Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

(1)

SISTEM KEBUN PLASMA DALAM PENGEMBANGAN

KEMANDIRIAN PETANI PLASMA KELAPA SAWIT DI

KEBUN BUNUT UNIT X SUNGAI BAHAR JAMBI

(Survey Pada Petani Binaan PTPN VI Jambi)

Disusun Oleh

Hilal Thantowi Tagor Lubis (100901054)

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2015


(2)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... ii

ABSTRACT ... iii

BAB I: PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 12

1.3 Tujuan Penelitian ... 12

1.4 Manfaat Penelitian ... 13

BAB II: KERANGKA TEORI ... 14

2.1 Teori Fungsional Struktural Robert K. Merton ... 14

2.2 Kemandirian Petani ... 18

2.3 Alex Inkles: Manusia Modern ... 22

2.4 Perubahan Sosial: Difusi dan Transformasi Nilai ... 25

2.5 Penelitian Terdahulu ... 29

2.6 Hipotesis ... 34

2.7 Definisi Konsep ... 35

2.8 Operasional Variabel ... 36

2.9 Bagan Operasional Variabel ... 38

BAB III: METODE PENELITIAN ... 44

3.1 Jenis Penelitian ... 44

3.2 Lokasi Penelitian ... 44

3.3 Populasi dan Sampel ... 45


(3)

3.3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 46

3.3.4 Instrumen dan Aspek Pengukuran ... 48

3.3.5 Pengolahan dan Analisis Data ... 49

BAB IV: TEMUAN DAN ANALISIS DATA ... 52

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 52

4.1.1 Sejarah Singkat ... 52

4.1.2 Kondisi dan Letak Geografis ... 53

4.1.3 Peta Kebun Plasma ... 54

4.1.4 Penduduk Kebun Bunut Jambi ... 55

4.1.5 Jumlah Gender Kebun Bunut Jambi ... 55

4.1.6 Jenis Pekerjaan Penduduk Desa Kebun Bunut Jambi ... 55

4.1.7 Tingkat Pendidikan Desa Kebun Bunut Jambi ... 56

4.1.8 Jumlah Penduduk Berdasarkan Pemeluk Agama ... 57

4.1.9 Jenis Suku Di Desa Kebun Bunut Jambi ... 58

4.1.10 Sarana Banguan Kebun Bunut Jambi ... 59

4.1.11 Kelompok Tani ... 59

4.2 Analisis Data ... 61

4.2.1 Identitas Responden ... 61

4.2.1.1 Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

4.2.1.2 Identitas Responden Berdasarkan Usia ... 62

4.2.1.3 Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan ... 63

4.2.1.4 Identitas Responden Berdasarkan Pekerjaan ... 64

4.3 Tanggapan Responden Tentang Sistem Kebun Plasma Dalam Meningkatkan Kemandirian Petani Kelapa Sawit ... 64

4.3.1 Tanggapan Responden Tentang Sistem Kebun Plasma Dalam Meningkatkan Kemandirian Petani di Tingkat SD dan SMP ... 65


(4)

4.3.2 Tanggapan Responden Tentang Sistem Kebun Plasma Dalam Meningkatkan Kemandirian Petani di Tingkat SMA

... 71

4.4 Korelasi Variabel Sistem Kebun Plasma Dengan Variabel Kemandirian Petani Kelapa Sawit ... 78

4.5 Pembahasan ... 95

BAB V: PENUTUP ... 98

5.1 Kesimpulan ... 98

5.2 Saran ...100


(5)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Komposisi Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin ... 55

2. Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Kebun Bunut Jambi Berdasarkan Mata Pencaharian ... 56

3. Tabel 3. Komposisi Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ... 57

4. Tabel 4. Desa Kebun Bunut Jambi Berdasarkan Agama ... 58

5. Tabel 5. Penduduk Desa Kebun Bunut Jambi Berdasarkan Jenis Suku .. 58

6. Tabel 6. Sarana Umum di Desa Kebun Bunut Jambi ... 59

7. Tabel 7. Kelompok Tani Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi ... 60

8. Tabel 8. Identitas Responden Berdasarkan Jenis Kelamin ... 61

9. Tabel 9. Identitas Responden Berdasarkan Usia ... 62

10. Tabel 10. Identitas Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 63

11. Tabel 11. Data Responden Berdasarkan Manajemen Sistem Kebun Plasma ... 65

12. Tabel 12. Data Responden Berdasarkan Permodalan Sistem Kebun Plasma ... 65

13. Tabel 13. Data Responden Berdasarkan Pembinaan dan Pengembangan SDM Sistem Kebun Plasma ... 66

14. Tabel 14. Data Responden Berdasarkan Teknologi Sistem Kebun Plasma ... 67

15. Tabel 15. Data Responden Berdasarkan Pemasaran Sistem Kebun Plasma ... 68

16. Tabel 16. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Teknis ... 68

17. Tabel 17. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Sosial Budaya Petani ... 69

18. Tabel 18. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Keuangan Petani ... 70


(6)

19. Tabel 19. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Kelompok Petani ... 70 20. Tabel 20. Data Responden Berdasarkan Manajemen Sistem Kebun

Plasma ... 71 21. Tabel 21. Data Responden Berdasarkan Permodalan Sistem Kebun

plasma ... 72 22. Tabel 22. Data Ressponden Berdasarkan Pembinaan dan Pengembangan

SDM Sistem Kebun Plasma ... 73 23. Tabel 23. Data Responden Berdasarkan Teknologi Sistem Kebun Plasma

... 73 24. Tabel 24. Data Responden Berdasarkan Pemasaran Sistem Kebun

Plasma ... 74 25. Tabel 25. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Teknis ... 75 26. Tabel 26. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Sosial Budaya

Petani ... 75 27. Tabel 27. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Keuangan Petani

... 76 28. Tabel 28. Data Responden Berdasarkan Kemandirian Kelompok Petani

... 77 29. Tabel 29. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan SDM (X3) dengan

Kemandirian Sosial dan Budaya (Y2) Tingkat SD dan SMP.. 78 30. Tabel 30. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan SDM (X3) dengan

Kemandirian Sosial dan Budaya (Y2) Tingkat SMA dan S1 .. 78 31. Tabel 31. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan (X3) dengan

Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SD dan SMP ... 80 32. Tabel 32. Korelasi Pembinaan dan Pengembangan (X3) dengan

Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SMA dan S1 ... 80 33. Tabel 33. Korelasi Teknologi (X4) dengan Kemandirian Teknis (Y1)

Tingkat SD dan SMP... 82 34. Tabel 34. Korelasi Teknologi (X4) dengan Kemandirian Teknis (Y1)


(7)

35. Tabel 35. Korelasi Pemasaran (X5) dengan Kemandirian Keuangan (Y3) Tingkat SD dan SMP... 85 36. Tabel 36. Korelasi Pemasaran (X5) dengan Kemandirian Keuangan (Y3)

Tingkat SMA dan S1 ... 85 37. Tabel 37. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Sosial dan

Budaya (Y2) Tingkat SD dan SMP ... 87 38. Tabel 38. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Sosial dan

Budaya (Y2) Tingkat SMA dan S1 ... 88 39. Tabel 39. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SD dan SMP... 89 40. Tabel 40. Korelasi Manajemen (X1) dengan Kemandirian Kelompok (Y4) Tingkat SMA dan S1 ... 91 41. Tabel 41. Korelasi Permodalan (X2) dengan Kemandirian Keuangan (Y3)

Tingkat SD dan SMP... 93 42. Tabel 42. Korelasi Permodalan (X2) dengan Kemandirian Keuangan (Y3)


(8)

ABSTRAK

Pola kemitraan sistem kebun plasma adalah suatu bentuk kerja sama pembangunan dan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, saling mengisi, utuh dan berkesinambungan.

Kehadiran PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) di wilayah Jambi mengandung arti strategis yang pada umumnya berdampak memberikan pertumbuhan bagi wilayah itu. Dampak khusus bagi petani plasma adalah akan tercipta suatu hubungan yang saling menguntungkan dari kerjasama yang dibangun antara perusahaan inti dan plasma. Dampaknya terhadap masyarakat di sekitar wilayah perkebunan pastilah mengalami dampak perubahan dan kehadiran PTPN VI dan seluruh kegiatan yang dilakukan. Kerja sama strategis antara perusahaan inti dan petani plasma harus dijalin dengan baik agar semakin kuat dan bisa bersaing dengan pasar.

Penelitian ini bertujan untuk menganalisis sistem kebun plasma dalam pengembangan kemandirian petani plasma kelapa sawit, metode penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dengan pengumpulan data secara random sampling kepada petani plasma. Analisis data yang digunakan adalah rank correlation atau korelasi tata jenjang dari Spearman.

Hasil penelitian menunjukan terdapat pengaruh antara adanya sistem kebun plasma dengan kemandirian petani. Perusahaan memberikan pengembangan dan pembinaan kepada petani plasma melalui pendidikan dan pelatihan, mulai dari tata cara menanam, memupuk dan pemeliharaan tanaman. Petani plasma sudah mampu mengelola kebunnya sendiri tanpa didampingi lagi oleh pihak perusahaan. Petani sudah mandiri secara teknis, mandiri sosial dan budaya, mandiri secara keuangan dan mandiri secara kelompok. Terdapat perbedaan kemampuan pengeloaan kebun plasma antara petani plasma pada tingkat pendidikan menengah bawah dengan tingkat pendidikan menengah atas.


(9)

Tingkat pendidikan menengah atas lebih mampu mengelola kebun plasma dibandingkan tingkat pendidikan menengah ke bawah.

Kata kunci :kemitraan, petani, inti, plasma, kemandirian.

ABSTRACT

The partnership pattern smallholding system is a form of development cooperation and the development of plantations using large estates as a core guiding the people in the surrounding plantations as plasma in a system of mutual cooperation, complementary, holistic and continuous.

The presence of PT Nusantara Plantation VI (PTPN VI) in the region Jambi strategic means, which generally affects provide growth for the region. Special impact for farmers are going to create a mutually beneficial relationship of cooperation between the company and the plasma core. Impact on communities around the plantation area must be affected by the changes and the presence of PTPN VI and all activities are carried out. The strategic cooperation between the core and the farmers should be entered into with both to be more robust and able to compete with the market.

This study bertujan to analyze plasma plantation system in the development of oil palm smallholders independence, methods of research used quantitative data collection by random sampling to farmers. Analysis of the data used is rank correlation or Spearman correlation of the level system.

The results showed there is the influence of a system of peasant smallholdings with independence. The company provides development and guidance to farmers through education and training, ranging from ordinances to plant, fertilize and plant maintenance. Farmers have been able to manage his own garden without accompanied again by the company. Farmers are already independent technical, social and cultural independent, financially independent and self-sufficient group. There are differences between the ability of management


(10)

secondary education are better able to manage smallholding compared to lower secondary level.


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Luas areal perkebunan di Indonesia, baik perkebunan besar maupun perkebunan rakyat, cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dari seluruh komoditas utama perkebunan (karet, kopi, teh, kelapa, kakao, tebu dan kelapa sawit), komoditas karet dan kelapa sawit adalah areal pertanaman yang terluas. Pertambahan luas yang paling spektakuler dialami oleh perkebunan kelapa sawit yang dalam 10 tahun terakhir luasnya meningkat rata-rata 14% per tahun, jauh di atas peningkatan perkebunan karet yang hanya rata-rata 2% per tahun. Pada tahun 1986, luas perkebunan kelapa sawit baru mencapai 606.800 ha, tetapi pada tahun 1997 meningkat pesat menjadi 2,25 juta Ha. Saat ini pusat perkebunan kelapa sawit terletak di propinsi Sumatera Utara (905.000 ha), provinsi Riau (544.700 Ha), propinsi Kalimantan Barat (211.400 Ha) dan propinsi Sumatera Selatan (206.000 ha). Di masa mendatang akan dikembangkan secara cepat di Kalimantan Timur, Sulawesi dan Irian Jaya.

