Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Franchise Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997

(1)

LAMPIRAN

Berikut ini penulis akan menyajikan sebuah contoh kontrak yang dibuat antara franchise dengan dealer produk “Avon”.

Kontrak (perjanjian)

Franchise

Dealer

Avon

61

1. Perusahaan setuju untuk :

Perjanjian Franchisee Dealer ini dibuat sejak hari ke__________tanggal______bulan________2001 antara PT Avon Indonesia, 208 Cilandak Commercial Estate, Jalan Raya KKO Cilandak, Jakarta Selatan, (selanjutnya disebut sebagai Perusahaan) dan (selanjutnya disebut sebagai

Franchisee Dealer).

a. Menjual kepada Franchise Dealer produk-produk perusahaan dengan potongan harga yang sewaktu-waktu akan ditetapkan oleh perusahaan menurut kebijaksanaannya sendiri;

b. Memberikan rabat sebagai perangsang kepada Franchise Dealer atas sejumlah pembelian minuman, rabat sebagai perangsang demikian itu sewaktu-waktu akan ditetapkan oleh perusahaan menurut kebijaksanaannya sendiri.

2. Franchise Dealer setuju bahwa ia akan :

a. Membeli produk dari perusahaan terutama untuk dijual kembali, termasuk kepada pengecer lainnya;

b. Bertanggung jawab untuk memperoleh semua izin, lisensi dan pendaftaran-pendaftaran pajak yang diperlukan, jika ada untuk menjual produk-produk tersebut, dan memberikan salinan-salinannya kepada perusahaan pada waktu yang diminta; dan

c. Membayar ke perusahaan atas pembelian-pembelian yang diadakan sesuai dengan persyaratan dan kebijakan kredit perusahaan pada tanggal yang telah ditentukan tanpa perlu diminta oleh perusahaan.

3. Perusahaan dan Franchise Dealer bersama-sama meyetujui bahwa :

a. Perusahaan telah memberikan kepada Franchise Dealer daftar potongan harga dan rabat insentif, yang salinannya dilampirkan dalam perjanjian itu, berlaku sejak tanggal perjanjian ini, dengan syarat harus mendapat pemeriksaan kredit akhir dan persetujuan terlebih dahulu dari kantor cabang bersangkutan yang akan memberikan kepada Franchise Dealer

persyaratan dengan kebijakan kredit awal yang berlaku bagi Franchise Dealer. Perusahaan dapat mengubah potongan harga dan rabat insentif dan persyaratan serta kebijakan kreditnya pada setiap waktu dan dengan cara apa pun.

b. Franchise Dealer hanya akan menjual, menawarkan untuk dijual dan dipromosikan produk-produk yang dibeli oleh Franchise Dealer dari perusahaan.

61


(2)

c. Franchiee Dealer adalah pedagang eceran yang mandiri dan mempunyai kebijakan sendiri untuk menentukan di mana dan bagaimana produk-produk yang dibeli dari perusahaan akan dijual. Namun demikian, ada beberapa jenis lokasi di mana Franchise Dealer tidak diperkenankan menjual produk-produk tersebut di atas, yaitu toko serba ada yang besar dan toko yang merupakan mata rantai dari jaringan pertokoan yang terkenal.

d. Franchise Dealer dan perusahaan merupakan pihak-pihak yang mandiri.

Franchise Dealer bukanlah pegawai dari perusahaan atau agen perusahaan. Dalam perjanjian ini ataupun perjanjian di kemudian hari tidak akan menjadikan Franchise Dealer pegawai atau agen dari perusahaan. Franchise Dealer bertanggung jawab untuk membayar pajaknya sendiri atas penghasilan yang telah diperolehnya dari penjualan produk yang dibelinya dari perusahaan.

e. Perjanjian ini menggantikan semua perjanjian lisan atau tertulis yang diadakan antara perusahaan dan Franchise Dealer sebelum tanggal perjanjian itu.

f. Salah satu pihak dapat mengakhiri perjanjian ini menurut kehendaknya, dengan atau tanpa sebab, setiap waktu setelah memberitahu pihak lainnya. Setelah pengakhiran perjanjian itu, Franchise Dealer tidak berhak membeli produk-produk dari perusahaan, tetapi bertanggung jawab kepada perusahaan atas produk-produk yang sudah dibeli sesuai dengan kebijakan kredit yang berlaku, potongan harga, dan rabat sebagai perangsang.

Franchise Dealer dan perusahaan dengan ini mengesampingkan ketentuan-ketentuan Pasal 1226 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia.

g. Untuk keperluan menyampaikan pemberitahuan kepada pihak lain sebagaimana yang ditentukan di dalam perjanjian ini, setiap pihak menyetujui bahwa pemberitahuan tersebut harus dibuat secara tertulis dan akan dianggap sebagai telah diberikan (1) pada hari ketiga setelah diposkan atau setelah diterima jika dikirim dengan surat tercatat, atau (2) pada hari penyampaiannya, jika disampaikan secara langsung kepada pihak lainnya pada alamat sebagaimana diuraikan pada permulaan perjanjian ini, atau ke alamat lain sebagaimana mungkin diberikan oleh pihak yang akan menerima pemberitahuan itu kepada pihak lainnya, yang mana lebih dulu terjadi.

h. Apabila terjadi sengketa secara langsung atau tidak langsung timbul dari perjanjian ini atau dari pemutusannya, hanya Pengadilan Negeri Jakarta Selatanlah yang mempunyai kekuasaan hukum atas perkara tersebut. Untuk keperluan perjanjian dan setiap hal yang timbul sehubungan dengan perjanjian ini dan transaksi-transaksi yang direncanakan, Franchise Dealer

dan perusahaan masing-masing memilih Pengadilan Negeri Jakarta Selatan sebagai kedudukan hukumnya. Selanjutnya mengesampingkan dan melepaskan setiap hak yang mungkin dipunyainya, termasuk setiap hak berdasarkan Pasal 118 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Republik Indonesia. Para pihak menyetujui untuk tidak akan mengajukan perkara di muka pengadilan lain mana pun.


(3)

Franchise Dealer PT Avon Indonesia a.n. Presiden Direktur

Branch Sales Manager

Nama Jelas Nama jelas:


(4)

DAFTAR PUSTAKA BUKU

Angelo, Rocco M dan Vladimir, Andrew N, Business Law, Cincinnati, South West, 1990.

Basarah, Moch dan Mufidin, H.M. Faiz, Bisnis Franchise dan Aspek-aspek Hukumnya, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2000.

Emerson, Robert W, Franchisee Contract Clauses and the Francisor’s Duty of care Towards Its Franchisees, North Carolina, North Carolina Law Review, 1993.

Fox, Stephen, Membeli dan Menjual Bisnis dan Franchise, Jakarta, Elex Media Komputindo, 1993.

Harrison, Jeffrey L, Law and Economics, Minnesota, West Publishing Company, 1995.

Hees, David, Protecting Reasonable Expectations of Franchisees and Franchisors, Iowa, 1995.

H.S, Salim, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Jakarta, PT. Sinar Grafika, 2004.

Kansil, C.S.T dan Kansil, Christine, Modul Hukum Perdata, Jakarta, PT.Pradnya Paramita, 2004.

Kaplan, Bernard A, A Guide to Modern Business and Commercial Law-Comprehensive and Practical Handbook, Chicago, Illinois, 1990.

Koentjoroningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997.

Lubis, Mulya, Kontrak Franchise, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2002. Mendelsohn, Martin, The Guide to Franchising, England, Oxford, 1986. Mufidin, H.M.Faiz, Bisnis Franchise, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2010. Saliman, Abdul R, Ahmad Jalis, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Jakarta,

Kencana, 2004.

Sugono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Rajawali Pers, 2010.


(5)

Webster, Bryce, The Insider’s Guide to Franchising, AMACON, 1986.

Widjaja, Gunawan dan Yani, Ahmad, Hukum Arbitrase, Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada, 2001.

Winarto, Profil Franchising di Indonesia, Jakarta, Majalah Manajemen, 2000. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No. 259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.

KAMUS, HARIAN, MAKALAH, MAJALAH DAN WEBSITE Kamus Hukum Indonesia, PT.Umbara, Yogyakarta, 2004.

UNCTC, Transnational Corporation and Technology Transfer : Effects and Policy Issues, United Nations, New York, 1987.

Oxford Learner,s Pocket Dictionary, Oxford, England, 2000.

Harian Republika, Pemegang Paten Perlu Perlindungan Hukum, Tanggal 24 Mei 2004.

Harian Bisnis Indonesia, Amir Karamoy, Sukses Lewat Usaha Waralaba, 1996. Hasil Seminar Institut Pendidikan dan Manajemen Indonesia, Peta Pewaralabaan

di Dunia Manajemen, Jakarta, 2000.

Peter Mahmud Marzuki, Makalah Kontrak dan Pelaksanaannya, Bali, 2000.

Ridhwan Khaerandy, Aspek-Aspek Hukum Franchise, Yogyakarta, Majalah Unisa, 1992.


(6)

BAB III

TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN KONTRAK FRANCHISE

A. Pengertian Perlindungan Hukum

Secara umum, perlindungan berarti mengayomi sesuatu dari hal-hal yang berbahaya, sesuatu itu bisa saja berupa kepentingan maupun benda atau barang. Selain itu perlindungan juga mengandung makna pengayoman yang diberikan oleh seseorang terhadap orang yang lebih lemah.

Dengan demikian, perlindungan hukum dapat diartikan dengan segala upaya pemerintah untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada warganya agar hak-haknya sebagai seorang warganegara tidak dilanggar, dan bagi yang melanggarnya akan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Dalam kaitannya dengan franchise sebagai bagian dari HaKI, maka perlindungan hukum dapat diartikan dengan perlindungan terhadap pemegang HaKI merupakan pengakuan atas kerja keras yang bersangkutan dalam mengembangkan sebuah karya.28

1. Adanya pengayoman dari pemerintah terhadap warganya.

Dengan demikian, suatu perlindungan dapat dikatakan sebagai perlindungan hukum apabila mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

2. Jaminan kepastian hukum.

3. Berkaitan dengan hak-hak warganegara.

4. Adanya sanksi hukuman bagi pihak yang melanggarnya.

28


(7)

B. Peraturan yang Mengatur tentang Franchise

Perlindungan terhadap franchise akan lebih memadai apabila terdapat adanya peraturan perundang-undangan yang mengikat antara kedua belah pihak yang terikat dengan perjanjian franchise, yakni franchisor dan franchise agar kepentingan kedua belah pihak dapat terlindungi dengan baik.

