Analisis PENERAPAN GUGATAN BERSIFAT

UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001, disebutkan upaya pengembalian kerugian negara akan dilakukan dengan cara perdata. Yusuf Setiawan merupakan rekanan Pemprov Jawa Barat dalam proyek pengadaan alat berat dan mobil ambulans pada 2003-2004. Kerugian negara atas kasus ini mencapai Rp 48,4 miliar. Yusuf meninggal ketika menjadi tahanan KPK. Majelis hakim yang menangani kasusnya memerintahkan jaksa untuk membantarkan Yusuf yang sakit liver akut dan gula di Rumah Sakit Medistra. Tapi setelah menjalani perawatan selama tiga hari, Yusuf meninggal dunia 169 .

G. Analisis

Dari uraian di atas, dapat dianalisis bahwa perbedaan terhadap sistem hukum perdata dan hukum pidana berlaku juga terhadap kompetensi suatu peradilan, hukum acara, termasuk didalamnya mengenai hukum pembuktian. Pandangan tradisional melihat tindak pidana sebagai suatu kejahatan yang mengancam kepentingan masyarakat. Oleh karena itu hukum pidana dibuat dengan maksud untuk melindungi kepentingan masyarakat yang diancam oleh kejahatan tersebut, dengan menentukan kaidah-kaidah serta sanksi-sanksi yang dapat menindak para pelaku kejahatan maupun mencegah anggota masyarakat untuk tidak melakukan kejahatan. 169 Media Indonesia 27 Mei 2009. Universitas Sumatera Utara Hukum acara pidana sehubungan dengan hal tersebut disusun untuk menentukan syarat-syarat dan tata cara agar dapat menentukan seseorang terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan suatu kejahatan sehingga berakibat munculnya stigma sosial dari masyarakat terhadap terpidana sebagai seorang penjahat, akan tetapi hal tersebut tidak ditemukan dalam hubungan keperdataan sekalipun terdapat pihak yang dirugikan. Dalam perkembangannya kini, pembedaan secara tegas antara perbuatan yang termasuk di dalam ruang lingkup hukum pidana dan hukum perdata tidak dapat dipertahankan lagi. Banyak perbuatan-perbuatan yang merupakan ruang lingkup hukum perdata telah diinterupsi dengan perbuatan pidana, ataupun sebaliknya perbuatan-perbuatan pidana seringkali juga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hubungan keperdataan. Pandangan kaum pasca modernis melihat hal ini sebagai langkah pemajuan dalam proses supremasi hukum. Apalagi dengan semakin meningkatnya administrasi birokrasi dalam perkembangan masyarakat modern telah mengakibatkan hukum adminisrasi juga seringkali tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum perdata dengan hukum pidana. Perkembangan masyarakat modern pun berpengaruh terhadap perkembangan modus-modus kejahatan. Kejahatan pada saat ini telah menjadi sarana untuk mengambil keuntungan ekonomis sehingga kejahatan seperti ini disebut dengan jenis kejahatan dengan motif ekonomi. Nilai ekonomis dari suatu Universitas Sumatera Utara barangasset hasil tindak pidana merupakan darah segar blood of The Crime bagi kejahatan itu sendiri. Oleh karenanya, kini dikenal bahwa harta kekayaan hasil suatu tindak pidana adalah darah bagi berlangsungnya aktivitas kehidupan kejahatan, terutama kejahatan yang tergolong luar biasa yang dilakukan dengan motif ekonomi seperti yang dimaksud diatas terus berkembang tidak hanya sebagai jenis kejahatan kerah putih white collar crime belaka yang banyak melibatkan orang-orang terpelajar, bahkan saat ini telah menjadi suatu kejahatan serius yang terorganisir well-organized crimes, memanfaatkan kecanggihan teknologi advanced technology means, serta telah bersifat lintas batas yurisdiksi suatu negara international crimes. Khusus kejahatan yang termasuk jenis ini, selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga membutuhkan banyak uang atau dana untuk membiayai tindak kejahatannya dan peralatan-peralatannya, baik sarana maupun prasarana pendukung untuk melakukan kejahatan. 170 Dalam menghukum pelaku tindak pidana untuk jenis kejahatan seperti ini tentu saja tidak cukup dengan proses pidana konvensional. Sistem peradilan kedepan harus mampu untuk menarik seluruh keuntungan yang dihasilkan serta seluruh peralatan, sarana dan prasarana yang mendukung kejahatan tersebut dengan maksud antara lain kejahatan tersebut tidak dilanjutkan oleh orang lain, atau dapat digunakan oleh orang lain untuk melakukan kejahatan lainnya; 170 Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laudering, Dokumen Kepolisian Republik Indonesia ,tanpa Tahun, Hal 1. Universitas Sumatera Utara ataupun mencegah si pelaku tindak pidana beserta kerabatnya agar tidak dapat menikmati harta kekayaan dari hasil tindak pidananya. 171 Jalur keperdataan yang ditempuh dalam pengembalian asset Negara dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian, pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang disebut civil forfeiture. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset tersebut diperoleh secara legal. 