Pengaruh Kontribusi Ekonomi dan Sumberdaya Pribadi Perempuan terhadap Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

(1)

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA

PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN

KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

(Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten

Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

IKA MEYLASARI

I34052468

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(2)

ABSTRACT

The purposes of this research are to analyze the effect of economic contribution, and personal resources of women towards decision making in household. Respondent of research are 56 women who live with their husband in a house at Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. The research uses quantitative and qualitative methods. Research also uses Rank-Spearman statistic test to examine correlation between variables. The result of research shows that effect of women economic contribution towards decision making in prosperity-household at production area. The house and land ownership effects to decision making in pre-prosperity-household. The ownership of house also effects to decision making in prosperity-household.

Key words: women, economic contribution, personal resources, decision making in household.


(3)

RINGKASAN

IKA MEYLASARI. I34052468. Pengaruh Kontribusi Ekonomi dan

Sumberdaya Pribadi Perempuan terhadap Ekonomi Rumahtangga. Dusun

Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Yogyakarta, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.(Di bawah bimbingan WINATI WIGNA).

Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dan Tingkat Pengangguran Terbuka merupakan indikator utama ketenagakerjaan yang sering dipakai untuk melihat perkembangan di bidang ketenagakerjaan. TPAK perempuan lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Sebaliknya, angka pengangguran perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Selain itu, pendapatan laki-laki juga lebih tinggi daripada pendapatan perempuan. Padahal, pada rumah tangga miskin, perempuan tidak bisa hanya bertanggung jawab untuk pengelolaan rumah tangga saja, tetapi harus juga membanting tulang dalam pasar kerja. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kontribusi ekonomi dan sumberdaya pribadi perempuan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Pengambilan keputusan oleh perempuan penting untuk dikaji karena semakin dominan istri dalam pengambilan keputusan keluarga petani, maka semakin tinggi kesejahteraan obyektif keluarga tersebut.

Tujuan dari penelitian ini sebagai berikut: 1) Memaparkan pola pembagian kerja dalam rumahtangga di daerah kasus; 2) Menganalisis pengaruh kontribusi ekonomi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga di daerah kasus; serta 3) Menganalisis pengaruh sumberdaya pribadi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga di daerah kasus.

Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DI Yogyakarta. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama untuk mengumpulkan data tentang kontribusi ekonomi dan pengambilan keputusan dalam rumahtangga dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2009. Tahap kedua untuk mengumpulkan data tentang sumberdaya pribadi dilaksanakan pada bulan September hingga Oktober 2009. Responden penelitian ini sebanyak 56 orang perempuan usia produktif yang tinggal bersama suami mereka dalam satu rumah di lokasi penelitian. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara mendalam, dan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur yang terkait dengan topik penelitian. Data kuantitatif diolah secara manual dan uji statistik. Data yang telah diolah secara manual disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Pengolahan data masing-masing variabel diproses dengan menggunakan software SPSS 12.0 dan Microsoft Excel 2003, sedangkan hubungan antar variabel diuji menggunakan uji statistik Rank-Spearman. Sementara itu, data kualitatif disajikan secara deskriptif dalam bentuk paragraf.

Pembagian kerja dalam rumahtangga menempatkan laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik, walaupun demikian kegiatan nafkah yang dilakukan perempuan juga berkontribusi positif terhadap ekonomi


(4)

rumahtangga. Pembagian kerja dalam rumahtangga yang menempatkan perempuan pada sektor domestik menyebabkan perempuan tidak dapat berkontribusi tinggi terhadap ekonomi rumahtangga. Sebaliknya, sistem pewarisan kekayaan mengakibatkan perempuan dapat membawa harta yang lebih bernilai daripada harta yang dibawa laki-laki ke dalam pernikahan. Kontribusi ekonomi perempuan tidak berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga prasejahtera di semua bidang, sedangkan dalam rumahtangga sejahtera kontribusi ekonomi perempuan berpengaruh positif secara nyata terhadap pengambilan keputusan di bidang produksi.

Pada rumahtangga prasejahtera, kontribusi ekonomi dan sumberdaya pribadi perempuan berhubungan tidak nyata dengan tingkat pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Sumberdaya pribadi yang berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang produksi adalah kepemilikan rumah tinggal dan lahan garapan. Kontribusi ekonomi dan sumberdaya pribadi berhubungan tidak nyata dengan pengambilan keputusan di bidang pengeluaran kebutuhan rumahtangga. Kepemilikan rumah tinggal dan tanah untuk rumah tinggal berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang pembentukan keluarga, sedangkan kepemilikan lahan garapan justru berhubungan negatif. Selain itu, sumberdaya pribadi yang berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang kegiatan sosial kemasyarakatan adalah pendidikan, kepemilikan tanah untuk rumah tinggal, dan pengalaman kerja.

Pada rumahtangga sejahtera, terdapat hubungan positif yang nyata antara kepemilikan tanah untuk rumah tinggal dan pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Kepemilikan tanah untuk rumah tinggal juga berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang produksi, pembentukan keluarga, dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Selain kepemilikan tanah untuk rumah tinggal, faktor yang berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang produksi adalah kontribusi ekonomi dan kepemilikan lahan garapan. Sebaliknya, pendidikan justru berhubungan negatif dengan pengambilan keputusan di bidang produksi.

Kegiatan nafkah perempuan turut berkontribusi terhadap pendapatan rumahtangga. Oleh karena itu, perlu ada suatu program yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan perempuan. Program tersebut hendaknya tidak menyita waktu perempuan lebih sering di luar rumah. Hal ini karena perempuan berperan untuk mengelola rumahtangga agar dapat berjalan dengan baik. Selain itu, keputusan dalam rumahtangga juga lebih banyak diambil oleh perempuan. Maka dari itu, perempuan hendaknya lebih sering berada di rumah agar keputusan dapat diambil dengan lebih cepat dan tepat saat dibutuhkan.

Penulis juga merekomendasikan adanya penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengaruh sumberdaya pribadi lain, seperti keterampilan, keikutsertaan dalam kursus, pengalaman berorganisasi, kepemilikan tabungan, dan keikutsertaan dalam kelembagaan ekonomi. Faktor lain yang juga dapat dikaji pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga antara lain pola pengasuhan dan budaya. Selain itu, perlu juga diadakan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengaruh pengambilan keputusan oleh perempuan terhadap kesejahteraan rumahtangga. Hal ini guna memperkuat bukti pentingnya keputusan dalam rumahtangga diambil oleh perempuan.


(5)

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA

PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN

KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

(Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten

Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

Oleh

IKA MEYLASARI

I34052468

SKRIPSI

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains

Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2010


(6)

DEPARTEMEN SAINS

KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh: Nama : Ika Meylasari

NRP : I34052468

Major : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Judul : Pengaruh Kontribusi Ekonomi dan Sumberdaya Pribadi Perempuan terhadap Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)

dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dra. Winati Wigna, MDS NIP. 19480327 198303 2 002

Mengetahui,

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS 19550630 198103 1 003


(7)

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG

BERJUDUL “PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN

SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (DUSUN JATISARI, DESA SAWAHAN, KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI

MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK

MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK ATAU LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH.

Bogor, Februari 2010

IKA MEYLASARI I34052468


(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 23 Mei 1988. Penulis adalah anak dari pasangan Bapak Jakman Santoso dan Ibu Ari Pujiati. Penulis adalah anak pertama dari dua bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Cipadu 1 tahun 1999. Setelah menyelesaikan pendidikan di SLTPN 11 Tangerang tahun 2002, penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 90 Jakarta dan lulus tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor, pada tahun 2005 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Selanjutnya pada tahun 2006, penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.

Selama mengikuti pendidikan di Fakultas Ekologi Manusia, penulis aktif di Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) Divisi Riset dan Pengembangan Masyarakat. Penulis juga tergabung di Tim Desa Mitra Fakultas Ekologi Manusia (SAMI SAENA). Selain itu, penulis juga pernah menjadi asisten dosen pada mata kuliah Sosiologi Umum selama tiga semester berturut-turut pada tahun 2007-2009.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Pengaruh Kontribusi Ekonomi dan Sumberdaya Pribadi Perempuan

terhadap Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga” dengan baik.

Shalawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menjelaskan tentang pengaruh kontribusi ekonomi dan sumberdaya pribadi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Penulis berharap skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dan dunia pendidikan pada umumnya..

Bogor, Februari 2010


(10)

UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dra. Winati Wigna, MDS yang telah dengan sabar membimbing penulis serta memberikan kritik, saran, pengarahan, motivasi, dan nasehat kepada penulis.

2. Mama, papa, dan adik atas cinta, kesabaran dan semangat yang senantiasa menyertaiku dalam melewati masa-masa sulit.

3. Keluarga Budi Sulistyo dan Keluarga Suyatno atas semua fasilitas dan kemudahan yang telah diberikan kepada penulis sejak sebelum hingga selesai penelitian.

4. Wahyu Hidayat Siswanto sebagai sahabat terbaikku.

5. Bapak Kepala Desa Sawahan beserta jajarannya atas izin dan bantuan yang diberikan kepada penulis selama penelitian

6. Bapak dan Ibu Kepala Dusun Jatisari serta Bapak dan Ibu Ketua Rukun Tetangga 1 – 5 yang telah bersedia menjadi informan sekaligus mendampingi penulis selama proses penelitian.

7. Irwanto, Mbak Puji, dan Mas Supiyanto yang telah menemani penulis saat proses pengumpulan data.

8. Ibu-ibu di Dusun Jatisari atas kesediaan menjadi responden penulis. 9. Anggota Karang Taruna dan Remaja Masjid Dusun Jatisari atas

kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan

10.Palupi Ciptoningrum, Puty Siyamitri, dan Linda Pratiwi sebagai rekan satu bimbingan.

11.Teman-teman di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 42.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pasal 5 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”. Selanjutnya pada pasal 6 disebutkan bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan”. Selain itu, pada pasal 31 tertulis bahwa “Setiap tenaga kerja memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri”.

Besarnya partisipasi angkatan kerja digambarkan melalui indikator Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK), yaitu persentase penduduk yang termasuk dalam angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja (penduduk usia 15 tahun ke atas). TPAK dan Tingkat Pengangguran Terbuka merupakan indikator utama ketenagakerjaan yang sering dipakai untuk melihat perkembangan di bidang ketenagakerjaan. TPAK perempuan lebih rendah dibandingkan TPAK laki-laki. Tahun 2004 hingga 2006, TPAK perempuan tidak pernah mencapai 50 persen. Sementara itu, di rentang tahun yang sama, TPAK laki-laki mencapai 80 persen. Hal ini dipengaruhi oleh banyaknya perempuan yang mengurus rumah tangga, dan adanya budaya yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga.