Di belahan benua Amerika dan benua Eropa, negara-negara di sana telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang franchise dan telah diterapkan dengan sangat baik sekali bagi para pihak yang terikat dengan perjanjian franchise. Di Amerika Serikat sendiri sebagai negara yang pertama sekali mengenal franchise dan telah mengenalkan franchise kepada negara lain di dunia, telah banyak mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang franchise. Salah satu peraturan franchise yang paling terkenal dari Ameriksa Serikat adalah peraturan franchise yang berlaku di negara bagian California. Peraturan franchise yang berlaku di California ini telah dituangkan dalam “California’s Franchise Investment Law” yang dibuat pada tahun 1970 dan tetap berlaku sampai sekarang. Tidak adanya perubahan pada peraturan

California’s Franchise Investment Law sampai sekarang ini, telah membuktikan bahwa investasi franchise ini pada dasarnya adalah sangat menguntungkan kedua belah pihak, baik pihak franchisor maupun bagi pihak franchise.29

Di negara-negara Eropa, Masyarakat Eropa (ME) telah secara bersama-sama menyusun “Franchise Agreement Regulation” pada tahun 1988. Peraturan

Franchise Agreement Regulation ini telah memberikan jaminan kebebasan kepada negara-negara Eropa untuk melakukan monopoli dalam melaksanakan kegiatan

29


(8)

franchise. Padahal sebelumnya negara-negara Eropa terikat pada larangan praktik monopoli yang dianut dalam perjanjian Roma.30

Di kawasan Association of South East Asian Nations (ASEAN), perkembangan franchise yang terjadi di belahan benua Amerika dan benua Eropa ternyata juga berimbas kepada perkembangan franchise yang semakin hari semakin terasa kuat. Perkembangan franchise di kawasan ASEAN tidak hanya memberikan pengaruh dalam dunia bisnis saja, melainkan juga memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam dunia hukum. Implikasi dari perkembangan hukum franchise telah dibahas oleh ASEAN pada Konferensi

Asean Law Association (ALA) di Bali tahun 1990. Hasil dari Konferensi ALA ini hanya menghasilkan rekomendasi kepada negara-negara ASEAN untuk mengikuti perkembangan dunia franchise dengan menetapkan peraturan perundang-undangan yang sejalan dengan perkembangan franchise di dunia.31

1. Pasal 1320 dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Di Indonesia sendiri, walaupun bisnis franchise telah berkembang dengan sangat pesat, namun hanya ada sebuah peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur mengenai masalah franchise ini. Sekarang ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mempunyai hubungan dengan franchise, yakni sebagai berikut :

Pasal 1338 KUH Perdata menganut tentang sistem terbuka, maksudnya setiap orang atau badan hukum diberikan kebebasan untuk menentukan kontrak, baik yang sudah dikenal di dalam KUH Perdata maupun yang belum dikenal dalam KUH Perdata. Di samping itu, yang menjadi dasar 30

Ibid. Hal. 12.

31

Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, PT. Sinar Grafika, Jakarta, 2004. Hal.167


(9)

hukum dalam pengembangan franchise di Indonesia adalah Pasal 1320 KUH Perdata.

Pasal 1320 KUH Perdata mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak, cakap untuk melakukan perbuatan hukum, adanya obyek tertentu dan adanya klausa yang halal. 2. Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba

Peraturan Pemerintah ini terdiri dari 11 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini meliputi : pengertian waralaba, para pihak dalam perjanjian waralaba, keterangan-keterangan yang harus disampaikan oleh pemberi waralaba kepada penerima waralaba, dan bentuk perjanjiannya. 3. Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

Undang-Undang ini terdiri dari 139 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang ini meliputi : pengertian paten dan para pihak, ruang lingkup paten, permohonan paten, pengumuman dan pemeriksaan substantif paten, pengalihan lisensi paten, pembatalan paten, pelaksanaan paten oleh pemerintah, Administrasi paten, penyelesaian sengketa paten dan ketentuan pidana.

4. Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

Undang-Undang ini terdiri dari 101 Pasal. Hal-hal yang diatur di dalamnya antara lain meliputi : Pengertian merek, lingkup merek, pendaftaran merek, pengalihan atas hak merek, penghapusan dan pembatalan merek, administrasi merek, penyelesaian sengketa merek dan ketentuan pidana.


(10)

5. Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

Undang-Undang ini terdiri dari 19 Pasal. Hal-hal yang diatur di dalamnya meliputi : pengertian rahasia dagang, hak pemilik rahasia dagang, pengalihan hak dan lisensi, penyelesaian sengketa, pelanggaran rahasia dagang, dan ketentuan pidana.

6. Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil

Undang-Undang ini terdiri dari 38 Pasal. Hal-hal yang diatur di dalamnya meliputi: pengertian usaha kecil, pengertian usaha menengah, pengertian usaha besar, Kriteria usaha kecil, pembinaan, pengembangan dan jaminan usaha kecil, kemitraan usaha kecil dan sanksi administratif.

7. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba

Keputusan Menteri ini terdiri atas 8 bab dan 26 Pasal. Hal-hal yang diatur dalam Keputusan Menteri ini meliputi : pengertian umum, bentuk perjanjiannya, kewajiban pendaftaran dan kewenangan penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW), persyaratan waralaba, pelaporan, sanksi, ketentuan peralihan dan penutup.

8. Keputusan Menteri Perdagangan No. 376/Kep/XI/1988 tentang Kegiatan Perdagangan

Keputusan Menteri Perdagangan ini telah memungkinkan perusahaan asing dalam status Penanaman Modal Asing (PMA) dapat melakukan penjualan hasil produksinya di dalam negeri sampai pada tingkat pengecer dengan mendirikan perusahaan patungan antara perusahaan asing di


(11)

bidang produksi tersebut dengan perusahaan nasional sebagai penyalur. Dengan keputusan tersebut franchisor yang memproduksi barang dapat melakukan hubungan langsung dengan para pengecernya. Para pengecer tersebut adalah para franchise.32

C. Latar Belakang timbulnya Kontrak Franchise

Banyak orang masih skeptis dengan kepastian hukum terutama dalam bidang franchise di Indonesia. Namun saat ini kepastian hukum untuk berusaha dengan format bisnis franchise yang jauh lebih baik dari sebelum tahun 1997. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya payung hukum yang dapat melindungi bisnis

franchise tersebut. Berbagai peraturan tersebut diharapkan dapat menjamin kepastian hukum dalam bisnis franchise di Indonesia, karena masih menimbulkan berbagai persoalan, seperti : perlindungan terhadap HaKI, perlindungan terhadap investor, pencegahan terhadap persaingan usaha monopoli dan oligopoli oleh

franchisor, dan bagaimana memfasilitasi modal asing lewat franchise. Persoalan-persoalan ini perlu dituangkan dalam bentuk undang-undang yang khusus mengatur tentang franchise. Dengan adanya undang-undang tersebut nantinya diharapkan akan dapat memberikan kepastian hukum dalam usaha franchise.

Dilihat dari ruang lingkup dan konsepnya, sebenarnya kontrak franchise

berada di antara kontrak lisensi dan distributor. Adanya pemberian izin oleh pemegang Hak Milik Intelektual atau know-how lainnya kepada pihak lain untuk menggunakan merek ataupun prosedur tertentu merupakan unsur perjanjian lisensi. Di pihak lain, dengan adanya quality control dari franchisor terhadap

32


(12)

produk-produk pemegang lisensi yang harus sama dengan produk-produk lisensor, seakan-akan pemegang franchise merupakan distributor franchisor.

Sebagaimana dalam kontrak lisensi, pada kontrak franchise, pemegang

franchise juga wajib membayar sejumlah royalti untuk penggunaan merek dagang dan proses pembuatan produk yang sama besarnya ditetapkan berdasarkan perjanjian. Royalti kadang-kadang bukan ditetapkan dari persentase keuntungan melainkan dari berapa unit. Dalam hal demikian, pihak franchisor tidak peduli apakah pemegang franchise akan mengalami keuntungan atau kerugian. Selain itu, franchise juga diharapkan mampu untuk mendesain perusahaannya sedemikian rupa sehingga mirip dengan desain perusahaan franchisor. Begitu juga dengan manajemennya, tidak jarang franchisor juga memberikan asistensi dalam manajemen. Dalam hal tersebut, biasanya franchise harus membayar sejumlah biaya tambahan bagi asistensi tersebut. Tidak jarang pula franchisor dalam keperluan pembuatan produknya mengharuskan pemegang franchise untuk membeli bahan-bahan dari pemasok yang ditunjuk oleh franchisor. Hal ini dalam hukum kontrak dikenal dengan istilah tying-in agreement. Bahkan beberapa ketentuan auditing keuangan juga dilakukan oleh pihak franchisor, semua ini dilakukan dengan alasan quality control. Walaupun demikian adanya, namun pada dasarnya melalui kontrak franchise ini sebenarnya diharapkan terjadinya alih teknologi antara franchisor dengan franchise.33

Dengan posisi kontrak franchise yang terletak diantara lisensi dan distributor, ada baiknya juga jika kita melihat bidang-bidang usaha yang menjadi ruang lingkup kontrak franchise34

33

Ibid. Hal.166

34

Ibid. Hal.97


(13)

1. Bidang usaha makanan

2. Jasa konsultan dan kepentingan bisnis 3. Jasa properti

4. Hotel dan motel

5. Produk kesehatan dan kebugaran 6. Biro perjalanan

7. Produk dan jasa pendidikan 8. Salon kecantikan dan rambut 9. Jasa periklanan

10.Binatu

11.Toko permainan anak-anak 12.Produk kacamata dan asesorisnya 13.Cetak foto

14. Rumah sakit dan klinik.

Lembaga franchise pada awal perkembangannya di Amerika Serikat sebenarnya hanya berupa dalam tahapan distributor, sedangkan jaman franchise

modern baru dimulai pada era akhir tahun 1940-an. Hal ini dapat dilihat pada berkembangnya MC. Donald’s (1955), Carvel Ice Cream (1945), John Robert Power (1955), Kentucky Fried Chicken (1952), dan lain-lain. Sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 1988, usaha franchise mengalami peningkatan yang sangat besar di negara asalnya. Sampai saat sekarang ini, jumlah unit usaha franchise

yang berkembang di Amerika Serikat lebih kurang 368.458 unit usaha. Di Australia, sebanyak 10.303 unit usaha franchise telah berkembang dalam kurun waktu lebih kurang 25 tahun. Kanada sebanyak 45.000 unit usaha franchise,


(14)

sedangkan di Jepang sebanyak 102.397 unit usaha franchise serta Inggris sebanyak 16.600 unit usaha franchise.35

35

Hasil Seminar Institut Pendidikan dan Manajemen Indonesia, Peta Pewaralabaan di Dunia Manajemen, Jakarta, 2000. Hal.1-3

Di Indonesia, sistem bisnis dengan

franchise yang mulai berkembang sejak tahun 1980-an, saat ini telah banyak sekali franchise asing yang masuk ke Indonesia, baik dalam perdagangan barang maupun jasa.

