Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan ( Studi Pada Kantor Walikota Medan)

(1)

ANALISIS IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KOTA

MEDAN

(Studi Pada Kantor Walikota Medan)

SKRIPSI

Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Pada Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Disusun Oleh

ONY YUSNIDAR PAKPAHAN 060903059

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

Halaman Persetujuan

Skripsi ini disetujui untuk diperbanyak dan dipertahankan oleh: Nama : Ony Yusnidar Pakpahan

NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan

(Studi Pada Kantor Walikota Medan)

Medan, April 2010

Dosen Pembimbing Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara

Drs. Robinson Sembiring, Msi Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA NIP. 131 763 360 NIP. 131 568 391

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Prof. Dr. M. Arif Nasution, MA NIP. 131 757 010


(3)

HALAMAN PENGESAHAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

Skripsi ini telah dipertahankan di depan Panitia Penguji Skripsi Departemen Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara oleh:

Nama : Ony Yusnidar Pakpahan NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Judul : Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan

( Studi Pada Kantor Walikota Medan)

Yang dilaksanakan pada: Hari : Kamis

Tanggal : 15 April 2010 Waktu : 10.00 WIB

Ketua : Dra. Beti Nasution, M.Si (……….) Anggota I : Prof. Dr. Erika Revida, M.Si (……….) Anggota II : Drs. Robinson Sembiring, M.Si (……….)


(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria, karena hanya berkat, kuasa dan rahmat-Nya maka pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun skripsi ini yang berjudul “Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Selama menyusun skripsi ini, penulis mendapat banyak bantuan, bimbingan, dorongan dan saran-saran dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Orangtuaku Esron Pakpahan, Amd dan Mawar Sianturi, kalian telah berhasil menjadi tuhan yang nyata bagi kami. Terimakasih Tuhan buat keberadaan mereka bagi kami

2. Bapak Prof. DR. M. Arif Nasution, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Bapak Prof. Dr. Marlon Sihombing, MA selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara.

4. Bapak Drs. Robinson Sembiring, MSi selaku Dosen Pembimbing.

5. Ibu Prof. Dr. Erika Revida, MSi selaku Dosen Penguji yang telah memberi banyak masukan ketika penulis seminar proposal.

6. Kak Mega yang selalu baik melayani administrasi anak-anak AN. 7. Kak Dian yang baik dan ramah di loket pendidikan AN.

8. Seluruh pegawai Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

9. Seluruh pegawai di Kantor Walikota Medan yang telah membantu dan membimbing penulis dan bersedia untuk diwawancarai dan memberikan data-data yang dibutuhkan selama penelitian.


(5)

10.Orangtua angkatku Marojahan Silaen, S.Pd. dan Dra. Romito T A L. Tobing, MSi, MM, terima kasih buat semuanya selama ini. Semoga Tuhan memberkati kalian.

11.Adik-adikku, ada Vee (sang penyuluh kesehatan...he…he...he... Sekalian deh buat Andru Kosti alias Cendung juga yang udah baik hati beli makan malam), Icha (calon dokter ni yee...Amin), Boy (calon arsitek, fotografer atau polisi?), Sari (Hmm…dokter, guru atau suster?), Tati (Mbak pemborong rumah…tipe Balmorth..hi…hi…hi..) and Little girl Usi (Si tiop hepeng songon si Kartolo kwkwkwkw…). Semoga kita bisa mencapai cita-cita kita masing-masing! Tak lupa juga sama Ivo (mudah-mudahan masih punya wortel, jadi jusku gak pake 2 wortel doang…he...he...he…), Sarma (Poni Pisa miringnya keren benget koq Karen…ha…ha…ha…). Hmm…siapa lagi ya? Oh iya…ada adik-adik Katolik AN’07 dan AN’08 juga… Maaf ya Dek, gak ada regenerasi secara resmi… Mudah-mudahan kalian berkenan melanjutkan hidup KMK St. Don Bosco kita itu.

12.Kawan, sahabat dan juga saudara nemu di AN’06 ada Juliyanti 060903005 (Aura eksekutif sekaligus sainganku lama nikah…), Yulia 060903008 (Mbakyulianer si Bendahara Magang yang hobby nyanyi di Topi Tao), Butet 060903010 (Wuih…satu kos awak nan menyebalkan tapi ngangenin ini, cepet dapat jodoh ya!), Dina 060903023 (Temen awak mengkhayal paling yahuud…Mau jadi Caleg, bisnis, mobil, rumah…semuanya klop), Martha 060903033 (Ah…kawan awak seperjuangan Misa ke Mansyur ini bah! Sekaligus pengacara and klien asmaraku… he…he…), Elida 060903065 (Teman seperjuangan di IMDIAN yang super duper pintar debat sama kaum pemikir…ha..ha…ha…, akur sekali-kali klen Dong), trus NIM yang paling bawah ada Juni 060903077 (Teng nanti kebaya seragam kami warna putih aja ya! Biar sama kayak yang dipakai pengantinnya. Gak kebayang nanti apa kata orang mempelai wanita Black ada 8 orang..kwkwkwkw).

13.Ada kelompok 6 magang Samosir: Junaedi (Makasih teh susunya ya Ned. Tahun depan kami datang ke seminarmu koq!), Rolla (Mbulang awak nan suka sewot dan alergi dingin. Aku tunggu kabar suksesmu di akuntan ya


(6)

Lang!!), Joan (Kita saingan jadi calon Bupati Pakpak atau kita koalisi jadi calon Bupati dan Wakil Bupati aja Joan?) dan Julian (mujur ya Julian…). 14.Ada anak KP ‘06 yang sudah susah payah cari senior cadangan buat

memenuhi jumlah kelas sebanyak 10 orang demi tercapainya kelas KP impian… Ada penulis sendiri Ony Yusnidar Pakpahan, Butet Dewi Sitompul, Sonasa Gulo, Esry Marliza, Hariono, Rickhy Bajora, Arbaiyah, dan Ulfa Maulida. Wahai kawan-kawan…ternyata KP junior sudah rame sekarang! Ha..ha..ha..tidak sia-sia kita pilih KP ya!

15.Ada anak Administrasi Negara 2006, yang telah bersama-sama dengan penulis selama kurang lebih empat tahun ini di FISIP USU. Sukses buat kita semua ya kawan-kawan awak!

16.Kawan nemu juga dari ISTP, Base Man’s Architect ada Bang Syamsuri yang hobby nongkrong di my facebook, Bang Citra si tangan telaten ahli minimalis, Bang Rizal Daniel ito awak dan the last and the most wanted Herson Edi Guntar, ST (Aku rapuh tanpamu genk! Hiks…)

1. I give special thanks also to Larry (Lazzaindo), who give me a nice Sunday on 28th March alias a palmistry false (I get job in Aussie, I will get two kids, and I will be marry with an Australian any month soon! Hmm…you need learn palmistry anymore boy!) and also in other wise called a handsome vampire (Ho..ho..ho.. I’m not sure your teeth will be fine if you bite me! Ha..ha..ha.. Don’t be silly if dentist want you eat porridge all the time!). Sounds this story will be really continue 3rd or 6th month hence. Wish we will!

17.Terakhir kawan campur-campur nih… Bang Panda, S.Sos (Makasih banyak ya Bang udah motivasi Ony selama ini. Mudah-mudahan dapat kerja bagus di Medan), Bang Kriston Pakpahan, S.Sos (Dari dulu ampe sekarang daku tetap jadi junior Abang nih!), Kawan dan sahabat lamaku Susiana Situmeang UNSRI (Trimakasih buat persahatan kita yang sudah agak tua ini, tak terasa kita udah sahabatan 10 tahun nih!), Paulus (Terimakasih sudah menjadikanku menjadi serpihan indah dalam hidupmu. Sukses untukmu ya!), Mamre Kos terkhusus buat anak bawah dan juga Princy Sianipar deh


(7)

(Sukses ya Cy..!), anggota IMDIAN dan semua kawan-kawan yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Terimakasih buat kalian ya!

Penulis sadar bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Baik itu dalam penulisan kata, penyusunan kalimat dan juga tidak menutup kemungkinan dalam penyajian data. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih. Semoga skripsi ini berguna bagi kita semua.

Penulis


(8)

DAFTAR ISI

Kata Pengantar………...………....…..……...i

Daftar Isi.………...……….………...…....v

Daftar Tabel……….vii

Daftar Gambar………viii

Abstrak………..………..………….ix

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang…..…………..……….………….……….…1

B. Rumusan Masalah..………...……….…………...7

C. Tujuan Penelitian……….……..……….……….………..8

D. Manfaat Penelitian………..….……….………...8

E. Kerangka Teori…..………..………..8

1. Kebijakan Publik………....……….…………....8

2. Perampingan Organisasi………...……….………...26

3. Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah.………..….….………...29

4. Dua Indikator Kinerja Kunci……..………...33

F. Defenisi Konsep……….……….…………35

G. Defenisi Operasional………...…….……….…..37

BAB II METODE PENELITIAN………...40

A. Metode Penelitian………..…….……….40

B. Lokasi Penelitian………..…….………..40

C. Informan Penelitian………..………...41

D. Teknik Pengumpulan Data………...……...42


(9)

BAB III DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN……….…44

A. Gambaran Umum Pemerintah Kota Medan……….……...44

B. Gambaran tentang Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan………….54

C. Gambaran tentang Badan Kepegawaian Daerah Kota Medan…………...58

D. Gambaran tentang BAPPEDA Kota Medan………..61

E. Gambaran tentang DPRD Kota Medan………..63

F. Problematika Implementasi PP No.84 Tahun 2000 dan PP No.08 Tahun 2003 tentang Organisasi Perangkat Daerah………..64

G. Gambaran Umum PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah……….68

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS DATA……….71

A. Interpretasi Pemko Medan terhadap PP no.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah………...……..71

B. Implementasi Kebijakan PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah……….77

C. Keberhasilan Mengevaluasi Masalah dan Keputusan yang Bersifat Khusus…...………..85

D. Rasio Struktur Jabatan Eselonering……….87

BAB V PENUTUP………..92

A. Kesimpulan……….…….92

B. Saran ………...95 DAFTAR PUSTAKA


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pedoman Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah

Kota…….………33

Tabel 2. Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemerintah Kota Medan tahun 2008..………….………..34

Tabel 3. Lanjutan Tabel Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemerintah Kota Medan tahun 2008………..……….35

Tabel 4. Penetapan Variavel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan tahun 2008……….73

