UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana diperbarui dengan UU No 20 Tahun 2001, disebutkan upaya pengembalian kerugian negara akan dilakukan
dengan cara perdata. Yusuf Setiawan merupakan rekanan Pemprov Jawa Barat dalam
proyek pengadaan alat berat dan mobil ambulans pada 2003-2004. Kerugian negara atas kasus ini mencapai Rp 48,4 miliar. Yusuf meninggal ketika
menjadi tahanan KPK. Majelis hakim yang menangani kasusnya memerintahkan jaksa untuk membantarkan Yusuf yang sakit liver akut dan
gula di Rumah Sakit Medistra. Tapi setelah menjalani perawatan selama tiga hari, Yusuf meninggal dunia
169
.
G. Analisis
Dari uraian di atas, dapat dianalisis bahwa perbedaan terhadap sistem hukum perdata dan hukum pidana berlaku juga terhadap kompetensi suatu
peradilan, hukum acara, termasuk didalamnya mengenai hukum pembuktian. Pandangan tradisional melihat tindak pidana sebagai suatu kejahatan yang
mengancam kepentingan masyarakat. Oleh karena itu hukum pidana dibuat dengan maksud untuk melindungi kepentingan masyarakat yang diancam oleh
kejahatan tersebut, dengan menentukan kaidah-kaidah serta sanksi-sanksi yang dapat menindak para pelaku kejahatan maupun mencegah anggota masyarakat
untuk tidak melakukan kejahatan.
169
Media Indonesia 27 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
Hukum acara pidana sehubungan dengan hal tersebut disusun untuk menentukan syarat-syarat dan tata cara agar dapat menentukan seseorang terbukti
secara sah dan meyakinkan telah melakukan suatu kejahatan sehingga berakibat munculnya stigma sosial dari masyarakat terhadap terpidana sebagai seorang
penjahat, akan tetapi hal tersebut tidak ditemukan dalam hubungan keperdataan sekalipun terdapat pihak yang dirugikan.
Dalam perkembangannya kini, pembedaan secara tegas antara perbuatan yang termasuk di dalam ruang lingkup hukum pidana dan hukum perdata tidak
dapat dipertahankan lagi. Banyak perbuatan-perbuatan yang merupakan ruang lingkup hukum perdata telah diinterupsi dengan perbuatan pidana, ataupun
sebaliknya perbuatan-perbuatan pidana seringkali juga berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap hubungan keperdataan. Pandangan
kaum pasca modernis melihat hal ini sebagai langkah pemajuan dalam proses supremasi hukum.
Apalagi dengan semakin meningkatnya administrasi birokrasi dalam perkembangan masyarakat modern telah mengakibatkan hukum adminisrasi juga
seringkali tidak dapat dipisahkan secara tegas antara hukum perdata dengan hukum pidana.
Perkembangan masyarakat modern pun berpengaruh terhadap perkembangan modus-modus kejahatan. Kejahatan pada saat ini telah menjadi
sarana untuk mengambil keuntungan ekonomis sehingga kejahatan seperti ini disebut dengan jenis kejahatan dengan motif ekonomi. Nilai ekonomis dari suatu
Universitas Sumatera Utara
barangasset hasil tindak pidana merupakan darah segar blood of The Crime bagi kejahatan itu sendiri. Oleh karenanya, kini dikenal bahwa harta kekayaan
hasil suatu tindak pidana adalah darah bagi berlangsungnya aktivitas kehidupan kejahatan, terutama kejahatan yang tergolong luar biasa yang dilakukan dengan
motif ekonomi seperti yang dimaksud diatas terus berkembang tidak hanya sebagai jenis kejahatan kerah putih white collar crime belaka yang banyak
melibatkan orang-orang terpelajar, bahkan saat ini telah menjadi suatu kejahatan serius yang terorganisir well-organized crimes, memanfaatkan kecanggihan
teknologi advanced technology means, serta telah bersifat lintas batas yurisdiksi suatu negara international crimes. Khusus kejahatan yang termasuk
jenis ini, selain menghasilkan banyak harta kekayaan sekaligus juga membutuhkan banyak uang atau dana untuk membiayai tindak kejahatannya dan
peralatan-peralatannya, baik sarana maupun prasarana pendukung untuk melakukan kejahatan.