Secara umum, selama tahun 2004 hingga 2006 terjadi peningkatan angka pengangguran di Indonesia, baik untuk laki-laki maupun perempuan. Hal ini kemungkinan disebabkan kondisi perekonomian yang membaik, sehingga memungkinkan mereka untuk memilih-milih pekerjaan dan mencari pekerjaan yang lebih baik dengan penghasilan yang juga lebih besar. Angka pengangguran perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Pada satu sisi, hal ini menunjukkan kemajuan karena semakin banyak perempuan yang aktif secara ekonomi dengan mencari pekerjaan. Tetapi pada sisi lain, kondisi ini menunjukkan bahwa lowongan pekerjaan umumnya lebih terbuka lebar bagi laki-laki, karena sifat pekerjaan yang sesuai untuk perempuan umumnya lebih spesifik


(12)

dan tingkat pendidikan perempuan umumnya lebih rendah dibandingkan laki-laki.1

Selain terdapat perbedaan tingkat partisipasi angkatan kerja, perbedaan antara laki-laki dan perempuan juga terjadi dalam hal upah atau gaji atau pendapatan bersih sebulan. Data yang diambil pada Agustus 2002 menunjukkan bahwa 63.97 persen dari seluruh pekerja yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 100.000 per bulan adalah perempuan. Berkebalikan dengan data di atas, 77,76 persen dari seluruh pekerja yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 1.000.000 per bulan adalah laki-laki. Dari data tersebut terlihat bahwa persentase perempuan yang memiliki pendapatan kurang dari Rp 100.000 lebih banyak dibandingkan dengan persentase laki-laki. Berkebalikan dengan data di atas, persentase perempuan yang memiliki pendapatan Rp 1.000.000 ke atas lebih sedikit dibandingkan dengan persentase laki-laki. Berdasarkan data tersebut, terbukti bahwa pendapatan laki-laki lebih tinggi dari pendapatan perempuan.2

Bila untuk pendidikan dan pekerjaan berupah perempuan tertinggal, keadaan sebaliknya terjadi untuk menghadapi kesukaran hidup. Pada rumah tangga miskin, perempuan tidak bisa hanya bertanggung jawab untuk pengelolaan rumah tangga saja, tetapi harus juga membanting tulang dalam pasar kerja. Pembagian rumah tangga oleh Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) pada tahun 1997 dan 1998 dalam lima kelompok berdasarkan pengeluaran per kapita, ada korelasi yang terlihat bahwa semakin sejahtera sebuah rumah tangga, makin rendah persentase perempuan yang terlibat dalam pasar kerja. Sebaliknya, makin miskin sebuah rumah tangga maka partisipasi perempuan masuk dalam pasar kerja semakin tinggi.3

Ibu rumah tangga dan perempuan pada umumnya banyak berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia dalam produksi subsisten, sektor informal dan bekerja secara sukarela di masyarakat, yang merupakan bagian dari perekonomian sosial atau “care economy”, yang krusial dalam pengembangan dan keberlanjutan sektor kesehatan dan ketenagakerjaan, serta dalam menjaga

1

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Diakses tanggal 15 Januari 2009. 2

Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan. Diakses tanggal 15 Januari 2009. 3

Retak Langit-langit Kaca, Saringan Ampuh Penghambat Perempuan. Senin, 22 Oktober 2001. www.kompas.com. Diakses tanggal 15 Januari 2009.


(13)

keberlanjutan kerangka sosial dan kemasyarakatan, pemenuhan tanggung jawab publik, dan norma-norma sosial masyarakat. Hal tersebut disebutkan Menneg PPN/Kepala Bappenas, H. Paskah Suzetta dalam sambutannya sebagai inspektur upacara peringatan Hari Ibu ke-80 Tahun 2008, pada Senin (22/12), pukul 08.00 WIB, di Bappenas, dengan peserta upacara PNS di lingkungan Kementerian Negara PPN/Bappenas.

Pengambilan keputusan oleh perempuan menjadi penting diantaranya karena hasil penelitian yang dilakukan oleh Andriyani (2000) membuktikan bahwa baik pada strata kaya maupun strata miskin, kesejahteraan rumahtangga nelayan dipengaruhi oleh pengambilan keputusan perempuan. Pengambilan keputusan ini mencakup kegiatan rumahtangga, nafkah, dan kegiatan sosial. Selain itu, kesejahteraan yang dimaksud di atas berlaku baik berdasarkan kriteria Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) maupun kriteria Sayogyo.

Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Puspa (2007) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pengambilan keputusan dengan kesejahteraan obyektif. Artinya, semakin dominan istri dalam pengambilan keputusan keluarga petani, maka semakin tinggi kesejahteraan obyektif keluarga tersebut. Selain itu, dukungan sosial berkorelasi positif dengan pengambilan keputusan strategi pemenuhan kebutuhan hidup. Artinya, semakin dominan istri dalam pengambilan keputusan mengenai strategi pemenuhan kebutuhan hidup, maka semakin tinggi dukungan sosial yang didapatkan keluarga.

Berbagai penelitian yang bertujuan untuk membuktikan faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga telah dilakukan. Faktor yang telah diteliti antara lain kontribusi ekonomi: Syakti (1997), Andriyani (2000), dan Rahmawaty (2000). Selain kontribusi ekonomi, faktor yang telah diteliti pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga adalah sumberdaya pribadi: Syakti (1997), Wahyudini (1997), dan Rosalina (2004).

Walaupun kedua faktor tersebut telah diteliti, namun ada beberapa hal yang masih harus dilengkapi, seperti: (1) Pengambilan keputusan dalam rumahtangga digabungkan menjadi semua bidang, padahal Sayogyo (1981) telah


(14)

membagi pengambilan keputusan dalam rumahtangga menjadi empat bidang, yaitu produksi, pengeluaran kebutuhan rumahtangga, pembentukan keluarga, dan kegiatan sosial kemasyarakatan; (2) Rumahtangga yang diteliti tidak dikategorikan berdasarkan strata; (3) Metode pengolahan yang digunakan hanya satu, yaitu tabulasi silang atau uji statistik saja; (4) Penelitian lebih banyak dilakukan di Propinsi Jawa Barat, seperti Syakti (1997), Rahmawaty (2000), dan Rosalina (2004) di Bogor, serta Andriyani (2000) di Cirebon..

Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu diadakan penelitian yang bertujuan untuk menganalisis pengaruh kontribusi ekonomi dan sumberdaya pribadi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga berdasarkan strata. Penelitian ini menggunakan dua metode pengolahan data, yaitu tabulasi silang dan uji statistik guna memperkuat bukti terhadap kesimpulan akhir yang diambil. Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian agar hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu yang dilakukan di Propinsi Jawa Barat.

1.2. Masalah Penelitian

Masalah yang ingin dikaji dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana pola pembagian kerja yang berlaku dalam rumahtangga? 2. Bagaimana pengaruh kontribusi ekonomi perempuan terhadap

pengambilan keputusan dalam rumahtangga?

3. Bagaimana pengaruh sumberdaya pribadi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dipaparkan pada sub-bab sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1. Memaparkan pola pembagian kerja dalam rumahtangga.

2. Menganalisis pengaruh kontribusi ekonomi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga.

3. Menganalisis pengaruh sumberdaya pribadi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga.


(15)

1.4. Kegunaan Penelitian

Kegunaan penelitian ini secara umum adalah untuk memberikan informasi bagi instansi pemerintah mengenai pengaruh kontribusi ekonomi dan sumberdaya pribadi perempuan terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Informasi ini akan berguna bagi instansi pemerintah untuk menyusun dan menerapkan kebijakan yang tidak mengesampingkan kepentingan perempuan. Penelitian ini diharapkan juga dapat menjadi acuan atau sumber bagi penelitian selanjutnya. Bagi responden dan masyarakat di daerah kasus, peneliti berharap hasil penelitian ini berguna untuk memberikan informasi tentang besarnya peran perempuan dalam menjaga ketahanan ekonomi rumahtangga sehingga mereka akan lebih menghargai keberadaan perempuan.


(16)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1. Tinjauan Pustaka

2.1.1. Gender dan Kesetaraan Gender

Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki atau seorang perempuan, akan tetapi jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi biologis oleh kultur kita. Gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Salah satu hal yang paling menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Istilah gender mencakup peran sosial baik kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali amat penting dalam menentukan posisi keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang bisa berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan konsekuensi dari pendefinisian perilaku gender yang semestinya oleh masyarakat. Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tertentu ditetapkan oleh kelas, gender, dan suku (Mosse, 2002).

Ann Oakley, ahli sosiologi Inggris, merupakan orang yang mula-mula melakukan pembedaan antara istilah gender dan seks. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis terutama yang menyangkut prokreasi (hamil, melahirkan, dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak selalu identik dengannya. Gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada (De Vries, 2006). Menurut Saptari dalam Saptari dan Holzner (1997), gender adalah keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran akan perbedaan


(17)

pendefinisian maskulinitas dan feminitas di setiap masyarakat membawa kesadaran akan adanya bentuk-bentuk pembagian kerja seksual yang berbeda.

Kesetaraan gender ditunjukkan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama pada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang. Kesetaraan gender bukan berarti memindahkan semua pekerjaan laki-laki ke pundak perempuan, bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban seorang suami oleh istrinya. Inti kesetaraan gender adalah menganggap semua orang pada kedudukan yang sama dan sejajar (equality), baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain itu, inti dari kesetaraan gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa ada tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari lingkungan (De Vries, 2006).

Konsep kesetaraan kuantitatif 50/50 diidealkan oleh United Nations Development Program (UNDP), sehingga lembaga ini mengharapkan seluruh negara di dunia dapat mencapai kesetaraan yang demikian, akan tetapi data statistik di seluruh dunia selalu menunjukkan bahwa angka partisipasi perempuan dalam pasar kerja dan politik selalu lebih kecil daripada laki-laki. Keberhasilan program UNDP tentang kesetaran 50/50 telah dibuktikan melalui kemajuan pesat yang telah dicapai oleh para perempuan dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang bahkan dapat melampaui kecepatan kemajuan yang dicapai laki-laki. Kenyataan ini dapat menyanggah pendapat yang sering dilontarkan oleh kaum feminis, bahwa diskriminasi pada perempuan karena adanya faktor budaya, di mana budaya patriarkat selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.