Melihat data yang telah dikemukakan tadi, mungkin dapat dipikirkan, mengapa sebuah perusahaan seperti Kentucky Fried Chicken yang dapat menghasilkan keuntungan yang demikian besar mau menjalankan sistem

franchise? Apakah latar belakang dari dilakukannya kontrak franchise? Jawabannya, tentu saja demi meningkatkan efisiensi dan produktifitas. Bisa dibayangkan, jika sebuah perusahaan induk mempunyai cabang usaha ( company-owned unit) sebanyak sepuluh cabang, maka perusahaan induk masih dengan sangat mudah mengendalikannya. Akan tetapi, bagaimana jika sebuah perusahaan induk mempunyai jumlah cabang usaha di atas sepuluh cabang dan beberapa cabang di antaranya malah terletak di luar negeri, maka akan sangat sulit untuk melakukan kontrol dalam aspek finansial, sumber daya manusia dan tingkat risiko. Dari penjelasan tadi, dapat kita ambil sebuah kesimpulan bahwa, jika sebuah perusahaan membuka cabang usaha, maka risiko sepenuhnya berada di tangan perusahaan induk. Sedangkan apabila usaha mereka difranchisingkan, maka risiko akan dipikul oleh franchise.

Timbulnya kontrak franchise didasarkan pada tiga alasan utama, yakni sebagai berikut:


(15)

1. Kekurangan modal untuk ekspansi usaha atau pasar.

Sebuah perusahaan untuk membuka sebuah cabang baru tentu saja membutuhkan banyak biaya tambahan, seperti : lokasi baru, tenaga kerja tambahan. Semua ini tentu saja membutuhkan banyak persediaan modal, namun bila semuanya dialihkan kepada sistem franchise, tentu saja perusahaan induk tidak perlu lagi untuk mengeluarkan modal atau biaya tambahan, malah perusahaan induk akan mendapatkan keuntungan dari fee

dan royalti dari franchise.

2. Kekurangan sumber daya manusia.

Membuka sebuah cabang baru tentu saja membutuhkan sumber daya manusia yang sama handalnya dengan perusahaan induk. Hal ini bukanlah sebuah pekerjaan yang gampang, karena mencari sumber daya manusia yang ahli ditambah dengan situasi dan kondisi dari lingkungan yang berbeda bisa saja membuat sebuah cabang baru agak sukar untuk berkembang seperti yang diharapkan. Dengan adanya sistem franchise, perusahaan induk tidak perlu memikirkan mengenai struktur manajemen dan kepemilikan franchise, karena franchise merupakan milik orang lain. Dengan kata lain, dengan adanya franchise akan diperoleh sumber daya manusia yang telah mengenal baik situasi lingkungan di wilayah tempat

franchise beroperasi.

3. Melakukan perluasan pasar (penetrasi pasar) secara tepat dan cepat.

Dengan sistem franchise, sebuah perusahaan induk dapat memperluas jaringan pemasaran produk dan jasanya dengan lebih cepat dan efisien tanpa harus memikirkan prospek wilayah dan pasar yang akan dituju.


(16)

Selain itu, sistem franchise ini memungkinkan sebuah perusahaan induk untuk memperluas daerah pemasarannya sampai ke luar wilayah dari negara tempat perusahaan induk itu berada.

Jadi, dengan adanya keterangan tadi, dapat diketahui latar belakang diadakannya kontrak franchise oleh pihak franchisor. Namun, ternyata latar belakang terjadinya sebuah kontrak franchise juga berkaitan erat dengan pihak

franchise. Bagi pihak franchise sendiri, dengan adanya kontrak antara mereka dengan pihak franchisor juga membawa dampak keuntungan bagi dunia usaha mereka. Keuntungan yang paling utama adalah perusahaan kecil yang mempunyai kontrak franchise langsung memiliki sistem bisnis yang mapan (estabilished business), serta produk-produk dan jasa yang memiliki reputasi, sehingga mereka akan langsung dikenal. Bagi pihak franchise, untuk membentuk sebuah citra yang baik di kalangan konsumen, biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun lamanya. Dengan adanya kontrak ini, mereka tidak perlu lagi merumuskan konsep bisnis, cara memperkenalkan produk atau jasa, atau mempromosikan produk atau jasanya di pasaran sedangkan pembentukan citra perusahaan bisa didapat dalam jangka waktu yang relatif singkat.

Selain itu, alasan lain diadakannya sebuah kontrak franchise adalah dengan bisnis franchise ini lebih menghemat biaya, terutama pada persiapan awal usaha karena sebagian besar biaya akan segera tertutupi oleh keuntungan yang juga akan segera didapat dengan cepat. Franchise juga tidak perlu lagi untuk mengidentifikasi barang inventaris yang diperlukan, tidak perlu mencari sumber pemasok bahan baku, menyusun sistem pembukuan dan metode perhitungan uang atau merumuskan strategi promosi. Semuanya itu tidak diperlukan lagi karena


(17)

berkat adanya sistem sentralisasi operasi yang dikembangkan oleh jaringan bisnis

franchise ini.

Memang tidak semua sistem franchise dapat menjamin sebuah kesuksesan, namun paling tidak dengan adanya seperangkat peralatan yang telah teruji kemampuan dan kualitasnya akan menjadi jaminan bagi sebuah kontrak

franchise untuk sukses. Dengan sistem franchise, biasanya standarisasi dan kualitas kontrol sebuah produk dan jasa akan tetap terjaga karena adanya keseragaman kualitas antara franchise dengan franchisor.

D. Pengertian Kontrak Franchise

Sebelum dibahas mengenai pengertian kontrak franchise dari para ahli, ada baiknya jika kita melihat pengertian dari kontrak terlebih dahulu. Kontrak atau contracts (bahasa Inggris) maupun overeenkomst (bahasa Belanda), dalam pengertian yang lebih luas sering dinamakan dengan istilah perjanjian. Kontrak adalah suatu peristiwa di mana terdapat dua orang atau lebih yang saling berjanji untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu, biasanya dilakukan secara tertulis. Para pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, dan berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hubungan hukum yang disebut dengan perikatan (verbintenis). Dengan demikian kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuat kontrak tersebut karena itu kontrak yang mereka buat merupakan sumber hukum formal dan asal kontrak tersebut adalah kontrak yang sah.36

36

Abdul R. Saliman, Ahmad Jalis, Esensi Hukum Bisnis Indonesia, Kencana, Jakarta, 2004. Hal.12


(18)

Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata37

1. Adanya kesepakatan

, suatu kontrak atau perjanjian akan dikatakan sah apabila telah memenuhi syarat sahnya sebuah perjanjian, yakni:

Kesepakatan kedua belah pihak dilakukan secara bebas atau dengan kebebasan. Adanya kebebasan bersepakat (konsensual) para subyek hukum atau orang, dapat terjadi dengan :

a. Secara tegas, baik dengan melalui ucapan kata atau tertulis. b. Secara diam, baik dengan suatu sikap atau dengan isyarat38 2. Cakap untuk melakukan perbuatan hukum

.

Seseorang dikatakan cakap hukum apabila seorang laki-laki atau wanita telah berusia minimal dua puluh satu (21) tahun, atau bagi seorang laki-laki, apabila belum berusia dua puluh satu tahun, namun telah menikah. Dari Pasal 1330 KUH Perdata, perngertian tidak cakap hukum terjadi dalam tiga hal yakni:

a. Orang di bawah umur adalah orang yang belum kawin dan belum berusia dua puluh satu tahun.

b. Orang yang di bawah pengampuan (curatele), yaitu orang yang sudah dewasa dan berumur di atas dua puluh satu tahun, tetapi tidak mampu karena pemabuk, gila atau pemboros.

c. Wanita yang sedang mempunyai suami hilang kecakapannya karena dia harus mendampingi suaminya. (ketentuan ini telah dihapus oleh Pasal 31 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan)39 37

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal. 283

38

C.S.T.Kansil dan Christine Kansil, Modul Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 2004. Hal.224


(19)

3. Adanya hal tertentu

Hal tertentu mengenai obyek hukum benda itu oleh pihak-pihak ditegaskan dalam perjanjian mengenai :

a. jenis barang

b. kualitas mutu atau barang

c. buatan pabrik dan dari negara mana d. buatan tahun berapa

e. warna barang

f. ciri khusus barang tersebut g. jumlah barang

h. uraian lebih lanjut mengenai barang tersebut40 4. Adanya kausa yang halal

Pada benda (obyek hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.41

“ kontrak lisensi yang diberikan oleh franchisor dengan pembayaran tertentu, kontrak lisensi yang diberikan itu bisa saja berupa lisensi paten, merek

Setelah diketahui pengertian kontrak pada umumnya dan syarat-syarat sahnya sebuah kontrak, maka ada baiknya jika kita melihat beberapa definisi dari kontrak franchise menurut beberapa ahli franchise, yakni Bryce Webster dan Peter Mahmud Marzuki.

Menurut Bryce Webster, pengertian dari kontrak franchise adalah sebagai berikut:

39

Ibid. Hal.225-226

40

Ibid. Hal.227

41


(20)

perdagangan, merek jasa dan lain-lain yang digunakan untuk tujuan perdagangan tersebut “.42

“ Suatu kontrak yang memberikan hak kepada pihak lain untuk menggunakan nama dan prosedur yang dimiliki oleh yang mempunyai hak tersebut “.

Menurut Peter Mahmud Marzuki, pengertian kontrak franchise adalah sebagai berikut :

43

1. Adanya subyek hukum yaitu franchisor dan franchise

Definisi yang diberikan oleh Peter Mahmud Marzuki ini sangatlah bersifat pragmatis karena yang ditonjolkan dalam definisi kontrak franchise hanya terletak pada adanya kontrak berupa pemberian hak dan penggunaan nama serta prosedur yang dimiliki oleh yang mempunyai hak. Banyak kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam pendapatnya tersebut karena tidak memenuhi beberapa unsur sebagai berikut :

2. Adanya lisensi atas merek barang dan jasa 3. Adanya jangka waktu tertentu

4. Adanya pembayaran royalti

E. Ruang Lingkup Pengaturan Perjanjian Franchise

Mengingat bahwa franchise merupakan suatu perjanjian, maka sudah barang tentu terdapat hal-hal yang disepakati di dalam perjanjian tersebut sekaligus merupakan obyek hukumnya. Obyek hukum bagi para pihak merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dituntut atau yang harus dilaksanakan oleh para pihak sebagai subyek perjanjian. Dalam perjanjian atas

42

Ibid. Hal.87

43


(21)

beban, termasuk perjanjian franchise. Sesuatu yang merupakan hak bagi salah satu pihak akan merupakan kewajiban bagi pihak lainnya.

