2.2.7.1 Prinsip Rukun
Masyarakat Jawa sangat memperhatikan sikap kerukunan dalam kehidupan mereka. Dalam pandangan Jawa masalahnya bukan penciptaan
keadaan keselarasan sosial melainkan lebih untuk tidak mengganggu keselarasan yang sudah ada. Prinsip ini mencegah segala cara kelakuan yang bisa
mengganggu keselarasan dan ketenangan dalam masyarakat. Prinsip kerukunan tidak menyangkut suatu sikap batin atau keadaan jiwa, melainkan penjagaan
keselarasan dalam pergaulan. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara
tidak langsung. Pada umumnya, orang Jawa yang sopan menghindari keterusterangan yang serampangan.
Sehingga prinsip rukun dalam masyarakat Jawa bertujuan untuk menjaga keselarasan dan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dengan berusaha
menghindari pecahnya konflik-konflik.
2.2.7.2 Prinsip Hormat
Dalam prinsip hormat dikatakan bahwa setiap orang dalam cara bicara dan membawa diri selalu harus menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai
dengan derajat dan kedudukannya. Willner dalam Suseno 1985:60 mengatakan bahwa apabila dua orang bertemu, terutama dua orang Jawa, bahasa, pembawaan,
dan sikap mereka pasti mengungkapkan suatu pengakuan terhadap kedudukan mereka masing-masing dalam suatu tatanan sosial yang tersusun dengan terperinci
dan cita rasa. Mengikuti aturan-aturan tata krama yang sesuai dengan mengambil sikap hormat yang tepat adalah sangat penting.
Mereka yang berkedudukan lebih tinggi harus diberi hormat. Sedangkan sikap yang tepat terhadap mereka yang berkedudukan lebih rendah adalah sikap
menyayangi dan rasa tanggung jawab. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa seseorang dan bercakap-cakap dengannya tanpa sekaligus
memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan lawan bicara. Orang Jawa dalam menyapa orang lain menggunakan
istilah-istilah dari bahasa keluarga. Istilah-istilah itu memiliki keistimewaan bahwa di dalamnya hampir terungkap segi junior-senior. Apabila lawan bicara
memiliki kedudukan sosial yang lebih tinggi, maka digunakanlah istilah senior, sedangkan apabila kedudukan sosialnya lebih rendah maka digunakan istilah
junior. Seorang laki-laki yang lebih tua bisa disebut kakekpak, laki-laki yang sama umurnya atau sedikit lebih muda disebut kangkak, yang jauh lebih muda
disebut dhik. Seorang wanita yang lebih tua disebut mbokmbah, wanita yang sama umurnya disebut mbakyu, yang lebih muda disebut dhik. Penggunaan-
penggunaan istilah itu masih bergeser sesuai dengan kedudukan sosial, makin tinggi kedudukan seseorang makin tua dalam sebutannya, dan sebaliknya. Apabila
mereka masih memiliki hubungan kekeluargaan, maka tanpa memperhatikan perbandingan umur yang nyata harus dipergunakan istilah dan bahasa yang sesuai
dengan hubungan generasi. Mulder dalam Suseno 1985:62 mengatakan bahwa tidak mungkin untuk
bicara dalam bahasa Jawa tanpa mengacu pada tinggi rendahnya kedudukan lawan bicara terhadap kedudukan pembicara. Dalam gradasi-gradasinya yang sulit dan
formal yang begitu banyak, pilihan kata-kata mencerminkan kedudukan,
keakraban atau hubungan resmi, usia, jarak sosial dan pangkat. Pilihan kata-kata dan bahasa mengungkapkan tatanan yang ada.
Dapat dikatakan bahwa prinsip hormat mengatur masyarakat Jawa dalam membawakan diri agar selalu menunjukkan rasa hormat kepada lawan bicara
dalam berbicara maupun berperilaku.
2.2.8 Analisis Kontrastif