BAB II PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka
2.1.1. Gender dan Kesetaraan Gender
Secara mendasar, gender berbeda dari jenis kelamin biologis. Jenis kelamin biologis merupakan pemberian; kita dilahirkan sebagai seorang laki-laki
atau seorang perempuan, akan tetapi jalan yang menjadikan kita maskulin atau feminin adalah gabungan blok-blok bangunan biologis dasar dan interpretasi
biologis oleh kultur kita. Gender adalah seperangkat peran yang menyampaikan kepada orang lain bahwa kita adalah feminin atau maskulin. Salah satu hal yang
paling menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berubah seiring waktu dan berbeda antara satu kultur dengan kultur lainnya. Istilah gender
mencakup peran sosial baik kaum perempuan maupun laki-laki. Hubungan antara laki-laki dan perempuan seringkali amat penting dalam menentukan posisi
keduanya. Demikian pula, jenis-jenis hubungan yang bisa berlangsung antara perempuan dan laki-laki akan merupakan konsekuensi dari pendefinisian perilaku
gender yang semestinya oleh masyarakat. Pekerjaan yang dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam masyarakat tertentu ditetapkan oleh kelas, gender,
dan suku Mosse, 2002. Ann Oakley, ahli sosiologi Inggris, merupakan orang yang mula-mula
melakukan pembedaan antara istilah gender dan seks. Perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis terutama yang menyangkut prokreasi
hamil, melahirkan, dan menyusui. Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks, tapi tidak selalu identik
dengannya. Gender memuat perbedaan fungsi dan peran sosial laki-laki dan perempuan, yang terbentuk oleh lingkungan tempat kita berada De Vries, 2006.
Menurut Saptari dalam Saptari dan Holzner 1997, gender adalah keadaan di mana individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan
memperoleh pencirian sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut- atribut maskulinitas dan feminitas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau
sistem simbol masyarakat yang bersangkutan. Kesadaran akan perbedaan
pendefinisian maskulinitas dan feminitas di setiap masyarakat membawa kesadaran akan adanya bentuk-bentuk pembagian kerja seksual yang berbeda.
Kesetaraan gender ditunjukkan dengan adanya kedudukan yang setara antara laki-laki dan perempuan di dalam pengambilan keputusan dan di dalam
memperoleh manfaat dari peluang-peluang yang ada di sekitarnya. Kesetaraan gender memberikan penghargaan dan kesempatan yang sama pada perempuan dan
laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakan kemampuannya secara maksimal di berbagai bidang. Kesetaraan gender bukan berarti
memindahkan semua pekerjaan laki-laki ke pundak perempuan, bukan pula mengambil alih tugas dan kewajiban seorang suami oleh istrinya. Inti kesetaraan
gender adalah menganggap semua orang pada kedudukan yang sama dan sejajar equality, baik itu laki-laki maupun perempuan. Selain itu, inti dari kesetaraan
gender adalah kebebasan memilih peluang-peluang yang diinginkan tanpa ada tekanan dari pihak lain, kedudukan dan kesempatan yang sama di dalam
pengambilan keputusan dan di dalam memperoleh manfaat dari lingkungan De Vries, 2006.
Konsep kesetaraan kuantitatif 5050 diidealkan oleh United Nations Development Program UNDP, sehingga lembaga ini mengharapkan seluruh
negara di dunia dapat mencapai kesetaraan yang demikian, akan tetapi data statistik di seluruh dunia selalu menunjukkan bahwa angka partisipasi perempuan
dalam pasar kerja dan politik selalu lebih kecil daripada laki-laki. Keberhasilan program UNDP tentang kesetaran 5050 telah dibuktikan melalui kemajuan pesat
yang telah dicapai oleh para perempuan dalam bidang kesehatan dan pendidikan yang bahkan dapat melampaui kecepatan kemajuan yang dicapai laki-laki.
Kenyataan ini dapat menyanggah pendapat yang sering dilontarkan oleh kaum feminis, bahwa diskriminasi pada perempuan karena adanya faktor budaya, di
mana budaya patriarkat selalu menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki.
Mengkritisi konsep kesetaraan yang diusung oleh UNDP, Megawangi 1999 menawarkan konsep kesetaraan yang mengakui akan keragaman biologis
antara laki-laki dan perempuan. Konsep kesetaraan ini selanjutnya disebut “kesetaraan kontekstual”, walaupun setiap manusia mendapatkan lot yang sama,
tidak berarti setiap manusia mendapatkan tingkat kesejahteraan atau kebahagiaan yang sama, karena aspirasi, keinginan, dan kebutuhan manusia yang berbeda-
beda. Megawangi mengutip perkataan Rae
4
bahwa kesetaraan dalam kesempatan harus diiikuti pula oleh konsep kesetaraan dalam memiliki alat untuk meraih lot.
Megawangi juga mengutip pernyataan Rawls
5
bahwa kesetaraan ini harus berarti bagi mereka yang mempunyai kemampuan dan keahlian sama harus mempunyai
kesempatan sama. Selain itu, untuk mendapatkan lot yang sama ada satu persyaratan lagi, yaitu kesamaan faktor keinginan dan aspirasi. Megawangi lebih
setuju kalau kesetaraan gender disebut keadilan gender, karena kesetaraan sering dirancukan dengan sameness yang kadangkala mengimplikasikan pengukuran
outcome , hasil, atau lot. Konsep keadilan mempunyai arti yang lebih abstrak dan
relatif, sehingga pengukurannya tidak dapat dibatasi dengan angka-angka yang ukurannya terbatas.
2.1.2. Pembagian Kerja dalam Rumahtangga