Mengkritisi konsep kesetaraan yang diusung oleh UNDP, Megawangi (1999) menawarkan konsep kesetaraan yang mengakui akan keragaman biologis antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan ini selanjutnya disebut “kesetaraan kontekstual”, walaupun setiap manusia mendapatkan lot yang sama,


(18)

tidak berarti setiap manusia mendapatkan tingkat kesejahteraan atau kebahagiaan yang sama, karena aspirasi, keinginan, dan kebutuhan manusia yang berbeda-beda. Megawangi mengutip perkataan Rae4 bahwa kesetaraan dalam kesempatan harus diiikuti pula oleh konsep kesetaraan dalam memiliki alat untuk meraih lot. Megawangi juga mengutip pernyataan Rawls5 bahwa kesetaraan ini harus berarti bagi mereka yang mempunyai kemampuan dan keahlian sama harus mempunyai kesempatan sama. Selain itu, untuk mendapatkan lot yang sama ada satu persyaratan lagi, yaitu kesamaan faktor keinginan dan aspirasi. Megawangi lebih setuju kalau kesetaraan gender disebut keadilan gender, karena kesetaraan sering dirancukan dengan sameness yang kadangkala mengimplikasikan pengukuran

outcome, hasil, atau lot. Konsep keadilan mempunyai arti yang lebih abstrak dan relatif, sehingga pengukurannya tidak dapat dibatasi dengan angka-angka yang ukurannya terbatas.

2.1.2. Pembagian Kerja dalam Rumahtangga

Ada dua definisi rumahtangga yang digunakan secara umum (Saptari

dalam Saptari & Holzner, 1997). Pertama, rumahtangga sebagai pranata budaya dan sosial yang paling dasar dalam suatu masyarakat. Kedua, rumahtangga sebagai pranata ekonomi paling kecil dengan fungsi-fungsi sebagai berikut: menjalankan kegiatan produksi, penggabungan penghasilan (income-pooling) dan konsumsi bersama, serta bertempat tinggal bersama.

Pembagian kerja seksual adalah pembagian kerja yang didasarkan atas jenis kelamin. Di kebanyakan masyarakat ada pembagian kerja seksual di mana beberapa tugas dilaksanakan oleh perempuan dan beberapa tugas lain dilaksanakan oleh laki-laki (Saptari dalam Saptari & Holzner, 1997). Secara umum, pembagian kerja dalam rumah tangga di Indonesia adalah perempuan sebagai pengelola rumahtangga, sedangkan laki-laki sebagai pencari nafkah, walaupun tidak langsung berarti “penghasilan”, pekerjaan rumahtangga memberi dukungan pada anggota lain “pencari nafkah” untuk memanfaatkan peluang bekerja (Sajogyo, 1981). Dukungan tersebut dalam ekonomi rumahtangga dapat

4

Douglas Rae dalam bukunya Equalities. 5


(19)

diasumsikan sebagai proses produksi dari “nilai pakai” (use-values) atau “produksi dari hal yang terpakai” (consumables).

Kaitan antara ada tidaknya dominasi laki-laki dalam pembagian kerja seksual dengan struktur masyarakat dan perubahan sosial dapat dibagi ke dalam empat golongan (Saptari dalam Saptari & Holzner, 1997). Pertama, mereka yang mengatakan bahwa pembagian kerja seksual berlaku universal, tetapi tidak selalu berarti dominasi laki-laki. Kedua, ada pula, seperti Ester Boserup, yang mengatakan bahwa posisi perempuan secara tradisional tidak tersubordinasi, tetapi dengan kolonialisme menjadi termarginalisasi. Ketiga, ada pula yang mengatakan bahwa posisi perempuan selalu tersubordinasi baik pada zaman feodal, zaman kolonial, maupun zaman pascakolonial, tetapi bentuk subordinasinya berbeda-beda sesuai dengan sistem yang ada saat itu. Terakhir, ada yang mengatakan bahwa subordinasi terdapat pada saat perempuan masih terkungkung dalam lingkup domestik dalam sistem feodal yang masih patriarkal.

Menurut Scanzoni dan Scanzoni (1981) sebagaimana dikutip oleh Suleeman dalam Ihromi (1999), hubungan suami-istri dapat dibedakan menurut pola perkawinan yang ada. Pertama, pada pola perkawinan owner property, istri adalah milik suami sama seperti uang dan barang berharga lainnya. Tugas suami adalah mencari nafkah dan tugas istri adalah menyediakan makanan untuk suami dan anak-anak dan menyelesaikan tugas-tugas rumahtangga yang lain karena suami telah bekerja untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Kedua, pada pola perkawinan head-complement, istri dilihat sebagai pelengkap suami. Suami dan istri memutuskan untuk mengatur kehidupan bersamanya secara bersama-sama. Ketiga, pada pola perkawinan senior-junior partner, posisi istri tidak lebih sebagai pelengkap suami, tetapi sudah menjadi teman. Perubahan ini terjadi karena istri juga memberikan sumbangan secara ekonomis meskipun pencari nafkah utama tetap suami. Terakhir, pada pola perkawinan equal partner, tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah di antara suami dan istri. Istri mendapat hak dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan diri sepenuhnya dan melakukan tugas-tugas rumahtangga.

Sebagian besar reponden penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Indonesia pada tahun 1990 (47,1 persen untuk ibu bekerja dan


(20)

53 persen untuk ibu tidak bekerja) menjawab bahwa mengurus dan membimbing anak-anak adalah peran utama ibu rumahtangga. Pekerjaan yang dilakukan oleh ibu rumahtangga terutama yang berkaitan dengan urusan suami dan anak-anaknya, akan tetapi pada golongan keluarga ibu bekerja, 54 persen diantaranya melakukan pembagian kerja dengan suaminya. Jenis pekerjaan yang dilakukan suami adalah jenis pekerjaan yang relatif lebih berat. Demikian pula penelitian yang dilakukan Yayasan Srikandi di Jakarta pada tahun 1991 terlihat bahwa pengelolaan keuangan keluarga diserahkan pada perempuan, akan tetapi para perempuan ini selalu bertukar pikiran dengan suami mengenai berbagai hal yang berkenaan dengan keluarga, demikian pula sebaliknya.

Tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian di atas, penelitian Setyawati (2008) di Kecamatan Kronjo dan Kecamatan Kemiri, Kabupaten Tangerang, terlihat bahwa kaum perempuan di dua desa penelitian lebih banyak menghabiskan waktunya dibanding kaum lelaki dalam hal pemanfaatan waktu dalam urusan rumahtangga. Bahkan pada musim paceklik, kaum lelaki tetap jarang melakukan pekerjaan domestik kecuali untuk memperbaiki rumah jika ada yang rusak. Kaum perempuan pesisir selain mengerjakan kegiatan rumahtangga, juga mengerjakan kegiatan produktif di luar rumah untuk membantu suami dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Sebaliknya, suami atau kaum laki-laki hanya mengerjakan kegiatan produktif dan kegiatan sosial kemasyarakatan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Daulay (2001) di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Jawa Barat terlihat hasil yang sedikit berbeda. Secara keseluruhan pola-pola patriarkhi tidak mendominasi dalam kerangka pembagian kerja dan pencari nafkah utama dalam keluarga TKW. Pada sepuluh keluarga responden, istri memang mempunyai peranan besar dalam sektor domestik, namun demikian, perempuan bebas memilih untuk menentukan keputusan berangkat ke Luar Negeri. Saat istri berangkat menjadi TKW, pekerjaan rumahtangga diambil alih oleh keluarga luas atau dikerjakan oleh suami beserta anak-anak.

Demikian pula pekerjaan reproduktif pada rumahtangga petani pedagang tanaman hias di Dukuh Nglurah, Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah dominan dilakukan oleh istri. Meskipun


(21)

demikian, suami juga ikut membantu terutama apabila ada pengambilalihan kerja pada kegiatan reproduktif. Sementara itu, menurut responden, kegiatan produktif dilakukan secara bersama oleh suami dan istri (Meliala, 2006).

Pembagian kerja produktif dan reproduktif petani monokultur sayur dibedakan dalam tiga jenis kegiatan, yaitu kegiatan yang hanya dilakukan oleh suami, kegiatan yang dilakukan bersama (suami dan istri), serta kegiatan yang hanya dilakukan oleh istri. Hasil penelitian di Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar (Pratiwi, 2007) menunjukkan bahwa tahapan kegiatan dalam usahatani yang sifatnya merupakan pekerjaan kasar dan berat maka pelaku kegiatannya dominan suami. Sebaliknya, tahapan kegiatan yang sifatnya merupakan pekerjaan ringan maka pelaku kegiatannya dominan istri. Di sisi lain, pada pekerjaan reproduktif, suami dan istri memiliki peran yang sama-sama dominan tidak seperti pada kerja produktif yang didominasi oleh suami.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Rawamarta Kabupaten Karawang (Daulay, 2001), terbukti bahwa telah terjadi pergeseran konstruksi gender pada masyarakat Sunda. Dewasa ini, karena keterbatasan lahan dan permintaan pasar beban anak sebagai suatu komoditi diarahkan ke anak perempuan. Selama bekerja di Luar Negeri, tugas perempuan di sektor domestik dapat dialihkan kepada keluarganya, akan tetapi stereotipe yang melekat pada perempuan tidak sepenuhnya hilang walaupun ia telah berkontribusi banyak bagi ekonomi keluarganya. Beberapa ketimpangan gender yang terjadi terkait dengan Tenaga Kerja Indonesia Wanita (TKIW) diantaranya: 1) dunia kerja TKIW masih pada sektor domestik, 2) tidak ada jaminan akan ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan di dalam keluarga walaupun TKIW menghasilkan uang, 3) anggapan masyarakat bahwa peran TKIW setelah kembali dari Luar Negeri tetap sebagai ibu rumah tangga yang tidak produktif, 4) suami tidak menyentuh pekerjaan di sektor domestik walaupun ia tidak terlibat jauh di sektor publik, dan 5) pekerjaan TKI laki-laki lebih bergengsi dengan upah yang lebih tinggi.