170
Dalam menghukum pelaku tindak pidana untuk jenis kejahatan seperti ini tentu saja tidak cukup dengan proses pidana konvensional. Sistem peradilan
kedepan harus mampu untuk menarik seluruh keuntungan yang dihasilkan serta seluruh peralatan, sarana dan prasarana yang mendukung kejahatan tersebut
dengan maksud antara lain kejahatan tersebut tidak dilanjutkan oleh orang lain, atau dapat digunakan oleh orang lain untuk melakukan kejahatan lainnya;
170
Pedoman Penyidikan Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laudering, Dokumen Kepolisian Republik Indonesia ,tanpa Tahun, Hal 1.
Universitas Sumatera Utara
ataupun mencegah si pelaku tindak pidana beserta kerabatnya agar tidak dapat menikmati harta kekayaan dari hasil tindak pidananya.
171
Jalur keperdataan yang ditempuh dalam pengembalian asset Negara dibandingkan jalur pidana relatif lebih mudah karena dalam hal pembuktian,
pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil adalah hasil atau berhubungan dengan tindak pidana. Implementasinya adalah apa yang
disebut civil forfeiture. Dalam masalah pembuktian, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan yang layak bagi pelaku, kemudian
membandingkan dengan aset yang dimiliki. Jika aset yang dimiliki melebihi jumlah pendapatannya, maka pelaku berkewajiban membuktikan bahwa aset
tersebut diperoleh secara legal.
172
Di berbagai belahan dunia bagi negara-negara yang menganut sistem hukum AnglosaxonCommon Law, sudah tidak lagi memberikan pandangan
terpisah antara sistem hukum pidana dengan perdata dalam mengejar aset hasil tindak pidana yang dihasilkan dari suatu kejahatan. Sistem hukum
AnglosaxonCommon Law memungkinkan mengenal adanya perampasan aset yang dikenal dengan istilah Asset Forfeiture atau Asset Seizure. Asset Forfeiture
ini memungkinkan pula untuk menyita atau merampas hasil pidana tanpa putusan pengadilan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan negara-negara penganut
sistem Eropa KontinentalCivil Law. Asset Forfeiture ini hanya dikenal dalam
171
Ibid.
172
Anthony Kennedy, “Designing a civil forfeiture system; an issues list for policymakers and legislator, Tanggal 13 Febuari 2006, Journal of Financial Crime, hal. 38.
Universitas Sumatera Utara
proses sistem hukum pidana, yang dikenal dengan istilah penyitaan atau perampasan setelah dijatuhkannya putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Praktik internasional telah menunjukkan bahwa asset forfeiture dengan
mengambil harta kekayaan para pelaku kejahatan, menjualnya, dan membagi- bagikan hasilnya kepada para penegak hukum untuk proses penegakan hukum
yang lain, telah menghasilkan uang dalam jumlah yang sangat besar, sehingga kemudian timbul motivasi dari para penegak hukum untuk lebih intensif
memberikan perhatian terhadap penyelesaian perkara-perkara dengan melibatkan harta kekayaan dalam jumlah yang besar, sekalipun perkara itu tergolong pada
kejahatan ringan.
173
Berbeda dengan proses hukum konvensional yang jauh lebih merumitkan dalam upaya mengambil harta kekayaan tindak pidana. Dalam kondisi yang
demikian, putusan-putusan pidana telah mengakibatkan banyak orang-orang menjadi kehilangan harta kekayaan, bahkan penghasilan. Pada akhirnya, sistem
hukum tidak dapat menurunkan tingkat kejahatan, apalagi meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Instrumen civil forfeiture sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam
UU PTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture
173
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan
memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda.
174
Gugatan perdata yang ada dalam UU PTPK memberikan beban pembuktian adanya “unsur kerugian negara” kepada jaksa sebagai pengacara
negara. Sebaliknya civil forfeiture mengadopsi prinsip pembalikan beban pembuktian dimana para pihak yang merasa keberatan membuktikan bahwa aset
yang digugat tidak mempunyai hubungan dengan korupsi. Hal ini menjadikan Jaksa Pengacara Negara cukup membuktikan adanya dugaan bahwa aset yang
digugat mempunyai hubungan dengan suatu tindak pidana korupsi.
