dengan usaha menengah dan besar sebagaimana yang dimaksud dalam Undang- Undang No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil.
B. Kedudukan pihak franchisor lebih tinggi secara ekonomi daripada franchise
Pihak franchisor dalam memberikan hak penyewaan franchise berhak menentukan isi dan substansi daripada kontrak. Pihak penyewa franchise yang
tidak keberatan dengan substansi kontrak boleh saja mengikatkan diri sesuai isi kontrak. Namun bila keberatan, pihak penyewa dapat saja meminta kepada pihak
franchisor untuk meninjau kembali substansi daripada kontrak. Jika pihak
franchisor keberatan untuk mengubah kembali substansi kontrak, maka bagi pihak
penyewa diberikan pilihan untuk menerima atau menolak. Pada kegiatan franchise yang semakin merebak di sendi-sendi
perekonomian masyarakat Indonesia pada masa sekarang ini, seyogyanya pihak franchisor
memiliki kedudukan yang lebih tinggi daripada pihak franchise. Hal ini dapat ditinjau dari hal di mana pihak franchisor dapat menyewakan
franchisenya kepada berbagai pihak yang tertarik untuk bergabung, namun pihak penyewa dilarang untuk menyewakan franchise tersebut kepada pihak lain. Selain
itu, pihak franchisor juga memiliki kelebihan dalam hal memutuskan sebuah kontrak franchise.
Mengenai kelebihan franchisor, juga dapat ditinjau dari isi suatu kontrak franchise
di mana pihak franchisor juga memiliki hak sepenuhnya untuk menentukan isi kontrak franchise. Oleh karena itu, agar dalam sebuah perjanjian
kontrak franchise tidak terlalu merugikan pihak penyewa, maka berdasarkan
Universitas Sumatera Utara
ketentuan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba maupun Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia
No.259MPPKEP71977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, disebutkan bahwa dalam sebuah kontrak franchise harus
dibuat secara tertulis dalam bahasa Indonesia. Ketentuan ini adalah sebuah konsekuensi logis tentang adanya kewajiban untuk mendaftarkan kontrak
franchise . Selain itu penulis juga pernah mengutip ketentuan Pasal 3 Peraturan
Pemerintah No.16 Tahun 1997 tentang Waralaba, pada pembahasan sebelumnya mengenai kewajiban franchisor untuk melakukan penyingkapan disclosure
terhadap berbagai aspek yang bersifat material, yang dapat mempengaruhi keputusan franchise sebagai penerima waralaba untuk menolak atau menerima
persyaratan yang akan dituangkan dalam suatu kontrak franchise franchisee Agreement
. Kedua hal ini merupakan perlindungan awal yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan di Indonesia kepada pihak franchise agar
tidak dirugikan oleh franchisor. Selanjutnya dalam Pasal 8 Keputusan Menteri Perindustrian dan
Perdagangan Republik Indonesia No.259MPPKEP71977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, mengatur jangka waktu
kontrak franchise yang berlaku sekurang-kurangnya 5 lima tahun, telah memberikan perlindungan hukum kepada franchise sebagai penerima waralaba,
karena dengan demikian pihak franchisor tidak dapat memutuskan sebuah kontrak franchise
dengan pemikiran “at any time” sesuka hatinya. Dengan perkataan lain, dengan adanya ketentuan Pasal 8 tersebut, dilarang dibuat sebuah kontrak yang
bersifat “at will”, kapan saja dapat diputuskan. Hal ini sebagai sebuah upaya yang
Universitas Sumatera Utara
dapat dilakukan untuk mencegah franchisor memanfaatkan franchise hanya sekadar utuk menguji pasar, namun juga harus dicermati bahwa klausula-klausula
tentang pemutusan konrak yang biasanya tunduk pada penilaian franchisor. Pasal 11 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik
Indonesia No.259MPPKEP71977 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Waralaba, disebutkan bahwa pihak penerima franchise
wajib mendaftarkan kontrak franchise beserta keterangan tertulis kepada Departemen Perindustrian dan Perdagangan untuk memperoleh Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba STPUW. Pasal 14 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia No.259MPPKEP71977,
juga menyebutkan bahwa jika franchisor memutuskan kontrak sebelum berakhirnya masa kontrak dan kemudian berniat untuk melakukan perikatan
konrak baru dengan pihak perusahaan lain, maka penerbitan STPUW bagi pihak franchise
yang baru hanya akan diberikan jika pihak franchisor telah menyelesaikan segala permasalahan yang timbul sebagai akibat dari pemutusan
kontrak tersebut dengan pihak franchise yang lama. Dengan demikian jika ada tuntutan ganti rugi dari franchise yang diajukan kepada franchisor, maka ganti
rugi itu harus dibayarkan terlebih dahulu, sebelum franchisor dapat menunjuk pihak franchise yang baru.
Tidak tertutup kemungkinan sengketa pemutusan kontrak dan ganti rugi ini akan dilanjutkan di depan forum pengadilan. Jika demikian halnya, maka harus
menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan tetap yang harus ditaati oleh para pihak yang bersengketa. Sebenarnya tidak semua sengketa pemutusan kontrak
franchise dan ganti rugi ini harus dilanjutkan dengan proses persidangan.
Universitas Sumatera Utara
Seharusnya pengadilan merupakan jalur terakhir yang akan ditempuh oleh para pihak yang bersengketa jika segala daya dan upaya penyelesaian sengketa telah
dijalani, namun ternyata masih tidak terdapat kata kesesuaian antara kedua belah pihak, barulah ditempuh jalur pengadilan.
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
56
1. Konsultasi
, disebutkan bahwa selain jalur pengadilan, para pihak dapat menyelesaikan sengketa perdata melalui jalur di luar
pengadilan, yakni arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa, seperti :
Tindakan penyelesaian sengketa bersifat personal antara pihak yang disebut dengan klien dengan pihak lain yang disebut dengan konsultan. Pihak
konsultan hanya memberikan pendapat hukum, sebagaimana diminta oleh kliennya, selanjutnya keputusan mengenai penyelesaian sengketa akan diambil
sendiri oleh para pihak yang bersengketa. 2.
Negosiasi Persetujuan antara kedua belah pihak dengan menyerahkan, menjanjikan
atau menahan suatu barang sehingga mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung ataupun mencegah timbulnya suatu perkara.
3. Mediasi
Kesepakatan antara para pihak yang bersengketa atau beda pendapat dengan diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli atau
melalui seorang mediator.
56
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Hal.2-3
Universitas Sumatera Utara
4. Konsiliasi
Suatu tindakan atau proses yang dilakukan para pihak untuk mencapai perdamaian di luar pengadilan dan mencegah dilaksanakannya proses litigasi
peradilan. 5.
Penilaian ahli. Opini atau pendapat hukum dari para ahli hukum atas permintaan dari
setiap pihak yang memerlukannya, tidak terbatas pada para pihak dalam perjanjian
57
C. Pemutusan Kontrak secara Sepihak oleh Franchisor akibat Kondisi Pasar