Subsektor perkebunan memegang peranan penting bagi perekonomian Indonesia dan perlu dikembangkan terus dimasa mendatang. Berdasarkan harga konstan tahun 2000, kontribusi sector pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 2,31 persen setelah subsektor tanaman bahan makanan sebesar 6,96 persen (Departemen Pertanian,2008). Selain itu subsektor ini juga


(12)

sebagai salah satu sumber devisa non migas, sumber kesempatan kerja serta lapangan investasi bagi investor nasional maupun internasional.

Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan yang pembudidayaannya berkembang pesat sejak decade 1990-an yang tercatat 1,1 juta hektar, dan pada tahun 2007 berkembang menjadi sekitar 6,78 juta hektar dengan produksi Crude Palm Oil (CPO) sebanyak 17,37 ton. Perkebunan kelapa sawit rakyat (PR) menempati urutan pertama dengan luas sekitar 2,565 juta hektar dan rata-rata pertumbuhan luas tanam sekitar 25,2 persen (Departemen Pertanian, 2008).

Perkebunan kelapa sawit mulai berkembang pesat sejak tahun 1978 dengan laju pertumbuhan luas pertahun yang sangat tinggi, yaitu 21,7% (perkebunan swasta), 2,9% (perkebunan negara) dan 19,3% (perkebunan rakyat). Untuk mendapatkan lahan yang dibutuhkan, cara yang paling sering ditempuh oleh pengusaha adalah melakukan konversi kawasan hutan, karena mekanisme untukmendapatkannya relatif mudah dan mereka memperoleh keuntungan dari hasil tebangan kayu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hampir seluruh pertanaman kelapa sawit yang ada sekarang merupakan areal pertanaman baru (new planting) dari areal hutan produksi yang dapat dikonversi.

Perkembangan perkebunan kelapa sawit sangat cepat, namun berkurang sejak awal pertengahan tahun 1998. Salah satu penyebabnya adalah tingginya pajak ekspor, berkurangnya minat investor asing akibat kondisi politik yang tidak stabil, dan takut tingginya pasokan. Dengan tingkat produktivitas 18-21 ton TBS (tandan buah segar)/ha/ tahun, usaha ini mempunyai nilai Internal Rate of Return sampai 24-43%. Di samping itu prospek minyak sawit mentah atau CPO (crude palm oil) juga sangat cerah. Untuk konsumsi domestik Indonesia, diperkirakan


(13)

meningkat dengan laju pertumbuhan 8-10% per tahun pada periode 1995-2000 dan 5-7% per tahun pada periode 2000-2005. Tingkat konsumsi minyak sawit dunia akan meningkat sebesar 5% per tahun antara tahun 1995-2000 dan pada tahun 2000 diproyeksikan konsumsi akan mencapai 18,2 juta ton, walaupun harga minyak sawit diproyeksikan menurun menjadi US$ 415/ton pada tahun 2000. Pada awal 1998 terdapat 50 perusahaan asing yang sedang melaksanakan pembangunan perkebunan kelapa sawit dengan investasi US$ 3 miliar. Rencana perkebunan yang akan dikelola seluas 926.650 ha di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Khusus untuk Propinsi Riau dan Sumatera Utara, pemerintah telah menyatakan daerah ini telah tertutup untuk investasi baru pengembangan perkebunan. Perusahaan asing yang sangat berambisi untuk mengembangkan perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Malaysia. Hal ini disebabkan keterbatasan lahan untuk perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan letak Indonesia yang paling dekat dengan lokasi fasilitas pabrik pengolahan di Malaysia. Investor asing lainnya seperti dari Inggris dan Singapura sudah mengincar perkebunan milik negara yang kinerjanya baik. Pemerintah Indonesia memang bermaksud melakukan program privatisasi perkebunan negara dengan menjual sebagian saham kepada pihak swasta nasional maupun asing. Akan tetapi, agar pihak asing tidak menjadi pemegang saham mayoritas, pemerintah tidak menjual keseluruhan saham, karena yang dibutuhkan perkebunan hanya pengembangan produk derivatif dan jaringan pemasaran internasional. Untuk investor dalam negeri, keinginan berinvestasi di perkebunan kelapa sawit tidak terbatas pada perusahaanyang sudah biasa mengelola perkebunan, tetapi juga padaperusahaan lain seperti perusahaan kehutanan miliknegara. PT INHUTANI


(14)

III misalnya, sudah menargetkan untuk membangun perkebunan kelapa sawit seluas 500 hingga 1.000 ha per tahun. Sementara itu PT INHUTANI I juga akan memasuki bisnis perkebunan, terutama tanaman karet dan kelapa sawit. Pada akhir Februari 1998, Menhutbun secara resmi telah mengizinkan Perum Perhutani dan PT Inhutani I s/d V melakukan ekspansi ke sektor perkebunan seperti kelapa sawit. Alasannya adalah usaha hutan merupakan investasi jangka panjang. Sedangkan perkebunan merupakan investasi jangka pendek yang diharapkan bisa memperbaiki cashflow Badan Usaha Milik Negara tersebut.

Banyak perusahaan Indonesia yang belum mempunyai pengalaman di bidang perkebunan mencoba berbisnis kelapa sawit. Pada umumnya mereka memanfaatkan skema kredit khusus untuk pengembangan perkebunan rakyat dengan pola kemitraan, misalnya Pola Perusahaan Inti Rakyat-Transmigrasi (PIR-Trans) dan Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA). Walaupun perusahaan besar mempunyai beban harus bermitra dan membina petani, dengan menggunakan pola-pola tersebut mereka berkesempatan untuk menjadi kontraktor pembangunan kebun milik petani, dapat memanfaatkan kayu tebangan hutan dan mendapatkan fee khusus untuk pengurusan kredit petani.Berbagai kalangan menyebutkan bahwa dengan mekanisme kerja seperti ini, perusahaan besar tidak membantu petani, tetapi mereka justru memanfaatkan skema kredit petani. Meskipun perkembangan investasi perkebunan melemah, terdapat indikasi bahwa investasi sektor ini akan segera meningkat. Diproyeksikan bahwa luas areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia akan mencapai 2,97 juta ha pada tahun 2000. Sampai dengan tahun 1997, persetujuan dan pelepasan hutan produksi untuk perkebunan sudah mencapai 6,7 juta ha. Luas ini belum termasuk luas


(15)

permohonan pembangunan perkebunan yaitu 9 juta ha (Dephutbun 1998).

Indonesia sebagai Negara yang besar dan memiliki kekayaan yang berlimpah terutama di bidang perkebunan tentu memberikan dampak yang banyak dari segi ekonomi terutama bagi perusahaan-perusahaan yang mengelolanya, tetapi pemerintah juga membuat kebijakan agar perkebunan-perkebunan besar juga memberikan kontribusi bagi masyarakat luas, sehingga hasilnya tidak hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang saja tetapi juga harus di rasakan oleh masyarakat luas. Untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial maka setiap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah harus berbasis untuk kepentingan rakyat, sehingga tidak terjadi kesenjangan sosial yang mengakibatkan suasana yang tidak kondusif antara suatu perusahaan dengan masyarakat sekitar. Tujuan penggunaan tanah sebagai bagian dari bumi yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah harus mengatur penggunaan tanah baik untuk keperluan Negara, masyarakat maupun bagi kepentingan pengembangan usaha perekonomian. Untuk itulah UUPA (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960) sebagai prlaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menegaskan perlunya perencanaan penggunaan tanah. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (Mustofa dan Suratman, 105-106).

Pembangunan sebagai usaha manusia Indonesia untuk mencapai cita-cita masayarakat yang adil dan makmur harus terus ditingkatkan. Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai sarananya. Dan dilain pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu apabila keperluan


(16)

tanah bagi perusahaan-perusahaan yang menunjang perekonomian negara tidak diatur, maka akhirnya tanah akan menjadi faktor penghambat dalam proses pembangunan.

Pengadaan tanah diselenggarakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.Dengan demikian, berbagai ketentuan Dalam Undang-Undang PTKU harus dapat menjamin bahwa kegiatan pembangunan itu ditujukan untuk kemakmuran rakyat. Tolak ukur capaiannya paling tidak harus dapat dilihat dari kemanfaatan pembangunan untuk kepentingan umum ini bagi rakyat dan tingkat pemerataan kemanfaatannya serta pemghormatan terhadap hak rakyat.

Menurut Supancana (dalam Indah Kartika, 2013) salah satu yang menjadi kegagalan pada pelaksanaan pembangunan pada masa lalu adalah titik berat pembangunan ekonomi yang tidak diimbangi dengan pemerataan keadilan. Pertumbuhan ekonomi yang tidak diimbangi oleh pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang telah menciptakan kesenjangan yang amat lebar antara segelintir orang yang sangat kaya dibandingkan dengan besarnya jumlah orang-orang yang kurang sejahtera, dan bahkan sebagian miskin. Besarnya jumlah masyarakat miskin pada akhirnya akan menimbulkan berbagai bentuk permasalahan sosial yang bermuara pada instabilitas politik dan keamanan. Agar keadaan tersebut tidak terjadi, maka di perlukan pertimbangan yang matang untuk mencari alternatif solusinya, salah satunya adalah dengan menetapkan kebijakan dan regulasi yang lebih mendekatkan antara dunia usaha dengan masyarakat melalui berbagai program dan inisiatif.

Dalam hal ini telah disadari bahwa perjalinan hubungan serasi antara pengembangan industri dengan pengembangan masyarakat, terutama masyarakat lokal menjadi hal yang urgen. Pengembangan industri pada dasarnya ditujukan untuk memberikan dampak bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan baik melalui pembukaan lapangan kerja, peningkatan pendidikan, peningkatan kesehatan dan lainya yang akhirnya mendatangkan devisa Negara.


(17)

kesejahteraan masyarakat, maka industri memiliki industri sosial baik secara internal maupun eksternal. Kondisi kehidupan masyarakat yang semakin baik akan memberikan dampak yang cukup berarti terhadap keberlangsungan industri itu sendiri. Kegiatan pengembangan masyarakat yang diselenggarakan oleh industri menunujukan adanya kepedulian industri terhadap masyarakat disekitarnya. Hal ini akan memunculkan adanya kepedulian masyarakat terhadap industri dan memandang industri sebagai pihak yang harus didukung dan dijaga oleh masyarakat.

Dengan demikian, kegiatan pengembangan masyarakat tidak hanya akan memberikan manfaat untuk masyarakat, namun juga akan memberikan keuntungan sangat besar bagi industri dengan adanya pandangan positif dari masyarakat. Selain memberikan manfaat pada tingkat makro dan tidak langsung, industri juga harus menjalin hubungan baik dengan masyarakat lokal tempat industri berada. Selama ini mungkin sudah dilakukan partisipasi industri melalui bantuan dana, yang biasanya diserahkan kepada pemerintah lokal baik untuk kegiatan pembangunan maupun aktivitas kemasyarakatan. Namun demikian dalam banyak kasus, warga masyarakat tidak mengetahuinya, sehingga menganggap keberadaan industri hanya mengganggu kehidupan masyarakat sekitar. Keberadaan tersebut diperburuk dengan adanya pihak-pihak tertentu yang memiliki kepentingan mendapatkan keuntungan dari konflik masyarakat lokal dengan industri. Dengan demikian dibutuhkan kegiatan yang tidak hanya bersifat bantuan sosial, melainkan juga program bimbingan sosial yang berkelanjutan, yang melibatkan partisipasi dan peran masyarakat secara penuh.

Wujud dari komitmen pemerintah itu salah satunya adalah membuat peraturan kepda perusahaan untuk membangun kebun inti-plasma. Pada awal gagasan perkebunan inti-plasma tahun 1970-an, kebijakan investasi perkebunan adalah 70 persen perkebunan plasma dan 30 persen perkebunan inti. Saat ini di


(18)

inti. Padahal ratusan ribu petani/pekebun bahkan tak punya akses untuk memiliki 2 sampai 5 hektare lahan untuk berkebun. Kondisi initerjadi karena dalam Undang-Undang Perkebunan dan turunannya tidak dijelaskan secara rinci tentang inti-plasma. Maka pengaturan tetang inti-plasma menjadi sangat penting, selain untuk memberikan akses kepada masyarakat terhadap lahan, juga memberikan jaminan kepastian hukum terhadap investasi yang telah ditanamkan oleh investor.