Pada umumnya suatu perjanjian franchise dibuat secara standar karena adanya keperluan atas uniformity, efficiency dan control karenanya perjanjian ini hampir tidak dapat dinegosiasikan lagi sehingga para penyewa franchise

dihadapkan kepada pilihan menyewa atau batal. Namun, dari beberapa elemen

franchise sebagaimana telah disebutkan dalam pembahasan yang lalu, terdapat beberapa obyek pengaturan perjanjian franchise, yaitu :

1. Nama dagang atau merek dagang.

Nama dagang atau merek dagang menjadi obyek perjanjian franchise oleh sebab nama dagang dan merek dagang yang semula menjadi hak monopoli

franchisor untuk menggunakan pada barang-barang atau jasa-jasa yang dijualnya kemudian dikarenakan oleh adanya perjanjian franchise, maka akan diberikan izin kepada pihak lainnya untuk menggunakan nama produk milik

franchisor. Nama dagang atau merek dagang merupakan jantung dari perjanjian franchise.

Di Amerika sebagai salah satu negara yang franchise telah sangat berkembang, dalam Federal Trade Commission ditentukan bahwa pencantuman merek dagang atau nama dagang pada dokumen penawaran

franchisor kepada calon penyewa merupakan syarat mutlak.44

Selain nama dagang atau merek dagang, hak cipta pun dapat dijadikan sebagai obyek perjanjian franchise. Hak cipta tersebut berkaitan dengan ciptaan-ciptaan video training, software computers, manual operation dan

bentuk-44


(22)

bentuk publikasi lainnya dari franchisor yang diserahkan kepada pihak penyewa franchise.

2. Rahasia dagang (trade secret).

Rahasia dagang sangat penting terutama dalam hal franchise chain-style business atau business format franchise dan manufacturing franchise karena pada kedua macam franchise tersebut diberi hak untuk mengetahui dan mempergunakan rahasia-rahasia tersebut. Sehhubungan dengan hal ini, maka dalam rumusan perjanjian akan ditentukan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang menyangkut kewajiban pihak penyewa franchise untuk tidak menyingkapkan rahasia tersebut kepada pihak ketiga dan menentukan lebih lanjut unsur manajemen perusahaan franchise yang boleh dan tidak boleh mengetahui rahasia tersebut, pembatasan kepada pihak penyewa di dalam menggunakan rahasia tersebut dan sanksi-sanksi yang dapat dituntutkan kepada pihak penyewa apabila kewajiban-kewajibannya tersebut dilanggar.

Trade secret, knowledge dan know-how bukan merupakan hak milik mutlak yang mendapat perlindungan khusus sebagaimana paten, merek dagang ataupun hak cipta. Oleh karena itu, perlindungan yang paling efektif dapat diperoleh dari perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Di beberapa Negara tertentu, hak-hak ini dilindungi oleh unfair competition law, tort law, the law of fiduciare atau hukum pidana.

3. Jasa pelatihan.

Jasa pelatihan merupakan obyek franchise yang sangat penting, baik bagi


(23)

para pihak penyewa biasanya sangat membutuhkan jasa pelatihan ini dan merupakan kewajiban pemilik franchise untuk memberikan pengajaran dan pelatihan kepada pihak penyewa. Jasa pelatihan ini dapat diberikan kepada penyewa sendiri ataupun kepada semua jajaran manajemennya.

Dalam kaitannya dengan jasa pelatihan ini, di dalam kontrak franchise akan disebutkan materi pelatihan, baik materi yang sudah ada sebelumnya maupun materi pengembangannya, jangka waktu atau periodisasi pelatihan, lokasi pelatihan, biaya-biaya pelatihan dan kemungkinan pencantuman sanksi bagi penyewa franchise jika gagal dalam evaluasi hasil pelatihan.

Dalam perkembangan franchise sekarang ini, terutama franchise penjualan makanan biasanya sangat memerlukan pelatihan ini. Resep dan takaran dalam membuat suatu masakan biasanya sangat penting untuk diajarkan oleh pihak

franchisor dalam pelatihan ini. Penulis mengkaji bahwa pada saat sekarang ini, jika seseorang menyewa franchise, maka biasanya pihak penyewa akan mendapatkan pelatihan secara gratis. Franchisor sewaktu pelatihan memberikan kesempatan kepada dua orang dari pihak penyewa untuk dapat belajar secara gratis, di samping itu penyewa juga mendapat fasilitas lainnya, seperti:

1) Bahan awal untuk memproduksi makanan 2) Seragam dengan logo

3) Perlengkapan atau peralatan 4. Bantuan teknis operasional.

Bantuan-bantuan teknis operasional dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu :


(24)

1) Bantuan pada saat persiapan pelaksanaan usaha franchise, antara lain : - Bantuan dalam pemilihan lokasi usaha

- Bantuan dalam menentukan arsitektur bangunan dan tata letak ruangan serta pemilihan bahan-bahan dan peralatannya yang akan menentukan standard an spesifikasinya

- Penentuan standar administrasi dan pembukuan - Penentuan standar penerimaan karyawan - Pedoman operasi bisnis franchise

- Pedoman pelaksanaan grand opening

Hak-hak penyewa untuk menerima standar-standar dan pedoman-pedoman tersebut di atas biasanya akan diperoleh melalui hak untuk menggunakan

manual operation milik franchisor. Apabila perjanjian franchise berakhir, maka manual operation harus dikembalikan kepada pihak franchisor.

2) Bantuan selama hubungan hukum berlangsung, antara lain : - Pengawasan dan evaluasi pelaksanaan usaha

Pada dasarnya dalam kegiatan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan usaha ini terdapat banyak kepentingan franchisor, khususnya dalam rangka menjaga dan mengembangkan kinerja franchise-nya.

- Pelaksanaan kegiatan pemasaran

Di dalam klausul perjanjian franchise lazim ditentukan bahwa penyewa harus turut serta dalam menanggung biaya kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh franchisor. Dalam praktik sering kali penyewa mengeluhkan bahwa kegiatan franchisor dalam


(25)

mengiklankan franchise-nya tidak sebanding dengan jumlah biaya yang dibayarkan pihak franchise.

- Memilihkan kegiatan pemasaran yang dilakukan franchise

Di dalam perjanjian franchise juga terdapat ketentuan yang mewajibkan pihak penyewa untuk menyisihkan dana bagi kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh pihak franchisor. Dalam kaitannya dengan hal ini franchisor akan ikut serta memberikan pertimbangan dalam menentukan kegiatan pemasaran outlet franchise milik penyewa termasuk juga menyediakan medianya.

- Pemberian konsultasi selama perusahaan franchise beroperasi

Dalam menjalankan suatu usaha tentu saja ada kalanya grafik perkembangan naik dan turun. Pihak penyewa dalam hal ini biasanya bisa mendapatkan bantuan pertimbangan usaha secara gratis selama berlangsungnya kontrak franchise tetap berjalan. Konsultasi yang diberikan oleh pihak franchisor merupakan suatu kondisi untuk membantu mengembangkan usaha franchise milik penyewa, di mana perkembangan franchise milik penyewa juga akan menguntungkan pihak franchisor.

5. Pembelian bahan-bahan dan peralatan.

Standarisasi produk merupakan salah satu ciri dari jaringan bisnis franchise

bahkan sering kali termasuk penentuan kualitas bahan-bahan dan perlengkapan penjualan. Dengan demikian, untuk itu sering kali franchisor

turut menentukan tempat pembelian bahan-bahan yang akan digunakan untuk memproduksi. Ada kemungkinan karena jasa franchisor dalam menentukan


(26)

pemasok tertentu, maka pihak pemasok bahan akan memberikan komisi kepada pihak franchisor.

Dalam Federal Trade Commission hal ini diantisipasi dengan adanya ketentuan yang mengharuskan franchisor memberikan penjelasan tentang komisi tersebut kepada pihak penyewa sebelum kontrak franchise

ditandatangani. Namun, hal ini di Amerika dapat dianggap sebagai tindakan

product restrictions yang tidak sah menurut anti trust law sebab akan berakibat kepada adanya pembatasan tethadap produk-produk pemasok pada pasar bebas.

Dalam menentukan tempat dan cara pembelian terhadap barang-barang yang harus dibeli dari franchisor mengingat franchisor merupakan satu-satunya pemasok bahan tersebut, karenanya pihak penyewa berkewajiban untuk membeli dari franchisor. Di samping itu, juga kemungkinan terdapat barang-barang yang harus dibeli dari pemasok lain dengan cara pembelian bersama-sama dengan penyewa lain. Dalam kaitannya dengan pembelian bahan-bahan dan peralatan ini yang perlu diperhatikan oleh para pihak adalah jangan sampai kontrak yang dibuat mencantunkan tie in clause yang akan memberatkan pihak penyewa. Di Amerika, perjanjian yang mencantumkan tie in clause dapat dikelompokkan sebagai perjanjian terlarang dalam rangka anti trust law. Untuk itu perlu dikaji apakah dalam suatu perjanjian terdapat tie in clause yang didasarkan kepada adanya analisis45

There must be a tying arrangement between two distinct products or services, the defendant must have sufficient economics power in the tying market to impose significant restrictions in the tied product market, the amount of commerce in the tied product market must not be in substantial, the seller og

sebagai berikut :

45

Bernard A. Kaplan, A Guide to Modern Business and Commercial Law-Comprehensive and Practical Handbook, Chicago, Illinois, 1990. Hal.1101.


(27)

the tying product must have an interest in the tied product, there must be a modicum of coercion shown”.

Artinya

”Semestinya harus terdapat adanya kesesuaian antara dua produk atau pelayanan, pemilik dapat mewajibkan penyewa untuk membeli barang-barang yang diperlukan walaupun tidak bersifat substansi untuk pengembangan pemasaran, penjualan bermacam produk seharusnya mempunyai keuntungan bagi setiap produk”.

Unsur-unsur tersebut dapat berupa tindakan-tindakan :

1) Franchisor mewajibkan pihak penyewa untuk membeli peralatan-peralatan yang tidak substansial bagi produk-produk yang franchise-nya diberikan kepada penyewa.

2) Franchisor memaksakan pihak penyewa untuk menyewa lokasi outlet dari

franchisor.

3) Franchisor menunjuk pemasok tertentu yang akan memasok kebutuhan-kebutuhan pihak penyewa.

6. Pengawasan kualitas produk.

Pengawasan kualitas produk ini merupakan hak dari franchisor terutama yang berkaitan dengan standarisasi produk-produk yang menggunakan nama dan merek dagang franchisor akan menentukan juga upaya-upaya yang harus dilaksanakan oleh pihak penyewa. Dengan kata lain, pengawasan atas kualitas produk juga sangat ditentukan oleh partisipasi pihak penyewa dan sanksi-sanksi apakah yang akan diberlakukan kepada pihak penyewa sekiranya penyewa tidak menjaga kualitas produk.