175
Semakin meningkatnya kuantitas dan kualitas kasus-kasus korupsi di Indonesia, maka untuk memerangi korupsi, salah satu cara dapat menggunakan
instrument civil forfeiture untuk memudahkan penyitaan dan pengambilalihan asset koruptor melalui jalur perdata. Indonesia selama ini cenderung
mengutamakan penyelesaian melalui jalur pidana yang lebih fokus untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dari pada pengembalian kerugian
keuangan negara. Kenyataannya jalur pidana tidak cukup “ampuh” untuk meredam atau mengurangi jumlahterjadinya tindak pidana korupsi. Hal ini
174
Eka Iskandar “Prinsip pengembalian aset hasil korupsi bagian X, pada http:gagasanhukum.worldpress.comtags-eka-iskandarp2 diakses tanggal 28 Juli 2010.
175
Suhadibroto, Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian negara Dalam korupsi, www. Komisi Hukum.go id. Dalam Detania, Hal. 34
Universitas Sumatera Utara
sebagaimana diungkapkan oleh Marwan Effendy bahwa korupsi di Indonesia seperti tidak habis-habisnya, semakin ditindak makin meluas, bahkan
perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir-akhir ini Nampak makin
terpola dan sistematis, lingkupnya pun telah merambah ke seluruh aspek kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Korupsi secara nasional disepakati
tidak saja sebagai “extraordinary crime” kejahatan luar biasa, tetapi juga sebagai kejahatan transnasional.
176
Mempertajam pemahaman tentang civil forfeiture, terdapat beberapa perbedaan mendasar secara umum antara civil forfeiture dibandingkan dengan
criminal forfeiture, antara lain: Pertama, civil forfeiture tidak berhubungan dengan sebuah tindak pidana, sehingga penyitaan dapat lebih cepat diminta
kepada pengadilan. Penyitaan dalam proses pidana mengharuskan adanya seorang tersangka atau putusan bersalah. Civil forfeiture dapat dilakukan secepat
mungkin begitu ada adanya hubungan antara aset dengan tindak pidana. Kedua, civil forfeiture menggunakan standart pembuktian perdata, tetapi dengan
menggunakan sistem pembalikan beban pembuktian, sehingga lebih ringan dalam melakukan pembuktian terhadap gugatan yang diajukan. Ketiga, civil
forfeiture merupakan proses gugatan terhadap aset in rem, sehingga pelaku tindak pidana tidak relevan lagi. Keempat, civil forfeiture berguna bagi kasus
176
Marwan Effendy, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Lokakarya Anti-korupsi bagi Jurnalis, Surabaya, 2007, Hal.1.
Universitas Sumatera Utara
dimana penuntutan secara pidana mendapat halangan atau tidak mungkin untuk dilakukan.69
177
Keberhasilan penggunaan civil forfeiture di negara maju mungkin bias dijadikan wacana di Indonesia karena prosedur ini akan memberikan keuntungan
dalam proses peradilan dan untuk mengejar aset para koruptor. Seperti yang terlihat selama ini, seringkali jaksa mengalami kesulitan dalam membuktikan
kasus-kasus korupsi karena tingginya standar pembuktian yang digunakan dalam kasus pidana. Selain itu seringkali dalam proses pemidanaan para koruptor,
mereka menjadi sakit, hilang atau meninggal yang dapat mempengaruhi atau memperlambat proses peradilan. Hal ini dapat diminimalisir dengan
menggunakan civil forfeiture karena obyeknya adalah aset bukan koruptornya, sehingga sakit, hilang atau meninggalnya si koruptor bukan menjadi halangan
dalam proses persidangan.
178
Apabila dicermati dalam proses penyidikan tindak pidana pencucian uang yang telah ditangani termasuk didalamnya adalah korupsi, terlihat adanya
kecenderungan bahwa para pelaku kejahatan ini pada umumnya memiliki status sosial yang tinggi di dalam masyarakat. Mereka tidak mempergunakan harta
benda kekayaan yang diperoleh dari hasil kejahatan yang dilakukan dalam bentuk uang tunai. Para pelaku kejahatan ini lebih memilih untuk
177
Ario Wandatama dan Detania Sukarja, “Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery StAR Initiative”, Makalah dalam Seminar
Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, Hal. 22-23.