172 Di berbagai belahan dunia bagi negara-negara yang menganut sistem hukum AnglosaxonCommon Law, sudah tidak lagi memberikan pandangan terpisah antara sistem hukum pidana dengan perdata dalam mengejar aset hasil tindak pidana yang dihasilkan dari suatu kejahatan. Sistem hukum AnglosaxonCommon Law memungkinkan mengenal adanya perampasan aset yang dikenal dengan istilah Asset Forfeiture atau Asset Seizure. Asset Forfeiture ini memungkinkan pula untuk menyita atau merampas hasil pidana tanpa putusan pengadilan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan negara-negara penganut sistem Eropa KontinentalCivil Law. Asset Forfeiture ini hanya dikenal dalam 171 Ibid. 172 Anthony Kennedy, “Designing a civil forfeiture system; an issues list for policymakers and legislator, Tanggal 13 Febuari 2006, Journal of Financial Crime, hal. 38. Universitas Sumatera Utara proses sistem hukum pidana, yang dikenal dengan istilah penyitaan atau perampasan setelah dijatuhkannya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Praktik internasional telah menunjukkan bahwa asset forfeiture dengan mengambil harta kekayaan para pelaku kejahatan, menjualnya, dan membagi- bagikan hasilnya kepada para penegak hukum untuk proses penegakan hukum yang lain, telah menghasilkan uang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga kemudian timbul motivasi dari para penegak hukum untuk lebih intensif memberikan perhatian terhadap penyelesaian perkara-perkara dengan melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar, sekalipun perkara itu tergolong pada kejahatan ringan. 173 Berbeda dengan proses hukum konvensional yang jauh lebih merumitkan dalam upaya mengambil harta kekayaan tindak pidana. Dalam kondisi yang demikian, putusan-putusan pidana telah mengakibatkan banyak orang-orang menjadi kehilangan harta kekayaan, bahkan penghasilan. Pada akhirnya, sistem hukum tidak dapat menurunkan tingkat kejahatan, apalagi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Instrumen civil forfeiture sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UU PTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture 173 Ibid. Universitas Sumatera Utara menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda. 174 Gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada jaksa sebagai pengacara negara. Sebaliknya civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi. 175 Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan instrument civil forfeiture untuk memudahkan penyitaan dan pengambilalihan asset koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian kerugian keuangan negara. Kenyataannya jalur pidana tidak cukup “ampuh” untuk meredam atau mengurangi jumlahterjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini 174 Eka Iskandar “Prinsip pengembalian aset hasil korupsi bagian X, pada http:gagasanhukum.worldpress.comtags-eka-iskandarp2 diakses tanggal 28 Juli 2010. 175 Suhadibroto, Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian negara Dalam korupsi, www. Komisi Hukum.go id. Dalam Detania, Hal. 34 Universitas Sumatera Utara sebagaimana diungkapkan oleh Marwan Effendy bahwa korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini Nampak makin terpola dan sistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Korupsi secara nasional disepakati tidak saja sebagai “extraordinary crime” kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional. 176 Mempertajam pemahaman tentang civil forfeiture, terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan criminal forfeiture, antara lain: Pertama, civil forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat mungkin begitu ada adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua, civil forfeiture menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, civil forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset in rem, sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Keempat, civil forfeiture berguna bagi kasus 176 Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, Hal.1. Universitas Sumatera Utara dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan.69 177 Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bias dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor, mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan dalam proses persidangan. 178 Apabila dicermati dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang yang telah ditangani termasuk didalamnya adalah korupsi, terlihat adanya kecenderungan bahwa para pelaku kejahatan ini pada umumnya memiliki status sosial yang tinggi di dalam masyarakat. Mereka tidak mempergunakan harta benda kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang dilakukan dalam bentuk uang tunai. Para pelaku kejahatan ini lebih memilih untuk 177 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery StAR Initiative”, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, Hal. 22-23. 