Pengaruh luas perindukan nyamuk tidak signifikan mempengaruhi kerapatan kasus
positif malaria di desa perindukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa luas perindukan nyamuk
tidak mampu memberikan hubungan linear terhadap kerapatan kasus positif malaria tiap
desa. Hal tersebut disebabkan oleh luas perindukan tanpa memperhatikan luas
pemukiman penduduk; sebagai host parasit malaria dan sumber darah vektor malaria,
tidak memberikan hubungan yang nyata terhadap jumlah kasus ataupun kerapatan
kasus malaria di desa tersebut.
Jelajah jarak terbang nyamuk di Kabupaten Sukabumi mempengaruhi luas
perindukan dan habitat nyamuk. Jelajah nyamuk 3 mil memiliki luas perindukan dan
habitat nyamuk paling besar dibandingkan dengan luas perindukan dan habitat dengan
jelajah nyamuk 1 mil dan 2 mil. Luas pemukiman pada jelajah nyamuk 3 mil, juga
paling besar dibandingkan luas pemukiman pada jelajah 1 mil dan 2 mil. Kondisi tersebut
menyebabkan hubungan luas pemukiman terhadap kepadatan kasus tiap desa
perindukan semakin kecil atau menjadi tidak signifikan dengan bertambahnya jelajah
nyamuk. Kontak langsung antara vektor malaria terhadap penduduk semakin
berkurang atau jarang terjadi. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya penurunkan jumlah
penderita malaria di desa perindukan berdasarkan karakteristik lingkungan.
Peningkatan luas pemukiman di desa perindukan juga mengindikasi semakin
tingginya faktor sosial-ekonomi dan migrasi mempengaruhi penyebaran kasus positif
malaria. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan luas pemukiman terhadap kasus
malaria di desa perindukan semakin tidak nyata R
2
semakin kecil pada penambahan jelajahjarak terbang vektor malaria. Faktor
sosial-ekonomi dan migrasi penduduk diduga memberikan pengaruh dominan terhadap
penyebaran kasus positif malaria setiap penambahan jelajah nyamuk. Hubungan linier
faktor lingkungan luas pemukiman penduduk dan luas perindukan nyamuk terhadap
kerapatan kasus positif malaria di desa perindukan vektor malaria pada masing-
masing jelajah nyamuk ditunjukkan oleh Gambar 22.
y = 0.0007x R
2
= 0.1594 y = 0.003x
R
2
= 0.6466
2 4
6 8
10 12
14 16
1000 2000
3000 4000
5000 6000
7000
Luas ha Ke
r a
patan Kas u
s jiw a
ha
Perindukan Pemukiman
Linear Perindukan Linear Pemukiman
a
y = 0.0003x R
2
= 0.2929 y = 0.0017x
R
2
= 0.0289
1 2
3 4
5 6
7
2000 4000
6000 8000
10000 12000
Luas ha K
e pa
da ta
n K a
s us
ji w
a ha
Perindukan Pemukiman
Linear Perindukan Linear Pemukiman
b
y = 0.0004x R
2
= 0.2175 y = 0.0018x
R
2
= -0.0842 1
2 3
4 5
6 7
8 9
2000 4000
6000 8000
10000 12000
Luas ha
K e
pa da
ta n K
a su
s ji
w a
h a
Perindukan Pemukiman
Linear Perindukan Linear Pemukiman
c Gambar 22 Hubungan kerapatan kasus
terhadap luasan perindukan dan pemukiman tiap desa perindukan dengan jelajah nyamuk
a 1 Mil, b 2 Mil dan c 3 Mil.
5.3. Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria
5.3.1. Zona Risiko Malaria Berdasarkan Unsur Lingkungan
Pola spasial malaria berperan untuk mengetahui penyebab insiden malaria di suatu
wilayah berlangsung secara konsisten dalam kurun waktu tertentu. Peta risiko malaria yang
dibuat secara tumpang susun di atas peta tata ruang dan penutupan lahan LandUsed dan di
atas peta topografi dan hidrologi akan
memberikan informasi untuk mencermati keterkaitan malaria dengan variabel
lingkungan. Keterkaitan antara pola penyebaran malaria dan variabel lingkungan
dalam kurun waktu tertentu, mengindikasikan penyebaran kawasan endemis malaria.
Sebaran kasus positif malaria menurut LandUsed, altitude dan slope ditunjukkan
pada Lampiran 1., Lampitan 2. dan Lampiran 3.