Di sejumlah masyarakat petani di kawasan Selatan (Mosse, 2002), pembagian kerja berdasarkan gender merupakan cara efisien untuk menjamin kelangsungan hidup unit keluarga dan beradaptasi dengan lingkungan tertentu. Pembagian kerja tidak semata-mata menyatakan tingkat status. Kerja perempuan


(22)

bisa jadi dilihat sebagai hal yang sama-sama bernilai dengan kerja laki-laki, walaupun ada juga di banyak masyarakat petani pembagian kerja melibatkan tingkat signifikansi sepanjang garis-garis gender.

2.2.3. Kegiatan Nafkah yang Dilakukan oleh Perempuan

Upaya-upaya yang dilakukan oleh perempuan pesisir untuk membantu suaminya dalam mencari nafkah antara lain menyortir dan menjual ikan di TPI, belanja perbekalan melaut, membuat atau memperbaiki jaring, berdagang keliling, berdagang di kios, bekerja sebagai buruh, serta mengikuti koperasi (Setyawati, 2008). Sementara itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh perempuan di Kelurahan Cigugur Tengah (Ardyani, 2007) adalah membuat kerajinan rumahtangga seperti makanan kecil getuk, comring, sumpia, dan lontong isi. Ada juga perempuan yang menjahit, membuat penutup tempat tidur dan bantal, menitipkan masakan ke warung-warung, menjadi buruh pabrik, serta membuka warung.

Dari hasil penelitian oleh Gardiner dan Surbakti, peny. (1991), strategi kehidupan perempuan sebagai kepala rumahtangga diarahkan untuk dua tujuan, yaitu untuk mempertahankan kehidupan keluarga pada saat sekarang serta untuk mengusahakan kebahagiaan bagi kehidupan masa depan anak-anak yang akan merupakan tempat bergantung bagi hari tua. Strategi ekonomi yang mereka lakukan antara lain membatasi pengeluaran dan membagi resiko pada lebih dari satu jenis mata pencaharian.

2.2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kegiatan Nafkah yang

Dilakukan oleh Perempuan

2.2.4.1. Faktor Pendukung

Keinginan bekerja pada responden golongan menengah ada kemungkinan berhubungan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, sedangkan pada responden golongan bawah kebutuhan ekonomilah yang paling utama. Secara umum, alasan perempuan bekerja adalah karena faktor ekonomi. Sementara itu, hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Srikandi di Jakarta pada tahun 1991 terlihat bahwa alasan perempuan bekerja antara lain karena tidak ada


(23)

orang yang menanggung kehidupannya, karena penghasilan suami tidak mencukupi, atau karena ingin mencari kehidupan yang lebih baik.

Hasil penelitian di atas sejalan dengan hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Rosalina (2004) di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor. Sumberdaya pribadi dan karakteristik pribadi perempuan berpengaruh terhadap pendapatan individu perempuan yang diperoleh dari hasil kerjanya. Sumberdaya pribadi sebelum menikah yang terdiri dari pendidikan, kekayaan, pengalaman bekerja, pengalaman berorganisasi, keikutsertaan dalam kursus, dan kepemilikan keterampilan, semuanya memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat pendapatan individu. Artinya, semakin tinggi tingkat sumberdaya yang dimiliki oleh perempuan maka semakin tinggi tingkat pendapatan individu. Karakteristik pribadi yang terdiri dari umur dan motivasi bekerja juga memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat pendapatan individu perempuan. Artinya, responden yang berusia produktif memiliki tingkat pendapatan individu yang lebih tinggi daripada perempuan berusia muda atau tua. Selain itu, responden yang memiliki motivasi bekerja sebagai mata pencaharian pokok mendapatkan pendapatan lebih tinggi daripada responden yang memiliki motivasi bekerja membantu ekonomi keluarga dan motivasi non-ekonomi.

Menurut Sajogyo (1981), partisipasi tenaga kerja perempuan dapat disebabkan oleh berkembangnya teknologi, majunya pendidikan perempuan, serta masalah ekonomi. Perempuan melakukan pekerjaan mencari nafkah di semua bidang: pertanian dan non-pertanian. Jumlah curahan tenaga kerja laki-laki dan perempuan paling besar di bidang pertanian yaitu untuk pekerjaan di sawah usahatani sendiri, dibandingkan dengan pekerjaan pertanian lainnya. Penggunaan waktu oleh perempuan di pedesaan untuk semua pekerjaan (rumahtangga dan mencari nafkah) lebih banyak daripada laki-laki.

Sementara itu, karakteristik responden dalam kelompok bakul di Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang berpengaruh nyata terhadap partisipasinya dalam aktivitas ekonomi yaitu umur dan jumlah anak, sedangkan tingkat pendidikan dan pendapatan tidak berpengaruh nyata terhadap partisipasinya dalam aktivitas ekonomi. Karakteristik responden kelompok buruh yang berpengaruh nyata adalah tingkat pendidikan dan


(24)

pendapatan, sedangkan umur dan jumlah anak responden tidak terlihat adanya pengaruh nyata terhadap partisipasinya dalam aktivitas ekonomi.

Gusnelly dan Zarida (2000) mengungkapkan bahwa motivasi perempuan pedagang kecil di Bandung dalam berdagang didominasi oleh mereka yang ingin mendapatkan uang tunai dengan cepat. Motivasi ingin mendapatkan uang dengan mudah dan cepat ini didominasi oleh semua tingkatan pendidikan dan usia. Selain untuk mendapatkan uang, motivasi mereka dalam berdagang adalah membantu suami, meneruskan usaha keluarga, dan membantu ekonomi keluarga.

2.2.4.2. Faktor Penghambat

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Studi Wanita Universitas Indonesia pada tahun 1990 di Kelurahan Jatirawamangun mengungkapkan bahwa ketika ditanyakan kepada responden (perempuan) apakah alasan mereka tidak bekerja (berperan ganda), sebagian besar mengatakan karena kesibukan rumahtangga. Alasan-alasan lain yang dikemukakan antara lain karena dilarang suami, penghasilan suami sudah cukup, kurang mampu bekerja atau tidak mempunyai keahlian, tidak ada modal, dagangan tidak laku, sibuk di Dharma Wanita, dan kesehatan tidak memungkinkan.

Menurut Djamal dalam Gardiner dkk. (1996), perempuan yang masuk sektor informal sudah ditantang sejak awal. Keberanian perempuan memasuki sektor informal lebih banyak didukung oleh faktor kebutuhan. Sebagai perempuan, mereka dididik, diasuh, dan dibesarkan dalam kerangka stereotip gender. Ideologi ini berpengaruh terus pada perempuan. Ketika harus mencari nafkah, lebih banyak yang berpikir untuk memilih pekerjaan yang “ibunisasi” atau “istrinisasi”. Selain itu, meskipun keluarga sadar bahwa mereka membutuhkan tambahan pendapatan, mereka juga sulit menerima peran ganda perempuan.

2.2.5. Kontribusi Perempuan terhadap Ekonomi Rumahtangga

Di seluruh dunia, kerja perempuan dinilai rendah. Jika pekerja rumahtangga ditambahkan ke dalam angka-angka bagi Gross National Product

(GNP) global, diperkirakan bahwa angka GNP global akan meningkat setidaknya sepertiga. Kerja yang dilakukan perempuan kadang-kadang dilukiskan sebagai


(25)

“tidak tampak” karena kerja itu tidak terekam secara statistik. Kerja perempuan lebih dipandang sebagai menghidupi ketimbang mendapatkan penghasilan. Padahal, ketika negara semakin miskin, tekanan terhadap perempuan untuk mencari uang semakin intensif. Dikarenakan keterbatasan waktu dan mobilitasnya, kaum perempuan dipaksa mempersiapkan diri memperoleh upah yang amat murah, baik dalam pertanian, pabrik, maupun sebagai pekerja rumah. Pembagian kerja secara seksual mengandung makna bahwa perempuan kerap dipandang sebagai pencari nafkah sekunder dalam keluarga, sedangkan laki-laki penyedia nafkah utama. Kenyataannya, di negara-negara selatan kerja yang dilakukan oleh sebagian besar perempuan miskinlah yang memungkinkan keluarga mereka tetap bertahan hidup. Semakin miskin suatu keluarga, keluarga itu semakin bergantung kepada produktivitas ekonomi seorang perempuan (Mosse, 2002).

Hipotesis di atas diperkuat oleh pendapat yang diungkapkan oleh Simanjuntak dalam Mudzhar, Alvi, dan Sadli, ed. (2001). Peningkatan partisipasi kerja perempuan bukan saja mempengaruhi konstelasi pasar kerja, melainkan juga mempengaruhi tingkat kesejahteraan perempuan sendiri dan kesejahteraan keluarga. Secara analisis kualitatif, Simanjuntak menyimpulkan bahwa semakin banyak tenaga kerja perempuan memasuki pasar kerja, semakin tinggi kualitas hidup perempuan dan keluarga. Hal ini dapat dibuktikan dalam beberapa indikator. Pertama, perempuan yang bekerja akan menambah penghasilan keluarga. Kedua, setiap perusahaan biasanya menyediakan jaminan sosial yang secara langsung dan tidak langsung dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarga. Ketiga, akses pekerja terhadap pelayanan kesehatan lebih besar daripada akses non-pekerja. Keempat, sebagian besar perusahaan mempunyai program jaminan kesehatan melalui asuransi kesehatan atau jaminan pembayaran kembali seluruh atau sebagian biaya kesehatan yang telah dikeluarkan, walaupun penghasilan istri sering dikatakan hanya sebagai tambahan, tetapi penelitian yang dilakukan oleh kelompok Peminat Studi Wanita, Universitas Indonesia membuktikan bahwa 10,6 persen gaji responden lebih besar daripada suami.


(26)

2.2.6. Sumberdaya Pribadi Perempuan

Menurut Blood dan Wolfe (1960) dikutip oleh Sajogyo (1983) dikutip oleh Rosalina (2004), kebudayaan saja tidak cukup untuk menyoroti dan menjelaskan distribusi serta alokasi kekuasaan antara suami dan istri dalam keluarga. Dalam hal ini perlu juga memperhatikan sumberdaya pribadi yang disumbangkan dalam perkawinan mereka. Sumberdaya pribadi oleh Blood dan Wolfe (1960) dikutip oleh Sajogyo (1983) dikutip oleh Rosalina (2004), didefinisikan sebagai sesuatu yang disediakan oleh salah satu pihak (suami atau istri) untuk pihak lainnya (pasangannya), agar yang terakhir ini terpenuhi kebutuhannya atau terwujud tujuannya. Sajogyo (1981) mengartikan sumberdaya pribadi meliputi berbagai aspek berupa pendidikan yaitu pendidikan formal dan informal, pengalaman, keterampilan, dan kekayaan yang menunjukkan adanya variasi alokasi kekuasaan dalam keluarga dan menentukan siapa yang dominan dalam pengambilan keputusan.