Kebijakan plasma mulai diperkenalkan di indonesia dengan nama PIR (Perusahaan Inti Rakyat) khusus sejak tahun 1977, dengan nama nucleus estate small holding (NES), yang diujicobakan pertama kali di daerah Alue merah (D.I. Aceh) dan Tabalong (Sumatra Selatan). Kemudian pada tahun 1986 mengalami perkembangan menjadi PIR- transmigrasi, dan terus berlanjut sampai dengan KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) pada tahun 1995. Di Revisi, saat inimenjadi Keputusan Menteri Pertanian No. 26/Permentan/OT.140/2/2007 tentang kewajiban BUMN Perkebunan untuk membangun kebun plasma di sekitar perkebunan minimal 20 % dari luas perkebunan.

(http://www.academia.edu/3776399/REVISI_UNDANG-UNDANG_PERKEBUNAN)

Perkebunan kelapa sawit plasma adalah perkebunan rakyat, dalam pengembangannya diintegrasikan pada Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) maupun Perkebunan Besar Nasional (PBN), dana ditalangi oleh pemerintah. Program ini dimulai sejak tahu 1977 dengan dikeluarkannya pola Perusahaan Inti Rakyat (PIR) yang meliputi PIR-Lokal dan PIR-Khusus (Direktorat Jenderal Perkebunan, 1992).


(19)

Kebun plasma yang dibangun dan dikembangkan oleh perusahaan perkebunan (kebun inti) yang nantinya dikelola dan dimanfaatkan oleh petani rakyat yang nantinya hasilnya dijual kepada kebun inti dengan harga pasar dikurangi cicilan/angsuran pembayaran hutang kepada kebun inti berupa modal yang dikeluarkan kebun inti membangun kebun plasma tersebut.

Provinsi Jambi merupakan salah satu provinsi penghasil kelapa sawit di Indonesia, sub sektor perkebunan memegang peranan yang sangat penting terhadap perekonomian di Provinsi Jambi, baik sebagai penyerap tenaga kerja yang cukup besar maupun sebagai penghasil devisa. Kenyataan ini ditambahkannya, seperti pada tahun 2006, dimana tercatat volume ekspor komoditas perkebunan sebanyak 290.722 ton, dengan nilai US$ 473.846.372. Pengembangan kelapa sawit di Jambi diperkirakan telah dimulai pada tahun 60-an, pengusahaan perkebunan kelapa sawit mulai diusahakan oleh PTPN tahun 1993/1994 dengan sistem Perusahaan Inti Rakyat (PIR) di kecamatan Sungai Bahar, Buntut, Sungai Merkanding dan Tanjung Lebar. Selanjutnya perusahaan swasta juga termotivasi untuk meningkatkan modalnya di bidang perkebunan kelapa sawit, sehingga luas kebun kelapa sawit di Jambi terus bertambah hingga mencapai 515.300 hektare.

PT Perkebunan Nusantara VI (PTPN VI) di wilayah Jambi sejak tahun 1996 telah memberikan perubahan kepada masyarakat setempat. Bahkan PTPN VI yang merupakan peleburan dari proyek-proyek pengembangan PT Perkebunan PTP III, PTP IV, PTP VI, dan PTP VIII telah hadir sejak tahun 1978. Oleh karena


(20)

itu peran sebagai pembawa inovasi baru dan perubahan pada masyarakat setempat sesungguhnya sudah terjadi sejak lama. Kontribusi yang dihadirkan PTPN VI secara umum adalah penyediaan lapangan usaha dan penyerapan tenaga kerja. Penyediaan lapangan usaha kepada masyarakat setempat berlangsung menurut pola PIR (Perkebunan Inti Plasma) dimana perusahaan perkebunan sebagai inti dan petani sebagai plasma. Terkait peran perusahaan dalam memfasilitasi dan membina usaha kebun kelapa sawit masyarakat, belakangan ini terdapat gejala menurun hubungan plasma dan inti karena beragam faktor yang mempengaruhinya. Pentingnya sebuah model pengelolaan “strategic alliance” antar keduanya ke dalam satu model yang lebih dapat bekerja (workable relationship), yang mana sangat dibutuhkan untuk meningkatkan produktivitas plasma dan inti.

Selain kontribusi lapangan kerja kebun kelapa sawit masyarakat, kehadiran PTPN VI di wilayah Jambi dengan mengembangkan industri hulu dan hilir perkebunan, akan dapat menyediakan output dan penciptaan lapangan kerja berbasis di pedesaan dam wilayah. Dengan demikian, hubungan inti-plasma memiliki makna strategis untuk mengurangi kemiskinan dan arus urbanusasi. Subsektor perkebunan mempunyai kontribusi penting dalam hal penciptaan nilai tambah produk dan ekspor. Peningkatan nilai tambah produk dan ekspor berkontribusi pada Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kontribusi perkebunan dapat semakin diperbesar karena industri hulu dan hilir memiliki multiplier effect yang membuka peluang berkembangnya berbagai industri pendukung perkebunan dalam second type multipliers, sektor jasa transportasi,


(21)

konstruksi, dan perdagangan yang pada akhirnya menciptakan pertumbuhan ekonomi di wilayah (Tambunan, 2013).

Dengan adanya peraturan pemerintah dimana setiap pembangunan harus berbasiskan kepentingan rakyat maka PTPN VI menjalankan peraturan tersebut yang salah satunya adalah membangun perkebunan plasma, program ini diharapkan dapat mewujudkan keadilan, kesetaraan dan kesejahteraan masyarakat sekitar serta menciptakan lingkungan yang kondusif antara masyarakat sekitardengan pihak perusahaan sehingga masing-masing pihak saling melindungi. Program kebun inti-plasma yang telah dilakukan oleh PTPN VI memiliki relasi terhadap pengembangan kemandirian petani. Dimana dengan adanya program ini masyarakat petani dapat lebih mengembangkan kemandirian mereka. Kemandirian itu merupakan tujuan dari adanya pembangunan kebun plasma sehingga terwujudnya pemenuhan kebutuhan dan kesejahteraan sosial.

PTPN VI Jambi pertama kali membangun perkebunan plasma pada tahun 1983 dan berlanjut di beberapa areal lain sampai tahun 1994. Salah satu kebun plasma yang dimiliki oleh PTPN VI adalah Kebun Bunut yang terletak di desa Berkah dengan luas areal plasma 842 Hektare, yang terdiri dari 411 kepala keluarga.

Masing-masing petani diberikan lahan 2 Hektare per kepala keluarga dan mereka juga dibina dan diberi pelatihan. Pada awalnya pengelolaan kebun plasma kepada petani berjalan lancer, dimana petani diberikan pembinaan dan pelatihan oleh pihak perusahaan dalam pengelolaan kebun kelapa sawit, mulai dari menanam, pemupukan hingga perawatan tanaman yang benar sesuai dengan standar operasional. Namun masalah muncul ketika sawit mulai berbuah pasir dan


(22)

pengelolaannya diserahkan kepada petani. Dilapangan ditemukan adanya petani yang berhasil dan ada yang gagal. Berdasarkan data yang ada di lapangan banyak petani yang berhasil dan hanya sedikit yang gagal. Berdasarkan masalah ini, maka perlu dilakukan penelitian mengapa para petani sawit plasma ada yang berhasil danada yang gagal dalam mengelola lahan plasma?

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan yang telah dikemukakan di atas maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana penerapan sistem kebun inti- plasma dalam meningkatkan kemandirian petani?

2. Faktor- faktor apa yang mempengaruhi keberhasilan petani dalam meningkatkan (kemandirian teknis, kemandirian sosial budaya, kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) ?

3. Faktor apa yang menyebabkan kegagalan petani dalam (kemandirian teknis, kemandirian sosial budaya, kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) ?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas maka yang menjadi tujuan yang diharapkan dan dapat diperoleh dari hasil penelitian ini adalah :

1. Ingin mengetahui manfaat kebun plasma PTPN VI dalam peningkatan kemandirian petani

2. Mengetahui sejauh mana keberhasilan sistem kebun plasma terhadap pengembangan petani dalam (kemandirian teknis, kemandirian sosial


(23)

budaya, kemandirian keuangan dan kemandirian kelompok) di Kebun Bunut desa Berkah Jambi.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan sesuatu yang diharapkan ketika sebuah penelitian sudah selesai. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :

a. Manfaat teoritis

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang masyarakat perkebunan dan sumbangan pemikiran bagi peneliti lain sebagai bahan rujukan untuk perbandingan atas masalah yang sama terutama dalam bidang kajian Sosiologi Masyarakat Perkebunan dan Kebijakan Publik khususnya tentang studi perkebunun plasma yang sedikit referensinya.

b. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan memberikan manfaat bagi pemerintah, dinas pertanian, perusahaan perkebunan, petani plasma dan peneliti tentunya, selanjutnya dalam menjadikan sebuah referensi tentang sistem perkebunan inti-plasma dalam pengembangan kemandirian petani perkebunan kelapa sawit.


(24)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Teori Fungsionalisme Struktural Robert Merton

Merton (dalam Margaret, 2010:35-37) mengemukakan bahwa fungsionalisme struktural awal memusatkan perhatian pada fungsi satu struktur sosial atau pada fungsi satu institusi sosial tertentu saja. Menurut teori ini masyarakat merupakan suatu sistem sosial yang terdiri dari atas bagian-bagian atau elemen-elemen yang saling berkaitan dan saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada satu bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian lain. Asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial, fungsional terhadap yang lain. Sebaliknya kalau tidak fungsional maka struktur itu tidak akan ada atau hilang dengan sendirinya. Penganut teori ini cenderung untuk melihat hanya kepada sumbangan satu sistem atau peristiwa terhadap sistem yang lain dan karena itu mengabaikan kemungkinan bahwa suatu peristiwa atau sistem dapat menentang fungsi-fungsi lainnya dalam suatu sistem sosial.

Menurut Merton, fungsi didefenisikan sebagai “konsekuensi-konsekuensi yang dapat diamati dan menimbulkan adaptasi atau penyesuaian dari sistem tertentu”. Tetapi jelas ada bias ideologis bila orang hanya memusatkan perhatian pada adaptasi atau penyesuaian diri, karena daptasi dan penyesuaian diri selalu mempunyai akibat positif. Perlu diperhatikan bahwa satu factor sosial dapat mempunyai akibat negatif terhadap fakta sosial lain. Untuk meralat serius dalam fungsionalisme struktural awal ini, Merton mengembangkan gagasan tentang


(25)

disfungsi. Sebagaimana srtuktur atau institusi dapat menyumbang pemeliharaan bagian-bagian lain dari sistem sosial, struktur, atau institusi pun dapat menimbulkan akibat negatif terhadap sistem sosial, misalnya perbudakan di bagaian selatan Amerika Serikat jelas mempunyai perekonomian, dan status sosial. Tetapi perbudakan juga mempunyai aspek pada perekonomian agraris dan arena itu tidak siap untuk pengembangan industrialisasi.

Merton memulai analisa fungsionalnya dengan menunjukkan perbendaharaan yang tidak tepat serta beberapa asumsi atau postulat kabur yang terkandung dalam teori fungsionalisme. Merton mengeluh terhadap kenyataan bahwa “sebuah istilah terlalu sering digunakan untuk melambangkan konsep-konsep yang berbeda-beda, seperti halnya dengan konsep-konsep yang sama yang digunakan sebagai simbol dari istilah-istilah yang berbeda. Konsep-konsep sosiologi seharusnya memiliki batasan yang jelas bilamana mereka harus berfungsi sebagai bangunan dasar dari proposisi-proposisi yang dapat diuji. Lebih daripada itu, proposisi-proposisi harus dinyatakan dengan jelas tanpa berwayuh arti. Model Merton mencoba membuat batasan beberapa konsep analisis dasar bagi analisa fungsional dan menjelaskan beberapa ketidakpastian arti yang terdapat di dalam postulat-postulat kaum fungsional.