Penentuan zona risiko malaria juga berdasarkan pada pemahaman epidemiologi
vektor malaria dan ekologi nyamuk Anopheles sp. Wibowo, 2005. Ketinggian tempat
altitude, Kemiringan lereng slope dan penggunaan lahan LandUsed merupakan
variabel lingkungan yang dominan mempengaruhi pola penyebaran perindukan
dan habitat nyamuk. Ketiga variabel tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda
terhadap populasi nyamuk dan pola penyebaran perindukan nyamuk di Kabupaten
Sukabumi. Kisaran parameter lingkungan tersebut dibatasi oleh batas atas Z
nt
dan batas
bawah Z
mt
dari masing-masing parameter lingkungan.
Range = { batas bawah Zmt , batas atas Znt}…………………………..14
dimana penutupan lahan LandUsed; t=1, ketinggian altitude; t=2, dan kemiringan
lereng slope; t=3. Parameter-parameter lingkungan tersebut dikombinasikan dengan
menggunakan Boolean Operator pada sistem koordinat kartesius, dengan model matematika
sebagai berikut:
...15 Overlay
input data dari parameter lingkungan dilakukan dengan Weighted
Overlay, dengan persamaan sebagai berikut:
, ,
α
g z
y x
f ZR
y =
=
.............16 dengan
. ..........17
dengan y
ZR
sebagai nilai dugaan luas sebaran
zona risiko malaria, x sebagai luas penggunaan lahan LandUsed, y sebagai luas
ketinggian tempat altitude dan z sebagai luas
kemiringan lereng slope pada daerah endemis malaria i dan wilayah Kabupaten
Sukabumi j. Sedangkan pengaruh masing- masing unsur tiap input sebagai berikut:
...................18 Dengan
....19
dimana Y
S
sebagai bobot tiap unsur dari
masing-masing parameter lingkungan, x
ik
, y
ik
dan z
ik
sebagai luas unsur k pada LandUsed, altitude dan slope di daerah endemis malaria.
Sedangkan P , P
20
, P
60
, P
80
dan P
100
merupakan persentile 0 sampai 100 yang digunakan untuk menentukan interval kelas
pembobotan tiap unsur data lingkungan. Penentuan kawasan endemis malaria
membantu dalam penentuan zona risiko malaria. Hal ini disebabkan oleh kesamaan
variabel lingkungan sebagai input dalam menentukan kawasan endemis malaria
maupun zona risiko malaria
. Penularan
malaria dominan dipengaruhi oleh altitude. Hal tersebut berdasarkan pada peranan
altitude mempengaruhi distribusi suhu udara; yang mempengaruhi proses metabolisme,
pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ward, 1992 dalam Saleh, 2002. Semakin
rendah ketinggian suatu tempat mengindikasikan semakin tinggi suhu udara di
tempat tersebut dan sebaliknya, semakin tinggi ketinggian suatu tempat
mengindikasikan semakin rendah pula suhu udara. Interval suhu udara di dataran rendah
khususnya daerah pantai di Kabupaten Sukabumi merupakan kisaran suhu udara
optimum bagi metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Anopheles. Sedangkan
kisaran suhu udara di dataran tinggi khususnya pegunungan merupakan batas
bawah untuk metabolisme dan perkembangbiakan nyamuk. Sebaran
pengaruh ketinggian tempat altitude terhadap penyebaran zona risiko malaria di
Kabupaten Sukabumi ditunjukkan pada Gambar 23. Sedangkan pengaruh tiap
ketinggian tempat altitude dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi
secara terperinci ditunjukkan pada Tabel 7.
43
Gambar 23 Peta sebaran kalsifikasi pembobotan scoring dari ketinggian tempat altitude.