Kadang kala pihak penyewa dalam mengembangkan suatu franchise tidak begitu peduli terhadap kualitas dari franchise-nya, yang selalu dipikirkan hanyalah keuntungan semata. Pihak franchisor dalam hal ini harus senantiasa memberikan penilaian dan pengawasan kepada pihak penyewa agar kualitas


(28)

produk mereka selalu tetap terjaga. Bila perlu adanya sanksi pemutusan kontrak jika pihak penyewa tidak ikut serta dalam menjaga kualitas produknya.

7. Biaya franchise.

Biaya franchise merupakan obyek perjanjian karena biaya ini pada dasarnya merupakan kontraprestasi dari pihak penyewa kepada franchisor sehubungan penerimaan hak-haknya dari franchisor. Biaya-biaya franchise dapat tgerdiri dari :

1) Initial or joining fee.

Biaya yang dibayarkan oleh pihak penyewa pada saat pertama kali menutup perjanjian dengan franchisor. Pembayaran ini tidak dapat ditarik kembali oleh pihak penyewa. Pembayaran ini dapat diartikan sebagai biaya pendaftaran atau uang pangkal untuk bergabung dalam jaringan bisnis franchise. Initial fee ini dibayarkan sekaligus untuk seluruh jangka waktu selama berlangsungnya perjanjian franchise.

2) Royalties or continuing fee.

Biaya yang dikeluarkan pihak penyewa kepada franchisor secara periodik. Biasanya besarnya biaya ini didasarkan kepada pendapatan penjualan pihak penyewa. Berkaitan dengan pendapatan ini, yang perlu dipersoalkan adalah bagaimana jika outlet penyewa juga menjual produk-produk yang berbeda dengan produk franchisor? Apakah terhadap hasil penjualan produk tersebut franchisor akan memasukkannya sebagai bagian yang harus diperhitungkan biayanya?


(29)

3) Biaya-biaya lain.

Selain biaya-biaya di atas, biasanya dalam mengembangkan usahanya pihak penyewa juga harus memperhitungkan biaya promosi dan marketing

sebagai konsekuensi persyaratan kegiatan pemasaran yang harus dilakukan dan dikelola oleh penyewa.

8. Pengalihan franchise.

Pengertian pengalihan di sini dapat diartikan sebagai akibat hukum dari perjanjian jual beli franchise yang dibuat oleh pihak penyewa dengan pihak ketiga atau pengalihan yang disebabkan karena adanya sistem pewarisan akibat meninggalnya pihak penyewa pertama. Di dalam perjanjian franchise

ketentuan yang mengatur pengalihan sering kali memberatkan penyewa karena harus meminta persetujuan dari franchisor.46

Demikian pula dalam hal penyewa meninggal dunia, sering kali perjanjian

franchise mencantumkan klausul bahwa sistem franchise akan kembali kepada

franchisor, dalam arti khusus franchise tidak dapat diwariskan kepada ahli waris pihak penyewa.

Sementara itu, sebelum franchisor memberikan persetujuan, beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon pembeli, baik yang menyangkut aspek finansial maupun penilaian franchisor terhadap kinerja kerja bisnis calon pembeli. Sedangkan tolok ukur yang dapat digunakan untuk kedua hal tersebut sering kali tidak ada, dalam arti sepenuhnya merupakan kewenangan

franchisor.

47

46

Mulya Lubis, Kontrak Franchise, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002. Hal.110.

47


(30)

F. Bentuk dan Substansi Kontrak Franchise

Sebelum sebuah perusahaan terjun dalam sistem franchise, biasanya terdapat beberapa syarat utama yang harus dipenuhi oleh sebuah perusahaan agar dapat menjadi franchisor. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut antara lain :

1. Memiliki catatan pertumbuhan (track record) yang baik, minimal dua tahun berturut-turut.

2. Manajemen bisnisnya sudah mantap dan terpadu. 3. Sistem bisnisnya mudah diajarkan kepada pihak lain. 4. Produk dan jasa yang dijual dapat dipasarkan secara luas.

5. Memiliki nama perusahaan dan merek dagang produk dan jasa yang telah dikenal masyarakat luas.

6. Memiliki eksekutif yang ahli dan terampil.

7. Manajemen perusahaan harus bersifat transparan (perusahaan yang akan memasuki sistem franchise hendaknya menyiapkan disclosure documents, berupa offering circulars, sehingga setiap calon pembeli franchise yang berminat dapat mempelajari terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan).

8. Setiap perusahaan yang akan terjun dalam sistem franchise harus menyiapkan perjanjian kontrak yang baku.

9. Menentukan prosedur dan persyaratan penerimaan pihak yang akan menyewa atau membeli hak franchise.

Setelah semua syarat terpenuhi, maka langkah selanjutnya adalah sesuai dengan ketentuan Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang


(31)

Waralaba48

Menurut ketentuan yang berlaku dalam Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba

dan Pasal 2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No: 259/MPP/Kep/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, pihak perusahaan diwajibkan mendaftarkan usahanya tersebut kepada Menteri Perindustrian dan Perdagangan agar mendapatkan izin usaha. Setelah izin usaha telah disahkan, maka pihak perusahaan atau franchisor telah dapat menyewakan merek dagang produk atau jasanya kepada perusahaan lain yang tertarik untuk menyewa atau membelinya.

49

a. Pemberi franchise, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya;

, Sebelum membuat perjanjian, Pemberi waralaba atau franchisor wajib menyampaikan keterangan kepada Penerima waralaba atau calon franchise secara tertulis dan benar sekurang-kurangnya mengenai :

b. Hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi objek franchise;

c. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi calon franchise;

d. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan franchisor kepada calon franchise; e. Hak dan kewajiban franchisor dan franchise;

f. Pengakhiran, pembatalan, dan perpanjangan perjanjian franchise serta hal-hal lain yang perlu diketahui calon franchise dalam rangka pelaksanaan perjanjian

franchise.

Di samping itu, penerima franchise utama wajib memberitahukan secara tertulis sebuah dokumen autentik kepada penerima franchise lanjutan bahwa

48

Ibid. Hal.2

49


(32)

franchise utama memiliki hak atau izin membuat perjanjian kontrak franchise

lanjutan dari franchisor.

Mengenai substansi sebuah kontrak franchise tentu saja berbeda-beda, tergantung kepada pihak franchisor dan penerima franchise untuk mengikuti ketentuan yang dianggap sesuai dan dapat mewakili keinginan mereka. Pada penulisan skripsi ini, penulis akan menuliskan beberapa substansi kontrak

franchise yang biasanya lazim digunakan dalam sebuah kontrak franchise, yakni : substansi kontrak menurut ketentuan “Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba”, substansi kontrak menurut hasil “seminar Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen”, substansi kontrak menurut “Masyarakat Eropa”, substansi kontrak menurut “Dov Izraeli” dan substansi kontrak menurut “Bryce Webster”.

Menurut Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba50

1. Nama, alamat, dan tempat kedudukan perusahaan masing-masing pihak.

telah ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian atau kontrak franchise, yakni sebagai berikut :

2. Nama dan jabatan masing-masing pihak yang berwenang menandatangani perjanjian.

50


(33)

3. Nama dan jenis hak atas kekayaan intelektual, penemuan atau ciri khas usaha, misalnya : sistem manajemen, cara penjualan atau penataan, cara distribusi yang menjadi karakteristik utama dari obyek franchise. 4. Hak dan Kewajiban masing-masing pihak serta bantuan dan fasilitas

yang diberikan kepada penerima franchise. 5. Wilayah pemasaran.

6. Jangka waktu perjanjian dan tata cara perpanjangan perjanjian serta syarat-syarat perpanjangan perjanjian.

7. Cara penyelesaian perselisihan.

8. Ketentuan-ketentuan pokok yang disepakati yang dapat mengakibatkan pemutusan perjanjian atau berakhirnya perjanjian.

9. Ganti rugi dalam hal terjadinya pemutusan perjanjian. 10.Tata cara pembayaran imbalan.

11.Penggunaan barang atau bahan hasil olahan produksi dalam negeri yang dihasilkan dan dipasok oleh pengusaha kecil.

12.Pembinaan, bimbingan dan pelatihan kepada penerima franchise. Substansi dari kontrak franchise menurut ketentuan Pasal 7 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba, yang telah dikemukakan tadi pada dasarnya lebih bersifat perjanjian franchise (agreement franchise) yang mengandung makna :


(34)

2. Memberi kemungkinan franchisor untuk tetap mempunyai hak atas nama dagang atau merek dagang, format / pola usaha, dan hal-hal khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut.

3. Memberi kemungkinan franchisor mengendalikan sistem usaha yang dilisensikannya.

4. Hak, kewajiban dan tugas masing-masing pihak dapat diterima oleh

franchise.

Substansi kontrak menurut hasil seminar Institut Pendidikan dan Pembinaan Manajemen51

1. Hak yang diberikan oleh franchisor kepada franchise.

, ditentukan hal-hal yang harus dimuat dalam sebuah perjanjian atau kontrak franchise yakni:

2. Hak yang diberikan meliputi antara lain penggunaan metode atau resep yang khusus, penggunaan merek dan atau nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, wilayah kegiatan dan hak lain sehubungan dengan pembelian kebutuhan operasi jika ada.

3. Kewajiban dari franchise sebagai imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan yang dilakukan oleh franchisor pada saat franchise memulai usaha maupun selama menjadi anggota dari sistem franchise.

4. Hak yang berkaitan dengan kasus penjualan hak franchise kepada pihak lain. Bila franchise tidak ingin meneruskan sendiri usaha tersebut dan ingin menjual kepada pihak lain, maka suatu tata cara perlu disepakati sebelumnya.

51


(35)

5. Hal yang berkaitan dengan pengakhiran perjanjian kerjasama dari masing-masing pihak.

Bagi Masyarakat Eropa yang menganut ketentuan yang terdapat dalam “Franchise Agreement Regulation”, dalam sebuah kontrak franchise harus mengandung beberapa unsur yakni :

1. Pembukuan

2. Masa berlaku perjanjian/kontrak 3. Biaya dan pembayaran lainnya 4. Tanggung jawab franchisor

5. Tanggung jawab franchise

6. Hak milik merek (trade mark, service mark, simbol/logo) 7. Prosedur operasi dan kerahasiaan

8. periklanan dan promosi 9. program latihan

10.catatan keuangan (financial records) 11.Asuransi

12.Pengalihan perjanjian franchise

13.Barang dan jasa yang dijual oleh franchise

14.Ketentuan lokasi

15.Ketentuan tentang kebangkrutan 16.Perpanjangan kontrak

Unsur-unsur ini dianggap perlu dicantumkan dalam sebuah kontrak franchise


(36)

agar tidak terjadi sengketa atau perselisihan yang tidak diinginkan antara

franchisor dengan franchise52

Don Izraeli, juga mengemukakan beberapa hal yang harus dimuat dalam sebuah perjanjian atau kontrak franchise

.