Merton menyatakan kesatuan fungsional masyarakat yang dapat dibatasi sebagai suatu keadaan dimana seluruh bagian dari sistem sosial bekerja sama dalam satu tingkat tingkat keselarasan atau kosistensi internal yang memadai tanpa menghasilkan konflik berkepanjangan yang tidak dapat diatasi atau diatur. Merton menegaskan bahwa kesatuan fungsional yang sempurna dari suatu masyarakat adalah “bertentangan dengan fakta” sebagai contoh dia mengutip


(26)

beberapa kebiasaan masyarakat yang dapat bersifat fungsional bagi suatu kelompok ( menunjang integrasi dan kohesi suatu kelompok) akan tetapi disfungsional (mempercepat kehancuran) bagi kelompok lain.

Berdasarkan teori Merton, kita dapat melihat bahwa dalam kehidupan sehari-hari, jika dilihat berdasarkan teori struktural fungsional merupakan sebuah sistem besar yang selalu bergerak dan memproduksi individu-individu dari dalam sistem tersebut. Parson juga menyebutkan bahwa individu adalah bentukan dari sebuah sistem yang ada. Pada teori ini juga, muncul sebuah pernyataan yang mengatakan ketika sesuatu tidak lagi mempunyai fungsi signifikan pada masyarakat, hal itu akan hilang, sementara segala sesuatu yang dibutuhkan oleh masyarakat, akan tetap eksis.

Untuk analisa pada penelitian ini, peneliti akan memberikan contoh pada petani plasma binaan PTPN VI Jambi. Ketika sistem kebun plasma berjalan, semua akan berjalan seperti sistem. Dalam teori struktural fungsional, kerusakan pada sistem adalah suatu yang harus dihindari, karena begitu suatu elemen dalam sistem rusak, maka sistem itu akan berakhir. Hal iniah yang dikhawatirkan pihak PTPN VI Jambi dalam menjalankan program sistem kebun plasma. Maka dari itu, segala bentuk hambatan dari elemen perusahaan dan petani yang ada dalam sistem jika mengalami gangguan maka harus segera ditangani agar tidak merusak sistem yang ada.

Dalam teori Parson, muncul istilah yang kita sebut sebagai AGIL. AGIL merupakan singkatan dari elemen-elemen penting yang diperlukan agar sebuah sistem tetap eksis. Elemen itu adalah Adaptation, Goal Attaintment, Integration, Latency. Keempat elemen itulah yang kemudian juga dapat kita lihat pada sistem


(27)

kebun plasma yang dijalankan oleh PTPN VI Jambi pada petani binaan di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi.

Pada Adaptation (adaptasi), sistem dituntut harus mampu mengatasi kebutuhan yang datang dari luar sistem itu. Ia harus mampu beradaptasi agar tidak kandas di tengah jalan. Adaptasi, dilakukan oleh perusahaan dengan cara membuat program-program yang bisa memenuhi kebutuhan petani dan dapat melepaskan petani dari ketergantungan. Program yang diterapkan bisa dengan program-program yang pernah dilakukan atau pun dengan program baru yang dibuat oleh dinas pertanian.

Goal (tujuan) merupakan syarat yang perlu dimiliki oleh sebuah sistem agar dapat terus mempertahankan eksistensinya. Tanpa adanya goal yang jelas, tidak bisa muncul sinergi antar sub sistem dalam sistem yang ada. Pada contoh kasus ini, goal yang ingin dicapai adalah mewujudkan hubungan yang harmonis antara petani dan perusahaan dan saling menguntungkan serta berkesinambungan juga mewujudkan petani yang mandiri dan mapan secara sosial dan ekonomi hingga terwujudnya kesejahteraan sosial.

Integration (integrasi) adalah fungsi yang mengatur hubungan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Bisa dikatakan, integrase adalah faktor yang menciptakan sinergi antara satu sub dengan sub sistem lainnya. Fungsi ini juga bertugas mengatur hubungan antara fungsi Adaptation, Goal dan Latency. Ketika fungsi ini gagal tercapai, maka tak dapat dihindari kerusakan sistem tersebut. Pola sistem inti-plasma hendaknya dilakukan secara adil dan menguntungkan antara pihak perusahaan dan petani hingga petani merasa tidak


(28)

dirugikan dengan pihak lain, sehingga dengan terwujudnya pola keuntungan yang adil maka sinergi antara petani dan perusahaan akan terwujud.

Latency, atau latensi bisa dipahami juga sebagai pemeliharaan pola. Sistem yang ada harus mampu menciptakan motivasi dan pola budaya yang kemudian tertanam pada diri setiap individu dalam sistem tersebut. Hal ini juga tampak pada sistem kebun plasma, dimana petani harus dibina secara berkelanjutan baik mulai dari cara penanaman, perawatan tanaman dan penggunaan teknologi. pembinaan yang dilakukan oleh perusahaan harus terus-menerus sehingga petani benar-benar mampu dalam mengelola kebun plasma mereka dan terwujudnya petani yang mandiri.

Berdasarkan teori Merton, tampak bahwa PTPN VI Jambi telah melakukan fungsi-fungsi yang diperlukan agar suatu sistem tetap dapat berjalan. Tetapi dalam pelaksanaanya apakah perusahaan telah benar-benar menjalankan program inti-plasma sesuai dengan seharusnya, mulai dari manajemen, teknik penanaman, perawatan tanaman dan penggunaan teknologi, sehingga bisa mewujudkan petani yang mandiri?

2.2 Kemandirian Petani

Dalam Indah Kartika (2013) Pembangunan pertanian diketahui banyak menyumbangkan devisa bagi Negara dan disaat krisis pertanian mampu bertahan bahkan sebagai penguat ekonomi Indonesia. Oleh karena itu pembangunan pertanian hendaknya sebagai kunci utama pembangunan ekonomi Indonesia disaat situasi krisis global saat ini dan pembangunan yang akan datang. Pembangunan pertanian Indonesia ke depan hendaknya mempunyai keterikatan, keberlanjutan


(29)

dan control yang dilakukan secara berkelanjutan. Selain itu juga hendaknya pembangunan pertanian tertuju pada pembangunan kemndirian petani yang berkelanjutan.

Dimana konsep kemandirian sendiri menunjuk pada adanya kepercayaan akan kemampuan diri untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tanpa bantuan khusus dari orang lain, keengganan untuk dikontrol orang lain, dapat melakukan sendiri kegiatan-kegiatan dan menyelesaikan sendiri masalah-masalah yang dihadapi.

Kemandirian petani harus dicirikan dengan kemandirian yang dilihat dalam beberapa hal yaitu:

a. Kemandirian teknis

Pembangunan pertanian selama ini tertuju pada pendidikan praktis petani, yakni dimana petani hanya diajarkan bagaimana mengolah tanah, bercocok tanam, memupuk, penyemprotan yang baik, pengairan yang benar dan panen yang tinggi. Hal ini tidak mendidik petani menuju kemandirian, melainkan ketergantungan petani yang semakin berkelanjutan. Oleh karena itu hendaknya pembangunan petani ke depan secara teknis di ajarkan bagaimana melakukan pengembangan akan kemampuan akan keahlian pertanian dan mengorganisir diri agar petani terdorong untuk berkreasi sendiri dengan terus di motivasi untuk berkarya dan diberikan penghargaan buat petani yang berkarya.

b. Kemandirian sosial dan budaya

Hilangnya sifat gotong royong di desa saat ini dan hilangnya upacara budaya pada saat mulai menanam adalah cermin hilangnya sosial budaya


(30)

masyarakat petani Indonesia. Sifat individual yang terjadi di desa saat ini adalah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam pembangunan pertanian di bidang sosial budaya. Hendaknya petani di dorong untuk membentuk kelompok tani yang kuat dan mendorong untuk menghidupkan kembali budaya-budaya menanam yang sudah di wariskan oleh orang-orang terdahulu. Dengan demikian kekuatan budaya dapat mendorong kebersamaan petani dan memotivasi serta merangsang petani untuk bercocok tanam secara kebersamaan.

c. Kemandirian keuangan

Selama ini, manajemen keuangan petani belum di sentuh dalam pembangunan pertanian. Selama ini yang terjadi adalah jika hasil panen petani tinggi, maka petani dianggap berhasil dan pemerintah lepas tangan dalam hal ini. Padahal manajemen keuangan petani sangat penting untuk ditindaklanjuti demi kesejahteraan dan kemakmuaran petani. Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini yang dibantu dengan penyuluh pertanian diharapkan mendorong petani untuk membuat koperasi sendiri dengan modal dari petani sendiri, pengelolaanya dari petani sendiri dan manajemennya dari petani sendiri, sehingga dengan demikian petani bisa berbuat yang terbaik untuk dirinya sendiri (Hasbullah, 2009).

Adapun yang dibutuhkan dalam pengembangan kemandirian petani adalah sebagai berikut:

a. Pengorganisasian komunitas

Proses dialog untuk memperkuat rasa percaya diri dan kritis kesadaran tentang apa, terjadi di masyarakat, penyebab dan dampak terhadap


(31)

masyarakat dan alam serta kebutuhan untuk bersatu. Melalui proses ini, kesadaran masyarakat meningkat pada perlu kemandirian dan melepaskan ketergantungan mereka untuk lain pihak. Setelah petani menyadari pada kondisi, mereka cepat dewasa akan mengetahui alternatif melalui kerja kolektif.

b. Kerja tim yang efektif

c. Menghindari untuk berbicara tentang uang di awal pengembangan, karena apa yang mereka butuhkan pada dasarnya adalah untuk mengubah mental. Kemudian melalui suatu program pengembangan petani, yang diharapkan menjadi hasil utama dengan adanya program tersebut adalah sebagai berikut:

a. Tumbuhnya rasa percaya diri sebagai petani yang kecil, sehingga dapat mandiri.

b. Memberdayakan ekonomi rumah tangga petani c. Merasakan manfaat dari pelatihan kemampuan petani

d. Penguatan kapasitas petani kecil laki-laki dan perempuan dalam pertanian menggunakan lokal sumber daya pertanian yang tersedia.

e. Mengatasi ketergantungan petani kecil untuk input eksternal yang menyebabkan hilangnya pengalaman mereka, pengetahuan dan budaya serta memburuknya sumber daya alam (Astuti, 2010).

Dari teori kemandirian petani ini akan dilihat bagaimana kemandirian petani plasma di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi yang telah diberikan pelatihan pembinaan dan dampingan oleh pihak perusahaan PTPN VI Jambi. Apakah mampu mandiri secara teknis, sosial dan budaya, keuangan dan kelompok.


(32)

2.3 Alex Inkles dan David H. Smith : Manusia Modern

Alex Inkles dan David Smith pada dasarnya juga berbicara tentang pentingnya faktor manusia sebagai komponen penting penopang pembangunan. Pembangunan bukan sekedar perkara pemasokan modal dan teknologi saja. Tetapi dibutuhkan manusia yang dapat mengembangkan sarana material tersebut supaya menjadi produktif untuk ini, dibutuhkan apa yang disebut Inkles sebagai manusia modern.

Apakah manusia modern itu? Dalam buku mereka yang terkenal, Becoming Modern, kedua tokoh itu mencoba memberikan ciri-ciri dari manusia yang dimaksud, yang antara lain meliputi hal-hal seperti keterbukaan terhadap pengalaman dan ide baru, berorientasi ke masa sekarang dan masa depan, punya kesanggupan merencanakan, percaya bahwa manusia menguasai alam dan bukan sebaliknya, dan sebagainya. Ciri-ciri yang diberikannya tentu saja ditambah lagi, atau dikurangi, atau dikritik ketepatannya. Dalam hal ini, Inkles dan Smith tidak berbeda dengan Weber dengan konsep etika protestannya, atau Mclelland dengan konsep n-Achnya. Bedanya, Inkeles dan Smith menguraikan secara lebih rinci dan menguji konsep-konsep ini dalam sebuah penelitian emperis yang meliputi penduduk di enam negara berkembang.