Tabel 7 Klasifikasi Pengaruh Ketinggian Tempat Altitude terhadap
Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi
Klasifikasi Unsur Bobot
0-360 mdpl 6
360-620 mdpl 4
620-880 mdpl 4
880-1140 mdpl 2
1140-1400 mdpl 2
1400-1660 mdpl 1
1660-1920 mdpl 1
1920-2180 mdpl 1
2180-2440 mdpl 1
2440-2700 mdpl 1
Data lingkungan Slope dan LandUsed mempengaruhi distribusi habitat dan tempat
perindukan nyamuk. Sawah, tambak dan laguna merupakan tempat perindukan nyamuk
yang utama. Kondisi lahan tersebut memberikan tempat aman bagi nyamuk untuk
bertelur sehingga dapat berkembang biak dengan baik. Kondisi kemiringan lereng
slope turut mempengaruhi populasi vektor malaria. Lereng terjal memiliki aliran arus air
yang besar; dapat mempengaruhi perkembangan telur. Aliran air yang deras
akan merusak telur nyamuk. Hal ini menyebabkan jumlah populasi nyamuk di
lahan sawah di perbukitan akan jauh lebih kecil dibandingkan populasi nyamuk di lahan
sawah pada dataran rendah landai. Sebaran pengaruh kemiringin lereng slope dan
penggunaan lahan altitude terhadap penyebaran zona risiko malaria dapat dilihat
pada Gambar 24. dan Gambar 25.
Pengaruh tiap slope dan LandUsed dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten
Sukabumi secara terperinci ditunjukkan pada Tabel 8. dan Tabel 9.
Tabel 8 Klasifikasi Pengaruh Kemiringan Lereng Slope terhadap Penentuan
Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi
Klasifikasi Unsur Bobot
0-10 6
10-20 3
20-30 2
30-40 1
Klasifikasi Unsur Bobot
40-50 1
50-60 1
60-70 1
70-80 1
80-90 1
90-100 1
Tabel 9 Klasifikasi Pengaruh Penggunaan Lahan LandUsed terhadap
Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi
Klasifikasi Unsur Bobot
Hutan 5 Pemukiman 3
Perkebunan 4 Sawah Irigasi
2 Semak Belukar
4 Lahan Terbuka
3 Tegalan 4
Sungai 2 Sawah Tadah Hujan
2 Peta lingkungan, yaitu: Peta Sebaran
Ketinggian Tempat Altitude, Peta Sebaran Kemiringan Lereng Slope dan Peta Sebaran
Penggunaan Lahan LandUsed; memberikan pengaruh yang berbeda dalam penentuan zona
risiko malaria di Kabupaten Sukabumi. Pengaruh masing-masing peta lingkungan
secara terperinci ditunjukkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Pengaruh Variabel Lingkungan dalam Penentuan Zona Risiko Malaria di
Kabupaten Sukabumi
Unsur Pengaruh
Altitude 46 Slope 31
LandUsed 23
Total 100
45
Gambar 24 Peta sebaran kalsifikasi pembobotan scoring dari kemiringan tempat slope.
46
Gambar 25 Peta sebaran kalsifikasi pembobotan scoring dari penggunaan lahan LandUsed.
Pengaruh altitude dalam penentuan zona risiko malaria merupakan pengaruh dominan
46. Hal tersebut didukung oleh pemahaman pengaruh altitude terhadap
distribusi suhu untuk metabolisme dan pertumbuhan serta perkembangan nyamuk.
Sedangkan pengaruh kemiringan lereng dan penggunaan lahan mempengaruhi jumlah
populasi nyamuk. Kemiringan lereng slope dapat mereduksi jumlah vektor malaria,
sedangkan penggunaan lahan LandUsed, meningkatkan jumlah vektor nyamuk.
Hubungan penggunaan lahan dan kemiringan lereng terhadap jumlah populasi nyamuk
Anopheles saling berkaitan. Hal ini mengindikasikan bahwa persentase pengaruh
penggunaan lahan dan kemiringan lereng terhadap penentuan zona risiko malaria
hampir sama.
Pengaruh peta lingkungan dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten
Sukabumi berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh distribusi jenis nyamuk yang
dominan pada masing-masing daerah, sehingga penentuan tempat perindukan dan
habitat nyamuk pada masing-masing daerah akan berbeda pula. Pengaruh variabel
lingkungan terhadap penentuan zona risiko malaria di masing-masing daerah akan lebih
baik berdasarkan kegiatan surveilens Wibowo, 2005. Pembobotan dari masing-
masing peta lingkungan yang di-overlay akan menghasilkan peta zona risiko malaria sesuai
kondisi lingkungannya, seperti ditunjukan pada Gambar 26.
Overlay sebaran zona risiko malaria terhadap sebaran kasus malaria di Kabupaten
Sukabumi Gambar 27. menunjukkan sebagian besar kasus positif malaria berpusat
di zona risiko malaria yang tinggi. Hubungan zona risiko malaria terhadap kerapatan kasus
menunjukkan hubungan linear yang positif 93,5, seperti ditunjukan pada Gambar 28.