53

1. The rights of the franchisee, yaitu :

, yakni :

a. Hak untuk menggunakan trade name dan reputasi franchisor,

b. Hak untuk menggunakan penyusunan desain, paten, cara kerja, perlengkapan dan pengembangan produk franchisor,

c. Hak untuk menggunakan seluruh pusat pelayanan (the central service) kegiatan pengembangan untuk membantu franchisor,

d. Hak eksklusif untuk beroperasi di lokasi atau daerah tertentu, tanpa adanya kompetisi dari franchisor dan franchise lainnya.

2. The obligation and restriction on franchisee, yaitu : a. Hak dalam penjualan barang dan jasa milik franchisor, b. Hak memelihara standar kualitas produk dan jasa,

c. Hak bekerja sama dan koordinasi atas aktivitasnya dengan franchisor

dengan franchise lainnya.

d. Hak menjunjung tinggi kesan dan reputasi dunia bisnis,

e. Hak membuat kepastian pembayaran franchisor untuk dapat mandiri dalam menjalankan usahanya.

3. The obligation of the franchisor, yaitu :

a. Hak memasok semua jasa-jasa yang telah diuraikan dalam perspektus, b. Hak melakukan koordinasi dengan franchise.

52

Ibid. Hal.158

53


(37)

4. The distribution of profits and sources of income to the franchisor

Franchisor mengharapkan suatu hasil yang menguntungkan dari

enterpreneurship-nya dan program serta jasa yang telah diberikan kepada

franchise. Sehubungan dengan franchise setuju untuk membayar. Pembayaran pertama, yaitu penggunaan hak untuk bekerja sama dalam sistem bisnis, lokasi yang eksklusif, bantuan konsultasi pencarian lokasi dan desain lay-out, pelatihan bagi franchise dan para karyawannya, perlengkapan dan investasi lainnya. Pembayaran yang kedua, termasuk royalti, seperti: persentase dari laba franchise atas harga dari hasil pembicaraan (premises) yang menyangkut peralatan, pembayaran untuk pemasokan barang atau produk, pengepakan barang dan lain-lain.

5. Control over the franchised business

Di sini franchisor mengadakan pemeriksaan terhadap bisnis yang dilakukan dengan segera setelah penandatanganan kontrak :

a. Untuk meyakinkan seluruh pembayaran yang akan menjadi haknya dan dilakukan dengan segara setelah penandatanganan kontrak.

b. Untuk meyakinkan bahwa usaha yang dilakukan oleh franchise akan berhasil.

c. Untuk melindungi franchise dari bahaya yang mengancamnya.

Di dalam kontrak ini terdapat dua macam pemeriksaan, yaitu sebagai berikut:

a. Sistem komunikasi

Hal ini antara lain meliputi laporan berkala dari franchise mengenai berbagai aktivitas bisnis. Di sini franchisor akan mendatangi franchise


(38)

untuk melakukan pemeriksaan pembukuan, keadaan dan kualitas maupun hal-hal lain yang menyangkut bisnis tersebut.

b. Sistem sanksi

Hal ini antara lain berkenaan dengan masalah pengurangan jasa atau bantuan, penuntutan di muka pengadilan, atau tidak dapat meneruskan kontrak yang telah berakhir, dan lain-lain.

6. Expiration and termination of the relationship

Kontrak franchise memiliki msa berlaku tertentu dan biasanya dapat diperpanjang dengan pembayaran fee kembali.

Bryce Webster, lebih merinci lagi klausul-klausul yang harus dimuat dalam perjanjian atau kontrak franchise, yaitu sebagai berikut :

a. Syarat-syarat kontrak (term of contract), b. Pembaharuan kontrak (contract renewal), c. Pemilihan lokasi (location selection),

d. Wilayah dan eksklusif (territory and exclusively), e. Persetujuan kontrak (lease approval),

f. Biaya franchise, modal awal dan kas yang dibutuhkan (franchisee fess, initial and cash requirements),

g. Royalti dan biaya tetap (Royalties or regular fees), h. Kebijakan beriklan (advertising policies),

i. Batasan penggunaan merek dagang (trademark use restriction),

j. Pelatihan yang ditawarkan oleh perusahaan franchise (training offered by franchise company),


(39)

k. Bantuan langsung dan persiapan lokasi (on-site assistance and location preparation),

l. Penggunaan petunjuk pengoperasian (use of operation manual), m. Praktek pengoperasian (operating practices),

n. Kewajiban dalam pembelian (obligation to purchise),

o. Peralatan dan perawatan tempat (equipment and premiesess maintances),

p. Hak untuk inspeksi (right of inspection),

q. Hak untuk pemeriksaan keuangan (right to audit),

r. Usaha-usaha / bisnis-bisnis yang serupa atau klausul non kompetisi (similar bussiness or noncompetition clause),

s. Rahasia dagang (trade secret),

t. Klausul pembatalan (cancellation clause).

Ada beberapa hal yang tercantum dan diperhatikan dalam kontrak

Franchise, yaitu :

a. Momentum penandatanganan kontrak,

b. Para pihak yang terlibat dalam kontrak, yaitu perusahaan dengan Franchise Dealer,

c. Hak dan kewajiban antara perusahaan dengan Franchise Dealer, Kewajiban perusahaan :

(1) Menjual barang (2) Memberikan rabat

Hak perusahaan yaitu menerima harga barang Kewajiban Franchise Dealer :


(40)

(1) Membeli produk

(2) Bertanggung jawab untuk memperoleh semua izin, lisensi dan pendaftaran pajak

(3) Membayar kepada perusahaan atas pembelian-pembelian yang diadakan antara perusahaan dengan Dealer, dan

(4) Membayar pajak-pajak yang berkaitan dengan perjanjian ini. Hak

Franchise Dealer adalah berhak atas potongan harga (rabat) barang. d. Kedudukan antara perusahaan dengan Franchise Dealer merupakan

perusahaan mandiri, yang tidak ada hubungan antara satu dengan lainnya, e. Kebebasan untuk mengakhiri kontrak antara para pihak, dengan syarat harus

ada pemberitahuan lebih dahulu dari salah satu pihak,

f. Pengadilan yang berwenang mengadili sengketa antara perusahaan dengan

Franchise Dealer adalah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

G. Hak dan Kewajiban Franchisor dengan Franchise

Kontrak yang dibuat oleh pihak franchisor dengan franchise berlaku sebagai Undang-undang bagi kedua belah pihak. Sejak penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban. Kewajiban dari pihak franchisor adalah menyerahkan lisensi kepada franchise, sedangkan yang menjadi haknya adalah sebagai berikut :

1. Logo merek dagang (trade mark), nama dagang (trade name) dan nama baik/reputasi (good will) yang terkait dengan merek dan atau nama tersebut. 2. Format/pola usaha, yaitu suatu sistem usaha yang terekam dalam bentuk buku


(41)

3. Dalam kasus tertentu berupa rumus, resep, desain dan program khusus.

4. Hak cipta atas sebagian dari hal di atas bisa dalam bentuk tertulis dan terlindungi dalam undang-undang hak cipta.

Hak franchise adalah menerima lisensi, sedangkan kewajiban dari

franchise adalah sebagai berikut :

1. Membayar royalti kepada franchisor, royalti yang diambil pada umumnya antara tiga persen (3%) sampai lima belas persen (15%), tergantung kepada jenis bisnisnya.

2. Membayar fee (biaya), berupa biaya yang dibayarkan satu kali di awal perjanjian.

3. Menjaga kualitas barang dan jasa yang difranchise-kan. 4. Menjual barang.

5. Bertanggung jawab memperoleh semua izin, lisensi dan pendaftaran pajak. 6. Membayar pajak yang berkaitan dengan perjanjian ini.

H. Jangka Waktu Berlakunya Kontrak Franchise

Franchise yang mengandung makna kebebasan, tidak mengungkapkan kapan jangka waktu berakhirnya sebuah perjanjian franchise secara mendetail. Walaupun sebenarnya, jangka waktu berlakunya kontrak franchise sangatlah penting. Para pihak yang terikat dalam sebuah kontrak franchise diberikan kebebasan untuk menentukan jangka waktu berakhirnya sebuah kontrak franchise

yang mereka lakukan.

Pemerintah Republik Indonesia, melalui Pasal 8 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977


(42)

tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba telah menetapkan jangka waktu perjanjian franchise sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun.54

Pihak franchisor mempunyai hak untuk tidak memperpanjang kontrak

franchise tanpa perlu mengemukakan alasan apapun. Tentu saja ketentuan ini Pada umumnya perjanjian franchise dibuat dengan jangka waktu 5, 10 sampai dengan 15 tahun dengan tiap-tiap lima tahun opsi perpanjangan. Bagi pihak franchisor, biasanya mereka lebih menyukai jangka waktu kontrak yang pendek karena sistem ini akan memungkinkan pihak franchisor untuk menjual kembali franchisenya dengan harga yang lebih mahal setelah berakhirnya masa kontrak. Sedangkan bagi pihak penyewa, mereka akan lebih senang jika perikatan yang terjadi dalam jangka waktu yang lama karena akan lebih leluasa meraih keuntungan sebagai keseimbangan dari kerugian-kerugian yang kemungkinan dialami pada tahun-tahun pertama perjanjian franchise. Selain itu, jangka waktu yang lama juga memungkinkan pihak penyewa franchise beradaptasi dengan sistem franchise sehingga dapat meminimalkan kerugian yang mungkin terjadi.

Setelah jangka waktu itu telah berakhir, maka para pihak dapat memperpanjang kontrak franchise sesuai dengan yang diinginkan oleh para pihak tersebut, selama kontrak yang telah mereka lakukan dianggap sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak yang terikat dalam kontrak franchise

tersebut. Selain itu, pihak franchisor dan penyewa juga dapat memasukkan klausul-klausul hukum yang baru dalam perjanjian perpanjangan kontrak tersebut yang mana pada perjanjian awal tidak ada, misalnya : pembatasan wilayah usaha.

54

Pasal 8 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba.


(43)

sangat merugikan franchise jika selama mengoperasikan outletnya tidak pernah melakukan kesalahan yang berkibat buruk terhadap kinerja franchise dan tidak pernah merugikan hak-hak franchisor. Masalah inilah yang akan dibahas oleh peneliti dalam pembahasan karya ilmiah ini.