Sajogyo (1983) serta White dan Hastuti (1980) sebagaimana dikutip oleh Wahyudini (1997) mengatakan bahwa pendidikan bukan satu-satunya aspek sumberdaya pribadi yang paling berpengaruh pada kekuasaan. Dikatakan bahwa seorang istri yang mengenyam pendidikan formal lebih rendah dari suami tetapi mempunyai pengalaman yang dapat memperkaya pribadinya maka mempunyai kekuasaan yang setara dengan suami. Bahkan, istri tersebut mampu mengambil keputusan tertentu. Melalui pengalaman terutama yang diperoleh di luar rumah, istri akan berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang pada akhirnya akan menambah pengetahuannya. Bagi istri yang pendidikannya rendah dan tidak mempunyai sumberdaya lain selain pendidikan, maka otonominya dalam rumahtangga akan didominasi suaminya.

Menurut Syakti (1997), pergaulan di luar rumahtangga pada umumnya juga dapat menambahkan pengalaman anggota itu dalam keluarganya, bahkan tak jarang pula memperbesar potensi dalam mengambil keputusan di berbagai bidang kehidupan. Agassi (1991) sebagaimana dikutip oleh Daulay (2001) mengatakan bahwa keseimbangan status perempuan dalam keluarga baru bisa diperoleh jika ada kekuatan yang sama antara suami dan istri dalam bidang ekonomi dan kontrol terhadap sumber-sumber yang vital. Pengambilan keputusan tidak bisa dilepas


(27)

dari masalah kekuasaan dalam keluarga, dan berbicara tentang itu tidak bisa menghindar dari masalah patriarki.

2.2.7. Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga

Secara populer dapat dikatakan bahwa mengambil atau membuat keputusan berarti memilih satu di antara sekian banyak alternatif. Pada umumnya suatu keputusan dibuat dalam rangka untuk memecahkan permasalahan atau persoalan (problem solving), setiap keputusan yang dibuat pasti ada tujuan yang akan dicapai. Inti dari pengambilan keputusan ialah terletak dalam perumusan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan yang sedang dalam perhatian dan dalam pengambilan alternatif yang tepat setelah suatu evaluasi (penilaian) mengenai efektivitasnya dalam mencapai tujuan yang dikehendaki pengambil keputusan. Salah satu komponen terpenting dari proses pembuatan keputusan ialah kegiatan pengumpulan informasi dari mana suatu apresiasi mengenai situasi keputusan dapat dibuat (Supranto, 2005).

Cromwell dan Olson yang diacu oleh Lestari dalam Ihromi (1990) mengemukakan tiga bidang yang berbeda untuk menganalisa konsep kekuasaan dalam keluarga. Pertama, sumber atau dasar kekuasaan (bases of family power). Kedua, proses kekuasaan dalam keluarga (family power processes). Ketiga, hasil kekuasaan dalam keluarga (family power outcomes).

Dari ketiga bidang ini, masalah pengambilan keputusan digolongkan ke dalam bidang kedua dan ketiga. Pengambilan keputusan adalah perwujudan proses yang terjadi dalam keluarga dan merupakan hasil interaksi di antara para anggota keluarga untuk saling mempengaruhi (bidang kedua), serta sekaligus juga menunjuk pada hasil atau akibat dari struktur kekuasaan dalam keluarga tersebut. Safilios-Rotschild yang diacu oleh Lestari dalam Ihromi (1990) juga menyatakan bahwa untuk melihat struktur kekuasaan dalam keluarga dapat terlihat dari proses pengambilan keputusan, yakni tentang siapa yang mengambil keputusan, bagaimana frekuensinya, dan sebagainya.

Pengambilan keputusan oleh istri dan suami dalam rumahtangga dapat diperinci menurut empat bidang (Sayogyo, 1981), sebagai berikut:


(28)

1. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan produksi, yang mencakup pembelian sarana produksi, pembelian alat-alat, penanaman modal, penggunaan tenaga buruh, penjualan hasil, dan cara penjualan;

2. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan pengeluaran dalam kebutuhan pokok, yang mencakup makanan, perumahan, pembelian pakaian, biaya pendidikan, pembelian peralatan rumahtangga, dan perawatan kesehatan;

3. Pengambilan keputusan dihubungkan dengan pembentukan keluarga, yang mencakup jumlah anak, ajar atau sosialisasi anak, pembagian kerja antara anak-anak, dan pendidikan; serta

4. Pengambilan keputusan dalam rumahtangga dihubungkan dengan kegiatan sosial, sesuai dengan yang ada di dalam masyarakat, yang mencakup selamatan, kegiatan gotong royong dan sambatan, dan peranserta pengeluaran pada berbagai kegiatan kelompok.

Geertz (1961) dikutip oleh Sajogyo (1981) menggambarkan bahwa dalam keluarga Jawa, ditemukan adanya peranan perempuan yang lebih besar dalam proses pengambilan keputusan. Sebagai istri, perempuan lah yang mengelola keuangan keluarga, walaupun secara resmi suami yang memutuskan setelah berunding dengan istri. Suami yang berkemauan keras dalam hubungan suami istri mempunyai status yang sama nilainya. Kenyataannya, keluarga di mana suami mempunyai kekuasaan besar jarang ditemukan. Pada masyarakat Jawa, ada suatu alokasi solidaritas yang lebih kuat dan lebih dalam pada hubungan keluarga antara anggota-anggota perempuan dalam keluarga itu atau grup kerabat lainnya atau yang dikenal dengan “Matrifokal” (Levy, 1971 dikutip oleh Sajogyo, 1981).

Ditinjau dari pola pengambilan keputusan dalam kegiatan usaha tani, perempuan selalu memberikan andil dalam setiap keputusan yang diambil, mulai dari praproduksi hingga pasca produksi. Bahkan hingga pada tahap pengelolaan pasca panen, keputusan didominasi oleh perempuan tani, artinya, perempuan tani sangat berperan dalam penentuan penggunaan hasil panen, baik untuk dikonsumsi, maupun untuk dipasarkan (Lailogo, 2003).


(29)

Berdasarkan hasil penelitian Pratiwi (2007) di Karanganyar, Jawa Tengah, pengambilan keputusan yang terjadi dalam rumahtangga petani monokultur sayur dilakukan atas dasar musyawarah atau hasil diskusi dari responden suami dan istri. Jadi, pengambilan keputusannya dilakukan bersama dengan perbedaan pengaruh dari masing-masing responden, akan tetapi ada juga masalah yang pengambilan keputusannya didominasi oleh suami atau didominasi oleh istri. Pengambilan keputusan dalam pengelolaan usahatani didominasi oleh suami. Sebaliknya, pengambilan keputusan yang didominasi oleh istri adalah dalam hal pemasaran. Sementara itu, pola pengambilan keputusan yang seimbang antara suami dan istri tampak dalam hal pengaturan biaya hidup selama menunggu musim panen, pengelolaan modal dan pendapatan, serta penentuan dan pengaturan tenaga kerja usahatani.

2.2.8. Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Pola Pengambilan

Keputusan dalam Rumahtangga

2.2.8.1. Kontribusi Ekonomi

Maynard (1985) sebagaimana dikutip oleh Daulay (2001) menghubungkan antara pengambilan keputusan pada keluarga dengan bidang finansial. Ia mendapatkan hasil penelitian bahwa otoritas yang ada di dalam keluarga erat hubungannya dengan individu yang mendapatkan uang lebih banyak. Demikian pula hasil studi Burr Ahern dan Knowles (1977) sebagaimana dikutip oleh Daulay (2001) bahwa manakala pendapatan istri meningkat sebanding dengan pendapatan suami, maka ada kecenderungan pengaruh istri juga meningkat. Burr dkk juga menemukan bahwa pendapatan merupakan predikator terbaik terhadap power. Dengan demikian, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pengaruh (kuasa) istri sebagian besar terletak pada kontribusi relatif perempuan pada pendapatan rumahtangga.

Setelah melalui penelitian, Suryochondro dalam Ihromi (1990) menyimpulkan bahwa perempuan/istri lapisan bawah lebih banyak bekerja dibanding perempuan/istri lapisan atas, walaupun ada perempuan/istri lapisan atas yang bekerja, tetapi kontribusinya untuk pendapatan rumahtangga tidak sebesar yang disumbang oleh perempuan/istri lapisan bawah. Maka dapat dipahami, istri


(30)

lapisan bawah mempunyai kekuasaan di dalam pengambilan keputusan dibanding istri lapisan atas. Kesimpulan ini diperkuat oleh pernyataan Molo yang diacu oleh Daulay (2001) bahwa istri lapisan bawah lebih dominan dalam pengambilan keputusan karena gaji yang diterima memberikan sumbangan pada pendapatan total keluarga.

Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Syakti (1997) dan Rahmawaty (2000). Syakti (1997) membuktikan bahwa tinggi rendahnya kontribusi ekonomi perempuan, baik yang berasal dari pendapatan hasil bekerja maupun yang berasal dari sumberdaya pribadi lainnya berpengaruh positif terhadap peran perempuan pada proses pengambilan keputusan dalam keluarga. Sementara itu, Rahmawaty (2000) juga membuktikan bahwa semakin tinggi kontribusi ekonomi perempuan terhadap pendapatan rumahtangga, maka semakin tinggi pengambilan keputusan perempuan dalam rumahtangga. Hal ini terbukti baik bagi perempuan yang mempunyai sumberdaya tinggi maupun responden yang memiliki sumberdaya rendah.