Kondisi ini menunjukkan bahwa kombinasi peta lingkungan altitude, slope, LandUsed
dapat mempengaruhi kerapatan kasus di daerah tersebut. Jumlah kasus malaria dalam
zona risiko malaria tiap desa secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah Kasus dan Kepadatan Kasus dalam Zona Risiko Malaria Tiap Desa Tahun 2004 Luas ha
Desa Luas
Desa ha Non
Risk Low
Risk Medium
Risk High
Risk Zona
Jumlah Kasus
Kepadatan Kasus
Banyuwangi 1260.08 0 0 8 1236 1244 32
0.03 Cibenda 11147.26
0 9 10875
10884 7 0.00 Cicadas 3960.43
54 1213
2136 479
3882 1
0.00 Ciemas
5481.09 0 9 1224 4190 5423 45 0.01 Cihaur
2424.91 0 70 870 1457 2397 17 0.01 Cikangkung 2809.21 0 0
0 2776 2776 19 0.01 Cikelat
1305.77 0 416 569 309
1294 4 0.00 Cilangkap 5296.23 0
758 1574 2907 5239 125 0.02 Cimaja
909.26 0 9 212 685 906 1 0.00 Cipeundeuy 2852.52 0 0
0 2776 2776 3 0.00 Cisolok
869.74 0 0 10 850 860 10 0.01 Citanglar 1460.7
0 0 1448
1448 5
0.00 Citarik
1630.36 0 23 261 1326 1610 1 0.00 Citepus
1417.45 0 27 176 1201 1404 2 0.00 Ciwaru 3432
53 3325
3378 13
0.00 Girimukti 6142.31 0
167 1463 4380 6010 68 0.01 Gunungbatu 7893.52 0 0
0 7701 7701 58 0.01 Kadaleman 1498.79 0 0
0 1476 1476 2 0.00 Karanganyar 1748.91 0 28 500 1203 1731 9 0.01
Kertajaya 3954.42 0
255 1407 2244 3906 411 0.11 Langkapjaya 2865.37 0 181 917 1734 2832 539
0.19 Lengkong 2361.36 0 0 755
1577 2332 6 0.00
Loji 3035.21 183
683 2143
3009 60
0.02 Mekarasih
873.8 0 79 230 550 859 1 0.00
Luas ha Desa
Luas Desa ha
Non Risk
Low Risk
Medium Risk
High Risk
Zona Jumlah
Kasus Kepadatan
Kasus Mekarjaya 580.93 0 0
0 575 575 8 0.01 Pasirbaru 1378.82
0 25 1257
1282 6 0.00 Pasiripis 3934.21
0 0 3879
3879 23
0.01 Pelabuhanratu 1083.29
23 79
957 1059
7 0.01
Sukamukti 2794.27 0 50 594 2118 2762 10 0.00 Swakarya 535.91 0 0
0 533 533 1 0.00 Tegalbuleud 4393.14 0 0
16 4272 4288 1 0.00
Waluran 3912.42 500
3371 3871
8 0.00
y = 0.001x R
2
= 0.9355
10 20
30 40
50 60
70
10000 20000
30000 40000
50000 60000
Luas Zona ha K
ep a
da ta
n Ka su
s j
iw a
ha
Kasus Linear Kasus
Gambar 28 Hubungan kerapan kasus terhadap zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi.
5.3.2. Pemodelan Numerik Prediktor dan
Kasus Malaria
Pendugaan kasus malaria di Kabupaten Sukabumi didasarkan pada pemahaman siklus
hidup malaria. Regresi Poisson dengan kemunduran waktu dari suhu maksimum rata-
rata mingguan, suhu minimum rata-rata mingguan dan jumlah curah hujan mingguan,
dapat membantu memprediksi jumlah kasus malaria yang terjadi di Kabupaten Sukabumi.
Interval lag model dari regresi Poisson disesuaikan dengan kondisi cuaca di
Kabupaten Sukabumi. Suhu minimum dan suhu maksimum rata-rata di Kabupaten
Sukabumi dijadikan sebagai batas atas dan batas bawah PDL of weather, sehingga robust
regresi Poisson untuk Kabupaten Sukabumi secara matematis dinyatakan sebagai berikut:
..20 Sedangkan penentuan PDL of weather
sebagai input permodelan numerik kasus malaria ditentukan berdasarkan uji coba tiap
penambahan
lag. Perbandingan model numerik prediktor kasus malaria berdasarkan
penambahan lag ditunjukkan pada Gambar 29.