178 Ibid. Universitas Sumatera Utara menyembunyikan, menyamarkan, atau mengalihkan nya berkali kali uang hasil kejahatan tersebut dengan modus yang berbeda beda, agar penegak hukum tidak dapat atau mengalami kesulitan untuk mengungkap dan menjerat pelaku kejahatan tersebut. Keseluruhan proses ini merupakan bagian yang terpisahkan dari perbuatan pencucian uang. 179 Kesaksian yang disampaikan seseorang pejabat sebuah bank Swasta di Jakarta pada waktu berlangsung peradilan Eddy Tansil. Dinyatakan, antara lain, bahwa atas dasar permintaan Eddy Tansil, maka dengan mudah telah melakukan transfer uang sebesar Rp 178 miliar atau sekitar US 85 juta kesalah satu bank di Cayman Island. Hal ini dapat terlaksana dengan mudah mengingat negara tersebut menyediakan peraturan dan fasilitas yang memungkinkan perkembangannya The Financial Secrery Business73. 180 1. Modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir disemua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian pejabat tinggi, bahkan seorang Presiden seperti di Philipina, Perdana Menteri Thaksin di Thailand dan bahkan di Indonesia. Oleh karena itu, ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat transnasional dengan alasan antara lain sebagai berikut: 181 179 Ibid. 180 http:www.polotikindonesia.comreadhead.php?id=333.html. 181 http:www.tempointeraktif, “Indonesia Masih dianggap surge Pencucian Uang”, diakses 25 Oktober 2009. Universitas Sumatera Utara Berkembang isu bahwa korupsi mempunyai kaitan pula dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisasi, khususnya dalam upaya koruptor menyembunyikan hasil korupsinya melalui pencucian uang money laundering dengan pemanfaatan transaksi derivative yakni melalui transfer- transfer internasional yang efektif. 2. Korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam. Dapat dikatakan bahawa korupsi merupakan virus berbahaya dan penyebab proses pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. 3. Pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat sulit diperangi karena didalam sistem birokrasi juga koruptif sehingga memerlukan instrumen yang luar biasa untuk mencegah dan memeranginya dan memberantasnya. Sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas teritorial suatu negara transnasional dan sebagai kejahatan terorganisasi organized crime, bahkan korupsi seringkali melibatkan korporasi sebagai pelaku, gambaran ini mengingatkan bahwa penanganan korupsi menjadi semakin rumit, dengan semakin banyaknya aset publik yang dikorupsi kemudian disimpan pada sentra- sentra finansial di negara-negara maju yang terlindung oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Ditambah lagi dengan jasa para profesional yang disewa oleh koruptor sehingga tidak mudah untuk melacak, apalagi memperoleh kembali aset tersebut. Pengembalian aset menjadi wacana penting karena pencurian aset negara di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah Universitas Sumatera Utara berkuasa di negara yang bersangkutan merupakan masalah serius. Hal ini dibuktikan sangat banyak hasil aset korupsi yang ditempatkan di negara yang dianggap aman oleh pelakunya seperti, kepulauan Cayman, Swiss, Austria dan beberapa negara di Asia dan Afrika. 182 Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerja sama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara. 183 Bahwa gugatan yang hampir sama dengan civil forfeiture sudah pernah dilakukan Indonesia terhadap uang Haji Achmad Thahir, mantan Asisten Umum Direktur Utama Pertamina, bersama istri kedua Almarhum, Kartika Ratna Thahir, sebesar USD 35 juta di Bank Sumitomo pada tanggal 23 Juli 1976 dan pada tanggal 3 Desember 1992, Pertamina memenangkan gugatan dan berhasil mendapatkan harta warisan Achmad Thahir setelah Pengadilan Singapura memutus Pertamina berhak atas uang deposito sebesar USD 35 juta tersebut. 184 182 Harian Seputar Indonesia , 27 September 2006, Opini Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004. 183 Mokhammad Najih, Ratifikasi UNCAC 2003 melalui UU No 72006 Dan Konsekuensinya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia kaitannya dengan Stolen Assests Recovery Star Initiative, disampaikan pada Seminar Hukum nasional SPHN 2007 di Hotel Milenium,Jakarta, 28-29 Nopember 2007. 