178
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
menyembunyikan, menyamarkan, atau mengalihkan nya berkali kali uang hasil kejahatan tersebut dengan modus yang berbeda beda, agar penegak hukum tidak
dapat atau mengalami kesulitan untuk mengungkap dan menjerat pelaku kejahatan tersebut. Keseluruhan proses ini merupakan bagian yang terpisahkan
dari perbuatan pencucian uang.
179
Kesaksian yang disampaikan seseorang pejabat sebuah bank Swasta di Jakarta pada waktu berlangsung peradilan Eddy Tansil. Dinyatakan, antara lain,
bahwa atas dasar permintaan Eddy Tansil, maka dengan mudah telah melakukan transfer uang sebesar Rp 178 miliar atau sekitar US 85 juta kesalah satu bank di
Cayman Island. Hal ini dapat terlaksana dengan mudah mengingat negara tersebut
menyediakan peraturan dan fasilitas yang memungkinkan perkembangannya The Financial Secrery Business73.
180
1. Modus operandi korupsi telah menyatu dengan sistem birokrasi hampir
disemua negara, termasuk dan tidak terbatas pada negara-negara di Asia dan Afrika, dan dilakukan secara besar-besaran oleh sebagian pejabat tinggi,
bahkan seorang Presiden seperti di Philipina, Perdana Menteri Thaksin di Thailand dan bahkan di Indonesia.
Oleh karena itu, ditempatkannya korupsi sebagai salah satu kejahatan yang terorganisasi dan
bersifat transnasional dengan alasan antara lain sebagai berikut:
181
179
Ibid.
180
http:www.polotikindonesia.comreadhead.php?id=333.html.
181
http:www.tempointeraktif, “Indonesia Masih dianggap surge Pencucian Uang”, diakses 25 Oktober 2009.
Universitas Sumatera Utara
Berkembang isu bahwa korupsi mempunyai kaitan pula dengan kejahatan-kejahatan lain yang terorganisasi, khususnya dalam upaya
koruptor menyembunyikan hasil korupsinya melalui pencucian uang money laundering dengan pemanfaatan transaksi derivative yakni melalui transfer-
transfer internasional yang efektif. 2.
Korupsi terbukti telah melemahkan sistem pemerintahan dari dalam. Dapat dikatakan bahawa korupsi merupakan virus berbahaya dan penyebab proses
pembusukan dalam kinerja pemerintahan serta melemahkan demokrasi. 3.
Pemberantasan korupsi merupakan hal yang sangat sulit diperangi karena didalam sistem birokrasi juga koruptif sehingga memerlukan instrumen yang
luar biasa untuk mencegah dan memeranginya dan memberantasnya. Sebagai suatu kejahatan yang melintasi batas teritorial suatu negara
transnasional dan sebagai kejahatan terorganisasi organized crime, bahkan korupsi seringkali melibatkan korporasi sebagai pelaku, gambaran ini
mengingatkan bahwa penanganan korupsi menjadi semakin rumit, dengan semakin banyaknya aset publik yang dikorupsi kemudian disimpan pada sentra-
sentra finansial di negara-negara maju yang terlindung oleh sistem hukum yang berlaku di negara tersebut. Ditambah lagi dengan jasa para profesional yang
disewa oleh koruptor sehingga tidak mudah untuk melacak, apalagi memperoleh kembali aset tersebut.
Pengembalian aset menjadi wacana penting karena pencurian aset negara di negara-negara berkembang yang dilakukan oleh orang-orang yang pernah
Universitas Sumatera Utara
berkuasa di negara yang bersangkutan merupakan masalah serius. Hal ini dibuktikan sangat banyak hasil aset korupsi yang ditempatkan di negara yang
dianggap aman oleh pelakunya seperti, kepulauan Cayman, Swiss, Austria dan beberapa negara di Asia dan Afrika.
182
Ratifikasi UNCAC 2003 dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 oleh pemerintah Indonesia, secara politis telah menempatkan Indonesia sebagai
salah satu negara di Asia yang memiliki komitmen pemberantasan korupsi melalui kerja sama Internasional. Hal ini penting, karena korupsi di Indonesia
terjadi secara sistematik, sebagai suatu perbuatan yang sangat merugikan serta dapat merusak sendi-sendi kehidupan perekonomian suatu negara.