Pola regresi Poisson pada Gambar 29 a, b, c dan d menunjukkan bahwa lag mingguan
dari suhu udara maksimum dan minimum serta curah hujan, secara signifikan
mempengaruhi jumlah kasus malaria korelasi 0,885. Sedangkan koefisien dari masing-
masing lag minggu pada suhu udara dan curah hujan tidak signifikan. Kondisi ini disebabkan
oleh sifat multikolinearitas dari masing- masing unsur yang saling mempengaruhi. Lag
suhu udara maksimum dan minimum rata-rata minggu ke i secara signifikan mempengaruhi
lag suhu udara maksimum dan minimum rata- rata minggu ke i+1. Lag curah hujan minggu
ke i juga mempengaruhi lag curah hujan minggu ke i+1. Multikolinearitas juga terjadi
antara unsur cuaca suhu maksimum, suhu minimum dan curah hujan. Masing-masing
unsur saling mempengaruhi unsur lainnya. Reduksi multikolineritas diduga dapat
meningkatkan keeratan model Poisson terhadap kasus malaria dan mengurangi
keeratan antar unsur cuaca. Kondisi ini menyebabkan model Poisson untuk
memprediksi malaria hanya empirik berlaku untuk daerah sampel saja, tetapi tidak berlaku
untuk daerah yang lain yang memiliki kimiripan unsur yang sama pada satuan
wilayah tertentu. Reduksi model Poisson di Kecamatan Pelabuhan Ratu sebagai sampel
model menyebabkan pendugaan kasus malaria di Kecamatan Simpenan tidak cocok
digunakan. Kondisi ini disebabkan oleh
β
s
t
parameter dari tempat S pada minggu ke t di Pelabuhan Ratu diikutsertakan dalam model
Poisson. Penggunaan reduksi maupun induksi β
s
t di suatu daerah juga masih dipertimbangkan Teklehaimanot et al.,
2004. Model Poisson untuk Kabupaten Sukabumi ditunjukkan pada persamaan 21.
49
Gambar 26 Klasifikasi zona risiko malaria Kabupaten Sukabumi.
50
Gambar 27 Sebaran kasus malaria terhadap zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi tahun 2004
20 40
60 80
100 120
140 160
180 200
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep
Ju m
lah K
asu s
J iw
a
50 100
150 200
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep
Jum lah Kasus Jiw a
a b
20 40
60 80
100 120
140 160
180 200
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep
Ju m
lah K
asu s
J iw
a
20 40
60 80
100 120
140 160
180 200
Jan Feb
Mar Apr
May Jun
Jul Aug
Sep
J u
m lah
K a
su s
J iw
a
c d
Gambar 29 Pola regresi Poisson dari kasus malaria di Kecamatan Pelabuhan Ratu pada masing- masing distribusi lag suhu udara dan curah hujan a 4 dan 5, b 5 dan 6, c 6 dan 7, dan d 7 dan 8.
Y
St
= - 3823 + 11.8 Tmax
t-6
+ 3.4 Tmax
t-5
+ 16.4 Tmax
t-4
+ 43.0 Tmax
t-3
+ 4.3 Tmax
t-2
- 12.3 Tmax
t-1
+ 4.4 Tmin
t-6
+ 5.6 Tmin
t-5
+ 32.2 Tmin
t-4
+ 59.0 Tmin
t-3
+ 0.9 Tmin
t-2
- 11.6 Tmin
t-1
+ 0.235 CH
t-7
- 0.504 CH
t-6
+ 0.219 CH
t-5
+ 0.050 CH
t-4
- 0.125 CH
t-3
+ 0.064 CH
t-2
- 0.306 CH
t-1
……………………………………………………………...21 dengan YSt sebagai jumlah kasus prediksi pada minggu ke t. Sedangkan Tmax
t-6
, Tmax
t-5
, Tmin
t-6
, Tmin
t-5
, CH
t-7
dan seterusnya merupakan kemunduran lag suhu minimum dan maksimum rata-rata mingguan dan curah hujan.