(44)

BAB IV

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI FRANCHISE MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16

TAHUN 1997

A. Pengertian hak dan kewajiban yang tidak seimbang

Hak adalah sesuatu yang harus kita dapatkan sedangkan kewajiban adalah sesuatu yang harus kita kerjakan. Dalam perjanjian franchise, biasanya hak dan kewajiban yang dijalankan oleh pihak franchisor dengan franchise bisa saja tidak seimbang, di mana pihak franchise biasanya akan lebih dirugikan dengan isi dan substansi yang tertuang dalam sebuah kontrak franchise. Lahirnya suatu kontrak menimbulkan suatu hubungan hukum perikatan yang berupa hak dan kewajiban. Pemenuhan hak dan kewajiban itulah yang menjadi akibat hukum dari suatu kontrak. Dengan kata lain, akibat hukum kontrak sebenarnya adalah pelaksanaan dari isi kontrak itu sendiri. Pasal 1339 KUHPerdata menyatakan bahwa suatu kontrak tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan dalam kontrak tersebut, tetapi juga segala sesuatu yang menurut sifat kontrak diharuskan atau diwajibkan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang. Tentang hak dan kewajiban para pihak dalam kontrak tertuang dalam isi perjanjian yang disepakati kedua belah pihak.

Pada dasarnya walaupun sebuah kontrak franchise telah dibuat dengan sebaik mungkin, namun tetap saja kontrak franchise biasanya akan terdapat klausul-klausul yang dapat merugikan pihak franchise. Salah satu contoh adalah ketika pihak franchise dianggap tidak sanggup memajukan dan menjual produk


(45)

sesuai dengan target, maka pihak franchisor dapat memutuskan kontrak secara sepihak.

Hubungan hukum antara franchisor dengan franchise ditandai dengan ketidakseimbangan kekuatan tawar menawar (unequal bargaining power). Perjanjian franchise merupakan perjanjian baku yang dibuat oleh franchisor, di mana pihak franchisor telah menetapkan syarat-syarat dan standarisasi yang harus diikut i oleh franchise, sehingga kondisi ini memungkinkan pihak franchisor untuk membatalkan perjanjian apabila mereka menilai franchise tidak dapat memenuhi kewajibannya.

Dalam sebuah kontrak franchise biasanya terdapat adanya kondisi-kondisi bagi pemutusan perjanjian, seperti : kegagalan memenuhi jumlah penjualan, kegagalan memenuhi syarat pengoperasian, dan sebagainya. Franchisor selalu mempunyai discretionary power untuk selalu menilai semua aspek usaha

franchise, sehingga substansi kontrak selalu tidak memberikan perlindungan yang memadai bagi pihak franchise dalam menghadapi pemutusan perjanjian dan penolakan franchisor untuk memperbaharui perjanjian55

Franchisor dapat memanfaatkan kedudukan untuk menguji pasar, dan setelah mengetahui kondisi pasar menguntungkan, maka franchisor memutuskan kontrak dengan franchise, selanjutnya franchisor akan mengoperasikan outlet atau tempat usaha sendiri di wilayah franchise. Hal inilah yang membuat perlindungan hukum terhadap franchise perlu mendapat perhatian yang serius karena pada dasarnya franchise akan dapat menumbuhkan pola kemitraan antara usaha kecil

.

55

David Hees, Protecting Reasonable Expectations of Franchisees and Franchisors, Iowa, 1995. Hal.342


(46)

dengan usaha menengah dan besar sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.

B. Kedudukan pihak franchisor lebih tinggi secara ekonomi daripada franchise

Pihak franchisor dalam memberikan hak penyewaan franchise berhak menentukan isi dan substansi daripada kontrak. Pihak penyewa franchise yang tidak keberatan dengan substansi kontrak boleh saja mengikatkan diri sesuai isi kontrak. Namun bila keberatan, pihak penyewa dapat saja meminta kepada pihak

franchisor untuk meninjau kembali substansi daripada kontrak. Jika pihak

franchisor keberatan untuk mengubah kembali substansi kontrak, maka bagi pihak penyewa diberikan pilihan untuk menerima atau menolak.

Pada kegiatan franchise yang semakin merebak di sendi-sendi perekonomian masyarakat Indonesia pada masa sekarang ini, seyogyanya pihak

franchisor memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pihak franchise. Hal ini dapat ditinjau dari hal di mana pihak franchisor dapat menyewakan franchisenya kepada berbagai pihak yang tertarik untuk bergabung, namun pihak penyewa dilarang untuk menyewakan franchise tersebut kepada pihak lain. Selain itu, pihak franchisor juga memiliki kelebihan dalam hal memutuskan sebuah kontrak franchise.

Mengenai kelebihan franchisor, juga dapat ditinjau dari isi suatu kontrak

franchise di mana pihak franchisor juga memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan isi kontrak franchise. Oleh karena itu, agar dalam sebuah perjanjian kontrak franchise tidak terlalu merugikan pihak penyewa, maka berdasarkan


(47)

ketentuan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba maupun Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, disebutkan bahwa dalam sebuah kontrak franchise harus dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini adalah sebuah konsekuensi logis tentang adanya kewajiban untuk mendaftarkan kontrak

franchise. Selain itu penulis juga pernah mengutip ketentuan Pasal 3 Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba, pada pembahasan sebelumnya mengenai kewajiban franchisor untuk melakukan penyingkapan (disclosure) terhadap berbagai aspek yang bersifat material, yang dapat mempengaruhi keputusan franchise sebagai penerima waralaba untuk menolak atau menerima persyaratan yang akan dituangkan dalam suatu kontrak franchise (franchisee Agreement). Kedua hal ini merupakan perlindungan awal yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia kepada pihak franchise agar tidak dirugikan oleh franchisor.

Selanjutnya dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, mengatur jangka waktu kontrak franchise yang berlaku sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, telah memberikan perlindungan hukum kepada franchise sebagai penerima waralaba, karena dengan demikian pihak franchisor tidak dapat memutuskan sebuah kontrak

franchise dengan pemikiran “at any time” sesuka hatinya. Dengan perkataan lain, dengan adanya ketentuan Pasal 8 tersebut, dilarang dibuat sebuah kontrak yang bersifat “at will”, kapan saja dapat diputuskan. Hal ini sebagai sebuah upaya yang


(48)

dapat dilakukan untuk mencegah franchisor memanfaatkan franchise hanya sekadar utuk menguji pasar, namun juga harus dicermati bahwa klausula-klausula tentang pemutusan konrak yang biasanya tunduk pada penilaian franchisor.

Pasal 11 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, disebutkan bahwa pihak penerima franchise

wajib mendaftarkan kontrak franchise beserta keterangan tertulis kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk memperoleh Surat Tanda Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW). Pasal 14 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977, juga menyebutkan bahwa jika franchisor memutuskan kontrak sebelum berakhirnya masa kontrak dan kemudian berniat untuk melakukan perikatan konrak baru dengan pihak perusahaan lain, maka penerbitan STPUW bagi pihak

franchise yang baru hanya akan diberikan jika pihak franchisor telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan kontrak tersebut dengan pihak franchise yang lama. Dengan demikian jika ada tuntutan ganti rugi dari franchise yang diajukan kepada franchisor, maka ganti rugi itu harus dibayarkan terlebih dahulu, sebelum franchisor dapat menunjuk pihak franchise yang baru.

Tidak tertutup kemungkinan sengketa pemutusan kontrak dan ganti rugi ini akan dilanjutkan di depan forum pengadilan. Jika demikian halnya, maka harus menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap yang harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Sebenarnya tidak semua sengketa pemutusan kontrak


(49)

Seharusnya pengadilan merupakan jalur terakhir yang akan ditempuh oleh para pihak yang bersengketa jika segala daya dan upaya penyelesaian sengketa telah dijalani, namun ternyata masih tidak terdapat kata kesesuaian antara kedua belah pihak, barulah ditempuh jalur pengadilan.

Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa56

1. Konsultasi

, disebutkan bahwa selain jalur pengadilan, para pihak dapat menyelesaikan sengketa perdata melalui jalur di luar pengadilan, yakni arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, seperti :

Tindakan penyelesaian sengketa bersifat personal antara pihak yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang disebut dengan konsultan. Pihak konsultan hanya memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya, selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa akan diambil sendiri oleh para pihak yang bersengketa.

2. Negosiasi

Persetujuan antara kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan atau menahan suatu barang sehingga mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.

3. Mediasi

Kesepakatan antara para pihak yang bersengketa atau beda pendapat dengan diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli atau melalui seorang mediator.

56

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal.2-3


(50)

4. Konsiliasi

Suatu tindakan atau proses yang dilakukan para pihak untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan dan mencegah dilaksanakannya proses litigasi

(peradilan). 5. Penilaian ahli.

Opini atau pendapat hukum dari para ahli hukum atas permintaan dari setiap pihak yang memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian57

C. Pemutusan Kontrak secara Sepihak oleh Franchisor akibat Kondisi Pasar

.

Franchisor menawarkan produknya untuk dipasarkan oleh franchise

dengan tujuan untuk memperluas pasar tanpa perlu membuka dan mengoperasikan sendiri tempat usaha dan dengan demikian menghemat biaya investasi. Permasalahan timbul jika franchisor menyadari kenyataan bahwa setelah kontrak franchise berjalan, ternyata jumlah permintaan atas produk barang atau jasa terhadap franchise menurun. Dapatkah kondisi ini dijadikan sebagai alasan untuk memutuskan kontrak dengan franchise? Dan karena alasan ini bersifat ekonomis, dapatkah kondisi ini diklasifikasikan sebagai good cause?

Pihak franchisor di dalam memutuskan sebuah kontrak franchise dengan pihak franchise seharusnya memberlakukan good cause requirement sebagai syarat utama dalam pemutusan kontrak franchise. Menurut Illionois Franchisee

57 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani,

Hukum Arbitrase, PT.Raja Grafindo Persada,


(51)

Disclosure Act, disebutkan beberapa hal yang dapat diklasifikasikan sebagai good cause dalam sebuah pemutusan kontrak58

a. Pihak franchise melanggar perjanjian, dan setelah diperingatkan dan diberi kesempatan untuk memenuhi perjanjian, namun tidak melakukannya dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari.

, yakni antara lain :

b. Franchise telah mengalihkan aset perusahaan kepada kreditur atau pihak ketiga.

c. Franchise meninggalkan dan menelantarkan tempat usaha.

d. Franchise dihukum karena terlibat kejahatan yang merugikan merek dan nama perusahaan franchisor.

e. Franchise berkali-kali melanggar perjanjian.

Dalam situasi yang telah disebutkan tadi, terutama dalam butir kedua sampai butir kelima, maka pihak franchisor dapat memutuskan sebuah kontrak tanpa perlu untuk memperingatkan dan memberi kesempatan kepada pihak

franchise untuk melaksanakan perjanjian dalam jangka waktu tiga puluh hari. Jika pihak franchisor memutuskan sebuah kontrak tanpa adanya good cause, maka

franchise dapat meminta pembayaran ganti rugi sejumlah uang atau tetap melaksanakan perjanjian sesuai dengan kontrak.