Untuk tujuan buku ini, yang lebih penting adalah teori Inkeles dan Smith tentang proses pembentukan manusia modern. Pertama-tama, mereka menyatakan “kami beranggapan bahwa, bagaimanapun juga, manusia bisa diubah secara mendasar setelah dia menjadi dewasa, dan karena itu tak ada manusia yang tetap menjadi manusia tradisional dalam pandangan dan kepribadiannya hanya karena dia dibesarkan dalam sebuah masyarakat yang tradisional”. Artinya, dengan


(33)

memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia modern setelah dia mencapai usia dewasa.

Dari hasil penelitiannya, Inkeles dan Smith menjumpai bahwa pendidikan adalah paling efektif untuk mengubah manusia. Dampak pendidikan tiga kali lebih kuat dibandingkan dengan usaha-usaha lainnya. Kemudian, pengalaman kerja dan pengenalan terhadap media massa merupakan cara kedua yang efektif. Penemuan ini mendukung pendapat Daniel Lerner yang menekankan pentingnya media massa sebagai lembaga yang mendorong proses modernisasi.

Inkeles dan Smith kemudian menekankan faktor pengamatan kerja, terutama pengalaman kerja di pabrik, sebagai peran dalam mengubah manusia tradisional menjadi modern. Dengan kata lain, seorang manusia tradisional bisa diubah menjadi manusia modern bila dia diterjunkan dalam lembaga-lembaga kerja yang modern. Seorang yang bekerja di pabrik misalnya, dipaksa bekerja untuk menepati waktu, untuk membuat perencanaan, untuk bekerja sama dengan orang lain, dan sebagainya. Dalam penelitiannya, Inkeles dan Smith menemukan bahwa seorang manusia tradisional yang diterjunkan dalam lembaga kerja yang modern bukan saja bisa melakukan adaptasi yang cepat (berbeda dengan persangkaan bahwa dia menjadi bingung dan kehilangan orientasi), tetapi dia juga bisa menyerap nilai-nilai kerja ini kedalam sikap, nilai dan tingkah lakunya. Dengan lain perkataan dia menjadi manusia modern.

Untuk menjelaskan hal ini, Inkeles dan Smith mengambil teori Karl Marx menyatakan bahwa kesadaran manusia ditentukan oleh lingkungan materialnya. Hubungan manusia dengan alat produksinya memberi bentuk dan isi pada kesadarannya. Pendapat itu tampaknya dibenarkan oleh hasil penelitian Inkeles


(34)

dan Smith, di mana manusia tradisional berubah menjadi manusia modern karena bekerja pada lembaga-lembaga kerja yang modern, seperti misalnya di pabrik-pabrik.

Bahkan kedua peneliti ini menemukan bahwa perbedaan etnis dan perbedaan agama, yang dianggap sebagai faktor penting dalam mengubah tingkah laku manusia oleh para ahli ilmu sosial yang menekankan faktor kebudayaan, ternyata kurang berperan penting dalam pembentukan manusia modern. Lebih penting, seperti sudah diungkapkan di atas, adalah faktor pendidikan dan pengalaman kerja di lembaga kerja yang modern. (Arief, 2000: 34-36)

Seperti yang dikatakan oleh Alex Inkeles pendidikan merupakan hal yang paling efektif untuk merubah manusia. Dalam penelitian ini Perusahaan PTPN VI Jambi memberikan pendidikan kepada petani plasma melalui pembinaan dan pelatihan kepada petani plasma mulai dari pelatihan manajemen hingga pelatihan teknis. Disini akan dilihat bagaimana hasil dari pelatihan dan pembinaan yang dilakukan Perusahaan kepada petani, apakah petani mampu menyerap pendidikan dan pelatihan yang diajarkan?, serta apakah petani mampu menerapkan apa yang telah diajarkan perusahaan, seperti penggunaan alat dan mesin pertanian untuk perkebunan kelapa sawit. Inkeles juga menyatakan bahwa manusia tradisional bila diterjukan pada lembaga kerja dapat beradaptasi dengan lingkungan kerja dan menjadi manusia modern, disini akan dilihat apakah petani plasma yang dilibatkan oleh pihak perusahaan dalam pengelolaan perbunan kelapa sawit mulai dari penggunaan teknologi hingga melakukan perencanaan, pengambilan keputusan dan berdiskusi melalui kelompok tani oleh pihak perusahaan bisa merubah pola pikir petani sehingga petani menjadi lebih mandiri.


(35)

Menurut Inkeles, manusia modern memiliki karakteristik sebagai berikut: memiliki sikap hidup untuk menerima hal-hal yang baru dan terbuka untuk perubahan; menyatakan pendapat atau opini mengenai lingkungan sendiri atau kejadian yang terjadi jauh diluar lingkungan serta dapat bersikap demokratis, menghargai waktu dan lebih banyak berorientasi ke masa depan daripada masa lalu, memiliki perencanaan dan pengorganisasian, percaya diri, perhitungan, menghargai harkat hidup manusia lain, lebih percaya pada ilmu pengetahuan dan teknologi dan menjunjung tinggi suatu sikap bahwa imbalan yang diterima seseorang haruslah sesuai dengan prestasinya di masyarakat. (Nanang, 2011; 60-61).

2.4 Perubahan Sosial : Difusi dan Transformasi Nilai A.Difusi

Masyarakat yang paling inventif pun hanya menemukan sendiri sebagaian dari seluruh inovasi yang ada dalam masyarakat itu. Kebanyakan perubahan sosial pada masyarakat yang dikenal merupakan hasil dari proses difusi, yakni penyebaran unsur-unsur budaya dari suatu kelompok ke kelompok lainnya. Difusi berlangsung baik di dalam masyarakat maupun antar masyarakat. Difusi terjadi manakala beberapa masyarakat saling berhubungan. Masyarakat juga dapat mengelakan diri dari difusi dengan cara mengeluarkan larangan dilakukannya kontak dengan masyarakat lain. (Suwarsono, 1990: 76)

Difusi selalu merupakan proses dua-arah. Unsur-unsur budaya tidak dapat menyerap tanpa adanya kontak terntentu antar manusia dan kontak tersebut selalu melahirkan difusi pada kedua belah pihak. Dengan adanya sistem kebun plasma, maka antara pihak perusahaan dengan petani plasma terjadi kontak dan


(36)

komunikasi, hal ini terjadi melalui pelatihan dan pembinaan yang dilakukan perusahaan kepada pihak petani plasma, dimana petani plasma menyerap nilai-nilai yang diajarkan oleh pihak perusahaan. Seperti pengajaran bagaimana cara menanam, memupuk dan merawat tanaman kelapa sawit dengan benar sesuai dengan standar operasional. Manakala terjadi kontak budaya antar dua masyarakat, maka pada umumnya masyarakat yang tingkat teknologinya sederhanalah yang lebih banyak menyerap unsur budaya masyarakat lainnya. Kelompok sosial berstatus rendah biasanya menyerap lebih banyak unsur budaya dari kelompok berstatus tinggi, bukan sebaliknya. Sepertinya halnya perusahaan dengan petani plasma. Dimana petani plasma lebih banyak menyerap nilai-nilai yang diajarkan perusahaan kepada petani, seperti penggunaan dan penerapan teknologi pertanian. Maka akan dilihat apakah petani mampu mengadopsi teknologi yang diajarkan oleh perusahaan kepada petani untuk meningkatkan hasil produksi mereka.

Difusi merupakan suatu proses selektif. Sebuah kelompok menerima beberapa unsur budaya dari kelompok lainnya, dan pada saat bersamaan kelompok itu menolak unsur-unsur budaya dari kelompok lain tersebut. Difusi biasanya disertai dengan modifikasi tertentu terhadap unsur-unsur serapan. Sebagaimana yang telah disinggung terdahulu, setiap unsur budaya memiliki prinsip, bentuk, fungsi, dan makna. Salah satu atau bahkan semua segi tersebut dapat mengalami perubahan ketika suatu unsur budaya diserap. Maka melalui teoti difusi akan dilihat apakah ada terjadinya proses difusi antara perusahaan PTPN VI Jambi dengan petani plasma Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi


(37)

Transformasi menurut Kuntowijoyo adalah konsep ilmiah atau alat analisis untuk memahami dunia. Karena dengan memahami perubahan setidaknya dua kondisi/keadaan yang dapat diketahui yakni keadaan pra perubahan dan keadaan pasca perubahan.

Transformasi merupakan perpindahan atau pergeseran suatu hal ke arah yang lain atau baru tanpa mengubah struktur yang terkandung didalamnya, meskipun dalam bentuknya yang baru telah mengalami perubahan. Kerangka transformasi budaya adalah struktur dan kultur. Sementara itu menurut Capra, transformasi melibatkan perubahan jaring-jaring hubungan sosial dan ekologis. Apabila struktur jaring-jaring tersebut diubah, maka akan terdapat didalamnya sebuah transformasi lembaga sosial, nilai-nilai dan pemikiran-pemikiran. Transformasi budaya berkaitan dengan evolusi budaya manusia. Transformasi ini secara tipikal didahului oleh bermacam-macam indikator sosial. Transformasi budaya semacama ini merupakan langkah-langkah esensial dalam perkembangan peradaban. Semua peradaban berjalan melalui kemiripan siklus proses-proses kejadian, pertumbuhan, keutuhan dan integritas. (Elly dan Usman, 2011: 670)

Berdasarkan uraian di atas, dapatlah disimpulkan bahwa transformasi adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan menyebabkan perubahan pada satu objek yang telah dihinggapi oleh sesuatu tersebut.Jadi transformasi dapat menyebabkan perubahan pada satu objek tertentu. Perubahan tersebut terjadi pula pada masyarakat yang mampu mentransformasi nilai-nilai budaya lokal.

Dalam teori moral socialization atau teori moral sosialisasi dari Hoffman menguraikan bahwa perkembangan moral mengutamakan pemindahan (transmisi)


(38)

norma dan nilai-nilai dari masyarakat kepada anak agar anak tersebut kelak menjadi anggota masyarakat yang memahami nilai dan norma yang terdapat dalam budaya masyarakat. Teori ini menekankan pada nilai dan norma yang tadinya terdapat dalam budaya masyarakat ditransformasikan atau disampaikan kepada masyarakat lain agar masyarakat secara umum memiliki dan memahami nilai-nilai budaya dan dapat dijadikan dasar dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=8&cad=r ja&uact=8&ved=0CHkQFjAH&url=http%3A%2F%2Fjurnal.upi.edu%2Ffile%2F rasid_yunus.pdf&ei=PGsYU4OeAYmLrQfKzYDoCg&usg=AFQjCNHknqKgMc _-k6wQ0sJqhhkrIDIWkg)

Transformasi tidak hanya perubahan berupa mekanisasi dan teknologi tetapi lebih jauh lagi berdampak pada kemampuan ekonomi dan sosial petani, seperti pada terjalin gotong royong dan mampunya petani dalam pembentukan kelompok tani. Penelitian ini akan melihat bagaimana transformasi yang terjadi antara pihak perusahaan dengan petani plasma. Transformasi bisa terjadi bila pihak yang menerima terbuka akan perubahan itu dan melalui perubahan itu apakah masyarakat mampu menghilangkan pikiran negatif sehingga mau menerima peruabahan itu sendiri. Pada teori transformasi nilai akan dilihat apakah ada terjadinya transformasi tentang nilai-nilai yang diajarkan oleh pihak perusahaan kepada petani melalui pelatihan dan pembinaan kepada petani, seperti bagaimana acara penggunaan teknologi, apakah petani mampu menerapkannya atau tidak. Apakah petani mampu menerapkan bagaimana cara penanaman,


(39)

pemupukan dan perawatan tanaman kelapa sawit sesuai standar operasional seperti yang diajarkan oleh pihak perusahaan atau tidak?