Kemunduran suhu minimum dan suhu maksimum 6 minggu sebelum kejadian lag 6
T dan 7 minggu pada curah hujan lag 7 CH pada Gambar 29c di Kabupaten Sukabumi
merupakan lag unsur cuaca yang signifikan r=0.898 yang digunakan untuk model regresi
Poisson. Lag 6 minggu untuk suhu udara rata- rata dan lag 7 minggu untuk curah hujan
merupakan lag yang ideal untuk asumsi pendugaan umur nyamuk dari fase telur
hingga masa inkubasi di tubuh manusia. Suhu rata-rata tahunan di Kabupaten Sukabumi
sebesar 24.4
°C menyebabkan waktu yang diperlukan nyamuk dari fase telur ke fase
dewasa hingga masa inkubasi di tubuh manusia menjadi penyakit malaria di dalam
tubuh manusia adalah 6 minggu. Pada suhu tersebut, nyamuk memerlukan waktu 1-3 hari
dari fase telur ke larva, 10-18 hari dari fase larva menjadi dewasa, 8-6 hari masa infeksi
Plasmodium sp. dan 10-16 hari dalam tubuh manusia untuk inkubasi Tabel 2.. Sebaran
prediksi kasus malaria tiap bulan dengan regresi Poisson dengan PDL of weather di
Kabupaten Sukabumi ditunjukkan oleh Gambar 30.
Pola penyebaran prediksi kasus positif malaria di Kabupaten Sukabumi mengikuti
pola cosinusoidal. Prediksi kasus malaria tinggi pada bulan Januari hingga Maret
kemudian mengalami penurunan pada bulan
52
Gambar 30 Sebaran prediksi kasus malaria bulanan tiap desa di Kabupaten Sukabumi tahun 2004.
April sampai September sedangkan pada bulan Oktober hingga Desember mengalami
peningkatan. Kondisi ini diduga akibat pengaruh pola annual dan curah hujan di
Kabupaten Sukabumi Gambar 11.. Curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Mei
hingga Agustus. Kondisi ini mempengaruhi tempat perindukan vektor malaria. Luasan
perindukan vektor malaria menjadi semakin kecil. Sedangkan pada bulan November
hingga Februari, Kabupaten Sukabumi memiliki jumlah curah hujan yang relatif lebih
tinggi dibandingkan bulan yang lainnya. Hal ini menyebabkan semakin luas pula tempat
perindukan vektor malaria.
Pengaruh pola annual suhu udara rata-rata terhadap prediksi kasus di Kabupaten
Sukabumi relatif kecil. Kondisi ini disebabkan oleh pengaruh suhu udara terhadap
metabolisme dan transmisi Plasmodium sp. ke tubuh manusia Teklehaimanot et al., 2004.
Perubahan suhu harian maksimum maupun minimum mempengaruhi jumlah infeksi
nyamuk terhadap Plasmodium sp. menuju manusia. Perubahan suhu harian juga
mempengaruhi proporsi potensial transmisi Plasmodium sp. dari nyamuk terhadap
manusia secara berkesinambungan dinamik Smith et al., 2004.
Sebaran kasus prediksi di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 sebagian besar terpusat
di pantai bagian barat Kabupaten Sukabumi. Kondisi ini disebabkan oleh suhu rata-rata
27 °C daerah tersebut merupakan suhu
optimum 25 °C-27°C untuk metabolisme dan
perkembangan nyamuk Sukowati, 2004. Daerah pantai juga memiliki tempat
perindukan nyamuk yang lebih luas dibandingkan dengan sungai di daerah
pengunungan. Lagoon dan muara sungai di sekitar pantai menjadi tempat utama
perindukan nyamuk Gambar 16..
Kondisi pengambilan data kasus malaria tiap puskesmas mempengaruhi keakuratan
model prediksi malaria. Dari model tersebut, sebagian besar daerah bagian utara dan timur
Kabupaten Sukabumi memiliki jumlah kisaran kasus prediksi antara 0-10 jumlah penderita
malaria tiap desa di wilayah kerja puskesmas WKP. Hal ini disebabkan pengambilan data
di daerah pantai secara ACD Active Case Detection dan di daerah utara dan timur
Kabupaten Sukabumi secara PCD Passive Case Detection. ACD lebih akurat
dibandingkan PCD, karena pengambilan data berdasarkan survey langsung secara teratur di
WKP dengan mengambil data kesediaan darah di masing-masing puskesmas Wibowo,
2005. Sebaran kasus prediksi malaria bulan Januari umumnya menyebar di zona risiko
tinggi seperti ditunjukkan pada Gambar 31. Sedangkan sebaran kasus prediksi malaria tiap
bulan di zona risiko malaria ditunjukkan pada Lampiran 4.
5.4. Integrasi Model Spasial Berdasarkan