Tabel 5. Jabatan Struktural Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan menurut PP No. 84 Tahun 2000……….82

Tabel 6. Jabatan Struktural Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan menurut PP No. 41 Tahun 2007………83

Tabel 7. Jumlah Jabatan Struktural Sekretariat di Kota Medan sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007……….88

Tabel 8. Jumlah Jabatan Struktural Dinas-dinas Daerah Kota Medan sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007………...88

Tabel 9. Jumlah Jabatan Struktural Lembaga Teknis Daerah Berbentuk Badan di Kota Medan………89

Tabel 10. Jumlah Jabatan Struktural Lembaga Teknis Daerah Berbentuk Kantor di Kota Medan………89

Tabel 11. Jumlah Kecamatan dan Kelurahan di Kota Medan………90

Tabel 12. Jabatan Fungsional di Kota Medan………90


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan menurut PP No.84 Tahun 2000………....6 Gambar 2. Struktur Jabatan Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan………...54 Gambar 3. Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan menurut PP No. 41


(12)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TANTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KOTA MEDAN Nama : Ony Yusnidar Pakpahan

NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Dosen Pembimbing : Drs. Robinson Sembiring, M.Si

Birokrasi kerapsekali dilanda berbagai patologi birokrasi yang sangat polemik. Adapun salah satu penyakit yang menjamur hingga saat ini yaitu penyakit parkinsonian, yaitu penyakit birokrasi dimana struktur birokrasi semakin membesar tanpa terkendali dengan tugas dan fungsi yang sedikit. Dalam perwujudan sebuah organisasi yang efektif dan efisien seperti menuju good governance yang diidam-idamkan oleh semua pihak selama ini, pemerintah melakukan perbaikan di tubuh birokrasi dengan beberapa cara. Salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi patologi parkinsonian birokrasi tersebut adalah dengan restrukturisasi. Restrukturisasi ini dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk melihat sejauh mana PP No. 41 tahun 2007 tersebut membantu birokrasi melakukan restrukturisasi, maka penulis memilih Pemerintah Kota Medan sebagai subjek penelitian.

Untuk memperoleh deskriptif tentang implementasi PP No. 41 Tahun 2007 ini di Kota Medan, maka penulis melakukan penelitian di Kantor Walikota Medan. Melakukan wawancara mendalam dan focus discussion group (FGD) dengan para informan yang berada di Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan, Bagian Kepegwaian Daerah, Bappeda dan juga dengan pengamat politik.

Untuk memudahkan penulis menjabarkan tentang implementasi dari PP No. 41 Tahun 2007 ini, maka penulis melakukan analisa data implementasi dengan menggunakan model implementasi Meter dan Horn. Dimana dalam implementasi sebuah kebijakan yang berasal dari pemerintah maka ada beberapa hal yang perlu dilihat yaitu badan yang terstruktur sebagai eksekutor kebijakan, standar kebijakan yang merupakan rincian tujuan dari kebijakan tersebut, sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, komunikasi inter organisasi, karakteristik pelaksanaan, kondisi sosial ekonomi, dan sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan banyak yang berubah. Sebelumnya dinas yang terdiri dari 21 sekarang menjadi 18 dinas, selain itu banyaknya struktur yang kemudian dihapuskan membuat Pemerintah kota Medan harus menonjobkan pejabatnya. Walaupun pada dasarnya tujuan PP No.41 Tahun 2007 untuk mewujudkan struktur yang ramping di Kota Medan telah tercapai, namun masih saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Yaitu permasalahan birokrasi bukan hanya berasal dari struktur saja, masih ada beberapa patologi lain seperti penyediaan SDM yang berkualitas dengan demikian pengharusan akan pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 di seluruh Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.


(13)

ABSTRAK

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TANTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KOTA MEDAN Nama : Ony Yusnidar Pakpahan

NIM : 060903059

Departemen : Ilmu Administrasi Negara Dosen Pembimbing : Drs. Robinson Sembiring, M.Si

Birokrasi kerapsekali dilanda berbagai patologi birokrasi yang sangat polemik. Adapun salah satu penyakit yang menjamur hingga saat ini yaitu penyakit parkinsonian, yaitu penyakit birokrasi dimana struktur birokrasi semakin membesar tanpa terkendali dengan tugas dan fungsi yang sedikit. Dalam perwujudan sebuah organisasi yang efektif dan efisien seperti menuju good governance yang diidam-idamkan oleh semua pihak selama ini, pemerintah melakukan perbaikan di tubuh birokrasi dengan beberapa cara. Salah satu cara yang digunakan untuk mengatasi patologi parkinsonian birokrasi tersebut adalah dengan restrukturisasi. Restrukturisasi ini dilakukan dengan dikeluarkannya PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Untuk melihat sejauh mana PP No. 41 tahun 2007 tersebut membantu birokrasi melakukan restrukturisasi, maka penulis memilih Pemerintah Kota Medan sebagai subjek penelitian.

Untuk memperoleh deskriptif tentang implementasi PP No. 41 Tahun 2007 ini di Kota Medan, maka penulis melakukan penelitian di Kantor Walikota Medan. Melakukan wawancara mendalam dan focus discussion group (FGD) dengan para informan yang berada di Bagian Organisasi dan Tatalaksana Kota Medan, Bagian Kepegwaian Daerah, Bappeda dan juga dengan pengamat politik.

Untuk memudahkan penulis menjabarkan tentang implementasi dari PP No. 41 Tahun 2007 ini, maka penulis melakukan analisa data implementasi dengan menggunakan model implementasi Meter dan Horn. Dimana dalam implementasi sebuah kebijakan yang berasal dari pemerintah maka ada beberapa hal yang perlu dilihat yaitu badan yang terstruktur sebagai eksekutor kebijakan, standar kebijakan yang merupakan rincian tujuan dari kebijakan tersebut, sumber daya kebijakan berupa dana pendukung implementasi, komunikasi inter organisasi, karakteristik pelaksanaan, kondisi sosial ekonomi, dan sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan banyak yang berubah. Sebelumnya dinas yang terdiri dari 21 sekarang menjadi 18 dinas, selain itu banyaknya struktur yang kemudian dihapuskan membuat Pemerintah kota Medan harus menonjobkan pejabatnya. Walaupun pada dasarnya tujuan PP No.41 Tahun 2007 untuk mewujudkan struktur yang ramping di Kota Medan telah tercapai, namun masih saja ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah. Yaitu permasalahan birokrasi bukan hanya berasal dari struktur saja, masih ada beberapa patologi lain seperti penyediaan SDM yang berkualitas dengan demikian pengharusan akan pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 di seluruh Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.


(14)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Birokrasi di kebanyakan negara berkembang termasuk Indonesia cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif. Sebagaimana dijelaskan dalam beberapa hasil penelitian, bahwa birokrasi di Indonesia ada kecenderungan berkembang kearah “parkinsonian”, dimana terjadinya proses pertumbuhan jumlah personil dan pemekaran struktur dalam birokrasi secara tidak terkendali. Pemekaran yang terjadi bukan karena tuntutan fungsi, tetapi semata-mata untuk memenuhi tuntutan struktur. Disamping itu, terdapat pula kecenderungann terjadinya birokrasi “orwellian” yakni proses pertumbuhan kekuasaan birokrasi atas masyarakat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi dikendalikan oleh birokrasi. Akibatnya, birokrasi Indonesia semakin membesar (big bureaucracy) dan cenderung tidak efektif dan tidak efesien. Pada kondisi yang demikian, akan sangat sulit bagi birokrasi untuk siap dan mampu melaksanakan kewenangan-kewenangan barunya secara optimal.

Meskipun sudah menjadi gejala yang sangat umum, ternyata pada setiap konteks sistem budaya masyarakat, secara empirik birokrasi dan birokratisasi terlihat dalam pola perilaku yang beragam. Gejala demikian menunjukkan bahwa birokrasi dan birokratisasi tidak pernah tampil dalam bentuk idealnya. Beberapa alasan, mengapa


(15)

bentuk ideal birokrasi tidak nampak dalam praktek kerjanya antara lain: Pertama, manusia birokrasi tidak selalu berada (exist) hanya untuk organisasi. Kedua, birokrasi sendiri tidak kebal terhadap perubahan sosial. Ketiga, birokrasi dirancang untuk semua orang. Keempat, dalam kehidupan keseharian manusia birokrasi berbeda-beda dalam kecerdasan, kekuatan, pengabdian dan sebagainya, sehingga mereka tidak dapat saling dipertukarkan untuk peran dan fungsinya dalam kinerja organisasi birokrasi.

Ada kecenderungan bahwa beberapa indikator birokrasi lebih berjaya hidup di dunia barat daripada di dunia timur. Bagi masyarakat yang sedang berkembang tidak semua kemanfaatan birokrasi rasional dapat dipetik dan dirasakan. Apalagi birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy menyebutkan adanya keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya kualitas pelayanan yang diberikannya.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi dan


(16)

kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Melihat beberapa gejala tersebut ada beberapa hal yang perlu dilakukan birokrasi dalam mengubah sikap dan perilakunya antara lain : (a) birokrasi harus lebih mengutamakan sifat pendekatan tugas yang diarahkan pada hal pengayoman dan pelayanan masyarakat; dan menghindarkan kesan pendekatan kekuasaan dan kewenangan; (b) birokrasi perlu melakukan penyempurnaan organisasi yang bercirikan organisasi modern, ramping, efektif dan efesien yang mampu membedakan antara tugas-tugas yang perlu ditangani dan yang tidak perlu ditangani (termasuk membagi tugas-tugas yang dapat diserahkan kepada masyarakat); (c) birokrasi harus mampu dan mau melakukan perubahan sistem dan prosedur kerjanya yang lebih berorientasi pada ciri-ciri organisasi modern yakni : pelayanan cepat, tepat, akurat, terbuka dengan tetap mempertahankan kualitas, efesiensi biaya dan ketepatan waktu; (d) birokrasi harus memposisikan diri sebagai fasilitator pelayan publik dari pada sebagai agen pembaharu pembangunan; (e) birokrasi harus mampu dan mau melakukan transformasi diri dari birokrasi yang kinerjanya kaku (rigid) menjadi organisasi birokrasi yang strukturnya lebih desentralistis, inovatif, fleksibel dan responsif.