2.5 Penelitian Terdahulu

Salah satu pola yang dikembangkan untuk pengembangan Perkebunan Rakyat adalah Perusahaan Inti Rakyat (PIR) Perkebunan. Pola ini dianggap dapat membantu petani pekebun menjadi petani modern yang mengelola kebunnya secara agrobisnis. Pola ini pula diharapkan mampu mengurangi kesenjangan yang terjadi antara Perkebunan Besar dan Perkebunan Rakyat. Pola PIR mulai dikembangkan sejak tahun 1977. Dari data sekunder yang diperoleh BPS, sampai dengan Desember 1995 tercatat 132 lokasi PIR dengan areal penanaman 923.218 Ha, dengan perincian Kebun Inti 296.180 Ha dan Kebun Plasma 627.038 Ha. Tetapi dari keseluruhan lokasi tersebut belum semuanya memberikan hasil yang baik. Salah satu lokasi PIR yang berhasil baik adalah PIR OPHIR di Pasaman Barat, Kabupaten Pasaman, Propinsi Sumatera Barat.

Dari berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan petani plasma, faktor keberhasilan pembinaan kelembagaan memegang peranan penting. Sebab selama masa pengelolaan Perusahaan Inti, peran penting kelembagaan mungkin belum terasa sekali. Pada masa pasca Konversi dimulai, petani plasma diharapkan mampu memanajemeni kebun plasmanya sendiri. Pada tahap inilah kelembagaan terasa manfaatnya.

Namun dalam kenyataannya, kelembagaan petani disebagian besar lokasi PIR yang dikembangkan belum berfungsi dengan baik, seperti petani dengan


(40)

KUD, dan KUD dengan perusahaan inti. Kondisi tersebut di atas masih ditambah dengan masalah kebun yang tidak terawat, produksi rendah, penanganan pasca panen yang kurang baik, rendemen rendah yang pada akhirnya mengakibatkan pendapatan petani menjadi rendah. Namun kondisi-kondisi negative di atas tidak terjadi di PIR OPHIR Pasaman, Sumatera Barat. Hal ini diduga disebabkan oleh pembinaan Kelembagaan Petani Plasma di PIR OPHIR Pasaman, berjalan cukup baik dan proses pembentukan masing-masing lembaga didasarkan pada kebutuhan dan keadaan dari para pelakunya, sehingga pada saat pasca koversi, petani plasma sudah mampu mandiri, dan lembaga-lembaga yang terkait sudah berfungsi dengan baik.

Kondisi positif di PIR OPHIR Sumatera Barat ini menarik untuk dikaji. Berdasarkan uraian tersebut diatas rumusan masalahnya dapat di formulasikan sebagai berikut.

a) Apakah Pembinaan Kelembagaan PIR di OPHIR berfungsi dengan baik, sehingga mempengaruhi kesejahteraan petani plasma

b) Bagaimana proses pembentukan kelembagaan tersebut c) Kelembagaan apa saja yang terbentuk

d) Model kelembagaan apa yang dapat dikembangkan dari kajian kelembagaan OPHIR

Studi kasus ini bertujan untuk mengkaji dan menganalisa model kelembagaan petani plasma di PIR Ophir dan memberikan alternative model modifikasi. Metode penelitian yang digunakan adalah Studi Kasus. Jumlah respondennya 15 orang ketua kelompok tani. Dan 45 orang petani plasma yang


(41)

diambil secara acak. Data yang diperoleh dari studi kasus digunakan sbagai data primer, sedangkan data sekunder diperoleh dari studi kepustakaan. Waktu penelitian dilaksanakan antara bulan Juni 1996 sampai dengan Agustus 1996 Metode analisis yang digunakan adalah analisa deskriptif dan perbandingan.

Dari hasil penelitian yang diperoleh, PIR OPHIR Pasaman yang dibiayai pembangunan dan pembinaannya dari kredit bantuan pemerintah Jerman dan pemerintah Indonesia sebesar 66,56 milyar dan pembinaan petani serta kelembagaannya menerapkan metode Andragogi dan partisipatori melului kegiatan pendidikan, pelatihan, penyuluhan, anjangsana dan dampingan lapangan oleh GTZ secara terus menerus selama 12 tahun.

Metode ini diterapkan sejak merencanakan, mengorganisir, mengevaluasi, memotivasi samapi dengan mendorong partisipatif aktif para petani dalam wadah kelembagaan yang terbentuk yang dimulai dengan pembentukan kelompok tani hamparan. Dari hasil wawancara dengan pemimpin kelompok, koperasi dan pembinaan, ternyata proses pembinaan tersebut tidaklah mudah.

Untuk memberikan pengertian tentang manfaat metode hamparan dengan pemilikan tanaman secara kelompok dan pemilikan tanah secara individu memerlukan waktu dan keuletan. Tetapi setelah satu kelompok tani memahami manfaat dari kesepakatan tersebut dan memberikan hasil yang positif, maka untuk kelompok tani berikutnya tidak memerlukan waktu terlalu lama untuk mengadopsi inovasi tersebut.

Semakin beragam keanggotaan dari satu kelompok tani sebagai lembaga paling depan dari kelembagaan petani plasma PIR selesai, maka pembinaan


(42)

selanjutnya diterapkan pada Koperasi Unit Desa. Pembinaan pada KUD relative lebih mudah. Karena anggotanya yang tergabung dalam kelompok tani telah lebih dahulu terkonsolidasi. KJUD adalah koperasi sekunder yang beranggotakan KUD-KUD merupakan tingkatan kelembagaan petani yang terakhir. Secara prinsip tidak terdapat kesulitan dalam pembinaan KJUB, hanya pada waktu pembentukannya melalui proses yang cukup sulit. Karena koperasi sekunder pada tingkat pedesaan belum pernah ada sebelumnya, yang ada adalah induk Koperasi Unit Desa (KUD) yang berkedudukan di Kabupaten/propinsi. Tetapi hal tersebut dapat diatasi oleh kegigihan pendirinya.

Dengan berfungsinya kelompok tani, KUD dan KUJB memberikan dampak positif pada pengelolaan, perawatan dan produksi kebun plasma. Hal ini terlihat dari rata-rata produksi kebun plasma 25,32 ton/ha/tahun yang melampui rata-rata nasional yang hanya 22ton/ha/tahun. Dengan tingkat rata-rata produksi tersebut, maka rata-rata pendapatan yang direncanakan semula sekitar Rp. 262.500,-/kk/bln dapat meningkat menjadi Rp. 419.820,- sampai dengan Rp. 712.474,-/kk/bln.

Indikasi lain mengenai keberhasilan petani PIR Ophir adalah kemampuan petani dalam mengembalikan kredit. Semula pengembalikan kredit direncanakan 15 tahun dalam pelaksanaannya dalam waktu 10 tahun petani PIR Ophir telah dapat melunasinya.

Dari hasil studi kasus tersebut, dapat disebutkan bahwa model pembinaan kelembagaan petani plasma PIR Ophir berhasil baik. Pembinaan dengan menggunakana dampingan tenaga ahli fasilitator, pembiayaan yang memadai


(43)

sebesar Rp. 8,06 milyar atau 12,20% dari total investasi. Pembinaan yang terus menerus selama 12 tahun dengan metode Androgogi dan partisipatori ternyata efektif. Model pembinaan kelembagaan petani pada pola PIR Ophir merupakan alternative yang kemungkinan dapat diterapkan pada PIR lainnya khususnya PIR perkebunan, khususnya denga komoditi kelapa sawit.

Pada model PIR yang diusulkan, polanya hampir sama dengan pola PIR Ophir, bedanya model pembinaan kelembagaan PIR Ophir adalah partisipatori, sedangkan model pembinaan pada model yang diusulkan adalah partisipatori legalitas dengan menggunakan metode Androgogi dengan kegiatan pendidikan, pelatihan, studi banding sosialisasi dan lain-lain. pada PIR Ophir pembinaan terus menerus selama 12 tahun sedangkan pada model yang diusulkan hanya 5 tahun. Waktu yang diperlukan lebih singkat dangan anggapan pada model yang diusulkan tidak lagi mencari pola-pola dan cara-cara pembinaan kelembagaan karena sudah diperoleh dari pengalaman di PIR Ophir.

Waktu pembinaan yang lebih singkat memungkinkan biaya yang diperlukan untuk pembinaan juga lebih sedikit. Kalau pada pola PIR Ophir biaya yang diperlukan sekitar 12,20% dari total invastasi maka pada model yang diusulkan hanya 5% dari total investasi. Dampingan yang digunakan pada model usulan menggunakan tenaga ahli dalam negeri.

Secara dingkat dapat disimpulkan bahwa model Pembinaan Kelembagaan Petani Plasma PIR Ophir telah dapat meningkatkan pendapatan petani. Hal ini dapat dilakukan karena berfungsinya lembaga-lembaga petani plasma dan sudah melembaganya aturan, pola dan norma petani di PIR Ophir tersebut.


(44)

Pada model yang disulkan karena pola dan cara-cara pembentukan kelembagaan petani plasma dama dengan yang terjadi di PIR Ophir maka yang terjadi di Ophir diharapkan dapat diperoleh lebih baik pada model yang akan di kembangkan. (Basdabella,1996)

2.6 Hipotesis

Hipotesis dapat didefenisikan sebagai suatu pernyataan tentang hubungan logis antara dua variabel atau lebih yang dinyatakan dalam bentuk kuantitatif sehingga dapat diuji kebenarannya. Hipotesis nol yang dilambangkan dengan H0 adalah sebuah proposisi yang menyatakan hubungan yang defenitif dan eksak atau dua variabel atau lebih. Perlu diperhatikan bahwa secara umum, hipotesis nol dirumuskan sebagai hubungan kosong dalam arti korelasi ataupun perbedaan antara populasi variabel-variabel itu tidak ada atau sama dengan nol. Hipotesis alternatif yang dilambangkan dengan H1 atau HA yang merupakan kebalikan dari hipotesis nol adalah sebuah pernyataan yang menjelaskan adanya korelasi atau perbedaan antara populasi dari dua variabel atau lebih (Sukaria, 2011 : 94-104).

H1= Terdapat korelasi positif antara penerapan sistem perkebunan inti-plasma yang dilakukan oleh PTPN VI Jambiterhadap kemandirian petani kelapa sawit.

H0= Tidak terdapat korelasi positif antara penerapan sistem perkebunan inti-plasma yang dilakukan oleh PTPN VI Jambi terhadap kemandirian petani kelapa sawit.


(45)

2.7 Defenisi Konsep

Dalam penelitian ilmiah, disamping berfungsi untuk memfokuskan dan mempermudah suatu penelitian, konsep juga berfungsi sebagai panduan yang nantinya digunakan penelitian untuk menindak lanjuti sebuah kasus yang diteliti dan menghindari terjadinya kekacauan akibat kesalah penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini, antara lain adalah :

1. Sistem adalah kumpulan dari elemen-elemen yang berinteraksi untuk mencapai suatu tujuan tertentu. sistem ini menggambarkan suatu kejadian-kejadian dan kesatuan yang nyata adalah suatu objek nyata, seperti tempat, benda, dan orang-orang yang betul-betul ada dan terjadi.

2. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR)adalah pola pengembangan perkebunan rakyat dengan sistem kemitraan yang memadukan kegiatan produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dalam satu sistem kerjasama terpadu atau koordinasi vertikal, dimana perkebunan besar bertindak sebagai inti dengan beberapa petani pada perkebunan rakyat sebagai plasma. Perusahaan inti disamping mengusahakan kebunnya sendiri juga berkewajiban membangun kebun plasma dan membeli hasil produksi kebun plasma untuk diolah lebih lanjut 3. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik swasta


(46)

(http://h0404055.wordpress.com/2010/04/05/inti-plasma-pir-trans-dan-kkpa-perkebunan-kelapa-sawit/).