183
Bahwa gugatan yang hampir sama dengan civil forfeiture sudah pernah dilakukan Indonesia terhadap uang Haji Achmad Thahir, mantan Asisten Umum
Direktur Utama Pertamina, bersama istri kedua Almarhum, Kartika Ratna Thahir, sebesar USD 35 juta di Bank Sumitomo pada tanggal 23 Juli 1976 dan
pada tanggal 3 Desember 1992, Pertamina memenangkan gugatan dan berhasil mendapatkan harta warisan Achmad Thahir setelah Pengadilan Singapura
memutus Pertamina berhak atas uang deposito sebesar USD 35 juta tersebut.
184
182
Harian Seputar Indonesia , 27 September 2006, Opini Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad dan Ketua Forum 2004.
183
Mokhammad Najih, Ratifikasi UNCAC 2003 melalui UU No 72006 Dan Konsekuensinya bagi Penanggulangan Korupsi di Indonesia kaitannya dengan Stolen Assests
Recovery Star Initiative, disampaikan pada Seminar Hukum nasional SPHN 2007 di Hotel Milenium,Jakarta, 28-29 Nopember 2007.
184
Srihartati Samhadi, “Kejar Orangnya atau Uangnya?”, dalam http:64.203.71.11kompas- cetak,,diakses tanggal 15 Mei 2009.
Universitas Sumatera Utara
Tindak pidana korupsi telah dianggap sebagai tindak pidana yang “luar biasa “ extraordinary crime, sehingga upaya pemberantasaan pelaku tindak
pidana korupsi tidak lagi dilakukan secara pidana “luar biasa “ extraordinary crime karena umumnya tindak pidana korupsi ini dilakukan oleh pelaku yang
umumnya dilakukan oleh golongan yang memiliki otoritas danatau keahlian dibidangnya dengan cara sistematis, melibatkan banyak orang dengan aktor
intelektual, sehingga terbongkarnya kasus korupsi itu lama setelah perbuatan itu dilakukan, sehingga hasil korupsi sudah bisa diamankan oleh para pelaku.
185
Para koruptor mempunyai berbagai cara dan jalan yang biasa dipilih untuk mengamankan, misalnya dengan menggunakan rekayasa financial
financial engineering yang pada umumnya telah tersedia dalam praktek bisnis di dalam maupun diluar negeri yang bertujuan untuk mengaburkan asal usul aset
yang dikorupsi dan dengan demikian pengamanan aset hasil korupsi itu dilakukan dengan rekayasa yang canggih dan rapi serta menggunakan celah-
celah hukum sehingga terlindungi dengan baik, oleh karena itu dapat dikatakan kejahatan korupsi ini mempunyai dampak merusak dalam “spectrum” yang
sangat luas.
186
Berdasarkan uraian diatas, untuk mengadili serta menyita dan merampas aset koruptor yang dibawa keluar negeri bukanlah suatu hal yang mudah karena
185
Indriyanto Seno Adji, Op.cit., Hal 236.
186
Taufiqurrahman Ruki, KPK dan Jejaring Internasional Rezim Anti Korupsi Dalam Upaya Pengembalian Hasil Tindak Pidana Korupsi, Seminar Nasional Sinergi Pemberantasan
Korupsi,Gedung Bank Indonesia, Kebon Sirih, Jakarta: 4 April 2006.
Universitas Sumatera Utara
berbenturan dengan hukum yang mengatur. Sebagaimana yang selama ini dipergunakan, dengan menggunakan intrumen hukum perdata hampir tidak ada
manfaatnya, karena undang-undang korupsi tidak memberikan kekhususan dengan diutamakannya persidangan dalam penyelesaian melalui instrumen
perdata. Upaya pengembalian melalui instrumen perdata biasa, artinya gugatan perdata terhadap koruptor tersangka, terdakwa, terpidana, atau ahli warisnya
adalah suatu jalan yang terbuka menurut hukum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 38 C Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas
Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyebutkan;
“Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga
atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 B ayat 2, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidanan danatau ahli warisnya”.
Dalam pengajuan gugatan perdata sesuai dengan Pasal 38 C Undang
Undang Nomor 20 Tahun 2001, haruslah tetap memberlakukan prinsip-prinsip hukum acara yang berlaku antara lain, dengan pengajuan gugatan dengan
berdasarkan asas “actor sequitor forum rei”, dan dalam acara pembuktian sesuai dengan asas “actori in cumbit probation”
187
187
Kuntoro Basuki, Pengembalian Aset Korupsi dalam Persfektif Hukum Perdata, Seminar Pengkajian Hukum Nasioal SPHN 2007, Hotel Millenium, Jakarta, 28-29 Nopember 2007.
dan juga dalam pengajuan gugatan perdata harus menempuh proses beracara biasa yang penuh formalitas dan
memakan waktu yang cukup lama.
