Kendala-kendala Dalam Menerapkan Instrumen Gugatan Bersifat In Rem

keberhasilan. Kalau ketidakber-hasilan ini sering terjadi, maka akan menimbulkan penilaian yang keliru, khususnya terhadap JPN karena dianggap gagal melaksanakan perintah Undang-Undang.

E. Kendala-kendala Dalam Menerapkan Instrumen Gugatan Bersifat In Rem

Berdasarkan Sistem Hukum Common Law Di Indonesia Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia telah dilakukan dengan berbagai upaya, baik melalui instrumen hukumnya maupun kelembagaannya. Pembaharuan hukum telah pula diimplentasikan oleh para penegak hukum Polisi, Jaksa, Hakim, namun upaya pemberantasan tindak pidana korupsi melalui pembaharuan hukum pidana tersebut belum menyelesaikan atau belum membuat para koruptor menjadi jera. Adapun pembaharuan hukum pidana, baik Hukum Pidana Materil maupun Formil tersebut, adalah: 159 1. Dimuatnya pengertian sifat melawan hukum materil. 2. Ditetapkannya seorang pegawai negeri atau mereka yang menduduki jabatan publik tertentu sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi 3. Korporasi sebagai subjek hukum tindak pidana korupsi di samping orang perorangan. 4. Dimungkinkan penggunaan dengan sarana perdata, sebagaimana termuat pada Pasal: 32, 33, 34 dan Pasal 38 C UU PTPK. 159 Romli Atma Sasmita, Sekitar Masalah Korupsi, Aspek Nasional dan Aspek Internasional, Mandar maju, Bandung, 2004, hlm. 18. Universitas Sumatera Utara 5. Dicantumkannya ancaman pidana minimum di samping ancaman pidana maksimum. 6. Dicantumkannya ancaman pidanan mati sebagai unsur pemberatan dalam hal-hal tertentu, misalnya negara dalam keadaan krisis 7. Diberlakukan sistem pembalikan beban pembuktian terbatas atau berimbang balanced burden of proof 8. Diikutsertakannya masyarakat dalam pemberantasan korupsi, dipertegas dan diperluas sehingga perlindungan atas saksi pelapor lebih optimal. 9. Dioptimalkannya alat bukti elektronik. Korupsi sudah menjadi kejahatan transnasional. Upaya yang dilakukan oleh Indonesia adalah turut meratifikasi Konvensi Anti Korupsi sedunia yang ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 7 tahun 2006 tentang UNCAC. Oleh karena itu, diperlukan harmonisasi antara peraturan dan konvensi tersebut, serta meningkatkan hubungan ekstradisi dengan negara lain untuk mengoptimalkannya, namun demikian upaya tersebut belum diimplementasikan di Indonesia. 160 Pemanfaatan Hukum Perdata dalam penyelesaian tindak pidana korupsi pada prinsipnya dapat dilakukan dalam rangka pengembalian, pemulihan, dan perampasan aset negara yang dicuri oleh para koruptor, baik yang berada di Indonesia, maupun yang dibawa ke luar negeri atau yang di transfer ke luar 160 “Bantuan Hukum Timbal Balik dalam Menyita dan Merampas Aset Korupsi di Luar Negeri”, dalam http:hukumoesoe83.blogspot.com200812bantuan-hukum-timbal-balik-dalam.html, diakses 27 Februari 2011. Universitas Sumatera Utara negeri. Proses atau prosedur hukum yang terkait dengan aspek perdata yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan kasus korupsi yaitu melalui mekanisme penyelesaian sengketa secara litigasi dan mekanisme non-litigasi. Melalui mekanisme penyelesaian sengketa secara litigasi dapat dilakukan dengan cara mengajukan gugatan yang didasarkan Pasal 4, Pasal 18 ayat 1, dan Pasal 32, 33, 34 dan 38C UU PTPK terhadap aset yang berada dalam negeri. 