Berbeda dengan kesimpulan di atas, hasil penelitian Farida Hanum (1995) yang diacu oleh Daulay (2001) memperlihatkan bahwa perspektif Marxis klasik tentang kondisi material perempuan (posisi perempuan dalam struktur ekonomi dan sektor produksi) yang secara langsung menentukan posisinya pada struktur kekuasaan sepenuhnya tidak benar. Hal ini ditunjukkan melalui hasil penelitiannya, bahwa meskipun perempuan mempunyai penghasilan sendiri, akan tetapi wewenangnya tidaklah lebih besar bila dibanding dengan perempuan yang tidak mempunyai penghasilan sendiri. Menurut Lestari dalam Ihromi (1990), faktor-faktor lain yang dianggap mempengaruhi peranan perempuan dalam pengambilan keputusan diantaranya proses sosialisasi, pendidikan, latar belakang perkawinan, dan kedudukan dalam masyarakat.

2.2.8.2. Sumberdaya Pribadi

Berdasarkan hasil penelitian Sajogyo (1981) dapat diketahui bahwa sumbangan pribadi (personal resourches) mempengaruhi hubungan laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan rumahtangga karena ikatan perkawinan. Sumbangan pribadi dapat berupa pendidikan formal, pengalaman, kekayaan, atau


(31)

keterampilan. Sumbangan ini menunjukkan adanya variasi dari alokasi kekuasaan dalam keluarga, terutama dalam hubungan suami-istri.

Hasil penelitian yang dilaksanakan oleh Rosalina (2004) di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor juga membuktikan bahwa sumberdaya pribadi dan karakteristik pribadi perempuan berpengaruh terhadap pendapatan individu perempuan yang diperoleh dari hasil kerjanya. Sumberdaya pribadi sebelum menikah yang terdiri dari pendidikan, kekayaan, pengalaman bekerja, pengalaman berorganisasi, keikutsertaan dalam kursus, dan kepemilikan keterampilan, semuanya memiliki pengaruh yang besar terhadap tingkat pendapatan individu. Artinya, semakin tinggi tingkat sumberdaya yang dimiliki oleh perempuan maka semakin tinggi tingkat pendapatan individu.

Demikian pula hasil penelitian Rahmawaty (2000) di Bogor. Sumberdaya responden berpengaruh terhadap kedudukan wanita pekerja, kontribusi ekonomi, dan pengambilan keputusan wanita dalam rumahtangga. Sementara itu, hasil penelitian Syakti (1997) menunjukkan bahwa sumberdaya perempuan dapat berpengaruh terhadap pengambilan keputusan jika sumberdaya tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan.

2.3. Kerangka Pemikiran

Gender dalam rumahtangga adalah perbedaan status dan peran antara laki-laki (suami) dan perempuan (istri) dalam menjalankan fungsi-fungsi rumahtangga. Gender dalam rumahtangga dapat mencakup pembagian kerja dalam rumahtangga dan sistem pewarisan kekayaan. Pembagian kerja dalam rumahtangga akan menentukan peran anggota rumahtangga dalam menjalankan fungsi rumahtangga. Peran anggota rumahtangga akan ikut menentukan seberapa besar anggota rumahtangga dapat berkontribusi terhadap ekonomi rumahtangga. Di lain pihak, sistem pewarisan kekayaan akan ikut berpengaruh terhadap banyaknya sumberdaya pribadi yang dibawa laki-laki (suami) atau perempuan (istri) ke dalam pernikahan.

Salah satu fungsi rumahtangga adalah fungsi ekonomi. Suami dan istri yang melakukan kegiatan nafkah masing-masing akan berkontribusi terhadap ekonomi rumahtangga. Kontribusi ekonomi ditentukan oleh besarnya pendapatan


(32)

suami atau istri serta besarnya pendapatan rumahtangga secara keseluruhan. Kontribusi ekonomi inilah yang diduga akan berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga.

Selain itu, beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa sumberdaya pribadi berpengaruh terhadap pendapatan. Sumberdaya pribadi adalah sumberdaya yang dimiliki dan dibawa ke dalam pernikahan. Sumberdaya pribadi yang dikaji dalam penelitian ini mencakup pendidikan, kepemilikan rumah tinggal, kepemilikan tanah untuk rumah tinggal, kepemilikan lahan garapan, dan pengalaman kerja. Pendapatan akan berpengaruh terhadap kontribusi ekonomi. Oleh karena kontribusi ekonomi diduga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan, maka ada dugaan bahwa sumberdaya pribadi juga berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Hubungan antar variabel yang dikaji dalam penelitian ini digambarkan pada Kerangka Pemikiran berikut:

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Keterangan:

: Hubungan Pengaruh

Sumberdaya Pribadi 1. Pendidikan

2. Kepemilikan Rumah Tinggal

3. Kepemilikan Tanah untuk Rumah Tinggal 4. Kepemilikan Lahan Garapan

5. Pengalaman Kerja

Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga 1. Bidang Produksi

2. Bidang Pengeluaran Kebutuhan Rumahtangga 3. Bidang Pembentukan Keluarga

4. Bidang Kegiatan Sosial Kemasyarakatan Kontribusi Ekonomi


(33)

2.2.4. Hipotesis Penelitian

1. Diduga kontribusi ekonomi perempuan berpengaruh positif secara nyata terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga.

2. Diduga sumberdaya pribadi berpengaruh positif secara nyata terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga.

2.2.5. Definisi Konseptual

Batasan istilah untuk konsep-konsep dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:

1. Perempuan yaitu perempuan usia produktif (15-55 tahun) yang telah menikah dan tinggal bersama suami dalam satu rumah.

2. Rumahtangga yaitu pranata ekonomi paling kecil dengan fungsi-fungsi: menjalankan kegiatan produksi, penggabungan penghasilan ( income-pooling) dan konsumsi bersama, serta bertempat tinggal bersama.

3. Pembagian kerja dalam rumahtangga mencakup kegiatan dalam bidang produktif, reproduktif, dan sosial kemasyarakatan yang dialokasikan di antara anggota rumahtangga.

4. Kegiatan nafkah atau kegiatan produktif yaitu kegiatan yang dilakukan oleh anggota rumahtangga baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapatkan hasil dalam bentuk uang atau barang.

5. Kegiatan reproduktif adalah kegiatan yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan rumahtangga serta mendukung kegiatan produktif.

6. Kegiatan sosial kemasyarakatan merupakan kegiatan di mana terdapat saling interaksi sesama manusia yang bertujuan untuk menjalin hubungan kekerabatan yang baik dalam suatu masyarakat.

7. Strata keluarga prasejahtera mencakup rumahtangga yang dianggap belum mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Suatu rumahtangga termasuk keluarga prasejahtera jika rumahtangga tersebut telah atau akan mendapatkan Bantuan Langsung Tunai.

8. Strata keluarga sejahtera mencakup rumahtangga yang dianggap telah mampu mencukupi kebutuhan sehari-hari. Suatu rumahtangga termasuk


(34)

keluarga sejahtera jika rumahtangga tersebut tidak mendapatkan Bantuan Langsung Tunai.

9. Maksud dari urutan anak dalam keluarga adalah pada urutan ke berapa responden lahir jika dibandingkan dengan saudara kandung responden. 10.Jumlah saudara kandung adalah jumlah saudara yang dimiliki responden

yang berasal dari satu ibu dan satu ayah.

11.Usia pernikahan adalah lama responden telah menikah dengan suami responden saat ini.

12.Sumberdaya pribadi yaitu sumberdaya yang dimiliki responden sendiri. Sumberdaya ini mencakup pendidikan, rumah, tanah, lahan garapan, dan pengalaman kerja.

13.Tingkat pendidikan yaitu jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti responden.

14.Pendapatan rumahtangga yaitu jumlah pendapatan yang didapatkan oleh seluruh anggota rumahtangga.

15.Pendapatan perempuan yaitu hasil yang diperoleh responden dari kerja produktif yang dilakukannya.

16.Kontribusi ekonomi perempuan yaitu proporsi pendapatan perempuan terhadap pendapatan rumahtangga.

17.Pengambilan keputusan yaitu siapa yang lebih dominan (suami atau istri) dalam mempengaruhi tindakan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kegiatan.

18.Tingkat pengambilan keputusan oleh perempuan dalam rumahtangga yaitu tingkat dominansi perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang rumahtangga. Variabel ini diukur dengan 50 jenis keputusan.

2.2.6. Definisi Operasional

Batasan istilah untuk variabel-variabel dalam penelitian ini didefinisikan sebagai berikut:

1. Usia dikategorikan menjadi: muda ( < rata-rata usia responden) dan tua ( > rata-rata usia responden).


(35)

2. Usia pernikahan tidak dihitung secara tepat tetapi menggunakan skala sebagai berikut: 0 – 5 tahun, 6 – 10 tahun, 11 – 15 tahun, 16 – 20 tahun, 21 – 25 tahun, 26 – 30 tahun, dan > 30 tahun.

3. Tingkat pendidikan dikategorikan menjadi: rendah ( < tamat SD) dan tinggi ( > SD).

4. Rumah tinggal dikategorikan menjadi: milik suami atau kerabat suami (skor 1) dan milik istri atau kerabat istri (skor 2).

5. Tanah untuk rumah tinggal dikategorikan menjadi: milik suami atau kerabat suami (skor 1) dan milik istri atau kerabat istri (skor 2).

6. Lahan garapan dikategorikan menjadi: milik suami atau kerabat suami (skor 1) dan milik istri atau kerabat istri (skor 2).

7. Pengalaman kerja dikategorikan menjadi: tidak pernah (skor 1) dan pernah (skor 2).

8. Pendapatan rumahtangga dikategorikan menjadi: rendah ( < rata-rata responden) dan tinggi ( > rata-rata responden).

9. Pendapatan perempuan dikategorikan menjadi: rendah ( < rata-rata responden) dan tinggi ( > rata-rata responden).

10.Kontribusi ekonomi perempuan dikategorikan menjadi: rendah ( < 50 persen) dan tinggi ( > 50 persen).

11.Pengambilan keputusan dikategorikan menjadi: suami sendiri (skor 1), bersama tetapi suami dominan (skor 2), bersama setara (skor 3), bersama tetapi istri dominan (skor 4), dan istri sendiri (skor 5).

12.Tingkat pengambilan keputusan oleh perempuan dalam rumahtangga dikategorikan menjadi: rendah (total skor 50 – 150) dan tinggi (total skor 151 – 250). Tingkat pengambilan keputusan dibedakan menjadi bidang produksi (10 jenis keputusan), bidang pengeluaran kebutuhan rumahtangga (17 jenis keputusan), bidang pembentukan keluarga (10 jenis keputusan), serta bidang sosial kemasyarakatan (13 jenis keputusan).