Pemutusan kontrak franchise akibat kondisi pasar, yang lebih bersifat ekonomis tentu saja bukan merupakan salah satu bagian dari good cause, jika bukan good cause, apakah kondisi ini dapat dijadikan sebagai alasan untuk memutuskan sebuah kontrak? Untuk mengetahui jawabannya, ada baiknya jika kita melihat dua pandangan dari para ahli franchise mengenai kondisi ini.

58


(52)

Dalam menafsirkan pengertian good cause sebagai dasar pemutusan kontrak franchise dan menganalisa hubungan antara franchisor dengan franchise, timbul dua pandangan mengenai alasan ekonomis yang dijadikan sebagai pemutusan kontrak59

1. Aliran Protecsionist

, yakni :

Menurut pandangan ini, alasan yang bersifat ekonomis tidak dapat dijadikan sebagai dasar dalam memutuskan sebuah kontrak franchise. Peraturan perundang-undangan franchise yang berlaku di Indonesia pada dasarnya hanya mengakui pemutusan kontrak yang bersifat good cause, kemudian peraturan-peraturan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan franchise dari keserakahan franchisor. Jika alasan ekonomis dibenarkan sebagai dasar pemutusan kontrak, maka peraturan perundang-undangan tersebut akan kehilangan maknanya (meaningless) dan membiarkan franchisor bertindak tidak adil.

2. Aliran Law and Economics

Menurut pendapat law and economics, kontrak yang efisien adalah kontrak yang dapat mengurangi biaya. Melalui franchising, franchisor dapat mendistribusikan dan memperkenalkan nama produknya dalam wilayah yang luas tanpa perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk membuka outlet sendiri.

Franchise dapat menjalankan usaha yang sudah mapan dan memperoleh kesempatan mendapatkan keuntungan dari reputasi yang dimiliki oleh franchisor. Dapat dikatakan kedua belah pihak telah mendapatkan keuntungan masing-masing akibat kontrak franchise tersebut.

59


(53)

Jika suatu saat terjadi kondisi penurunan jumlah permintaan atas sebuah produk dan jasa, maka franchisor akan memberikan kesempatan kepada pihak franchise untuk memperbaiki kualitas produk atau jasanya dalam jangka waktu tertentu, misalnya : 30 hari. Ternyata selama jangka masa tersebut, pihak

franchise tidak mampu untuk memperbaiki kualitas produk barang dan jasa, malah memberikan kesan buruk pada nama merek dagang, maka pihak franchisor

dapat memutuskan kontrak franchise dengan alasan yang bersifat ekonomis dan bukan alasan good cause.

Franchisor dalam menjalankan usahanya tentu saja berusaha agar barang dan jasanya dapat mencapai tahapan economic efficiency, maka sumber penghasilan (resources) harus dialokasikan pada nilainya yang tertinggi. Mekanisme pasar akan berjalan menuju efisiensi dan perjanjian dipandang sebagai sarana atau fasilitas untuk mencapai efisiensi dan keuntungan. Oleh karena itu, jika ternyata ada pihak ketiga yang lebih terjamin dan lebih berhasil dalam memasarkan produk yang bersangkutan, maka sudah seharusnya franchisor

memutuskan perjanjian dengan franchise dan mengalihkan kontraknya kepada pihak ketiga dengan membayar ganti rugi kepada franchise.

Perjanjian yang baru dipandang lebih efisien karena lebih menguntungkan dan meningkatkan nilai produk yang dipasarkan. Meskipun franchisor melanggar kontrak, namun hukum harus tetap mendukung pemutusan kontrak dengan alasan ekonomis, dan tentunya franchisor akan membayar ganti rugi kepada pihak

franchise60

60

Jeffrey L.Harrison, Law and Economics, West Publishing Company, Minnesota, 1995. Hal.126


(1)

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Saya panjatkan bagi-Mu ya Tuhan atas segala berkah dan Kuasa-Mu kepada Saya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Saya bersyukur karena atas berkat kuasa-Mu Saya dapat meneliti dan mengkaji skripsi dengan judul Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Hukum Bagi Franchise

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, Saya ingin mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini, antara lain :

1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan bimbingan yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Muhammad Husni, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara , dan sebagai Dosen Pembimbing II, atas segala bimbingan, pengetahuan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.


(2)

5. Dr.Hasim Purba,SH,M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, atas segala bimbingan, pengetahuan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Prof. Dr.H. Tan Kamello,SH,MS, selaku Dosen Pembimbing I, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sejak masa perkuliahan sampai masa selesainya skripsi ini.

7. Puspa Melati, SH, M.Hum, selaku Ketua Program Kekhususan Hukum Dagang dan, atas segala bimbingan dan arahan yang diberikan kepada penulis sejak masa perkuliahan .

8. Seluruh dosen-dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, dengan segala kerendahan hati dan tidak mengurangi rasa hormat bagi beliau-beliau atas jasa dan bimbingannya kepada penulis selama masa perkuliahan.

9. Orang tuaku M.P Simanjuntak (Pak tombuk sayang), dan D.Meliala (krondeku sayang), yang selalu memberi doa, kasih sayang, dan dukungan untuk selalu semangat menyelesaikan penulisan ini. Apapun kalian lakukan untuk memberi yang terbaik buatku, dan aku akan lakukan hal yang sama . Aku sayang kalian

 .

10.Kakak aku tercinta , kak Ina , kak Eka , kak Ica , dan adikku tersayang Selly dan Ibre , yang selalu mencintaiku dengan tulus , selalu memberi doa dan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. Aku Percaya kita akan berkumpul bersama lagi . I miss u so sista . I love u all .


(3)

11.Yang kusayang dan kucinta Amirul , Nina , Winda , Bebey , Ryan , Dinda , yang selalu memberi semangat tanpa hentinya , dan pastinya selalu ada untuk membantu menyelesaikan skripsi ini , dan teman-teman seatapku , bg Mico , Firman , bg Mus , Joseph , yang selalu memberi semangat dan hiburan . Makasi buat kalian semua  .

Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan masyarakat pada umumnya. Penulis menyadari bahwa dalam suatu penulisan skripsi tidak ada yang mungkin sempurana. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima saran dan kritik dalam penulisan skripsi ini agar dapat diperbaiki di kemudian hari. Atas segala perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, Februari 2011 Hormat Penulis,


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

DAFTAR ISI ………. iii

ABSTRAK………. v

BAB I : PENDAHULUAN……… 1

A. Latar Belakang………. 1

B. Perumusan Masalah……….. 4

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian………… 5

D. Keaslian Penelitian………... 6

E. Tinjauan Kepustakaan……….. 6

F. Metode Penelitian………. 7

G. Sistematika Penulisan……….. 8

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG FRANCHISE…… 11

A. Pengertian Franchise……… 11

B. Sejarah Franchise………. 16

C. Penggolongan Franchise……….. 20

D. Subyek dan Obyek Franchise……….. 27

E. Perkembangan Franchise di Indonesia……… 29

BAB III : TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN KONTRAK FRANCHISE………. 33

A. Pengertian Perlindungan Hukum……….. 33

B. Peraturan yang Mengatur tentang Franchise………. 34

C. Latar Belakang Timbulnya Kontrak Franchise…… 38

D. Pengertian Kontrak Franchise……….. 42 E. Ruang Lingkup Pengaturan Perjanjian Franchise… 47


(5)

F. Bentuk dan Substansi Kontrak Franchise………… 58

G. Hak dan Kewajiban Franchisor dengan Franchise… 59 H. Jangka Waktu Berlakunya Kontrak Franchise……. 68

BAB IV : TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI FRANCHISE MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 16 TAHUN 1997……….. 71

A. Pengertian Hak dan Kewajiban yang Tidak Seimbang……… 71

B. Kedudukan Pihak Franchisor lebih Tinggi Secara Ekonomi Daripada Franchise……… 73

C. Pemutusan Kontrak Secara Sepihak Oleh Franchisor Akibat Kondisi Pasar……….. 77

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN………. 83

A. Kesimpulan……… 83

B. Saran……….. 85

DAFTAR PUSTAKA……… 86


(6)

ABSTRAK

Franchise merupakan suatu bisnis yang sangat menjanjikan pada saat sekarang ini. Perkembangan franchise saat sekarang ini telah melewati angka 24.000 franchise, baik local maupun yang internasional. Perkembangan franchise ternyata membawa permasalahan baru dalam khasanah hukum di Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya masalah yang timbul sehubungan dengan kontrak franchise ini. Hal inilah yang membuat penulis tertarik dan mengkaji hal tersebut dalam suatu karya ilmiah. Permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah mengenai perlindungan franchise di Indonesia menurut Undang-Undang RI Nomor 16 Tahun 1997 dan permasalahan selanjutnya adalah mengkaji alasan-alasan pemutusan kontrak franchise.

Pada penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian yang bersifat analisis deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data adalah dengan metode studi kepustakaan yakni mengkaji buku-buku, peraturan perundang-undangan nasional dan literatur-literatur yang terkait dengan permasalahan. Data yang terkumpul akan dibagi menjadi 3 bagian yaitu : bahan hokum primer, skunder dan tersier.

Hasil penulisan skripsi ini adalah pemerintah telah memberikan perlindungan hukum kepada para penyewa franchise dengan menerbitkan beberapa peraturan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259/MPP/KEP/7/1977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba. Selain itu pemutusan kontrak akibat kondisi pasar diperbolehkan oleh hukum Indonesia karena kondisi pasar digolongkan menjadi alasan ekonomis.


Dokumen yang terkait

Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah No 33 Tahun 2012 tentang Pemberian ASI Eksklusif di Klinik/Bidan Bersalin Kota Medan Tahun 2015

6 148 153

Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu Pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Polonia

1 45 46

Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Dan Penerimaan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 4 Ayat 2pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

14 149 189

Prosedur Pemilihan Kepala Desa Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 (Studi Desa Kutambaru Kecamatan Munthe Kabupaten Karo)

1 67 82

Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan ( Studi Pada Kantor Walikota Medan)

26 173 113

Implikasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Terhadap Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Gayo Lues

1 41 135

Peranan Program Rekapitalisasi Terhadap Perbankan Ditinjau Dari Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 1998

6 58 93

Faktor – Faktor Pendukung Keberhasilan Penerapan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2005 Pada Pemerintahan Kabupaten Labuhan Batu

1 32 103

Pengaruh Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajb Pajak Yang Memiliki Predaran Bruto Tertentu Terhadap Penerimaan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

3 57 83

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP EFEKTIFITAS PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 24 TAHUN 1997 TENTANG PENDAFTARAN TANAH DI KABUAPTEN MAJALENGKA

0 0 12