4. Kebun Plasma adalah areal wilayah plasma yang dibangun oleh perusahaan Inti dengan tanaman perkebunan.

5. Petani Plasma adalah adalah petani yang memiliki lahan kebun plasma dan terdaftar sebagai anggota KUD. (http://webcache.googleusercontent.com) 6. Pengembangan adalah upaya mengembangkan suatu kondisi masyarakat

secara berkelanjutan dan aktif berdasarkan prinsip-prinsip keadilan sosial dan saling menghargai.

7. Kemandirian adalah kemampuan untuk melakukan kegiatan atau tugas sehari-hari sesuai dengan tahapan perkembangan dan kapasitasnya.

8. Mutualisme adalah hubungan sesama makhluk hidup yang saling menguntungkan kedua pihak. (http://id.wikipedia.org/wiki/Simbiosis)

2.8 Operasional Variabel

Operasional Variabel digunakan untuk melihat variabel-variabel yang menjadi kajian penelitian. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pembangunan sistem kebun plasma yang mempengaruhi pengembangan kemandirian petani kelapa sawit. Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian petani kelapa sawit binaan PTPN VI Jambi.

Defenisi operasional adalah spesifikasi kegiatan peneliti dalam mengukur atau memanipulasi variabel. Defenisi operasional memberikan batasan atau arti


(47)

suatu variabel dengan merinci hal yang harus dikerjakan peneliti untuk mengukur variabel tersebut (Sarwono, 2006 : 12). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Variabel Bebas (X)

Variabel bebas sebagai pengaruh atau penyebab dari variabel lain. Variabel bebas merupakan variabel yang diukur, dimanipulasi, atau dipilih oleh peneliti untuk menentukan hubungannya dengan suatu gejala yang di observasi (Sarwono, 2006 : 54). Variabel dalam penelitian ini adalah sistem kebun inti-plasma. Adapun yang menjadi indikator variabel bebas dalam penelitian ini, yaitu:

1. Manajemen (X1)

2. Permodalan (X2)

3. Pembinaan dan pengembangan SDM (X3)

4. Teknologi (X4)

5. Pemasaran (X5)

2. Variabel Terikat (Y)

Variabel terikat adalah akibat dari variabel yang mendahuluinya, Variabel terikat adalah variabel yang memberikan reaksi jika dihubungkan dengan variabel bebas. Variabel terikat adalah variabel yang variabelnya diamati dan diukur untuk menentukan pengaruh yang disebabkan oleh variabel bebas (Sarwono, 2006 : 54). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemandirian petani plasma kelapa sawit binaan PTPN VI Jambi.


(48)

Adapun yang menjadi indikator variabel terikat dalam penelitian ini, yaitu: 1. Kemandirian teknis (Y1)

2. Kemandirian sosial dan budaya (Y2) 3. Kemandirian keuangan (Y3) 4. Kemandirian kelompok (Y4)

Variabel Bebas (X) Variabel Terikat (Y)

2.9 Bagan Operasional Variabel

Kosep Variabel X Indikator

Sistem Kebun Inti-Plasma

Manajemen 1. Bantuan penyusunan studi kelayakan 2. Sistem Prosedur,

Organisasi dan manajemen

3. Menyediakan tenaga konsultan dan advisor Permodalan 1. Pemberian informasi

sumber-sumber kredit Kemandirian Petani

Kelapa Sawit -Kemandirian Teknis -Kemandirian Sosial -Kemandirian Keuangan -Kemandirian Keuangan Sistem Kebun Inti-plasma

-Manajemen -Permodalan -Pembinaan SDM -Teknologi -Pemasaran


(49)

2. Tata cara pengajuan penjaminan dari berbagai sumber lembaga penjaminan 3. Mediator terhadap

sumber-sumber pembiayaan 4. Informasi dan tata

cara penyertaan modal

5. membantu akses permodalan Pembinaan dan

Pengembangan SDM

1. Pendidikandan pelatihan 2. Magang 3. Studi banding 4. Konsultasi

Teknologi 1. Membantu perbaikan, inovasi dan ahli teknologi pada penanaman dan pemeliharaan kebun sawit


(50)

2. Membantu

Pengadaan sarana dan prasarana produksi sebagai unit percontohan

3. Membantu perbaikan sistem produksi dan kontrol kualitas 4. Membantu

pengembangan desain dan rekayasa produk 5. Membantu

meningkatkan efesiensi pengadaan bahan baku

Pemasaran 1. Membantu akses

pasar

2. Memberikan bantuan informasi pasar 3. Memberikan bantuan

promosi

4. Mengembangkan jaringan usaha


(51)

5. Membantu melakukan

identifikasi pasar dan perilaku konsumen 6. Membantu

peningkatan mutu produk dan nilai tambah

Kemandirian Petani Variabel Y Indikator

Kemandirian Teknis Pengajaran pengembangan

kemampuan pertanian dalam :

1. Penamaman

2. Pemupukan dengan komposisi yang sesuai

3. Pemeliharaan tanaman Kemandirian Sosial dan

Budaya

1. Mampu mendorong kebersamaan petani untuk bercocok


(52)

tanam

2. Mampu saling

bergotong royong Kemandirian Keuangan 1. Mampu membentuk

koperasi dengan modal petani dan memanajemennya sendiri

2. Mampu memanajemen

keuangan rumah tangga secara mandiri Kemandirian Kelompok 1. Mampu membentuk

kelompok dan asosiasipetani

2. Kelompok aktif dan mampu berdiskusi mengenai masalah tanaman dan masalah

yang dihadapi anggota kelompok


(53)

3. Berbagi informasi antar anggota kelompok


(54)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian survey yang bersifat kuantitatif digunakan untuk meneliti gejala suatu kelompok atau perilaku individu, meneliti tindakan dan bersifat mengukur atau memperkirakan, mengadakan evaluasi yang dilakukan kepada sejumlah individu. Survey dalam penelitian ini berupa deskriptif merupakan tipe pendekatan dalam penelitian yang penelaahannya kepada satu masalah penelitian yang intensif, mendalam, mendetail dan komprehensif. Pada tipe penelitian ini, seorang atau suatu kelompok yang diteliti, permasalahannya ditelaah secara komperhensif mendetail dan mendalam. Berbagai variabel di telaah dan ditelusuri, termasuk juga kemungkinan hubungan antara variabel yang ada.

3.2 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian ini dilakukan di Kebun Bunut desa Berkah Sungai Bahar Jambi. Alasan peneliti lokasi ini karena di daerah ini merupakan kebun plasma aktif yang dikelola PTPN VI Jambi yang menjadi sumber pendapatan petani binaan PTPN VI Jambi. Terlebih lagi peneliti mempunyai akses untuk mendapatkan informasi dan data yang lebih akurat.


(55)

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Menurut Burhan Bungin populasi penelitian merupakan keseluruhan (universum) dari objek penelitian yang dapat berupa manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, udara, segala, nilai, peristiwa, sikap hidup, dan sebagainya, sehingga objek-objek ini dapat menjadi sumber data penelitian (Bungin, 2009). Populasi penelitian ini adalah seluruh petani plasma yaitu sebanyak 406 Kepala Keluarga yang ada di Kebun Bunut desa Berkah Jambi.

3.3.2. Sampel

Sampel adalah sebagian dari populasi yang menjadi sumber data yang sebenarnya, merupakan wakil populasi yang diteliti. Pengambilan sampel dimaksudkan sebagai representase dari seluruh populasi sehingga kesimpulan berlaku bagi keseluruhan populasi. Teknik penarikan sampel yang digunakan yaitu teknik cluster random sampling. Teknik ini digunakan apabila populasinya menunjukan unit-unit yang berumpun atau berkelompok, tanpa ada pada tingkatan masing-masing kelompok atau rumpun yang ada (Sanafiah,2007:36). Untuk itu peneliti memilih sampel dari petani kebun plasma sebanyak 406 kepala keluarga, menggunakan rumus dari Taro Yamane, maka sampelnya :

Rumus Perhitungan Sampel:

Keterangan:

n = Jumlah sampel yang dicari N = Jumlah populasi


(56)

Pada lokasi penelitian di Kebun Bunut PTPN VI Jambi, petani plasma sebanyak 406 kepala keluarga. Jadi sampel yang diambil adalah:

1. Petani plasma:

,23

n = 80

Penelitian ini menggunakan korelasi dari Spearman, korelasi ini efektif bila sampel tidak lebih dari 30 responden. Maka dari 80 sampel yang di dapat dikelompokan berdasarkan tingkat pendidikan, yaitu SMA dan S1 sebanyak 26 orang dan untuk tingkat SD dan SMP sebannyak 54 Orang, untuk itu dilakukan pemilihan sampel secara acak/random dan didapat hasil SD dan SMP sebanyak 26 orang. Maka total sampelnya adalah 52 orang petani plasma.

3.3.3 Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik-teknik sebagai berikut :

A. Teknik Pengumpulan Data Primer

Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari narasumber asli (tidak melalui media perantara). Data primer dapat berupa opini subjek (orang) secara individual atau kelompok, hasil observasi terhadap suatu benda (fisik), kejadian atau kegiatan, dan hasil pengujian dalam penelitian tersebut.


(57)

Metode yang digunakan untuk mendapatkan data primer yaitu : a. Kuesioner

Kuesioner adalah pengumpulan data dengan menyebarkan pertanyaan yang tersusun secara dalam bentuk angket yang diberikan kepada responden dan diisi oleh responden. Jenis angket yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bersifat tertutup berdasarkan skala likert. Skala likert yaitu skala yang bertujuan untuk mengukur sikap, pendapat, persepsi responden terhadap suatu objek, dimana dalam angket diberikan pertanyaan sehingga responden dibatasi dalam memberikan jawaban.

b. Wawancara

Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang di wawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara. Dengan adanya wawancara para petani dapat menjawab sejauh mana keberhasilan sistem kebun plasma dalam meningkatkan kemandirian petani di Kebun Bunut desa Berkah Jambi.

B. Teknik Pengumpulan Data Sekunder

Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek penelitian. Pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini dilakukan dengan cara kepustakaan dan pencatatan dokumen, yaitu dengan mengumpulkan data dan mengambil refrensi, dokumen, makalah, jurnal, serta bahan dari situs internet yang dianggap revelan dengan masalah yang diteliti. Dalam penelitian ini


(58)

tentunya yang berkaitan dengan fungsi kebun inti-plasma dalam pengembangan kemandirian petani.

3.3.4 Instrumen dan Aspek Pengukuran A. Instrumen

Instrumen adalah alat yang dipakai untuk pengumpulan data adalah berupa kuesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Kuesioner berisi pertanyaan tentang sistem kebun plasma terhadap kemandirian petani. Bagaimana kemandirian petani setelah diberi pelatihan dan pembinaan, apakah mempengaruhi kemandirian mereka.

B. Aspek Pengukuran

Aspek pengukuran dari penelitian didasarkan dari jawaban responden terhadap pertanyaan yang diberikan disesuaikan dengan skor. Pada penelitian ini kuesioner terdiri dari 56 pertanyaan untuk petani plasma yang diberikan kebun kelapa sawit plasma serta pelatihan dan pembinaan oleh perusahaan untuk meningkatkan kemandirian petani. Pengukuran dilakukan menggunakan instrumen yaitu dengan skala linkert dan skala ordinal. Skala Linkert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial. Skala ordinal yaitu jenis skala yang menunjukkan tingkatan-tingkatan tertentu, dengan ketentuan :

1. Sangat Setuju (SS) : berpoin 5

2. Setuju (S) : berpoin 4

3. Ragu-ragu (R) : berpoin 3 4. Tidak Setuju (TS) : berpoin 2


(59)

3.3.5 Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian kuantitatif peneliti dapat mengumpulkan data dari hasil kuesioner yang bersifat tak langsung terbuka. Data tersebut semua umumnya masih dalam bentuk hasil penelitian langsung, oleh karena itu perlu diseleksi dan dibuat kategori-kategori. Data yang diperoleh dari kepustakaan juga terlebih dahulu dievaluasi untuk memastikan relevansinya dengan permasalahan penelitian. Setelah itu data dikelompokan menjadi satuan yang dikelola kemudian dapat dilakukan interpretasi data mengaju pada tinjuan pustaka (Faisal, 2007:275). Disini peneliti akan mengelompokan data-data yang diperoleh dilapangan berdasarkan program yang diberikan dalam sistem kebun plasma dan bagaimana pengaruhnya terhadap kemandirian petani, dari hasil penyebaran kuesioner yang selanjutnya akan dipelajari, ditelaah dan di analisis secara deskriptif secara seksama agar diperoleh hasil atau kesimpulan yang baik.