13.Tingkat pengambilan keputusan oleh perempuan dalam bidang produksi dikategorikan menjadi: rendah (jumlah skor 10 – 30) dan tinggi (jumlah skor 31 – 50).


(36)

14.Tingkat pengambilan keputusan oleh perempuan dalam bidang pengeluaran kebutuhan rumahtangga dikategorikan menjadi: rendah (jumlah skor 17 – 51) dan tinggi (jumlah skor 52 – 85).

15.Tingkat pengambilan keputusan oleh perempuan dalam bidang pembentukan keluarga dikategorikan menjadi: rendah (jumlah skor 10 – 30) dan tinggi (jumlah skor 31 – 50).

16.Tingkat pengambilan keputusan oleh perempuan dalam bidang sosial kemasyarakatan dikategorikan menjadi: rendah (jumlah skor 13 – 39) dan tinggi (jumlah skor 40 – 65).


(37)

BAB III

PENDEKATAN LAPANG

3.1. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat eksplanatori. Peneliti ingin menjelaskan tentang suatu fenomena (pengambilan keputusan dalam rumahtangga) dan latar belakang fenomena tersebut (kontribusi ekonomi dan sumberdaya pribadi perempuan). Selain itu, peneliti juga ingin menganalisis hubungan antar variabel yang terkait. Unit analisis dalam penelitian ini adalah individu.

Peneliti menggunakan dua metode dalam penelitian ini. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama. Strategi penelitian kualitatif yang peneliti gunakan adalah studi kasus. Sementara itu, metode penelitian kuantitatif digunakan untuk menjawab rumusan masalah kedua dan ketiga. Strategi penelitian kuantitatif yang peneliti gunakan adalah penelitian survei.

3.2. Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunung Kidul, Propinsi DI Yogyakarta. Lokasi penelitian ditentukan secara sengaja. Daerah ini ditentukan sebagai lokasi penelitian dengan empat pertimbangan. Pertama, sebagian besar penduduk bersuku Jawa. Kedua, sebagian besar penduduk bermatapencaharian sebagai petani. Ketiga, perempuan ikut serta dalam kegiatan produktif. Terakhir, kemudahan akses peneliti terhadap daerah tersebut. Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama untuk mengumpulkan data tentang kontribusi ekonomi dan pengambilan keputusan dalam rumahtangga dilaksanakan pada bulan Juni hingga Agustus 2009. Tahap kedua untuk mengumpulkan data tentang sumberdaya pribadi dilaksanakan pada bulan September hingga Oktober 2009.

3.3. Teknik Pengambilan Contoh

Subyek penelitian ini terdiri dari informan dan responden. Informan merupakan pihak yang memberikan keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya, sedangkan responden merupakan pihak yang memberikan


(38)

keterangan tentang diri dan kegiatan yang dilaksanakannya. Informan dalam penelitian ini adalah Kepala Desa Sawahan, Kepala Dusun Jatisari, tokoh masyarakat, dan keluarga responden. Sementara itu, responden dalam penelitian ini adalah perempuan yang termasuk ke dalam contoh.

Cara pengambilan contoh dengan terlebih dahulu membuat kerangka sampling, yaitu seluruh perempuan usia produktif (15-55 tahun) yang tinggal satu atap dengan suaminya di daerah kasus. Kerangka sampling terbagi menjadi dua strata, yaitu strata rumahtangga prasejahtera dan strata rumahtangga sejahtera. Dari kerangka sampling, peneliti menentukan jumlah contoh sebanyak 28 orang dari masing-masing strata. Peneliti menentukan contoh dengan cara acak terstratifikasi. Teknik pengambilan contoh dengan acak terstratifikasi ditempuh melalui cara undian.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara mendalam, dan kuesioner. Data sekunder diperoleh dari literatur-literatur yang terkait dengan topik penelitian. Data sekunder ini digunakan untuk menunjang dan memperkuat hasil penelitian.

Kuesioner yang digunakan terdiri dari pertanyaan-pertanyaan mengenai karakteristik responden, pendapatan rumahtangga, sumberdaya pribadi, serta pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Sumberdaya pribadi responden mencakup pendidikan, rumah, tanah, lahan, dan pengalaman kerja. Pola pengambilan keputusan dalam rumahtangga terkait dengan produksi, pengeluaran dalam kebutuhan pokok, pembentukan keluarga, dan kegiatan sosial. Sementara itu, untuk memperoleh data kualitatif, peneliti menyusun panduan pertanyaan wawancara mendalam serta tabel pengamatan langsung. Informasi yang akan dikumpulkan melalui wawancara mendalam antara lain usaha-usaha yang dilakukan subyek penelitian untuk melestarikan ekonomi rumah tangga beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya, sedangkan tabel pengamatan langsung digunakan untuk mencatat pola pembagian kerja dalam rumahtangga.


(39)

3.5. Teknik Analisis Data

Data kuantitatif diolah dengan komputer menggunakan software Microsoft Excel 2003. Data yang telah diolah dengan komputer disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Tabel frekuensi digunakan untuk melihat karakteristik responden, pendapatan responden, sumberdaya pribadi responden, kontribusi ekonomi responden, serta pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Sementara itu, tabulasi silang digunakan untuk melihat hubungan antara sumberdaya pribadi, kontribusi ekonomi responden, dan tingkat pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Selain itu, penulis juga menguji hubungan antar variabel dengan uji statistik Rank Spearman menggunakan software SPSS 12.0.

Uji Rank Spearman berfungsi untuk menentukan besarnya hubungan dua variabel yang berskala ordinal (Sarwono, 2006 sebagaimana dikutip oleh Ciptoningrum, 2009). Korelasi Rank Spearman digunakan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antar variabel bebas dan terikat yang berskala ordinal (non parametik). Adapun rumus koefisien korelasi Rank Spearman adalah sebagai berikut:

Keterangan :

atau rs = Koefisien korelasi rank spearman

di = Determinan

n = Jumlah data/sampel

Hasil uji korelasi Rank Spearman juga menghasilkan nilai probabilitas atau p-value. Jika p-value lebih kecil dari nilai (0,2), maka tolak Ho terima H1, dimana:

Ho: Tidak terdapat hubungan atau pengaruh yang signifikan antara variabel-variabel yang diuji.

H1: Terdapat hubungan atau pengaruh yang signifikan antara variabel-variabel yang diuji.

Koefisien korelasi Rank Spearman (rxy) menunjukkan kuat tidaknya

antara indikator x terhadap variabel X dengan indikator y terhadap variabel Y maupun variabel X terhadap variabel Y sehingga digunakan batasan koefisien


(40)

korelasi untuk mengkategorikan nilai r. Korelasi dapat menghasilkan angka positif (+) dan negatif (-). Korelasi yang menghasilkan angka positif berarti hubungan kedua variabel bersifat searah, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat juga besar. Korelasi yang menghasilkan angka negatif berarti hubungan kedua variabel tidak searah, yang berarti jika variabel bebas besar maka variabel terikat menjadi kecil. Kriteria pengukuran dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kriteria Pengukuran Koefisien Korelasi

Kisaran Kriteria

0 – 0,249 menunjukkan tidak adanya hubungan atau lemah sekali 0,250 – 0,499 menunjukkan hubungan yang tidak erat atau rendah 0,500 – 0,749 menunjukkan hubunganyang erat atau tinggi

0,750 – 1 menunjukan hubungan yang sangat erat atau sangat kuat sekali dan dapat diandalkan

Data kualitatif disajikan secara deskriptif. Langkah-langkah pengolahan data kualitatif adalah sebagai berikut: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Data kualitatif akan disajikan dalam bentuk kutipan langsung. Hasil pengolahan data kualitatif akan disajikan untuk menguatkan data kuantitatif.


(1)

rumahtangga. Selain itu, laki-laki dianggap lebih memahami proses pengolahan lahan. Walaupun lahan garapan yang diwariskan tidak terlalu luas, namun lahan ini dapat membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari rumahtangga, terutama kebutuhan pangan.

Meskipun lahan garapan berfungsi sebagai faktor produksi, tetapi rumah tinggal beserta tanahnya lebih bernilai bagi masyarakat Dusun Jatisari daripada lahan garapan. Hal ini karena rumah bukan hanya berfungsi sebagai tempat tinggal melainkan juga sarana untuk membina keluarga. Sementara itu, masyarakat masih dapat menggarap lahan milik orang lain jika mereka tidak memiliki lahan sendiri. Mereka juga masih dapat mencari pekerjaan lain di luar pertanian. Sebaliknya, masyarakat tidak dapat tinggal di rumah orang lain apabila mereka tidak memiliki rumah sendiri atau rumah keluarga.

Pembagian kerja dalam rumahtangga yang menempatkan perempuan pada sektor domestik menyebabkan perempuan tidak dapat berkontribusi tinggi terhadap ekonomi rumahtangga. Sebaliknya, sistem pewarisan kekayaan mengakibatkan perempuan dapat membawa harta yang lebih bernilai daripada harta yang dibawa laki-laki ke dalam pernikahan. Oleh karena perempuan di Dusun Jatisari memiliki tingkat pengambilan keputusan tinggi dalam rumahtangga, maka terlihat bahwa faktor yang berbanding lurus dengan hal tersebut adalah harta bawaan. Penjelasan di atas semakin memperkuat bukti bahwa tanah untuk rumah tinggal merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga.


(2)

BAB IX

PENUTUP

9.1. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada Bab VI, VII, VIII maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Pembagian kerja dalam rumahtangga menempatkan laki-laki di sektor publik dan perempuan di sektor domestik, walaupun demikian kegiatan nafkah yang dilakukan perempuan juga berkontribusi positif terhadap ekonomi rumahtangga. Pembagian kerja dalam rumahtangga yang menempatkan perempuan pada sektor domestik menyebabkan perempuan tidak dapat berkontribusi tinggi terhadap ekonomi rumahtangga. Sebaliknya, sistem pewarisan kekayaan mengakibatkan perempuan dapat membawa harta yang lebih bernilai daripada harta yang dibawa laki-laki ke dalam pernikahan.

2. Kontribusi ekonomi perempuan tidak berpengaruh nyata terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga, kecuali di bidang produksi pada rumahtangga sejahtera.