Universitas Sumatera Utara
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa untuk sampai kepada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap bisa memakan waktu bertahun-tahun
dan belum tentu menang. Dalam peraturan perundang- undangan, pemeriksaan terhadap tindak pidana korupsi diberikan prioritas, sedang gugatan perdata yang
berkaitan dengan perkara korupsi tidak wajib diprioritaskan. Disamping itu, tergugat koruptor atau ahli warisnya, bisa menggugat balik dan kemungkinan
malah koruptor yang menang dan justru pemerintah penggugat yang harus membayar tuntutan koruptor tergugat atau ahli warisnya. Hal ini
menggambarkan pandangan terhadap pemberantasan korupsi yang semata-mata bertujuan agar koruptor dijatuhi pidana penjara deterrence effect, kurang tepat
akan tetapi si koruptor harus dapat mengembalikan kerugian negara yang telah dikorupsinya.
188
Perubahan paradigma terhadap pemberantasan korupsi terlihat dari penghukuman dan penjeraan kepada pelaku koruptor yang beralih dengan tidak
lagi menitikberatkan kepada hukuman kepada pelaku, namun menitik beratkan kepada pengembalian hasil korupsi yang ternyata telah ditempatkan di negara
lain.
189
188
Ibid.
Oleh karena itu maka diperlukan kerja sama internasional dengan negara lain yang tujuannya adalah mengembalikan aset yang telah dicuri dan untuk
menghindari benturan dengan kedaulatan negara lain dan juridiksi hukum negara
189
Romli Atmasasmita, Pengembalian dan Pengelolaan Aset Korupsi, Harian Sindo, 27 Juli 2007.
Universitas Sumatera Utara
dimana aset tersebut ditempatkan, dapat diatasi apabila negara tersebut telah meratifikasi United Nation Convention Againts Corruption UNCAC.
Pembuktian terbalik kasus korupsi di Indonesia dan di beberapa negara asing memang dirasakan pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut
disamping proses penegakannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan undang-undang yang produknya masih bersifat multi interprestasi, sehingga
relatif banyak ditemukan kelemahannya yang menimbulkan kesulitan dalam penerapannya, akibatnya banyak pelaku yang lolos dan bebas.
190
Pembuktian terbalik merupakan vonis bagi orang yang melakukan tindak pidana korupsi bagi orang yang mempunyai rekening dalam jumlah yang tidak
wajar, sehingga yang bersangkutan bias membuktikan bahwa kekayaannya didapat dengan cara yang sah.
Asas hukum tentang pembuktian terbalik sebenarnya bukan hal yang baru di Indonesia. Pada tahun 1971, hal ini sudah dikenal di Indonesia dan disebut
dengan “pergeseran”, bukan “pembuktian” oleh Indriyanto Senoadji. Kata “beban” bukan ditekankan pada alat buktinya tetapi pada siapa yang
melakukannya.
191
Pasal-pasal yang berkaitan dengan pembuktian atau pembuktian terbalik sebenarnya tidak dikenal dalam sejarah negara negara yang mengakui sistem
hokum pidana pada negara Anglo Saxon dan Eropa Continental. Kalau dilihat
190
Mahfud Md, “
Pembuktian Terbalik Kasus Korupsi di Indonesia”,
dalam http:www.okezone, diakses 2 Mei 2010.
191
Indriyanto Senoadji, Op.cit.
Universitas Sumatera Utara
KUHP dan KUHAP di negara-negara continental atau dari doktrin-doktrin Anglo Saxon khususnya untuk korupsi, sampai sekarang belum pernah menemukan
delik mengenai pemberlakuan pembalikan beban pembuktian, kecuali satu yaitu suap bribery.