A. Pengolahan

Proses pengolahan data dalam penelitian ini dilakukan melalui tahap sebagai berikut:

1. Pengeditan Data (Editing)

Kegiatan ini dilakukan untuk meneliti setiap daftar pertanyaan yang telah diisi, berkaitan dengan kelengkapan pengisian, kejelasan, relevansi, dan konsistensi jawaban dan koreksi terhadap kesalahan pengisian.

2. Pengkodean Data (Coding)

Pemberian kode yang dimaksudkan untuk mempermudah pada saat analisis data dan juga mempercepat pada saat pemasukan data, yaitu


(60)

dengan memberikan kode pada pertanyaan penelitian dalam kuesioner

3. Pemasukkan Data (Entry)

Tahapan ini dilakukan dengan cara menghitung data secara statistik untuk diolah dan dianalisis menggunakan SPSS.

4. Pengecekan Data (Cleaning)

adalah pengecekan data yang sudah dimasukkan, apakah ada kesalahan atau tidak.

B. Analisis Data

Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan dipresentasikan (Singarimbun, 1995 : 263). Untuk menganalisis data pada penelitian ini peneliti menggunakan analisis tabel tunggal dan analisis korelasional.

1. Analisis Tabel tunggal

Merupakan suatu analisis yang dilakukan dengan membagi-bagikan variabel penelitian ke dalam kategori-kategori yang dilakukan atas dasar frekuensi. Tabel tunggal merupakan langkah awal dalam menganalisa data yang terdiri dari kolom, sejumlah frekuensi dan presentase untuk setiap kategori. (Singarimbun, 1995:266).

2. Analisis Korelasi

Analisa data statistik dengan menggunakan program SPSS 20.0 dengan melakukan analisis antara variabel-variabel sehingga dapat diketahui hubungan antara sistem kebun plasma dalam pengembangan kemandirian petani kelapa


(61)

sawit. Analisis korelasi yang digunakan adalah korelasi tata jenjang dari Spearman. Teknik ini digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan dua variabel yang datanya berupa jenjang atau ranking (Suharsimi, 2005:328).


(1)

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan keseluruhan hasil penelitian dan analisis data tabel tunggal dan korelasi, maka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan:

1. Sistem kebun inti-plasma dapat ditunjukan bahwa adanya hubungan korelasi yang signifikan antara variabel kebun plasma dengan kemandirian variabel petani kelapa sawit.

2. Sistem kebun plasma yang diberikan perusahaan mulai dari manajemen, pembinaan dan pengembangan SDM, teknologi dan pemasaran sangat berpengaruh pada kemandirian petani plasama. Dalam hal ini terjadi transformasi dan difusi, petani menyerap nilai-nilai yang diajarkan oleh pihak perusahaan melalui pelatihan dan pembinaan.

3. Petani plasma yang telah diberikan pembinaan dan pelatihan sudah mampu mengelola kebun plasma tanpa di damping lagi oleh pihak perusahaan. 4. Petani plasma binaan PTPN VI Jambi di Kebun Bunut Unit X Jambi telah

mampu mengelola dan menjalankan kebun plasma. Petani juga telah mandiri secara teknis, mandiri secara sosial dan budaya, mandiri secara keuangan dan mandiri secara kelompok.

5. Faktor pendidikan sangat mempengaruhi kemandirian petani dalam mengelola perkebunan plasma. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi memiliki kemampuan yang lebih tinggi dibanding tingkat pendidikan yang lebih rendah. Dimana pada tingkat SMA dan S1 lebih mandiri di bidang


(2)

teknis, sosial, keuangan dan kelompok di banding tingkat SD dan SMP seperti pada teori Alex Inkeles dimana pendidikan hal paling efektif untuk mengubah manusia, hal ini dapat kita lihat dari perbedaan antara tingkat pendidikan menengah bawah dan tingkat menengah atas.

6. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan petani yaitu, bagaimana perusahaan memberikan program pembinaan kepada petani plasma dan bagaimana petani menerima pembinaan tersebut. Faktor pendidikan sangat berpengaruh pada kemandirian petani plasma.

7. Kegagalan petani banyak di sebabkan karena kurangnya bisanya petani dalam memanajemen keuangan dan kurangnya arahan petani dalam memanajemen permodalan baik berupa lahan atau pun pinjaman. Hal ini menyebabkan banyak petani menjadi tidak berdaya dan menjadi buruh panen di lahan orang lain.

8. Kurangnya pemberian arahan pada pihak petani plasma akan pentingnya pengelolaan modal membuat banyak petani plasma lebih tergiur untuk menjual lahan plasma tersebut dan kebanyakan petani tidak bisa mengelola hasil penjualan lahan mereka yang berakibat kemelaratan.

5.2 Saran

Dari beberapa kesimpulan di atas peneliti ingin menyampaikan beberapa saran bagi setiap yang membacanya terutama bagi dosen, mahasiswa dan pemerintahan khususnya di bidang perkebunan.


(3)

kemandirian petani baik dalam hal pengelolaan perkebunan dan sosial ekonomi petani. Tetapi berdasarkan tujuan pengembangan masyarakat, petani masih membutuhkan perhatian khusus yang dapat membantu memberdayakan sumber daya manusia sehingga mereka bisa lebih berkembang dan mandiri.

2. Diharapkan perusahaan dan masyarakat dapat saling bekerjasama dalam meningkatkan kesataraan sosial ekonomi, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Perusahaan dan masayarakat yang ada di lingkungan perusahaan dapat sama-sama mengantisipasi dampak negatif yang ditimbulkan. Perusahaan agar dapat membantu mengembangkan masyarakat di sekitar perusahaan dengan program-program yang lain bagi masayarakat selain petani.

3. Diharapkan adanya peningkatan interaksi antara masyarakat dengan pihak perusahaan. Tidak hanya segelintir pihak perusahaan dengan wakil dari masyarakat, tetapi dapat berbaur langsung dengan masayarakat. Sehingga hubungan antara perusahaan dan petani dapat langgeng dan loyalitas.

4. Sosialisasi tentang program-program perusahaan yang dapat membantu masayarakat sekitar perusahaan harus lebih ditingkatkan lagi agar masyarakat mengetahui dan dapat ikut andil di dalamnya agar benar-benar tercipta kerja sama yang baik antara perusahaan dan masyarakat.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alvin Y.So, Suwarsono. 1990. Perubahan Sosial dan Pembangunan di Indonesia.: LP3ES

Arikunto, Suharsimi. 2005. Manajemen Penelitian: Rineka Cipta

Bambang S. Laksmono, Dwi Kristianto S. Hut. 2010, Revisi UU NOMOR 18 TAHUN 2004 Upaya Mewujudkan Kesejahteraan, Kepastian Hukum dan Menjawab Tantangan Pembangunan Perkebunan Di Masa datang. Jurnal Pembangunan Nasional

Basdabella, Supri. 1996 Pengembangan Model Pembinaan Kelembagaan Petani Plasma PIR Studi Kasus PIR Ophir Pasaman, Sumatera Barat.

Budiman, Arief. 2000. Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Bungin, Burhan. 2009. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

Faisal, Sanafiah. 2007. Format-Format Penelitian Sosial. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Horton,Paul B. dan Chester L. Hunt. 1992. Sosiologi Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga

Kartika, Indah. 2010. Peran Kemitraan Corporate Social Responsibility dalam Pengembangan Kemandirian Petani. Skripsi. Medan :Universitas


(5)

Martono, Nanang 2011. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Mustofa dan Suratman 2013. Penggunaan Hak Atas Tanah untuk Industri. Jakarta: Sinar Grafika

Poloma, Margaret. 2007. Sosiologi Kotemporer. Jakarta: Rajagrafindo Persada Rahardjo.1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: Gadjah

Mada University Press

Sarwono Jonathan 2006. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu

Setiadi M Elly dan Usman Kolip. 2011 Pengantar Sosiologi Jakarta: Kencana Prenadamedia Group

Singarimbun, Masri. 1989. Metode Penelitian Sosial. Jakarta : LP3ES

Sinulingga, Sukaria. 2011. Metode Penelitian. Medan : USU Press

Suprino, Agus dan Hariadi Kartodihardjo. 2000. Dampak Pembangunan Sektoral terhadap Konversi dan Degradasi Hutan Alam: Kasus Pembangunan HTI dan Perkebunan di Indonesia.Occasional Paper.

Tambunan, Mangara. 2013. Studi Revitalisasi Aliansi PTPN VI Terhadap Plasma di Wilayah Jambi. Center For Economic and Social Studies.

Pakaya, Sumiati Pakaya 2014. Etos Kerja Petani (Studi di Desa Sukamaju Kecamatan Wonosari Kabupaten Boalemo)


(6)

Wigena, Putu I Gusti. 2009. Desain Model Pengelolaan Kebun Kelapa Sawit Plasma Berkelanjutan Berbasis Pendekatan Sistem Dinamis. Jurnal Agro Ekonomi

Sumber Internet:

(http://www.academia.edu/3776399/REVISI_UNDANG-UNDANG_PERKEBUNAN)


Dokumen yang terkait

Perneliharaan Tanarnan Kelapa Sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Menghasilkan di Kebun lnti dan Plasma PIR Trans Sei Tungkal PT Agrowiyana, Jambi

0 11 89

Faktor–Faktor yang Berhubungan dengan Produktivitas Kerja Petani Kebun Plasma Kelapa Sawit (Studi Kasus Kebun Plasma PTP. Mitra Ogan, Kecamatan Peninjauan, Sumatra Selatan)

1 10 96

PENDAPATAN PETANI KELAPA SAWIT SEBELUM PENDAPATAN PETANI KELAPA SAWIT SEBELUM DAN SESUDAH MENJADI PETANI PLASMA ( Studi Kasus : Pada Petani Perkebunan Plasma, PT. Perkebunan Nusantara XIII ( Persero ), Kebun Gunung Emas, Provinsi Kalimantan Barat, Tah

0 8 24

PENDAHULUAN PENDAPATAN PETANI KELAPA SAWIT SEBELUM DAN SESUDAH MENJADI PETANI PLASMA ( Studi Kasus : Pada Petani Perkebunan Plasma, PT. Perkebunan Nusantara XIII ( Persero ), Kebun Gunung Emas, Provinsi Kalimantan Barat, Tahun 2009 ).

0 4 25

Analisa Perbandingan Keuntungan Antara Petani Kelapa Sawit (Elaeis guineensis J.) Kebun Plasma dengan Kebun Rakyat Di Kenagarian Manggopoh Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam.

0 0 6

Analisis Regresi Data Panel Pada Pemodelan Produksi Panen Kelapa Sawit Di Kebun Sawit Plasma Kampung Buatan Baru

0 0 12

Perilaku Rumah Tangga Petani Plasma Kelapa Sawit

0 6 238

BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Teori Fungsionalisme Struktural Robert Merton - Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Sistem Kebun Plasma Dalam Pengembangan Kemandirian Petani Plasma Kelapa Sawit Di Kebun Bunut Unit X Sungai Bahar Jambi

0 0 13

KAJIAN KEMAMPUAN EKONOMI PETANI DALAM PELAKSANAAN PEREMAJAAN KEBUN KELAPA SAWIT DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR KABUPATEN MUARO JAMBI

0 1 18