161 Berdasarkan upaya-upaya yang telah dilakukan dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, terdapat kendala-kendala dalam menerapkan instrumen gugatan bersifat in rem berdasarkan sistem hukum common law di Indonesia. Kendala-kendala tersebut meliputi: 162 1. Cara kerja sistem hukum pidananya menekankan formal legalistik, sehingga penerapannya kaku. 2. Sulit pembuktiannya. 3. Dalam penegakan hukum pidananya terbentur dengan adanya Putusan MK RI No. 8 Tahun 2006. 4. Belum adanya kerjasama perjanjian extradisi dengan semua negara tempat aset berada. 5. Belum diterapkannya sistem pembuktian terbalik dalam proses penegakan hukumnya. 161 Aang Achmad, “Aspek Hukum Perdata Dalam Penanggulangan Korupsi Di Indonesia”, dalam http:hiddencrime.blogspot.com201006aspek-hukum-perdata- dalam.html?zx=f56bf75544a1d824, diakses 18 Maret 2011. 162 Ibid. Universitas Sumatera Utara 6. Hukum acara perdatanya telah usang. 7. Prosedurnya lama, bertele-tele, dan biaya mahal. 8. Koruptor dan barangnya di bawa atau di transfer keluar negeri. 9. Adanya perbedaan sistem hukum antara Indonesia dengan negara lainnya, sehingga dapat menimbulkan perselisihan penerapan hukumnya. Kendala-kendala di atas dapat diperinci lagi sebagai berikut: 163 1. Kendala Hukum Secara Penal a. masih adanya pengaruh muatan politik yang mempengaruhi dalam penegakan hukumnya. b. sistem hukumnya yang kaku, sehingga tidak dapat menyelesaikan tindak korupsi yang sifatnya cair, dinamis, terselubung dan terorganisasi. c. kurang maksimalnya pemerintah dalam pengejaran aset negara yang berada di luar negeri. d. kurang melibatkan masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidna korupsi. e. perilaku para penegak hukumnya sendiri cenderung melakukan KKN. 2. Kendala Hukum secara Non- Penal a. Dalam proses penyelesaian melalui gugatan perdata: 1 prosedurnya lama, adversarial, biaya mahal. 163 Ibid. Universitas Sumatera Utara 2 untuk menentukan aset dari hasil korupsi yang dilakukan tergugat sangat sulit karena kepandaian mengalihkan wujud pencucian uang 3 mencari kebenaran formil, sehingga sulit pembuktiannya. 4 muncul kekhawatiran terhadap perilaku para penegak hukumnya sendiri. b. Dalam pelaksanaannya: 1 Belum memaksimalkan ketentuan UNCAC tentang asset recovery. 2 Belum memaksimalkan prinsip litigasi multiyurisdiksi, artinya gugatan perdata dapat dilakukan oleh suatu negara yang menjadi korban victim countries dari tindak pidana korupsi yang diajukan melalui negara lain. 3 Kurang maksimal terhadap pengawasan yang berkelanjutan terhadap para penegak hokum. 4 belum adanya pengakuan mekanisme ADR, retoratif justice sebagai sarana penyelesaian perkara tindak pidana korupsi. 5 pengetahuan dan keberanian para penegak hukum masih berpihak kepada adanya aturan undang-undang sebagai corong undang- undang, padahal dalam praktiknya para penegak hukum terutama hakim telah dibekali dengan Pasal 16 dan Pasal 28 UU No. 4 Tahun 2004 Jo. No. 9 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, artinya dalam memeriksa dan mengadili hakim diberikan kebebasan untuk Universitas Sumatera Utara menemukan hukumnya dengan menggunakan berbagai metode penafsiran hukum berdasarkan intuisinya, agar dalam melaksanakan tugas yang hasil putusannya dapat dirasakan keadilannya oleh masyarakat serta memberikan kepastian hukum bagi pelaku korupsi secara jujur dan bertanggungjawab.

F. Contoh Kasus