Ketidakberhasilan lembaga delik baru yaitu suap aktif yang diatur dalam pasal tersendiri sejak Undang Undang No.3 Tahun 1997, dilanjutkan dengan
membuat mekanisme pelaporan di dalam Undang Undang No. 20 Tahun 2001, dengan mencantumkan Pasal 12-b mengenai gratifikasi. Oleh karena itu, jika
pembalikan beban pembuktian ingin diterapkan menyangkut teknis hukum pidana, maka delik inti yang bisa dipidana jangan dicantumkan dalam rumusan
delik. Apabila dilihat Pasal 12 b Undang Undang No 20 Tahun 2001, terhadap
kata-kata yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itu sama sekali tidak boleh dicantumkan, karena untuk menekankan apa yang
dinamakan pembuktian terbalik dari terdakwa yang dikehendaki, pembuktian terbalik itu jauh lebih baik dilakukan di peradilan, karena kesulitan untuk
membuktikan secara terbalik oleh tersangka di proses penyidikan dan penuntutan, menghindari adanya apa yang dinamakan kolusi jadi maksudnya
dilakukan di peradilan adalah untuk menghindari kemungkinan kolusi pada proses penyidikan dan penuntutan.
Bagian terpenting dalam pembalikan beban pembuktian adalah adanya kata-kata pemberian gratifikasi yang memang menjadi kewajiban dari Penuntut
Universitas Sumatera Utara
Umum untuk dibuktikan, tapi untuk rumusan yang berhubungan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban itulah yang harus dibuktikan sebaliknya oleh
terdakwa, dan tidak boleh dirumuskan dalam rumusan delik itu. Presiden Susilo Bambang Yodhoyono mendukung dilaksanakannya
penguatan bagi cara pembuktian terbalik untuk membuktikan harta kekayaan pejabat negara yang diindakan terlibat dugaan korupsi. Namun,presiden
mengingatkan agar penerapannya secara berhati-hati agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.
192
Kalau tidak dibatasi semua orang bisa menuduh pihak lain untuk melakukan pembuktian terbalik harta kekayaannya. Selain itu juga mendukung
penguatan pelaksanaan pembuktian terbalik hanya di lakukan pada kasus-kasus yang sudah memiliki indikasi adanya dugaan tindak pidana korupsi atau
kepemilikan harta kekayaannya di nilai memiliki keganjilan sehingga perlu pembuktian terbalik.
193
Pembuktian kasus korupsi baik Indonesia dan beberapa negara asing memang dirasakan teramat pelik. Khusus untuk Indonesia, kepelikan tersebut
disamping proses penegakkannya juga dikarenakan kebijakan legislasi pembuatan UU yang produknya masih dapat bersifat multi interprestasi, sehingga
relative benyak ditemukan beberapa kelemahan didalamnya. Salah satu contoh dapat dikemukakan di sini adalah UU nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20
192
http:suarakarya-online.comnews.html?.id=187515 diakses tanggal 15 Maret 2009.
193
http:www.tempointeraktif, diakses 14 Mei 2010.
Universitas Sumatera Utara
tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam ketentuan UU di sebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana yang luar biasa
extra ordinary crime sehingga diperlukan tindakan yang luar biasa pula extra ordinary measures. Ternyata tidak semua semua pernyataan itu sesuai dengan
implementasi-nya. Di samping aspek diatas, belum lagi opini umum dan para pakar yang
menginginkan adanya pembuktian kasus korupsi dipergunakan beban pembuktian terbalik Omkering an het Bewijslat atau Reversal Burden of
proofOnus of proof yang berasumsi dengan pembuktian terbalik kasus korupsi dapat diberantas.
Mungkin pernyataan tersebut ada benarnya akan tetapi banyak mengundang polemi dan dapat di perdebatkan karena beberapa aspek, dikaji dari
sejarah korupsi dan perundang-undangan korupsi di Indonesia sejak penguasa perang pusat sampai sekarang ini ternyata banyak kasus korupsi belum dapat
“diberantas” dan bahkan relatif meningkat intensitasnya berdasarkan survei lembaga pemantau korupsi di dunia. Selain itu juga, beberapa lembaga yang
bertugas memantau korupsi pun telah di bentuk akan tetapi perbuatan korupsi juga tetap ada dan bahkan tambah marak terjadi. Kedua, belum ada justifikasi
teori yang dapat dipergunakan sebagai tolak ukur untuk memberantas korupsi dengan mempergunakan beban pembuktian terbalik untuk memberantas korupsi
sehingga kebijakan legislasi pemberantasan korupsi di Indonesia belum dapat berbuat secara optimal.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN