BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI
FRANCHISE MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 1997
A. Pengertian hak dan kewajiban yang tidak seimbang
Hak adalah sesuatu yang harus kita dapatkan sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita kerjakan. Dalam perjanjian franchise, biasanya hak dan
kewajiban yang dijalankan oleh pihak franchisor dengan franchise bisa saja tidak seimbang, di mana pihak franchise biasanya akan lebih dirugikan dengan isi dan
substansi yang tertuang dalam sebuah kontrak franchise. Lahirnya suatu kontrak menimbulkan suatu hubungan hukum perikatan yang berupa hak dan kewajiban.
Pemenuhan hak dan kewajiban itulah yang menjadi akibat hukum dari suatu kontrak. Dengan kata lain, akibat hukum kontrak sebenarnya adalah pelaksanaan
dari isi kontrak itu sendiri. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam
kontrak tersebut, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Tentang hak dan
kewajiban para pihak dalam kontrak tertuang dalam isi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak.
Pada dasarnya walaupun sebuah kontrak franchise telah dibuat dengan sebaik mungkin, namun tetap saja kontrak franchise biasanya akan terdapat
klausul-klausul yang dapat merugikan pihak franchise. Salah satu contoh adalah ketika pihak franchise dianggap tidak sanggup memajukan dan menjual produk
Universitas Sumatera Utara
sesuai dengan target, maka pihak franchisor dapat memutuskan kontrak secara sepihak.
Hubungan hukum antara franchisor dengan franchise ditandai dengan ketidakseimbangan kekuatan tawar menawar unequal bargaining power.
Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh franchisor, di mana pihak franchisor telah menetapkan syarat-syarat dan standarisasi yang harus
diikut i oleh franchise, sehingga kondisi ini memungkinkan pihak franchisor untuk membatalkan perjanjian apabila mereka menilai franchise tidak dapat memenuhi
kewajibannya. Dalam sebuah kontrak franchise biasanya terdapat adanya kondisi-kondisi
bagi pemutusan perjanjian, seperti : kegagalan memenuhi jumlah penjualan, kegagalan memenuhi syarat pengoperasian, dan sebagainya. Franchisor selalu
mempunyai discretionary power untuk selalu menilai semua aspek usaha franchise
, sehingga substansi kontrak selalu tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pihak franchise dalam menghadapi pemutusan perjanjian dan
penolakan franchisor untuk memperbaharui perjanjian
55
Franchisor dapat memanfaatkan kedudukan untuk menguji pasar, dan
setelah mengetahui kondisi pasar menguntungkan, maka franchisor memutuskan kontrak dengan franchise, selanjutnya franchisor akan mengoperasikan outlet atau
tempat usaha sendiri di wilayah franchise. Hal inilah yang membuat perlindungan hukum terhadap franchise perlu mendapat perhatian yang serius karena pada
dasarnya franchise akan dapat menumbuhkan pola kemitraan antara usaha kecil .
55
David Hees, Protecting Reasonable Expectations of Franchisees and Franchisors, Iowa, 1995. Hal.342
Universitas Sumatera Utara
dengan usaha menengah dan besar sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
B. Kedudukan pihak franchisor lebih tinggi secara ekonomi daripada franchise