Dari pandangan ini, dapat dinyatakan bahwa organisasi birokrasi yang mampu memberikan pelayanan publik secara efektif dan efesien kepada masyarakat, salah satunya jika strukturnya lebih terdesentralisasi daripada tersentralisasi. Sebab, dengan struktur yang terdesentralisasi diharapkan akan lebih mudah mengantisipasi kebutuhan dan kepentingan yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga dengan cepat birokrasi dapat menyediakan pelayanannya sesuai yang diharapkan masyarakat pelanggannya.


(17)

Dengan pertimbangan tersebut maka Indonesia pun mulai merombak struktur organisasinya dari sentralisasi menjadi desentralisasi atau yang lebih sering kita sebut sebagai otonomi daerah. Dimulai dari diberlakukannya UU No.05 Tahun 1974, kemudian diikuti UU No.22 Tahun 1999 dan pada akhirnya UU No. 32 Tahun 2004 hal ini menunjukkan bahwa Indonesia secara-terus menerus mencari bentuk desentralisasi yang cocok untuk diterapkan di Indonesia.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 68 UU No. 22 Tahun 1999 ditetapkan bahwa susunan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) sesuai dengan pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah, yaitu PP No.84 Tahun 2000 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah.

Dalam peraturan pemerintah tersebut, organisasi perangkat daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan-pertimbangan:

a. Kewenangan pemerintahan yang dimiliki oleh daerah b. Kemampuan keuangan daerah

c. Ketersediaan sumber daya aparatur

d. Pengembangan pola kerjasama antardaerah dan atau dengan pihak ketiga. Perangkat daerah, adalah organisasi/ lembaga pada pemerintah daerah yang bertanggungjawab kepada kepala daerah dan membantu kepala daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan yang terdiri atas sekretariat daerah, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan, dan kelurahan sesuai dengan kebutuhan daerah.

Selanjutnya, organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan peraturan daerah (Perda) dengan menetapkan pembentukan, kedudukan, tugas pokok, fungsi, dan struktur organisasi perangkat daerah. Penjabaran tugas pokok dan fungsi perangkat daerah ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.


(18)

Penataan kelembagaan di lingkungan pemerintahan daerah harus benar-benar mempertimbangkan kebutuhan daerah yang bersangkutan dan berdasarkan PP No.84 Tahun 2000, jelas disebutkan bahwa nomenklatur, jenis dan jumlah unit organisasi di lingkungan pemerintah daerah ditetapkan oleh masing-masing pemerintah daerah berdasarkan kemampuan, kebutuhan, dan beban kerja.

Dengan demikian untuk menunjang penyelenggaraan kewenangan otonomi daerah berdasarkan UU serta dalam kaitannya dengan kebutuhan dan karakteristik daerah maka, Pemerintah Kota Medan pun menyusun kelembagaan daerahnya sebagai sarana untuk mempermudah pemerintah dalam memberikan pelayanan publik yang berkualitas. Adapun yang menjadi acuan Kota Medan dalam membentuk kelembagaan daerahnya yaitu Peraturan Walikota Medan No. 02 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Daerah Kota Medan dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Medan, dalam Perda tersebut terdapat apa yang menjadi tugas dan wewenang dari lembaga pemerintah daerah, dan dari Perda No. 02 Tahun 2001 tersebut lahirlah Perda No. 03 Tahun 2001 tentang organisasi dan tatalaksana tugas pemerintah daerah. Adapun peraturan walikota ini lahir sebagai operasional dari PP No. 84 Tahun 2000.

Dalam Perda tersebut disebutkan bahwa susunan perangkat daerah Pemerintah Kota Medan dapat dilihat pada gambar di bawah ini.


(19)

Gambar 1. Susunan Organisasi Perangkat Daerah Kota Medan

(Sumber: Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2001) Ket: Kemitraan

Komando Koordinasi

Setelah PP No. 41 Tahun 2007 ditetapkan oleh pemerintah, maka sebagai salah satu organisasi pemerintahan, struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan pun berubah. Dalam penataan organisasi perangkat daerah Kota Medan yang sesuai dengan PP No. 41 Tahun 2007, Pemerintah Kota Medan juga memakai Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 57 Tahun 2007, sebagai petunjuk teknis dalam penataan organisasi perangkat daerah. Kemudian berdasarkan analisa Pemerintah Kota Medan terhadap PP No. 41 Tahun 2007 dan juga sesuai petunjuk teknis pelaksanaan yang terdapat Permendagri No. 57 Tahun 2007 tersebut pemerintah pun merancang organisasi perangkat daerah Kota Medan yang tertuang dalam Perda No.03 Tahun 2009.

Sek. Daerah Walikota/ Wakil

Bagian Sek. DPRD

DPRD

21 Dinas Daerah

Bagian 4 Assisten

12 Lembaga Teknis 21 Camat


(20)

Namun yang menjadi permasalahan, dalam PP No. 41 Tahun 2007 disebutkan bahwa organisasi perangkat daerah harus sesuai dengan jumlah penduduk, luas wilayah, besar APBD dan juga kebutuhan daerah yang bersangkutan. Jadi saat ini perlu kita analisa kembali apakah struktur organisasi perangkat daerah Kota Medan pada saat ini yang sudah tercantum dalam Perda Kota Medan No. 03 Tahun 2009, sudah sesuai dengan struktur organisasi perangkat daerah seperti yang terdapat pada PP No.41 Tahun 2007.

Administrasi negara mempunyai suatu peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan negara dan oleh karenanya merupakan bagian dari proses politik. Berlakunya peraturan-peraturan ini tentu membutuhkan analisis yang pekerjaannya akan diselesaikan dalam bentuk penelitian nantinya. Analisa ini dipersempit dalam kajian Ilmu Administrasi Negara yang akan membedakannya dengan kajian analisa dalam Ilmu Hukum.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat keadaan tersebut ke dalam suatu masalah penelitian yang berjudul “Analisis Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Kota Medan”.

B. Rumusan Masalah

Arikunto menyatakan bahwa dalam suatu penelitian, agar dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka peneliti haruslah merumuskan masalah dengan jelas. Perumusan masalah juga diperlukan untuk mempermudah menginterpretasikan data dan fakta yang diperlukan dalam suatu penelitian.


(21)

Adapun yang menjadi perumusan masalah pada penelitian ini berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan di awal adalah : Bagaimanakah implementasi PP No. 41 Tahun 2007 di Kota Medan?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah : untuk menganalisis implementasi PP No. 41 Tahun 2007 di Kota Medan jika dilihat dari 2 indikator kinerja kunci pada tahun 2009.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara subyektif, sebagai suatu sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir ilmiah, sistematis dan metodologis penulis dalam menyusun berbagai kajian literature untuk menjadikan suatu wacana baru dalam memperkaya khazanah positif.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara langsung maupun tidak bagi kepustakaan departemen Ilmu Administrasi Negara dan bagi kalangan penulis lainnya yang tertarik untuk mengeksplorasi kembali kajian tentang analisis implementasi peraturan pemerintah.


(22)

E. Kerangka Teori 1. Kebijakan Publik

1.1Pengertian Kebijakan Publik

Chandler dan Plano (dalam Tangkilisan, 2003A:1) berpendapat bahwa kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya – sumberdaya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintah. Kebijakan tersebut telah banyak membantu para pelaksana pada tingkat birokrasi pemerintah maupun para politisi untuk memecahkan masalah-masalah publik. Kemudian kebijakan publik akan disebut sebagai suatu bentuk intervensi yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah demi kepentingan kelompok yang kurang beruntung dalam masyarakat agar mereka dapat hidup, dan ikut berpartisipasi dalam pembangunan secara luas.

Easton (dalam Tangkilisan, 2003A:2) menyatakan bahwa kebijakan publik merupakan pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Sehingga cukup pemerintah yang dapat melakukan sesuatu tindakan kepada masyarakat dan tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.

Anderson (dalam Tangkilisan, 2003A:2) memberikan definisi kebijakan publik sebagai kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3)


(23)

kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Sedangkan menurut Woll (dalam Tangkilisan, 2003A:2) kebijakan publik adalah sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang mempengaruhi kehidupan masyarakat.

Dalam buku H Soenarko (2003:41) O. Jones, mengemukakan pendapat H.Hugh Heclo bahwa kebijaksanaan adalah suatu arah kegiatan yang tertuju kepada tercapainya beberapa tujuan. Selanjutnya Heclo juga mengemukakan bahwa suatu kebijaksanaan akan lebih cocok dilihatnya sebagai suatu arah tindakan atau tidak dilakukannya tindakan, daripada sebagai sekedar suatu keputusan atau tindakan belaka.

James E Anderson (dalam Soenarko, 2003:42) mengemukakan defenisi kebijakan publik dari Robert Eyestone yaitu: kebijaksanaan pemerintah adalah hubungan suatu lembaga pemerintah terhadap lingkungannya.

Anderson juga menyampaikan defenisi yang diberikan oleh Carl J. Friedrich (dalam Soenarko, 2003:42) sebagai berikut: kebijaksanaan pemerintah adalah suatu arah tindakan yang diusulkan pada seseorang , golongan, atau pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan kesempatan-kesempatannya, yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut


(24)

di dalam rangka mencapai suatu cita-cita atau mewujudkan kehendak serta tujuan tertentu.

Dari defenisi-defenisi di atas maka penulis menyatakan pengetahuan pokok yang dapat dikembangkan lebih lanjut dan yang menjadi landasan teori dari penelitian ini. Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah, dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah : 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu atau mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah segala sesuatu masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

1.2Kategori Kebijakan Publik

Juhn B. Joynt (dalam Soenarko, 2003:61) mengatakan bahwa kebijaksanaan itu dapat berarti yang berbeda-beda untuk orang-orang yang berbeda. Udaha untuk mengadakan klasifikasi/ tingkat-tingkatan kebijaksanaan itu adalah seperti halnya membagi-bagi tingkatan suhu udara.

Menanggapi hal tersebut maka, A. Simon dalam buku H. Soenarko (2003:61) kemudian dapat membagi klasifikasi kebijakan itu menjadi 3 macam policy yaitu:


(25)

a. Legislative policy, yaitu kebijaksanaan yang dibuat landasan dan pegangan bagi pimpinan (management) dalam melaksanakan tugasnya, atau kebijaksanaan yang banyak mengandung norma-norma yang harus diselenggarakan oleh pimpinan tersebut. Oleh karena itu, kebijaksanaan ini lebih banyak memberikan ketentuan-ketentuan yang mengandung pemberian hak-hak, kewajiban, larangan-larangan dan keharusan-keharusan, dan lebih banyak dibuat oleh legislatif.

b. Management policy, merupakan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pimpinan pusat (top-management) atau pejabat-pejabat teras.

c. Working policy, yaitu kebijaksanaan lainnya yang dibuat untuk pelaksanaan (operation) dilapangan untuk tercapainya tujuan akhir yang tersimpul dari kebijaksanaan itu.

Berbeda dengan A Simon, Hudson (dalam Soenarko, 2003:62) menyoroti klasifikasi kebijakan publik dalam pemerintahan. Sehingga kebijakan publik itu dapat dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:

a. Over-all Policies, pada umumnya dibuat oleh Badan Legislatif atau presiden dengan berdasarkan UUD (constitution). Oleh karena itu, sifatnya adalah umum dan berlaku untuk seluruh wilayah negara.

b. Top management policies (kebijaksanaan pimpinan), yaitu merupakan kebijaksanaan yang biasanya dibuat oleh kepala-kepala jawatan atau dinas-dinas pelaksanaan “over-all policies” dengan menentukan cara-cara, prosedur dan sebagainya yang meliputi soal-soal yang strategis.

c. Divisional of bureau policies (kebijaksanaan pelaksanaan), merupakan ketentuan-ketentuan pelaksanaan yang dibuat pejabat yang langsung


(26)

bertanggungjawab tentang tercapainya tujuan program di dalam kegiatan operasionalnya.

Kebijaksanaan pemerintah di Indonesia, yang sesuai dengan azas hidup bangsa Indonesia, adalah merupakan kebijaksanaan pemerintah yang berlandaskan Pancasila. Kebijaksanaan ini, tidaklah hanya memperhatikan keinginan dan kehendak dari rakyat (sosio-democratis), akan tetapi juga haruslah mengacu pada kepentingan nasional seperti tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 (sosio-nasionalisme)

Adapun bentuk-bentuk Peraturan Perundangan Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah : UU/ Peraturan Pemerintah pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri selain itu, masih terdapat Peraturan-peraturan Daerah Tingkat I dan tingkat II serta Keputusan-keputusan gubernur, dan bupati/ walikota kepala daerah.

1.3Pengertian Implementasi Kebijakan Publik

Pada tahap ini suatu kebijakan telah dilaksanakan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintah) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen), dan pada tahap ini monitoring dapat dilakukan. Menurut Patton dan Sawicki dalam buku Tangkilisan (2003B:78) bahwa implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini eksekutif mengatur cara untuk mengorganisir, menginterpretasikan dan menerapkan kebijakan yang telah diseleksi. Sehingga dengan mengorganisir, seorang eksekutif mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit dan teknik yang dapat mendukung pelaksanaan


(27)

program, serta melakukan interpretasi terhadap perencanaan yang dibuat, dan petunjuk yang dapat diikuti dengan mudah bagi realisasi program yang dilaksanakan.

Jadi tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk out-put yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai suatu penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah. (Tangkilisan, 2003:9)

Menurut Nakamura dan Smallwood (dalam Tangkilisan, 2003B:78), hal-hal yang berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam keputusan yang bersifat khusus. Sedangkan menurut Pressman dan Wildavsky (dalam Tangkilisan, 2003B:79) implementasi diartikan sebagai interaksi antara penyusunan tujuan dengan sarana-sarana tindakan dalam mencapai tujuan tersebut, atau kemampuan untuk menghubungkan dalam hubungan kausal antara yang diinginkan dengan cara untuk mencapainya.

Jones (dalam Tangkilisan, 2003B:79) menyatakan kebijakan sebagai suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan. Dengan demikian implementasi mengatur kegiatan-kegiatan yang mengarah pada penempatan suatu program ke dalam tujuan kebijakan yang diinginkan.

Implementasi kebijakan merupakan rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi, suatu kebijakan yang dirumuskan


(28)

akan sia-sia belaka. Oleh karena itulah implementasi kebijakan mempunyai kedudukan yang penting di dalam kebijakan publik.

Dalam implementasi sebuah kebijakan dibutuhkan proses implementasi sebagai bahan persiapan dalam melaksanakan rumusan kebijakan yang telah ditetapkan. Menurut, Lineberry proses implementasi setidaknya memiliki elemen-elemen sebagai berikut: 1) pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana, 2) penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana (standard operating procedures/ SOP) 3) koordinasi berbagai sumber dan pengeluaran kepada kelompok sasaran; pembagian tugas di dalam dan diantara dinas-dinas/ badan pelaksana, 4) pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan.( Tangkilisan, 2003B:81)

Lain dengan Anderson (dalam Tangkilisan, 2003B:82) yang mengemukakan bahwa implementasi kebijakan dapat dilihat dari empat aspek yaitu; a. Siapa yang mengimplementasikan kebijakan, maksudnya yaitu bahwa

pelaksanaan suatu kebijakan tidak hanya terbatas pada jajaran birokrasi, tetapi juga melibatkan actor-aktor di luar birokrasi pemerintah, seperti organisasi kemasyarakatan, bahkan individu juga sebagai pelaksana kebijakan.

b. Hakekat dari proses administrasi. Untuk menghindari pertentangan atau perbedaan persepsi dalam pelaksanaan antar implementor (unit birokrasi maupun non birokrasi), proses administrasi harus selalu berpijak pada standar prosedur operasional (sebagai acuan pelaksanaannya).

c. Kepatuhan (kompliansi) kepada kebijakan, atau sering disebut sebagai perilaku taat hukum. Karena kebijakan selalu berdasarkan hukum atau peraturan tertentu, maka pelaksana kebijakan tersebut juga harus taat kepada hukum yang mengaturnya. Untuk menumbuhkan system kepatuhan dakam implementasi


(29)

kebijakan, memerlukan system kontrol dan komunikasi yang terbuka, serta penyediaan sumber daya untuk melakukan pekerjaan. Sedangkan untuk dapat mewujudkan implementasi yang efektif, Islamy menyebutnya dengan tindakan atau perbuatan manusia yang menjadi anggota masyarakat sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemerintah atau negara.

d. Efek atau dampak dari implementasi kebijakan. Menurut Islamy (1997:119) setiap kebijakan yang telah dibuat dan dilaksanakan akan membawa dampak tertentu terhadap kelompok sasaran, baik yang positif (intended) maupun yang negatif (unintended). Ini berarti bahwa konsep dampak menekankan pada apa yang terjadi secara actual pada kelompok yang ditargetkan dalam kebijakan. Jadi, dengan melihat konsekuensi dari dampak, maka dapat dijadikan sebagai salah satu tolok-ukur keberhasilan implementasi kebijakan dan juga dapat dijadikan sebagai masukan dalam proses perumusan kebijakan yang akan meningkatkan kualitas kebijakan tersebut.

1.4Model Implementasi Kebijakan Publik

Dalam rangka mengimplementasikan kebijakan publik ada ragam tindakan yang dapat dilakukan yaitu: a)dengan mengeluarkan dan menggunakan indikator, b)membelanjakan dana, c)memakai pinjaman, d)menghargai hibah, e)menandatangani kontrak, f)mengumpulkan data, g)mendistribusikan informasi, h)menganalisis berbagai masalah, i)mengalokasi dan merekrut personalia, j)menciptakan unit-unit organisasi, k)mengusulkan berbagai alternative, l)merencanakan atas masa depan, dan m)bernegosiasi dengan warga secara pribadi, bisnis, kelompok kepentingan, unit-unit birokrasi, komite legislative, dan bahkan negara lain. (Tangkilisan, 2003B:2)


(30)

Tangkilisan (2003A:20) dalam bukunya menyatakan bahwa dalam melaksanakan implementasi dikenal beberapa model antara lain:

a. Model Gogin, dalam model ini implementasi dilakukan dengan mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tujuan-tujuan formal pada keseluruhan implementasi yakni ; (1) Bentuk dan isi kebijakan, termasuk didalamnya kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi, (2) Kemampuan organisasi dengan segala sumber daya berupa dana maupun insentif lainnya yang akan mendukung implementasi secara efektif, (3) pengaruh lingkungan dari masyarakat dapat berupa katakteristik, motivasi, kecenderungan hubungan antara warga masyarakat, termasuk pola komunikasinya.

b. Model Grindle, menciptakan model implementasi sebagai kaitan antara tujuan kebijakan dan hasil-hasilnya, selanjutnya pada model ini hasil kebijakan yang dicapai akan dipengaruhi oleh isi kebijakan yang terdiri dari; (1) kepentingan-kepentingan yang dipengaruhi, (2) Tipe-tipe manfaat, (3) derajat perubahan yang diharapkan (4) letak pengambilan keputusan, (5) pelaksanaan program dan (6) sumber daya yang dilibatkan. isi sebuah kebijakan akan menunjukkan posisi pengambilan keputusan oleh sejumlah besar pengambilan kebijakan, sebaliknya ada kebijakan tertentu yang lainnya hanya ditentukan oleh sejumlah kecil 1 unit pengambil kebijakan. Pengaruh selanjutnya adalah lingkungan yang terdiri dari: (1) kekuasaan, kepentingan dan strategi actor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga penguasa dan, (3) kepatuhan dan daya tanggap.

c. Model Meter dan Horn, implementasi model ini dipengaruhi oleh 6 faktor yaitu : 1) standar kebijakan dan sasaran yang menjelaskan rincian tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh, 2) sumber daya kebijakan berupa dana pendukung


(31)

implementasi, 3) komunikasi inter organisasi dan kegiatan pengukuran digunakan oleh pelaksana untuk memakai tujuan yang hendak dicapai, 4) karakteristik pelaksanaan, artinya karakteristik organisasi merupakan faktor krusial yang akan menentukan berhasil tidaknya suatu program, 5) kondisi sosial ekonomi dan politik yang dapat mempengaruhi hasil kebijakan, dan 6) sikap pelaksanaan dalam memahami kebijakan yang akan ditetapkan.

d. Model Deskriptif, William N. Dunn mengemukakan bahwa model kebijakan dapat diperbandingkan dan dipertimbangkan menurut sejumlah banyak asumsi, yang paling penting diantaranya adalah; 1)perbedaan menurut tujuan, 2) bentuk penyajian dan 3) fungsi metodologis model. Dua bentuk pokok dari model kebijakan adalah (1) Model deskriptif, yaitu model yang menjelaskan dan atau meramalkan sebab dan akibat pilihan-pilihan kebijakan, model kebijakan digunakan untuk memonitor hasil tindakan kebijakan misalnya penyampaian laporan tahunan tentang keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan di lapangan dan (2) Model normatif.

Adapun model implementasi yang akan digunakan oleh penulis dalam menganalisis PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan adalah Model Meter dan Horn. Model ini disebut juga sebagai model mekanisme paksa yaitu model yang mengedepankan arti penting lembaga publik sebagai lembaga tunggal yang mempunyai monopoli atas mekanisme paksa di dalam negara dimana tidak ada mekanisme insentif bagi yang menjalani, namun ada sanksi bagi yang menolak melaksanakannya atau yang melanggarnya.


(32)

Secara matematis, model ini disebut dengan “Zero-minus model”, dimana yang ada hanya nilai nol dan minus saja. Sedangkan model mekanisme pasar mengedepankan mekanisme insentif bagi yang menjalani, dan bagi yang tidak menjalankan tidak mendapat sanksi, namun tidak mendapat insentif. Secara matematis model ini dapat disebut sebagai model “ Zero-Plus Model”, dimana yang ada hanya nilai nol dan plus saja. Diantaranya ada kebijakan yang memberikan insentif di satu kutub, dan memberikan sanksi di kutub lain. Model “top-down” mudahnya berupa pola yang dikerjakan oleh pemerintah untuk rakyat, dimana partisipasi lebih berbentuk mobilisasi. Sebaliknya “bottom-up” bermakna meski kebijakan dibuat pemerintah, namun pelaksanaan antara pemerintah dengan masyarakat.

Secara terperinci ada beberapa model menyoal tentang implementasi kebijakan, yang pertama model klasik dari Van Meter dan Van Horn yang mengandaikan implementasi kebijakan berjalan secara linier dari kebijakan publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel:

a. Aktivitas implementasi dan komunikasi antarorganisasi b. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor

c. Kondisi ekonomi, sosial dan ekonomi

d. Kecenderungan (disposisi) dari pelaksana/ implementor.

Menurut Van Meter dan Van Horn (dalam Winarno, 2002: 110-118), identifikasi indikator-indikator pencapaiana merupakan tahapan yang krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator pencapaian tujuan ini, menilai sejauh


(33)

mana ukuran dasar dan tujuan kebijakan direalisasikan. Ukuran dasar dan tujuan berguna di dalam menguraikan keputusan kebijakan secara menyeluruh. Disamping itu, ukuran dasar dan tujuan merupakan bukti itu sendiri dan dapat diukur dengan mudah dalam beberapa kasus. Namun demikian dikatakan seringkali dalam banyak kasus sering terjadi kesulitan dalam mengidentifikasi dan mengukur pencapaian yang disebabkan oleh dua hal, yaitu program yang terlalu luas dan sifat tujuan yang kompleks, serta kekaburan dalam ukuran-ukuran dasar tujuan-tujuan sengaja diciptakan oleh pembuat keputusan agar dapat menjamin tanggapan positif dari orang-orang yang diserahi tanggungjawab implementasi pada tingkat organisasi yang lain atau system penyampaian kebijakan.

1.5Keberhasilan Implementasi Kebijaksanaan

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kejelasan antara kebijakan dan kinerja implementasi yaitu: standard dan sasaran kebijakan, komunikasi antara organisasi dan pengukuran aktivitas, karakteristik organisasi komunikasi antar organisasi, kondisi sosial, ekonomi dan politik, sumber daya dan sikap pelaksanaan.

Adapun yang menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan adalah:

a. Persetujuan, dukungan dan kepercayaan dari masyarakat. Karena ketiga hal ini dapat menimbulkan partisipasi masyarakat, yang benar-benar diperlukan untuk pelaksanaan kebijaksanaan.

b. Isi dan tujuan kebijaksanaan haruslah dimengerti secara jelas terlebih dahulu. Berhubung dengan itu maka pelaksanaan kebijakan harus mampu melakukan


(34)

interpretasi terhadap kebijaksanaan yang tepat sehingga mempunyai persepsi seperti yang dikehendaki oleh pembentuk kebijaksanaan.

c. Pelaksana haruslah mempunyai cukup informasi, terutama mengenai kebijaksanaan itu.

d. Pembagian pekerjaan yang efektif dalam pelaksanaan. Hal ini berarti perlu pengorganisasian yang baik dengan:

e. Pembagian kekuasaan dan wewenang yang rasional

Selain itu Rippley dan Franklin (dalam Tangkilisan, 2003A:21) menyatakan keberhasilan implementasi kebijakan program dan ditinjau dari tiga faktor yaitu:

a. Prespektif kepatuhan (compliance) yang mengukur implementasi dari kepatuhan strate level burcancrats terhadap atas mereka.

b. Keberhasilan implementasi diukur dari kelancaran rutinitas dan tiadanya persoalan.

c. Implementasi yang berhasil mengarah kepada kinerja yang memuaskan semua pihak terutama kelompok penerima manfaat yang diharapkan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja kebijakan selanjutnya sebagai berikut: organisasi atau kelembagaan, kemampuan politik dari penguasa, pembagian tugas, wewenang dan tanggungjawab, kebijakan pemerintah yang bersifat tak remental, proses perumusan kebijakan pemerintah yang baik, aparatur evaluasi yang bersih dan berwibawa serta professional, biaya untuk melaksanakan evaluasi, tersedianya data dan informasi sosial ekonomi yang siap dimanfaatkan oleh penilai-penilai kebijakan.


(35)

Peters (dalam Tangkilisan, 2003A:22) mengatakan bahwa kegagalan implementasi kebijakan disebabkan oleh beberapa faktor.

a. Informasi, informasi yang kurang dengan mudah mengakibatkan adanya gambaran yang kurang tepat baik kepada obyek kebijakan maupun kepada para pelaksana dari isi kebijakan yang akan dilaksanakannya dan hasil-hasil dari kebijakan itu.

b. Isi kebijakan, implementasi kebijakan dapat gagal karena masih samarnya isi atau tujuan kebijakan atau ketidaktepatan atau ketidaktegasan intern maupun ekstern atau kebijakan itu sendiri, menunjukkan adanya kekurangan yang sangat berarti atau adanya kekurangan yang menyangkut sumber daya pembantu.

c. Dukungan, implementasi kebijakan publik akan sangat sulit bila pada pelaksanaannya tidak cukup dukungan untuk kebijakan tersebut.

d. Pembagian potensi, hal ini terkait dengan pembagian potensi diantaranya para actor implementasi dan juga mengenai organisasi pelaksana dalam kaitannya dengan diferensiasi tugas dan wewenang.

1.6Analisis Kebijakan Publik

Ilmu kebijakan merupakan suatu istilah dan orientasi terhadap ilmu sosial yang dikembangkan oleh Harold D Lasswell. Ilmu kebijakan didefenisikan sebagai ilmu yang berorientasi pada masalah konstektual, multidisiplin dan secara eksplisit bersifat normative. Ilmu-ilmu kebijakan dirancang untuk menyoroti masalah fundamental dan seringkali diabaikan yang muncul ketika warga negara dan pengambil kebijakan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial dan transformasi politik dan kebijakan yang terus-menerus untuk memfasilitasi tujuan-tujuan demokrasi.


(36)

Menurut William N Dunn, dalam arti historis yang lebih luas, analisis kebijakan merupakan suatu pendekatan terhadap pemecahan masalah sosial, dimulai pada tonggak sejarah ketika pengetahuan secara eksplisit dan relfektif kemungkinan menghubungkan pengetahuan dengan tindakan.

Analisis kebijakan didefinisikan oleh Harold D Lasswell (dalam Dunn, 2001:1) sebagai aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan. Dalam menciptakan pengetahuan tentang proses pembuatan kebijakan, analisis kebijakan meneliti sebab, akibat dan kinerja kebijakan dan program publik.

Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teori-teori deskriptif yang umum seperti teori-teori-teori-teori ekonomi, politik dan sosiologi dalam mengkaji fenomena kasus per kasus. Analisis kebijakan melampaui apa yang dicapai oleh disiplin-disiplin ilmu tradisional. Jika disiplin-disiplin tradisional sekedar menjelaskan keteraturan-keteraturan empiris, maka analisis kebijakan ,mengkombinasikan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi dan memecahkan permasalahan-permasalahan publik tertentu.

1.7Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan dapat dibedakan menjadi tiga bentuk utama, yakni: analisis kebijakan prospektif, restropektif, dan terintegratif (Dunn, 200:117).

a. Analisis Kebijakan Prospektif

Analisis kebijakan prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan cenderung mengidentifikasi cara beroparasinya para ekonom, analis system dan analis operasi dengan kata lain merupakan suatu alat untuk mensintesiskan informasi untuk


(37)

dipakai dalam merumuskan suatu alternative dan prefensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif atau kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan.

b. Analisis Kebijakan Retrospektif

Analisis kebijakan retospektif dalam banyak hal sesuai dengan deskripsi penelitian kebijakan yang dikemukakan sebelumnya. Analisis kebijakan retrospektif dijelaskan sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis:

1. Analis yang berorientasi pada disiplin, yang sebagian besar terdiri dari para ilmuwan politik san sosiologi terutama berusaha untuk mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Kelompok ini jarang berusaha untuk mengidentifikasikan tujuan-tujuan dan sasaran spesifik dari para pembuat kebijakan dan tidak melakukan usaha apapun untuk membedakan variabel kebijakan yang merupakan hal dapat diubah melalui manipulasi kebijakan, dan variabel situasional yang tidak dapat dimanipulasi.

2. Analis yang berorientasi pada masalah, sebagian besar terdiri dari para ilmuwan ilmu politik dan sosiologi yang berusaha menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan. Walaupun demikian, para analis yang berorientasi pada masalah ini kurang menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang dianggap penting dalam disiplin ilmu sosial, tetapi lebih menaruh perhatian pada identifikasi


(38)

variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi masalah.

3. Analis yang beorientasi pada aplikasi, yaitu kelompok analis yang mencakup ilmuwan politik dan sosiologi, tapi juga orang-orang yang datang dari bidang studi professional pekerjaan sosial dan administrasi publik dan bidang studi sejenis seperti penelitian evaluasi. Kelompok ini juga berusaha menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program publik, tetapi tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian teori-teori dasar. Lebih jauh, kelompok ini tidak hanya menaruh perhatian pada variabel-variabel kebijakan, tetapi juga melakukan identifikasi tujuan dan sasaran kebijakan dari pada para pembuat kebijakan dan pelaku kebijakan.

c. Analisis Kebijakan yang Terintegrasi

Analisis kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus-menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat. Analis yang terintegrasi dengan begitu bersifat terus-menerus, berulang-ulang, tanpa ujung, paling tidak dalam prinsipnya. Analisis dapat memulai penciptaan dan transformasi informasi pada setiap titik dari lingkaran analisis, baik sebelum dan sesudah aksi. Analisis kebijakan yang terintegrasi mempunyai semua kelebihan yang dimiliki metodologi analisis propektif dan retrospektif, tetapi tidak


(39)

satupun dari keleihan mereka. Analisis yang terintegrasi melakukan pemantauan dan evaluasi kebijakan secara terus-menerus sepanjang waktu. Tidak demikian halnya dengan analisis prospektif dan retrospektif yang menyediakan lebih sedikit informasi.

2. Perampingan Organisasi

Perampingan merupakan salah satu bentuk restrukturisasi dilakukan untuk meningkatkan kinerja dan mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat. Banyak cara yang dapat ditempuh untuk melakukan restrukturisasi atau rasionalisasi, dan masing-masing cara memiliki kon-sekuensi tersendiri, baik terhadap pekerjaan, maupun konsekuensi psikologis. Laila Naqib menyarankan agar rasionalisasi dilakukan dengan cara, yaitu bagi mereka yang tidak efektif “dirumahkan” dengan menerima gaji separuh bahkan dibayar sampai pensiun, sedangkan bagi pegawai yang efektif dan terpakai di kantor kesejahteraannya dijaga sebaik-baiknya agar mendapatkan penghasilan yang pantas dan seimbang dengan jerih payahnya. Adapun langkah ke depan khususnya dalam melakukan rekrutmen tenaga kerja baru untuk PNS harus dilakukan dengan perencanaan yang matang (manpower planning). Artinya, rekrutmen pegawai dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Secara teoritis, ada delapan cara yang dapat ditempuh untuk melakukan restrukturisasi (Bernardian dan Russell, 1998: 210) yaitu: downsizing, delayering, decentralizing, reorganization, cost-reduction strategy, IT Innovation, competency measurement, dan performance -related pay.


(40)

1. Downsizing adalah perampingan organisasi dengan menghapuskan beberapa pekerjaan atau fungsi tertentu. Dengan downsizing, bukan saja organisasi menjadi lebih ramping, tetapi juga pegawai akan berkurang. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa downsizing berdampak pada rasa aman pegawai, baik terhadap pekerjaan maupun karier mereka. Secara psikologis, betapapun rasionalnya alasan untuk melakukan downsizing, pegawai sulit menerima kenyataan ter-sebut. Oleh karena itu, restrukturisasi dengan cara downsizing harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.

2. Delayering adalah pengelompokkan kembali jenis-jenis pekerjaan yang sudah ada. Dengan cara ini, jumlah pegawai akan berkurang karena ada beberapa pekerjaan yang disatukan. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa delayering akan berakibat pada hilangnya beberapa jabatan, sehingga secara psikologis mereka akan kehilangan jati diri karena menganggap mereka tidak akan maju-maju dalam kariernya

3. Decentralizing, dilakukan dengan cara menyerahkan beberapa fungsi dan tanggung jawab kepada tingkat organisasi yang lebih rendah. Dengan penyerahan beberapa fungsi dan tanggung jawab tersebut, maka dapat dilakukan pengurangan jumlah pegawai. Proses pengurangan ini sekaligus digunakan untuk memperbaiki komposisi pegawai yang masih dipertahankan. Pengalaman menunjukkan, bahwa restrukturisasi melalui desentralisasi menimbulkan segmentasi dan fragmentasi dalam pekerjaan. Di lain pihak, secara psikologis dapat menimbulkan perilaku bersaing yang lebih kuat karena adanya peluang yang relatif lebih terbuka untuk diperebutkan. Oleh karena itu, untuk mencapai


(41)

hasil sesuai dengan yang direncanakan, perlu dipersiapkan aturan-aturan dan standar yang jelas sebagai dasar restrukturisasi.

4. Reorganization adalah bentuk restrukturisasi yang dilakukan dengan cara melakukan peninjauan atau penyusunan kembali (refocusing) tentang kompetensi inti (core competition) dari organisasi yang bersangkutan. Dengan cara ini akan mengakibatkan jumlah pegawai akan berkurang karena adanya pemfokusan kembali pada tugas pokok yang sebenarnya. Pengalaman menunjukkan bahwa restrukturisasi dengan cara reorganisasi akan menimbulkan rasa frustasi pada pegawainya karena mereka akan mengalami pemindahan bahkan pemecatan.

5. Cost reduction strategy adalah penggunaan sumber daya yang lebih sedikit untuk pekerjaan yang sama. Dengan strategi ini, semua sumber daya, termasuk sumber daya manusia, digunakan sehemat mungkin tanpa mengurangi kualitas keluaran. Ini berarti sebagian pegawai harus dikurangi, meskipun tidak ada perubahan fungsi maupun susunan organisasi. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa cost reduction strategy berdampak langsung pada intensifikasi pekerjaan. Di lain pihak terjadi dampak cukup serius, yaitu pegawai merasa tertekan dan banyak pegawai yang mengalami stres karena tidak tahan menghadapi tekanan dari pekerjaan yang dilakukan. Di samping itu, aspek psikologis khususnya bagi pegawai yang dipilih untuk tetap bekerja (tidak diberhentikan) juga harus diperhatikan.

6. IT Innovation adalah penyesuian pekerjaan dengan perkembangan teknologi. Restrukturisasi dengan cara ini akan berdampak pada jumlah pegawai karena


(42)

pegawai dituntut memiliki skills yang tinggi. Sedangkan mereka yang tidak memiliki kemampuan sesuai dengan tuntutan teknologi akan tersingkir.

7. Competency measurement adalah bentuk restrukturisasi dengan cara melakukan pengukuran atau pendefinisian ulang terhadap kompetensi yang dibutuhkan oleh pegawai. Dengan strategi ini berakibat pada pengurangan jumlah pegawai karena kemungkinan besar banyak pegawai setelah dilakukan pengkajian kembali kompetensi yang saat ini diperlukan sudah usang atau sudah tidak terpakai lagi (obsoles cence). Secara psikologis akan berdampak pada perilaku mempertahankan diri (self defence).

8. Performance-related pay artinya nilai yang diperoleh oleh pegawai didasarkan pada kinerja yang dicapainya. Strategi ini walaupun tidak drastis akan berakibat pada pengurangan jumlah pegawai, karena hanya pegawai yang memiliki kinerja baik yang akan mendapat penghargaan misal promosi dalam kariernya. Pengalaman menunjukkan bahwa restrukturisasi melalui cara ini akan berdampak pada besarnya rasa individualitas seseorang dan nuansa politis akan kental di dalamnya. Selain itu, secara psikologis akan berdampak pada rasa kepercayaan pegawai begitu rendah.

PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah ditujukan untuk melakukan perampingan (downsizing) dalam birokrasi pemerintah daerah karena dianggap cara inilah langkah yang paling tepat dalam mencapai efektivitas dan juga efisiensi kinerja birokrasi dengan perhitungan risiko yang paling rendah.


(43)

3. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah diperlukan adanya struktur pemerintahan yang merupakan suatu bagian dari organisasi perangkat pemerintahan. Kepala daerah sebagai pemimpin penyelenggara pemerintah daerah perlu dibantu oleh perangkat daerah yang dapat menyelenggarakan seluruh urusan pemerntahan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Maka dalam PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah disebutkan bahwa perangkat daerah kabupaten/ kota merupakan unsur pembantu kepala daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang terdiri dari sekretariat daerah, sekretariat DPRD, dinas daerah dan lembaga teknis daerah, kecamatan dan kelurahan.

Dalam peraturan ini disebutkan bahwa sekretariat daerah merupakan unsur staf yang mempunyai tugas dan kewajiban membantu bupati/ walikota dalam menyusun kebijakan dan mengkoordinasikan dinas daerah dan lembaga teknis daerah.

Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah merupakan unsur pelayanan terhadap DPRD. Sekretariat DPRD mempunyai tugas menyelenggarakan administrasi kesekretariatan, administrasi keuangan, mendukung pelaksanaan tugas dan fungsi DPRD, dan menyediakan serta mengkoordinasikan tenaga ahli yang diperlukan oleh DPRD sesuai dengan kemampuan dan keuangan daerah. Sekretaris dewan secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggungjawab kepada pimpinan DPRD dan secara administrative bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah.


(44)

Inspektorat merupakan unsur pengawas penyelenggaraan pemerintah daerah. Inspektorat ini mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/ kota, pelaksanaan pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelaksanaan urusan pemerintahan desa. Inspektur dalam melaksanakan tugasnya bertanggungjawab langsung kepada bupati/ walikota dan secara teknis administrastif mendapat pembinaan dari sekretaris daerah.

Badan perencanaan pembangunan daerah merupakan unsur perencana penyelenggaraan pemerintahan daerah. Badan perencanaan pembangunan daerah mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah di bidang perencanaan pembangunan daerah. Kepala badan berada di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah.

Dinas daerah merupakan pelaksana otonomi daerah. Dinas daerah mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintahan daerah berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dinas daerah berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah. Pada dinas daerah dapat dibentuk unit pelaksana teknis untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

Lembaga teknis daerah merupakan unsur pendukung tugas kepala daerah yang mempunyai tugas melaksanakan penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik. Lembaga teknis daerah ini dapat berbentuk badan, kantor, dan rumah sakit. Kepala kantor dan direktur rumah sakit berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui sekretaris daerah.


(45)

Pada lembaga teknis daerah yang berbentuk badan dapat dibentuk unit pelaksana teknis (UPT) tertentu untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional dan/ atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.

Kecamatan merupakan wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah kabupaten dan daerah kota yang mempunyai tugas melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan oleh bupati/ walikota untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah.

Kelurahan adalah wilayah kerja lurah sebagai perangkat daerah kabupaten/ kota dalam wilayah kecamatan. Lurah berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab kepada bupati/ walikota melalui camat.

Pembentukan organisasi perangkat daerah ditetapkan dengan Peraturan daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah ini. Dan peraturan yang dimaksud tersebut mengatur mengenai susunan, kedudukan, tugas pokok organisasi perangkat daerah.

Besaran organisasi perangkat daerah ditetapkan berdasarkan variabel: jumlah penduduk, luas wilayah dan jumlah Anggaran Pendapatan dan belanja Daerah (APBD). Dengan perincian sebagai berikut :


(46)

Tabel. 1 Pedoman Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota Menurut PP No.41 Tahun 2007

VARIABEL KELAS INTERVAL NILAI

JUMLAH PENDUDUK (jiwa)

Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura

≤ 100.000

100.001 - 200.000 200.001 - 300.000 300.001 - 400.000 > 400.000 8 16 24 32 40 JUMLAH PENDUDUK (jiwa)

Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura

≤ 50.000

50.001 - 100.000 100.001 - 150.000 150.001 - 200.000 > 200.000 8 16 24 32 40 LUAS WILAYAH (KM 2)

Untuk Kota di Pulau Jawa dan Madura

≤ 50 51 - 100 101 - 150 151 - 200 > 200 7 14 21 28 35 LUAS WILAYAH (KM2)

Untuk Kota di luar Pulau Jawa dan Madura

≤ 75 76 - 150 151 - 225 226 - 300 >300 7 14 21 28 35

JUMLAH APBD ≤ Rp. 200 M

Rp. 200.000.000.001 – Rp. 400.000.000.000 Rp.400.000.000.001 – Rp.600.000.000.000 Rp.600.000.000.001 – Rp.800.000.000.000 > Rp.800.000.000.000 5 10 15 20 25 (Sumber: PP No.41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah)

4. Dua Indikator Kinerja Kunci

Dua indikator kinerja kunci merupakan variabel yang dipilih oleh peneliti untuk mempermudah pelaksanaan analisis PP No. 41 Tahun 2007 ini. Adapun yang menjadi dua indikator kinerja kunci ini yaitu:


(47)

a. Rasio Struktur Jabatan Eselonering yang Terisi

Dalam mengukur rasio struktur jabatan eselonering yang terisi ini penulis memakai dua indikator yaitu tingkat struktur jabatan yang sudah terisi dan juga tingkat pendidikan formal sesuai bidang tugasnya.

Jika dilihat dari indikator pertama, pada tahun 2008 adapun persentase struktur jabatan di lingkungan Pemerintah Kota Medan dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel.2 Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008

No Nama SKPD Jabatan Jab.Terisi

1 Dinas Pendidikan 27 25

2 Kantor Kepustakaan 4 4

3 Dinas Kesehatan 31 27

4 RSU Pirngadi 27 27

5 Dinas Pekerjaan Umum 26 22

6 Dinas Perumahan dan Permukiman 25 15

7 Dinas Pencegah dan Pemadam Kebakaran 26 20

8 Dinas Tata Kota dan Bangunan 25 25

9 Badan Perencanaan Pembangunan Daerah 25 25

10 Dinas Perhubungan 26 12

11 Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup 22 19

12 Dinas Pertamanan 26 26

13 Dinas Kebersihan 26 20

14 Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil 23 21

15 Badan Keluarga Berencana 24 18

16 Kantor Sosial 5 4

17 Dinas Tenaga Kerja 28 19

18 Dinas Koperasi 17 16

19 Kantor Penanaman Modal 5 5

20 Dinas Pariwisata dan Kebudayaan 21 21

21 Dinas Pemuda dan Olahraga 20 17

22 Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat

20 14

23 Badan Polisi Pamong Praja 13 13

24 Bagian Kesejahteraan Rakyat 3 3

25 Bagian Pemberdayaan Perempuan 4 2

26 Bagian Bina Program 4 4

27 Bagian Bina Perekonomian 4 4


(48)

Tabel.3 Lanjutan Tabel Persentase Struktur Jabatan di Lingkungan Pemko Medan Tahun 2008

No. Nama SKPD Jabatan Jab.yang Terisi

28 Bagian Hubungan Antar Kota Antar Daerah

3 3

29 Bagian Agama dan Pendidikan 4 3

30 Bagian Tata Pemerintahan 4 3

31 Bagian keuangan 6 6

32 Bagian Umum 7 6

33 Bagian Humasy 4 2

34 Bagian Hukum 4 4

35 Sekretariat Dewan 10 9

36 Dinas Pendapatan 31 31

37 Balitbang 18 16

38 Bawasko 30 26

39 Badan Kepegawaian Daerah 29 27

40 Badan Pemberdayaan Masyarakat 20 18

41 Kantor Arsip Daerah 5 5

42 Dinas Infokom dan PDE 23 22

43 Dinas Pertanian 29 24

44 Dinas Perikanan dan Kelautan 28 24 45 Dinas Perindustrian dan Perdagangan 30 27

Total 790 696

(Sumber: www.pemkomedan.go.id)

Dari tabel di atas bahwa dari 45 SKPD yang berada di lingkungan Pemerintah Kota Medan, terdapat 790 struktur jabatan. Sampai tahun 2008 hanya 696 struktur jabatan yang terisi. Bila dihitung persentase dari jumlah jabatan yang tersedia dibagi dengan jabatan yang terisi maka hasilnya adalah 696/790 x 100% = 88,1 %, sehingga struktur jabatan yang sudah terisi adalah 88,1 %.

Sedangkan jika dilihat dari persyaratan pendidikan dan kepangkatan pejabat di lingkungan Pemerintah Kota Medan secara keseluruhan diantara nilai 90% - 100%.


(49)

b. Jenis Jabatan Fungsional dalam Struktur Organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah

Menurut Peraturan Pemerintah 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional, jabatan fungsional adalah kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggungjawab dalam suatu satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada mandiri. Jabatan fungsional pada hakikatnya adalah jabatan teknis yang tidak tercantum dalam tugas-tugas pokok dalam organisasi pemerintah. Jabatan fungsional dibagi ke dalam dua bagian besar. Pertama, Jabatan fungsional keahlian yaitu kedudukan yang menunjukkan tugas yang dilandasi oleh pengetahuan, metodologi dan teknis analisis yang didasarkan atas disiplin ilmu yang bersangkutan dan/atau berdasarkan sertifikasi yang setara dengan keahlian dan ditetapkan berdasarkan akreditasi tertentu. Kedua, jabatan fungsional ketrampilan adalah kedudukan yang mengunjukkan tugas yang mempergunakan prosedur dan teknik kerja tertentu serta dilandasi kewenangan penanganan berdasarkan sertifikasi yang ditentukan.

Pengaturan tentang Unit Pelayanan Teknis Dinas dan Badan mengenai nomenklatur, jumlah dan jenis, susunan organisasi, tugas dan fungsi ditetapkan dengan Peraturan Bupati/ Walikota.

F. Definisi Konsep 1. Kebijakan Publik

Kebijakan publik merupakan kebijakan-kebijakan yang dibangun oleh badan-badan dan pejabat pemerintah dengan implikasi : 1) kebijakan publik selalu mempunyai tujuan tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi


(50)

pada tujuan tertentu dan mempunyai tindakan-tindakan yang berorientasi pada tujuan, 2) kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah, 3) kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah, 4) kebijakan publik yang diambil bisa bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah untuk melakukan segala sesuatu dalam masalah tertentu, atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintah untuk tidak melakukan sesuatu, 5) kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat dan memaksa.

Kebijakan publik yang dimaksud dalam penelitian ini adalah Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 2001 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

2. Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan adalah rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Dengan demikian, tahapan implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah suatu perundang-undangan ditetapkan dengan membentuk out-put yang jelas dan dapat diukur. Dengan demikian tugas implementasi kebijakan sebagai sebuah penghubung yang memungkinkan tujuan-tujuan kebijakan mencapai hasil melalui aktivitas atau kegiatan dari program pemerintah. (Hesel Nogi Tangkilisan, 2003:9)

3. Perampingan Organisasi

Perampingan (downsizing) adalah perampingan organisasi dengan menghapuskan beberapa pekerjaan atau fungsi tertentu. Dengan downsizing, bukan saja organisasi menjadi lebih ramping, tetapi juga pegawai akan berkurang. Pengalaman empiris menunjukkan bahwa downsizing berdampak pada rasa aman pegawai, baik terhadap pekerjaan maupun karier mereka. Secara psikologis,


(51)

betapapun rasionalnya alasan untuk melakukan downsizing, pegawai sulit menerima kenyataan tersebut. Oleh karena itu, restrukturisasi dengan cara downsizing harus dilakukan secara hati-hati dan selektif.

4. Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan adalah aktivitas menciptakan pengetahuan tentang dan dalam proses pembuatan kebijakan (Harold D Lasswell dalam Dunn, 2000:1)

Analisis kebijakan yang dilakukan adalah analisis kebijakan retrospektif yaitu analisis kebijakan yang berorientasi pada masalah (problem oriented analysts).

G. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah unsur-unsur yang memberitahukan bagaimana mengukur suatu variabel sehingga dengan pengukuran tersebut dapat diketahui indikator-indikator apa saja untuk mendukung analisa dari variabel-variabel tersebut. (Singarimbun, 2006:46).

Adapun yang menjadi indikator dari analisa implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah adalah: 1. Kebijakan publik dalam pemerintahan Indonesia berbentuk seperti :

Undang-Undang/ Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Pelaksana lainnya (Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, selain itu masih terdapat Peraturan-peraturan Daerah Tingkat I dan Tingkat II serta Keputusan-keputusan Gubernur, dan bupati/ walikota kepala Daerah).


(52)

a. Implementasi merupakan kegiatan yang berkaitan dengan apa yang terjadi sesudah suatu perundang-undangan ditetapkan.

b. Implementasi ini dilakukan oleh unit-unit eksekutor (birokrasi pemerintahan) tertentu dengan memobilisasikan sumber dana dan sumber daya lainnya (teknologi dan manajemen)

c. Melakukan interpretasi dan menerapkan kebijakan.

d. Keberhasilan dalam mengevaluasi masalah dan menerjemahkan ke dalam keputusan yang bersifat khusus.

e. Suatu proses yang dinamis yang melibatkan secara terus-menerus usaha-usaha untuk mencari apa yang akan dan dapat dilakukan.

3. Rasio struktur jabatan eselonering yang terisi, adalah perbandingan antara struktur eselon yang tersedia dengan yang terisi oleh pejabat yang tepat baik dari jabatan eselonnya maupun dari segi pendidikan dari pejabat tersebut.

4. Jenis jabatan fungsional yang terdapat dalam struktur organisasi Satuan Kerja Perangkat Daerah adalah pertimbangan dari pejabat perancang dalam menempatkan jenis jabatan fungsional yang mandiri, dan yang akan diadakan dalam membantu suatu satuan organisasi dalam melaksanakan tugasnya.


(53)

BAB II

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Guna memperoleh informasi sesuai dengan yang terumuskan dalam permasalahan atau tujuan penelitian perlu suatu desain atau rencana menyeluruh tentang urutan kerja penelitian dalam bentuk suatu rumusan operasional suatu metode ilmiah, rincian garis-garis besar keputusan sebagai suatu pilihan beserta dasar atau alasan-alasan ilmiahnya.

Adapun bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan bentuk penelitian deskriptif dengan analisis data kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang memusatkan perhatian terhadap masalah-masalah atau fenomena-fenomena yang ada pada saat penelitian dilakukan atau masalah yang actual, kemudian menggambarkan fakta tentang masalah yang diselidiki sebagaimana adanya diiringi dengan interpretasi, tidak menguji hipotesa melainkan hanya mendesskripsikan informasi apa adanya sesuai dengan apa yang diteliti. Dengan bentuk deskriptif ini diharapkan dapat memberikan gambaran yang jelas tentang analisis implementasi PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kota Medan Tahun 2009.

B. Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan di Kantor Walikota Medan Jl. Kapten Maulana Lubis No. 2 Medan-20112 , tepatnya di Bagian Organisasi Tata Pemerintahan, Bagian Kepegawaian Daerah, dan Badan Perencanaan Pembangunan Kota Medan


(54)

sebagai hasil dari suatu penjajakan dengan alasan bahwa bagian tersebut erat kaitannya dalam pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah.

C. Informan Penelitian

Penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk membuat generalisasi dari penelitiannya. Oleh karena itu dalam penelitian kualitatif, tidak dikenal adanya populasi dan sampel. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Informan penelitian ini meliputi tiga macam yaitu (1) informan kunci (key informan), yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian, (2) informan utama, yaitu mereka yang terlibat secara langsung dalam interaksi sosial yang diteliti, (3) informan tambahan, yaitu mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak langsung terlibat dalam interaksi sosial yang sedang diteliti.

Berdasarkan uraian di atas maka penelitian menentukan informan dengan menggunakan purposive sampling yaitu penentuan informan tidak didasarkan atas strata, kedudukan, pedoman atau wilayah tetapi didasarkan adanya tujuan tertentu yang tetap berhubungan dengan permasalahan penelitian, maka peneliti dalam hal ini menggunakan informan yang terdiri atas :

a. Informan Kunci yang terdiri atas:

- Pejabat dari Bagian Organisasi dan Tata Pemerintahan - Pejabat dari Bagian Kepegawaian Daerah


(55)

b. Informan Utama yang terdiri atas:

- Pejabat dari Badan Perencanaan Pembangunan Daerah c. Informan tambahan

- LSM Birokrat/ Pengamat Politik - Akademisi

D. Teknik Pengumpulan Data

Informasi tentang implementasi PP No. 41 Tahun melalui 2 indikator kinerja kunci di Kota Medan akan digali oleh peneliti sebagai instrumen melalui pengumpulan data primer. Data primer adalah pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi penelitian dengan cara observasi dan juga melalui wawancara (Focus Group Discussion) terhadap pejabat/ bagian terkait dengan implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 ini.

Selain itu, peneliti juga akan mengumpulkan data sekunder yang dilakukan penulis melalui studi kepustakaan yaitu mengumpulkan data/ dokumen yang dimiliki oleh Bagian Organisasi Tata Pemerintahan dan Bagian Kepegawaian Daerah Kantor Walikota Medan dan informasi melalui literature yang relevan dengan judul penelitian seperti buku-buku, artikel dan majalah yang memiliki masalah yang relevan dengan masalah yang diteliti.

E. Teknik Analisa Data

Analisis data pada hakikatnya adalah pemberitahuan peneliti kepada pembaca tentang apa saja yang hendak dilakukan terhadap data yang sedang dan telah dikumpulkan, sebagai cara yang nantinya bisa memudahkan peneliti dalam


(56)

memberi penjelasan dan mencari interpretasi dari responden atau menarik kesimpulan.

Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bersifat deskriptif-eksploratif dengan pendekatan kualitatif karena mencoba mengeksplorasi dan mengelompokkan fakta yang ada dalam suatu kesimpulan. Data-data yang diperoleh akan dianalisis, disusun, diperinci secara sistematis dan selanjutnya diinterpretasikan sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan. Data-data yang diperoleh kemudian dianalisis berdasarkan daya nalar dan pola pikir dalam menghubungkan fakta-fakta informasi.


(1)

B. Saran

Adapun yang menjadi saran dalam penelitian ini adalah:

1. Keberhasilan pelaksanaan kebijakan ditentukan oleh kemampuan personil dalam memahami kebijakan itu sendiri. Kunci pemahaman terhadap kebijakan tersebut bukan hanya tergantung pada jenjang pendidikan yang dimiliki oleh implementor tersebut, tetapi juga pembekalan pemahaman dan juga konsultasi yang intens dengan pemerintah pusat. Dengan demikian pemahaman terhadap kebijakan tidak salah arah dari apa yang dicantumkan dalam kebijakan tersebut. 2. Pemerintah Kota Medan hanya perlu pemahaman dan pengenalan terhadap

daerahnya sendiri dengan demikian akan lebih mudah bagi pemerintah daerah untuk menentukan kewenangan yang akan dilaksanakan oleh Pemko Medan. Pemahaman dan pengenalan terhadap daerah sendiri tersebut akan memungkinkan daerah mengidentifikasi apa yang menjadi kebutuhan daerah tersebut. Sehingga tanpa peraturan pemerintah, Pemko Medan diharapkan sudah bisa membentuk sebuah struktur organisasi yang efektif yang kaya fungsi tanpa pengaruh kekuasaan politik. Kemandirian sebuah daerah dalam mengurus daerahnya akan sangat membantu pencapaian tujuan dari otonomi daerah yang penuh dan bertanggungjawab.

3. Persoalan perampingan organisasi perangkat daerah memang harus melibatkan seluruh kemampuan daerah, dengan demikian akan sangat memudahkan bagi sesama SKPD bekerjasama dalam menciptakan sebuah struktur yang efektif dan efisien.

4. Perlu pengkajian kembali terhadap permasalahan birokrasi di Indonesia, karena pada dasarnya masalah birokrasi tidak hanya ditimbulkan oleh struktur saja. Bisa


(2)

saja sebuah daerah mengalami masalah dalam bidang penyediaan SDM yang berkualitas atau bahkan karena kultur dari masyarakat di daerah tersebut. Jadi dengan demikian pengharusan pelaksanaan PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah di setiap pemerintah daerah di Indonesia perlu dipertimbangkan kembali.


(3)

DAFTAR PUSTAKA BUKU

BAPPEDA. 2006. Rencana Strategis Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota

Medan Tahun 2006-2010. Medan : Pemerintah Kota Medan

BAPPEDA dan BPS. 2009A. Medan Dalam Angka, Medan in Figures 2009. Medan: Pemerintah Kota Medan.

_____________.2009B. The Magic of Medan City ’09. Medan: Pemerintah Kota Medan Bungin, Burhan. 2007. Analisis Data Penelitian Kualitatif Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan model Aplikasi. Jakarta: PT Raja Grafindo

Persada

Gideon, dkk. Edisi Kelima Organisasi Jilid 1.

Hamidi. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Malang : UMM Press

Moleong, Lexy J. 2005. Metode Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Bandung.

Nugroho, Riant. 2000. Otonomi Daerah Desentralisasi Tanpa Revolusi kajian dan

Kritik atas Kebijakan Desentralisasi di Indonesia. Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis dalam Studi Kebijakan Publik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Sabarguna, Boy S. 2008. Analisis pada Penelitian Kualitatif Edisi Revisi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Soenarko SD, H. 2003. Publik Policy, Pengertian Pokok untuk Memahami dan

Menganalisa Kebijakan Publik. Surabaya : Airlangga University Press


(4)

Tangkilisan, Hesel Nogi S. 2003A. Kebijakan Publik yang Membumi. Yogyakarta : YPAPI & Lukman Offset

_____________________.2003B. Implementasi Kebijakan Publik Transformasi Pikiran

George Edwards. Yogyakarta: YPAPI

Thoha, Miftah. 2008. Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta: Kencana

Winarno, Budi. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta : Penerbit Media Pressindo

Widjaja, HAW. 2004. Otonomi Daerah dan Daerah Otonom. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada

UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN DAERAH

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pusat dan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 03 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 03 Tahun 2009 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah.


(5)

WEBSITE DAN SUMBER LAIN

pukul 19.41 WIB

Siagian S. Sos, Martin H. 2007. Implementasi Kebijakan Percepatan Pemberantasan

Korupsi pada Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla di Kabupaten Serdang Bedagai. FISIP-USU: Medan


(6)

LAMPIRAN

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pusat dan Daerah

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 03 Tahun 2001 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah

Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 03 Tahun 2009 tentang Susunan Organisasi Perangkat Daerah.


Dokumen yang terkait

Analisis Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 3 Tahun 2014 Tentang Kawasan Tanpa Rokok Pada Sekolah di Kota Medan Tahun 2014

23 220 103

Proses Pelaksanaan Peraturan Walikota Medan Nomor 54 Tahun 2010 Tentang Rincian Tugas Pokok Dan Fungsi BadanPenanaman Modal Kota Medan (Studi Pada Pengawasan Badan Penanaman Modal Kota Medan)

0 124 257

Dampak Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Wajib Pajak Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Dan Penerimaan Pajak Penghasilan (Pph) Pasal 4 Ayat 2pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Lubuk Pakam

14 149 189

Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame (Studi Tentang Penerbitan Izin Reklame di Kota Medan)

7 150 212

Implementasi Peraturan Daerah Kota Binjai Nomor 7 Tahun 2011 tentang Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK)

6 111 114

Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)

5 157 198

Proses Pembentukan Peraturan Daerah Studi Kasus Peraturan Daerah Kabupaten Simalungun No. 1 Tahun 2011 tentang APBD Kabupaten Simalungun tahun Anggaran 2011

0 74 83

“Implementasi Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 11 Tahun 2011 Tentang Pajak Reklame

8 145 136

IMPLEMENTASI PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 41 TAHUN 2007 TENTANG ORGANISASI PERANGKAT DAERAH DI KABUPATEN BOYOLALI

0 0 87

Pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 41 tahun 2007 tentang organisasi perangkat daerah di kota Surakarta

0 0 85