3. Pada rumahtangga prasejahtera, sumberdaya pribadi perempuan berhubungan tidak nyata dengan tingkat pengambilan keputusan dalam rumahtangga. Sumberdaya pribadi yang berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang produksi adalah kepemilikan rumah tinggal dan lahan garapan. Sumberdaya pribadi berhubungan tidak nyata dengan pengambilan keputusan di bidang pengeluaran kebutuhan rumahtangga. Kepemilikan rumah tinggal dan tanah untuk rumah tinggal berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang pembentukan keluarga, sedangkan kepemilikan lahan garapan justru berhubungan negatif. Selain itu, sumberdaya pribadi yang berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang kegiatan sosial kemasyarakatan adalah pendidikan, kepemilikan tanah untuk rumah tinggal, dan pengalaman kerja.

4. Pada rumahtangga sejahtera, terdapat hubungan positif yang nyata antara kepemilikan tanah untuk rumah tinggal dan pengambilan keputusan


(3)

dalam rumahtangga. Kepemilikan tanah untuk rumah tinggal juga berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang produksi, pembentukan keluarga, dan kegiatan sosial kemasyarakatan. Selain kepemilikan tanah untuk rumah tinggal, sumberdaya pribadi yang berhubungan positif nyata dengan pengambilan keputusan di bidang produksi adalah kepemilikan lahan garapan. Sebaliknya, pendidikan justru berhubungan negatif dengan pengambilan keputusan di bidang produksi.

9.2. Saran

Penulis merekomendasikan adanya penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengaruh sumberdaya pribadi lain, seperti keterampilan, keikutsertaan dalam kursus, pengalaman berorganisasi, kepemilikan tabungan, dan keikutsertaan dalam kelembagaan ekonomi. Faktor lain yang juga dapat dikaji pengaruhnya terhadap pengambilan keputusan dalam rumahtangga antara lain pola pengasuhan dan budaya. Selain itu, perlu juga diadakan penelitian yang bertujuan untuk mengkaji pengaruh pengambilan keputusan oleh perempuan terhadap kesejahteraan rumahtangga. Hal ini guna memperkuat bukti pentingnya keputusan dalam rumahtangga diambil oleh perempuan.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Andriyani, Yeni. 2000. Pengaruh Kontribusi Ekonomi Wanita Bekerja terhadap Pola Pengambilan Keputusan dan Tingkat Kesejahteraan dalam Rumahtangga Nelayan (Kasus: Dusun Petoran, Desa Gebang Mekar, Kecamatan Babakan, Kabupeten Cirebon, Jawa Barat). Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ardyani, Revita. 2007. Peningkatan Peran-ekonomi Perempuan dalam Memenuhi Pendapatan Keluarga Melalui Pendayagunaan Kelembagaan Lokal (Studi Kasus Keluarga yang Terkena PHK di Kelurahan Cigugur Tengah Kecamatan Cimahi Propinsi Jawa Barat). Tesis Sekolah Pasca Sarjana, Insitut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Ciptoningrum, Palupi. 2009. Hubungan Peran Ganda dengan Pengembangan Karier Wanita (Kelurahan Menteng, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor, Propinsi Jawa Barat). Skripsi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Daulay, Harmona. 2001. Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran: Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta Kab. Karawang Jawa Barat. Yogyakarta: Galang Press.

De Vries, Dede Wiliam. 2006. Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan

Fasilitasi Kelompok Perempuan di Jambi. Bogor: Center for

International Forestry Research (CIFOR).

Djamal, Chomsiah. 1996. Membantu Suami, Mengurus Rumah Tangga:

Perempuan di Sektor Informal dalam Gardiner, dkk, Perempuan

Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gardiner, Mayling Oey dan Soedarti Surbakti (penyunting). 1991. Strategi Kehidupan Wanita Kepala Rumahtangga. Jakarta: Biro Pusat Statistik. Gusnelly dan Zarida. 2000. Sumber Daya Manusia Wanita Pedagang Kecil:

Motivasi, Kendala, dan Upaya dalam Menjalankan Usaha dalam Zarida, Pemberdayaan terhadap Wanita Pedagang Kecil di Pasar Tradisional Bandung. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekonomi dan Pembangunan (PEP), LIPI.

Lailogo, Onike T. 2003. Hubungan Perilaku Konsumsi Wanita Tani dengan Pengambilan Keputusan Inovasi Penggemukan Sapi Potong (Kasus di Kecamatan Amarasi, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur). Tesis Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Lestari, Indra. 1990. Pengambilan Keputusan dalam Keluarga dalam Tapi Omas

Ihromi, Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Megawangi, Ratna. 1999. Membiarkan Berbeda? Sudut Pandang Baru Relasi


(5)

Meliala, Annekhe Dahnita Sembiring. 2006. Pembagian Kerja Gender dalam Rumahtangga Petani Pedagang Tanaman Hias (Kasus Sentra Bunga Dukuh Nglurah, Kelurahan Tawangmangu, Kecamatan Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah). Skripsi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Mosse, J. C. 2002. Gender dan Pembangunan. Diterjemahkan oleh Hartian Silawati. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Mudzhar, H. M Atho, Sajida A. Alvi, dan Saparinah Sadli (penyunting). 2001. Wanita dalam Masyarakat Indonesia: Akses, Pemberdayaan, dan Kesempatan. Yogyakarta: Sunan Kalijaga Press.

Pratiwi, Novia. 2007. Analisis Gender pada Rumahtangga Petani Monokultur Sayur (Kasus Desa Segorogunung, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah). Skripsi Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Puspa, Amalina Ratih. 2007. Kajian Ketahanan Keluarga Petani: Pengambilan Keputusan Istri dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. Skripsi Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Puspitosari, Nisca Ayou. 2005. Partisipasi Perempuan dalam Aktivitas Ekonomi

pada Keluarga Nelayan, Desa Bajomulyo, Kecamatan Juwana, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Skripsi Departemen Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Rahmawaty, Neni. 2000. Pengaruh Kontribusi Ekonomi Wanita terhadap Pengambilan Keputusan dalam Rumahtangga (Kasus Wanita Pekerja Industri Kecil Manisan Pala di Desa Dramaga, Bogor). Skripsi Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Rosalina, Yusvia. 2004. Otonomi Perempuan dalam Keluarga (Kasus Desa Bojong Rangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa

Barat). Skripsi Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian,

Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Sajogyo, Pujiwati. 1981. Peranan Wanita dalam Keluarga, Rumahtangga, dan

Masyarakat yang Lebih Luas di Pedesaan Jawa (Dua Kasus Penelitian di Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Sumedang di Jawa Barat). Disertasi Universitas Indonesia. Tidak dipublikasikan.

Saptari, Ratna. 1997. Studi Perempuan: Sebuah Pengantar dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Saptari, Ratna. 1997. Hakikat Kerja Perempuan: Masalah Definisi dan Analisis dalam Ratna Saptari dan Brigitte Holzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.


(6)

Saptari, Ratna dan Brigitte Holzner. 1997. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial: Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Setyawati, Th. Any. 2008. Peran Aktivitas Perempuan Pesisir dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga (Kasus di Kabupaten Tangerang). Tesis Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Suleeman, Evelyn. 1999. Hubungan-hubungan dalam Keluarga dalam T. O. Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Supranto, J. 2005. Teknik Pengambilan Keputusan. Jakarta: Rineka Cipta.

Suryochondro, Sukanti. 1990. Perempuan dan Kerja dalam Tapi Omas Ihromi (Editor), Para Ibu yang Berperan Tunggal dan yang Berperan Ganda. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Syakti, Fitria Farah. 1997. Pengaruh Kontribusi Ekonomi terhadap Keterlibatan

Wanita pada Pengambilan Keputusan dalam Keluarga (Kasus Desa Cijujung, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor). Skripsi Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Wahyudini, Siti. 1997. Mempelajari Pola Pengambilan Keputusan dalam Keluarga dengan Ibu Pekerja dan Bukan Pekerja pada Suku Batak, Betawi, dan Jawa. Skripsi Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan.

Wahyuni, Ekawati Sri dan Pudji Muljono. 2007. Bahan Kuliah Metode Penelitian Sosial. Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Wahyuni, Ekawati Sri. 2004. Pedoman Teknis Menulis Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Yayasan Srikandi. 1991. Kisah Kehidupan Wanita untuk Mempertahankan Kelestarian Ekonomi Rumah Tangga (Editor: T. O. Ihromi, Suryochondro, Soeyatni). Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.


Dokumen yang terkait

Kontribusi Petani Perempuan Terhadap Sosial Ekonomi Keluarga Di Desa Sibangun Mariah Kecamatan Silimakuta Kabupetan Simalungun

8 66 113

Penilaian Masyarakat Desa Terhadap Pemerintahan Desa Dalam Era Otonomi Daerah (Studi kasus : Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta )

2 50 64

Kesetaraan Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan Dalam Keluarga Pada Masyarakat Hukum Adat Karo (Studi Di Desa Tiga Panah Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo)

0 48 157

Pengaruh Kontribusi Ekonomi Wanita Bekerja terhadap Pola Pengambilan Keputusan dan Tingkat Kesejahteraan dalam Rumahtangga Nelayan, Kasus Dusun Petoran, Desa Gebang Mekar, Kecamatan Babakan, Kabupaten Cirebon.

0 10 106

Model Konseptual Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Di Kabupaten Gunungkidul, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

0 23 137

PERENCANAAN DRAINASE TERTUTUP DUSUN DUKUH, DESA BANYURADEN, KECAMATAN GAMPING, KABUPATEN SLEMAN, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

0 3 25

PERANCANGAN STRUKTUR JEMBATAN BUNDER DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERANCANGAN STRUKTUR JEMBATAN BUNDER DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA.

1 3 17

ASPEK KULTURAL DAN NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL DALAM CERITA RAKYAT ONGGOLOCO DI DUSUN DUREN, DESA BEJI, KECAMATAN NGAWEN, KABUPATEN GUNUNGKIDUL, PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA ( SEBUAH TINJAUAN FOLKLOR ).

0 2 14

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA BEDOYO, KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL Nesti Listianingrum nesti.listianingrumyahoo.co.id Sudrajat sudrajatgeoyahoo.com Abstract - KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA BEDOYO, KECAMATAN PONJONG, KABUPATEN GUNUNGKIDUL

0 0 8

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN MELALUI SMALL GROUP DISCUSSION TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU USIA 30-50 TAHUN TENTANG ASAM URAT DI DUSUN JATISARI SAWAHAN PONJONG GUNUNGKIDUL NASKAH PUBLIKASI - Pengaruh Pendidikan Kesehatan Melalui Small Group Discussio

1 1 18