersebut dalam kedudukan belum kaya. menempatkan hak asasi pelaku
tindak pidana korupsi dalam kedudukan level paling tinggi mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi highest balanced probability
principles dengan sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif atau beyond reasonable doubt.
Kebijakan legislasi dalam peraturan tindak pidana korupsi Indonesia khususnya ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 terdapat ketidakjelasan dan ketidakharmonisan perumusan norma pembalikan
beban pembuktian. Ketentuan Pasal 12B dari perspektif perumusan unsur delik
148
Oliver Stolpe, Meeting the burden of proof in corruption-related legal proceedings,
unpublished, Hal 1
Universitas Sumatera Utara
dicantumkan secara lengkap dan jelas materiele feit dalam satu pasal sehingga membawa implikasi yuridis Jaksa Penuntut Umum imperatif membuktikan
perumusan delik tersebut dan konsekuensinya pasal tersebut salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa untuk dibuktikan
sebaliknya malah tidak ada. Ketentuan Pasal 37 senyatanya bukanlah pembalikan beban pembuktian
karena dicantumkan ataukah tidak norma pasal tersebut tidak akan berpengaruh bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan terhadap dakwaan menurut sistem
accusatoir yang dianut Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 38B hanya ditujukan terhadap pembalikan beban pembuktian untuk harta benda yang
belum didakwakan dan hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok Pasal 37A ayat 3 dan tidak dapat dijatuhkan terhadap gratifikasi sesuai
ketentuan Pasal 12B ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Oleh karena itu, khusus terhadap
gratifikasi Jaksa Penuntut Umum tidak dapat melakukan perampasan harta pelaku yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, begitupun sebaliknya
terdakwa tidak dapat dibebankan melakukan pembalikan beban pembuktian terhadap asal usul hartanya. Pasca berlakunya Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Anti Korupsi 2003 KAK 2003 diperlukan suatu modifikasi perumusan
Universitas Sumatera Utara
norma pembalikan beban pembuktian yang bersifat preventif, represif dan restoratif.
149
Ketentuan dalam Pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa
tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Juga merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat 3 huruf g Kovenan Internasional tentang
Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and
Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang menyebutkan :“Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya,
setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”
Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut, tidak berarti tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban
untuk membuktikan dakwaannya. Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas hanya terjadi di sidang pengadilan.
Apabila pembuktian terbalik diwajibkan pada saat berstatus sebagai tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian terbalik itu dapat menjadi bumerang
bagi penegakan hukum pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut disalahgunakan oleh penyidik. Penyidik dapat
melakukan penyalahgunaan wewenang, dengan memeras seseorang yang telah
149
Lilik Mulyadi, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
menjadi tersangka yang diduga telah melakukan korupsi. Kekhawatiran itu selalu ada dalam wacana pembuktian terbalik sejak lama. J.E. Sahetapy 2003
menyatakan bahwa lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematik beban pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia Fakultas Hukum; omkering
van de bewijlast, begitulah problematik pembahasan pada waktu itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak
tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial dengan apa yang disuarakan dewasa ini.
Masih menurut J.E. Sahetapy, pembuktian terbalik lebih layak hanya digunakan oleh hakim, dan sama sekali tidak boleh digunakan oleh pihak
penyidik. Hal itu karena pemeriksaan yang transparan hanya di pengadilan. Tanpa transparansi, terlepas dari praktik yang sudah tercemar dewasa ini di
Kepolisian dan atau Kejaksaan, penerapan beban pembuktian terbalik dalam penyidikan itu dapat menjadikan pembuktian terbalik sebagai sarana pemerasan.
Meski demikian, yang menyetujui pembuktian terbalik terhadap tersangka perkara korupsi, beranggapan bahwa jika pembuktian terbalik
dilaksanakan secara benar, maka dapat lebih mempercepat atau mengoptimalkan pemberantasan korupsi. Hal itu karena, jika tersangka perkara korupsi diwajibkan
membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka bukti-bukti yang diajukannya dapat menjadi bahan bagi penyidik untuk menentukan apakah perkara dapat
dilanjutkan pada tahap penuntutan di sidang pengadilan atau tidak. Jika
Universitas Sumatera Utara
dilanjutkan, bukti-bukti yang diajukan tersangka dapat menjadi bahan bagi jaksa penuntut umum untuk menguatkan dakwaan di sidang pengadilan.