184 Srihartati Samhadi, “Kejar Orangnya atau Uangnya?”, dalam http:64.203.71.11kompas- cetak,,diakses tanggal 15 Mei 2009. Universitas Sumatera Utara Tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai tindak pidana yang “luar biasa “ extraordinary crime, sehingga upaya pemberantasaan pelaku tindak pidana korupsi tidak lagi dilakukan secara pidana “luar biasa “ extraordinary crime karena umumnya tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh pelaku yang umumnya dilakukan oleh golongan yang memiliki otoritas danatau keahlian dibidangnya dengan cara sistematis, melibatkan banyak orang dengan aktor intelektual, sehingga terbongkarnya kasus korupsi itu lama setelah perbuatan itu dilakukan, sehingga hasil korupsi sudah bisa diamankan oleh para pelaku. 185 Para koruptor mempunyai berbagai cara dan jalan yang biasa dipilih untuk mengamankan, misalnya dengan menggunakan rekayasa financial financial engineering yang pada umumnya telah tersedia dalam praktek bisnis di dalam maupun diluar negeri yang bertujuan untuk mengaburkan asal usul aset yang dikorupsi dan dengan demikian pengamanan aset hasil korupsi itu dilakukan dengan rekayasa yang canggih dan rapi serta menggunakan celah- celah hukum sehingga terlindungi dengan baik, oleh karena itu dapat dikatakan kejahatan korupsi ini mempunyai dampak merusak dalam “spectrum” yang sangat luas. 186 Berdasarkan uraian diatas, untuk mengadili serta menyita dan merampas aset koruptor yang dibawa keluar negeri bukanlah suatu hal yang mudah karena 185 Indriyanto Seno Adji, Op.cit., Hal 236. 186 Taufiqurrahman Ruki, KPK dan Jejaring Internasional Rezim Anti Korupsi Dalam Upaya Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi, Seminar Nasional Sinergi Pemberantasan Korupsi,Gedung Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta: 4 April 2006. Universitas Sumatera Utara berbenturan dengan hukum yang mengatur. Sebagaimana yang selama ini dipergunakan, dengan menggunakan intrumen hukum perdata hampir tidak ada manfaatnya, karena undang-undang korupsi tidak memberikan kekhususan dengan diutamakannya persidangan dalam penyelesaian melalui instrumen perdata. Upaya pengembalian melalui instrumen perdata biasa, artinya gugatan perdata terhadap koruptor tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya adalah suatu jalan yang terbuka menurut hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 C Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan; “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat 2, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidanan danatau ahli warisnya”. Dalam pengajuan gugatan perdata sesuai dengan Pasal 38 C Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001, haruslah tetap memberlakukan prinsip-prinsip hukum acara yang berlaku antara lain, dengan pengajuan gugatan dengan berdasarkan asas “actor sequitor forum rei”, dan dalam acara pembuktian sesuai dengan asas “actori in cumbit probation” 187 187 Kuntoro Basuki, Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata, Seminar Pengkajian Hukum Nasioal SPHN 2007, Hotel Millenium, Jakarta, 28-29 Nopember 2007. dan juga dalam pengajuan gugatan perdata harus menempuh proses beracara biasa yang penuh formalitas dan memakan waktu yang cukup lama. Universitas Sumatera Utara Dengan demikian dapat dipastikan bahwa untuk sampai kepada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bisa memakan waktu bertahun-tahun dan belum tentu menang. Dalam peraturan perundang- undangan, pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi diberikan prioritas, sedang gugatan perdata yang berkaitan dengan perkara korupsi tidak wajib diprioritaskan. Disamping itu, tergugat koruptor atau ahli warisnya, bisa menggugat balik dan kemungkinan malah koruptor yang menang dan justru pemerintah penggugat yang harus membayar tuntutan koruptor tergugat atau ahli warisnya. Hal ini menggambarkan pandangan terhadap pemberantasan korupsi yang semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara deterrence effect, kurang tepat akan tetapi si koruptor harus dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsinya. 188 Perubahan paradigma terhadap pemberantasan korupsi terlihat dari penghukuman dan penjeraan kepada pelaku koruptor yang beralih dengan tidak lagi menitikberatkan kepada hukuman kepada pelaku, namun menitik beratkan kepada pengembalian hasil korupsi yang ternyata telah ditempatkan di negara lain. 189 188 Ibid. Oleh karena itu maka diperlukan kerja sama internasional dengan negara lain yang tujuannya adalah mengembalikan aset yang telah dicuri dan untuk menghindari benturan dengan kedaulatan negara lain dan juridiksi hukum negara 189 Romli Atmasasmita, Pengembalian dan Pengelolaan Aset Korupsi, Harian Sindo, 27 Juli 2007. Universitas Sumatera Utara dimana aset tersebut ditempatkan, dapat diatasi apabila negara tersebut telah meratifikasi United Nation Convention Againts Corruption UNCAC. Pembuktian terbalik kasus korupsi di Indonesia dan di beberapa negara asing memang dirasakan pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut disamping proses penegakannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan undang-undang yang produknya masih bersifat multi interprestasi, sehingga relatif banyak ditemukan kelemahannya yang menimbulkan kesulitan dalam penerapannya, akibatnya banyak pelaku yang lolos dan bebas. 