Selain untuk menguatkan dakwaan, pembuktian yang selama ini diakui, yaitu terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim, serta tersangka
atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sering menyulitkan proses pembuktian perkara korupsi. Oleh karena itu perlu ada langkah baru, salah
satunya adalah menggunakan teori keseimbangan kemungkinan pembuktian balanced probability of principles, yaitu keseimbangan yang proporsional
antara perlindungan individu dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Dengan demikian,
atas dasar bahwa harta kekayaannya diduga kuat berasal dari korupsi, maka tersangka dapat diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak
bersalah.
150
Upaya mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata itu semakin kuat ketika Mahkamah Konstitusi
MK mengeluarkan keputusan kontroversial. Yakni, sifat perbuatan melawan hukum secara materiil dalam tindak pidana korupsi seperti
yang diatur dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 31 Tahun
150
Komisi Hukum Nasional, “Beban Pembuktian Terbalik dalam Perkara Korupsi”, dalam http:www.komisihukum.go.idindex.php?option=com_contentview=articleid=873Abeban-
pembuktian-terbalik-dalam-perkara-korupsicatid=373AopiniItemid=61lang=in
, diakses Tanggal 1 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sebelum keputusan MK yang membatalkan sifat melawan hukum secara materiil dikeluarkan, aspek perdata kurang diperhatikan para penegak
hukum. Karena itu, untuk menindak lanjuti orang-orang yang terbukti bertindak pidana korupsi, lebih diutamakan menggunakan aspek pidana.
Sebab, dalam aspek pidana terdapat ketentuan berupa sanksi pidana yang dianggap cukup tegas, untuk menghukum para terdakwa kasus
korupsi. Sanksi pidana dalam praktiknya belum mampu mengembalikan kerugian
yang diderita negara. Bahkan, sanksi pidana saja tidak cukup efektif menghukum para koruptor. Dikeluarkannya putusan MK, ke depan, sangat berdampak positif
terhadap penanganan kasus korupsi melalui jalur perdata. Sebab, putusan tersebut bisa memperjelas perbedaan perbuatan melawan hukum melalui jalur pidana.
Dalam pengertian perdata, perbuatan melawan hukum onrechtmatigedaad memiliki ruang lingkup lebih luas daripada pengertian
perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana wederrechtelijkheid. Sebab, dalam wederrechtelijkheid, kepatutan dan keadilan bukanlah suatu ukuran.
Filosofi yang mendasari gugatan perdata pada dasarnya adalah adanya tujuan mengembalikan keuangan negara dan dalam rangka memenuhi rasa
keadilan masyarakat. Dengan demikian, langkah Kejaksaan Agung menggugat pelaku korupsi ke pengadilan sesungguhnya mewakili hak gugat negara yang
Universitas Sumatera Utara
wajib memberikan perlindungan terhadap segala bentuk kejahatan yang bisa menghambat proses menyejahterakan bangsa. Juga, memenuhi rasa keadilan
masyarakat dengan cara memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme KKN.
151
Ad. 3. Bertitik tolak terhadap asetkekayaan.
Civil forfeiture sangat berguna bagi kasus-kasus dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak memungkinkan untuk dilakukan.
152
Selain dapat diminimalisasi, ada kalanya sebuah aset yang berkaitan dengan sebuah tindak pidana tidak diketahui pemiliknya atau pelakunya.
Dalam upaya pemberantasan korupsi seringkali pemerintah menghadapi koruptor yang politically well-connected sehingga aparat penegak hukum menghadapi
kesulitan dalam mengadilinya. Disini civil forfeiture sangat berguna karena aparat penegak hukum menghadapi aset dari si koruptor sehingga political dan
social cost dari sebuah tuntutan pidananya dapat diminimalisasi.
153
151
S. Eka Iskandar, “Soeharto Digugat, Siapa Menyusul? “ 13 Juli 2007 diakses pada
Civil forfeiture sangat berguna dalam kondisi ini, karena yang digugat adalah assetnya
bukan pemiliknya. Jika menggunakan rezim pidana aset tidak bertuan tersebut akan sulit untuk diambil, karena pada umumnya penyitaan dalam hukum pidana
berkaitan dengan pelaku dari tindak pidana tersebut. Sehingga apabila dalam
http:www.apakabar.wsforumsviewtopic.php?f=1t=42371start=0, tanggal 1 Mei 2009.
152
Ibid.
153
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
kurun waktu tertentu setelah dilakukannya penyitaan tidak ada pihak lain yang berkeberatan, negara langsung dapat merampas aset yang tak bertuan tersebut.
Keberhasilan penggunaan gugatan in rem di negara maju mungkin bisa dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan
dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan
kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor,
mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan
menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan
dalam proses persidangan.
D. Ratifikasi UNCAC