190 Pembuktian terbalik merupakan vonis bagi orang yang melakukan tindak pidana korupsi bagi orang yang mempunyai rekening dalam jumlah yang tidak wajar, sehingga yang bersangkutan bias membuktikan bahwa kekayaannya didapat dengan cara yang sah. Asas hukum tentang pembuktian terbalik sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 1971, hal ini sudah dikenal di Indonesia dan disebut dengan “pergeseran”, bukan “pembuktian” oleh Indriyanto Senoadji. Kata “beban” bukan ditekankan pada alat buktinya tetapi pada siapa yang melakukannya. 191 Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara negara yang mengakui sistem hokum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Continental. Kalau dilihat 190 Mahfud Md, “ Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi di Indonesia”, dalam http:www.okezone, diakses 2 Mei 2010. 191 Indriyanto Senoadji, Op.cit. Universitas Sumatera Utara KUHP dan KUHAP di negara-negara continental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap bribery. Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak Undang Undang No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan membuat mekanisme pelaporan di dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2001, dengan mencantumkan Pasal 12-b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan menyangkut teknis hukum pidana, maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan delik. Apabila dilihat Pasal 12 b Undang Undang No 20 Tahun 2001, terhadap kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi jadi maksudnya dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan. Bagian terpenting dalam pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut Universitas Sumatera Utara Umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu. Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mendukung dilaksanakannya penguatan bagi cara pembuktian terbalik untuk membuktikan harta kekayaan pejabat negara yang diindakan terlibat dugaan korupsi. Namun,presiden mengingatkan agar penerapannya secara berhati-hati agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu. 192 Kalau tidak dibatasi semua orang bisa menuduh pihak lain untuk melakukan pembuktian terbalik harta kekayaannya. Selain itu juga mendukung penguatan pelaksanaan pembuktian terbalik hanya di lakukan pada kasus-kasus yang sudah memiliki indikasi adanya dugaan tindak pidana korupsi atau kepemilikan harta kekayaannya di nilai memiliki keganjilan sehingga perlu pembuktian terbalik. 193 Pembuktian kasus korupsi baik Indonesia dan beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut disamping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan UU yang produknya masih dapat bersifat multi interprestasi, sehingga relative benyak ditemukan beberapa kelemahan didalamnya. Salah satu contoh dapat dikemukakan di sini adalah UU nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 192 http:suarakarya-online.comnews.html?.id=187515 diakses tanggal 15 Maret 2009. 193 http:www.tempointeraktif, diakses 14 Mei 2010. Universitas Sumatera Utara tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU di sebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa extra ordinary crime sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula extra ordinary measures. Ternyata tidak semua semua pernyataan itu sesuai dengan implementasi-nya. Di samping aspek diatas, belum lagi opini umum dan para pakar yang menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban pembuktian terbalik Omkering an het Bewijslat atau Reversal Burden of proofOnus of proof yang berasumsi dengan pembuktian terbalik kasus korupsi dapat diberantas. Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya akan tetapi banyak mengundang polemi dan dapat di perdebatkan karena beberapa aspek, dikaji dari sejarah korupsi dan perundang-undangan korupsi di Indonesia sejak penguasa perang pusat sampai sekarang ini ternyata banyak kasus korupsi belum dapat “diberantas” dan bahkan relatif meningkat intensitasnya berdasarkan survei lembaga pemantau korupsi di dunia. Selain itu juga, beberapa lembaga yang bertugas memantau korupsi pun telah di bentuk akan tetapi perbuatan korupsi juga tetap ada dan bahkan tambah marak terjadi. Kedua, belum ada justifikasi teori yang dapat dipergunakan sebagai tolak ukur untuk memberantas korupsi dengan mempergunakan beban pembuktian terbalik untuk memberantas korupsi sehingga kebijakan legislasi pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat berbuat secara optimal. Universitas Sumatera Utara

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN