Zona Risiko Malaria Berdasarkan Unsur Lingkungan

Pengaruh luas perindukan nyamuk tidak signifikan mempengaruhi kerapatan kasus positif malaria di desa perindukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa luas perindukan nyamuk tidak mampu memberikan hubungan linear terhadap kerapatan kasus positif malaria tiap desa. Hal tersebut disebabkan oleh luas perindukan tanpa memperhatikan luas pemukiman penduduk; sebagai host parasit malaria dan sumber darah vektor malaria, tidak memberikan hubungan yang nyata terhadap jumlah kasus ataupun kerapatan kasus malaria di desa tersebut. Jelajah jarak terbang nyamuk di Kabupaten Sukabumi mempengaruhi luas perindukan dan habitat nyamuk. Jelajah nyamuk 3 mil memiliki luas perindukan dan habitat nyamuk paling besar dibandingkan dengan luas perindukan dan habitat dengan jelajah nyamuk 1 mil dan 2 mil. Luas pemukiman pada jelajah nyamuk 3 mil, juga paling besar dibandingkan luas pemukiman pada jelajah 1 mil dan 2 mil. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan luas pemukiman terhadap kepadatan kasus tiap desa perindukan semakin kecil atau menjadi tidak signifikan dengan bertambahnya jelajah nyamuk. Kontak langsung antara vektor malaria terhadap penduduk semakin berkurang atau jarang terjadi. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya penurunkan jumlah penderita malaria di desa perindukan berdasarkan karakteristik lingkungan. Peningkatan luas pemukiman di desa perindukan juga mengindikasi semakin tingginya faktor sosial-ekonomi dan migrasi mempengaruhi penyebaran kasus positif malaria. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan luas pemukiman terhadap kasus malaria di desa perindukan semakin tidak nyata R 2 semakin kecil pada penambahan jelajahjarak terbang vektor malaria. Faktor sosial-ekonomi dan migrasi penduduk diduga memberikan pengaruh dominan terhadap penyebaran kasus positif malaria setiap penambahan jelajah nyamuk. Hubungan linier faktor lingkungan luas pemukiman penduduk dan luas perindukan nyamuk terhadap kerapatan kasus positif malaria di desa perindukan vektor malaria pada masing- masing jelajah nyamuk ditunjukkan oleh Gambar 22. y = 0.0007x R 2 = 0.1594 y = 0.003x R 2 = 0.6466 2 4 6 8 10 12 14 16 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 Luas ha Ke r a patan Kas u s jiw a ha Perindukan Pemukiman Linear Perindukan Linear Pemukiman a y = 0.0003x R 2 = 0.2929 y = 0.0017x R 2 = 0.0289 1 2 3 4 5 6 7 2000 4000 6000 8000 10000 12000 Luas ha K e pa da ta n K a s us ji w a ha Perindukan Pemukiman Linear Perindukan Linear Pemukiman b y = 0.0004x R 2 = 0.2175 y = 0.0018x R 2 = -0.0842 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2000 4000 6000 8000 10000 12000 Luas ha K e pa da ta n K a su s ji w a h a Perindukan Pemukiman Linear Perindukan Linear Pemukiman c Gambar 22 Hubungan kerapatan kasus terhadap luasan perindukan dan pemukiman tiap desa perindukan dengan jelajah nyamuk a 1 Mil, b 2 Mil dan c 3 Mil.

5.3. Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria

5.3.1. Zona Risiko Malaria Berdasarkan Unsur Lingkungan

Pola spasial malaria berperan untuk mengetahui penyebab insiden malaria di suatu wilayah berlangsung secara konsisten dalam kurun waktu tertentu. Peta risiko malaria yang dibuat secara tumpang susun di atas peta tata ruang dan penutupan lahan LandUsed dan di atas peta topografi dan hidrologi akan memberikan informasi untuk mencermati keterkaitan malaria dengan variabel lingkungan. Keterkaitan antara pola penyebaran malaria dan variabel lingkungan dalam kurun waktu tertentu, mengindikasikan penyebaran kawasan endemis malaria. Sebaran kasus positif malaria menurut LandUsed, altitude dan slope ditunjukkan pada Lampiran 1., Lampitan 2. dan Lampiran 3. Penentuan zona risiko malaria juga berdasarkan pada pemahaman epidemiologi vektor malaria dan ekologi nyamuk Anopheles sp. Wibowo, 2005. Ketinggian tempat altitude, Kemiringan lereng slope dan penggunaan lahan LandUsed merupakan variabel lingkungan yang dominan mempengaruhi pola penyebaran perindukan dan habitat nyamuk. Ketiga variabel tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap populasi nyamuk dan pola penyebaran perindukan nyamuk di Kabupaten Sukabumi. Kisaran parameter lingkungan tersebut dibatasi oleh batas atas Z nt dan batas bawah Z mt dari masing-masing parameter lingkungan. Range = { batas bawah Zmt , batas atas Znt}…………………………..14 dimana penutupan lahan LandUsed; t=1, ketinggian altitude; t=2, dan kemiringan lereng slope; t=3. Parameter-parameter lingkungan tersebut dikombinasikan dengan menggunakan Boolean Operator pada sistem koordinat kartesius, dengan model matematika sebagai berikut: ...15 Overlay input data dari parameter lingkungan dilakukan dengan Weighted Overlay, dengan persamaan sebagai berikut: , , α g z y x f ZR y = = .............16 dengan . ..........17 dengan y ZR sebagai nilai dugaan luas sebaran zona risiko malaria, x sebagai luas penggunaan lahan LandUsed, y sebagai luas ketinggian tempat altitude dan z sebagai luas kemiringan lereng slope pada daerah endemis malaria i dan wilayah Kabupaten Sukabumi j. Sedangkan pengaruh masing- masing unsur tiap input sebagai berikut: ...................18 Dengan ....19 dimana Y S sebagai bobot tiap unsur dari masing-masing parameter lingkungan, x ik , y ik dan z ik sebagai luas unsur k pada LandUsed, altitude dan slope di daerah endemis malaria. Sedangkan P , P 20 , P 60 , P 80 dan P 100 merupakan persentile 0 sampai 100 yang digunakan untuk menentukan interval kelas pembobotan tiap unsur data lingkungan. Penentuan kawasan endemis malaria membantu dalam penentuan zona risiko malaria. Hal ini disebabkan oleh kesamaan variabel lingkungan sebagai input dalam menentukan kawasan endemis malaria maupun zona risiko malaria . Penularan malaria dominan dipengaruhi oleh altitude. Hal tersebut berdasarkan pada peranan altitude mempengaruhi distribusi suhu udara; yang mempengaruhi proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Ward, 1992 dalam Saleh, 2002. Semakin rendah ketinggian suatu tempat mengindikasikan semakin tinggi suhu udara di tempat tersebut dan sebaliknya, semakin tinggi ketinggian suatu tempat mengindikasikan semakin rendah pula suhu udara. Interval suhu udara di dataran rendah khususnya daerah pantai di Kabupaten Sukabumi merupakan kisaran suhu udara optimum bagi metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Anopheles. Sedangkan kisaran suhu udara di dataran tinggi khususnya pegunungan merupakan batas bawah untuk metabolisme dan perkembangbiakan nyamuk. Sebaran pengaruh ketinggian tempat altitude terhadap penyebaran zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi ditunjukkan pada Gambar 23. Sedangkan pengaruh tiap ketinggian tempat altitude dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi secara terperinci ditunjukkan pada Tabel 7. 43 Gambar 23 Peta sebaran kalsifikasi pembobotan scoring dari ketinggian tempat altitude. Tabel 7 Klasifikasi Pengaruh Ketinggian Tempat Altitude terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi Klasifikasi Unsur Bobot 0-360 mdpl 6 360-620 mdpl 4 620-880 mdpl 4 880-1140 mdpl 2 1140-1400 mdpl 2 1400-1660 mdpl 1 1660-1920 mdpl 1 1920-2180 mdpl 1 2180-2440 mdpl 1 2440-2700 mdpl 1 Data lingkungan Slope dan LandUsed mempengaruhi distribusi habitat dan tempat perindukan nyamuk. Sawah, tambak dan laguna merupakan tempat perindukan nyamuk yang utama. Kondisi lahan tersebut memberikan tempat aman bagi nyamuk untuk bertelur sehingga dapat berkembang biak dengan baik. Kondisi kemiringan lereng slope turut mempengaruhi populasi vektor malaria. Lereng terjal memiliki aliran arus air yang besar; dapat mempengaruhi perkembangan telur. Aliran air yang deras akan merusak telur nyamuk. Hal ini menyebabkan jumlah populasi nyamuk di lahan sawah di perbukitan akan jauh lebih kecil dibandingkan populasi nyamuk di lahan sawah pada dataran rendah landai. Sebaran pengaruh kemiringin lereng slope dan penggunaan lahan altitude terhadap penyebaran zona risiko malaria dapat dilihat pada Gambar 24. dan Gambar 25. Pengaruh tiap slope dan LandUsed dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi secara terperinci ditunjukkan pada Tabel 8. dan Tabel 9. Tabel 8 Klasifikasi Pengaruh Kemiringan Lereng Slope terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi Klasifikasi Unsur Bobot 0-10 6 10-20 3 20-30 2 30-40 1 Klasifikasi Unsur Bobot 40-50 1 50-60 1 60-70 1 70-80 1 80-90 1 90-100 1 Tabel 9 Klasifikasi Pengaruh Penggunaan Lahan LandUsed terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi Klasifikasi Unsur Bobot Hutan 5 Pemukiman 3 Perkebunan 4 Sawah Irigasi 2 Semak Belukar 4 Lahan Terbuka 3 Tegalan 4 Sungai 2 Sawah Tadah Hujan 2 Peta lingkungan, yaitu: Peta Sebaran Ketinggian Tempat Altitude, Peta Sebaran Kemiringan Lereng Slope dan Peta Sebaran Penggunaan Lahan LandUsed; memberikan pengaruh yang berbeda dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi. Pengaruh masing-masing peta lingkungan secara terperinci ditunjukkan pada Tabel 10. Tabel 10 Pengaruh Variabel Lingkungan dalam Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi Unsur Pengaruh Altitude 46 Slope 31 LandUsed 23 Total 100 45 Gambar 24 Peta sebaran kalsifikasi pembobotan scoring dari kemiringan tempat slope. 46 Gambar 25 Peta sebaran kalsifikasi pembobotan scoring dari penggunaan lahan LandUsed. Pengaruh altitude dalam penentuan zona risiko malaria merupakan pengaruh dominan 46. Hal tersebut didukung oleh pemahaman pengaruh altitude terhadap distribusi suhu untuk metabolisme dan pertumbuhan serta perkembangan nyamuk. Sedangkan pengaruh kemiringan lereng dan penggunaan lahan mempengaruhi jumlah populasi nyamuk. Kemiringan lereng slope dapat mereduksi jumlah vektor malaria, sedangkan penggunaan lahan LandUsed, meningkatkan jumlah vektor nyamuk. Hubungan penggunaan lahan dan kemiringan lereng terhadap jumlah populasi nyamuk Anopheles saling berkaitan. Hal ini mengindikasikan bahwa persentase pengaruh penggunaan lahan dan kemiringan lereng terhadap penentuan zona risiko malaria hampir sama. Pengaruh peta lingkungan dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh distribusi jenis nyamuk yang dominan pada masing-masing daerah, sehingga penentuan tempat perindukan dan habitat nyamuk pada masing-masing daerah akan berbeda pula. Pengaruh variabel lingkungan terhadap penentuan zona risiko malaria di masing-masing daerah akan lebih baik berdasarkan kegiatan surveilens Wibowo, 2005. Pembobotan dari masing- masing peta lingkungan yang di-overlay akan menghasilkan peta zona risiko malaria sesuai kondisi lingkungannya, seperti ditunjukan pada Gambar 26. Overlay sebaran zona risiko malaria terhadap sebaran kasus malaria di Kabupaten Sukabumi Gambar 27. menunjukkan sebagian besar kasus positif malaria berpusat di zona risiko malaria yang tinggi. Hubungan zona risiko malaria terhadap kerapatan kasus menunjukkan hubungan linear yang positif 93,5, seperti ditunjukan pada Gambar 28. Kondisi ini menunjukkan bahwa kombinasi peta lingkungan altitude, slope, LandUsed dapat mempengaruhi kerapatan kasus di daerah tersebut. Jumlah kasus malaria dalam zona risiko malaria tiap desa secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Jumlah Kasus dan Kepadatan Kasus dalam Zona Risiko Malaria Tiap Desa Tahun 2004 Luas ha Desa Luas Desa ha Non Risk Low Risk Medium Risk High Risk Zona Jumlah Kasus Kepadatan Kasus Banyuwangi 1260.08 0 0 8 1236 1244 32 0.03 Cibenda 11147.26 0 9 10875 10884 7 0.00 Cicadas 3960.43 54 1213 2136 479 3882 1 0.00 Ciemas 5481.09 0 9 1224 4190 5423 45 0.01 Cihaur 2424.91 0 70 870 1457 2397 17 0.01 Cikangkung 2809.21 0 0 0 2776 2776 19 0.01 Cikelat 1305.77 0 416 569 309 1294 4 0.00 Cilangkap 5296.23 0 758 1574 2907 5239 125 0.02 Cimaja 909.26 0 9 212 685 906 1 0.00 Cipeundeuy 2852.52 0 0 0 2776 2776 3 0.00 Cisolok 869.74 0 0 10 850 860 10 0.01 Citanglar 1460.7 0 0 1448 1448 5 0.00 Citarik 1630.36 0 23 261 1326 1610 1 0.00 Citepus 1417.45 0 27 176 1201 1404 2 0.00 Ciwaru 3432 53 3325 3378 13 0.00 Girimukti 6142.31 0 167 1463 4380 6010 68 0.01 Gunungbatu 7893.52 0 0 0 7701 7701 58 0.01 Kadaleman 1498.79 0 0 0 1476 1476 2 0.00 Karanganyar 1748.91 0 28 500 1203 1731 9 0.01 Kertajaya 3954.42 0 255 1407 2244 3906 411 0.11 Langkapjaya 2865.37 0 181 917 1734 2832 539 0.19 Lengkong 2361.36 0 0 755 1577 2332 6 0.00 Loji 3035.21 183 683 2143 3009 60 0.02 Mekarasih 873.8 0 79 230 550 859 1 0.00 Luas ha Desa Luas Desa ha Non Risk Low Risk Medium Risk High Risk Zona Jumlah Kasus Kepadatan Kasus Mekarjaya 580.93 0 0 0 575 575 8 0.01 Pasirbaru 1378.82 0 25 1257 1282 6 0.00 Pasiripis 3934.21 0 0 3879 3879 23 0.01 Pelabuhanratu 1083.29 23 79 957 1059 7 0.01 Sukamukti 2794.27 0 50 594 2118 2762 10 0.00 Swakarya 535.91 0 0 0 533 533 1 0.00 Tegalbuleud 4393.14 0 0 16 4272 4288 1 0.00 Waluran 3912.42 500 3371 3871 8 0.00 y = 0.001x R 2 = 0.9355 10 20 30 40 50 60 70 10000 20000 30000 40000 50000 60000 Luas Zona ha K ep a da ta n Ka su s j iw a ha Kasus Linear Kasus Gambar 28 Hubungan kerapan kasus terhadap zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi. 5.3.2. Pemodelan Numerik Prediktor dan Kasus Malaria Pendugaan kasus malaria di Kabupaten Sukabumi didasarkan pada pemahaman siklus hidup malaria. Regresi Poisson dengan kemunduran waktu dari suhu maksimum rata- rata mingguan, suhu minimum rata-rata mingguan dan jumlah curah hujan mingguan, dapat membantu memprediksi jumlah kasus malaria yang terjadi di Kabupaten Sukabumi. Interval lag model dari regresi Poisson disesuaikan dengan kondisi cuaca di Kabupaten Sukabumi. Suhu minimum dan suhu maksimum rata-rata di Kabupaten Sukabumi dijadikan sebagai batas atas dan batas bawah PDL of weather, sehingga robust regresi Poisson untuk Kabupaten Sukabumi secara matematis dinyatakan sebagai berikut: ..20 Sedangkan penentuan PDL of weather sebagai input permodelan numerik kasus malaria ditentukan berdasarkan uji coba tiap penambahan lag. Perbandingan model numerik prediktor kasus malaria berdasarkan penambahan lag ditunjukkan pada Gambar 29. Pola regresi Poisson pada Gambar 29 a, b, c dan d menunjukkan bahwa lag mingguan dari suhu udara maksimum dan minimum serta curah hujan, secara signifikan mempengaruhi jumlah kasus malaria korelasi 0,885. Sedangkan koefisien dari masing- masing lag minggu pada suhu udara dan curah hujan tidak signifikan. Kondisi ini disebabkan oleh sifat multikolinearitas dari masing- masing unsur yang saling mempengaruhi. Lag suhu udara maksimum dan minimum rata-rata minggu ke i secara signifikan mempengaruhi lag suhu udara maksimum dan minimum rata- rata minggu ke i+1. Lag curah hujan minggu ke i juga mempengaruhi lag curah hujan minggu ke i+1. Multikolinearitas juga terjadi antara unsur cuaca suhu maksimum, suhu minimum dan curah hujan. Masing-masing unsur saling mempengaruhi unsur lainnya. Reduksi multikolineritas diduga dapat meningkatkan keeratan model Poisson terhadap kasus malaria dan mengurangi keeratan antar unsur cuaca. Kondisi ini menyebabkan model Poisson untuk memprediksi malaria hanya empirik berlaku untuk daerah sampel saja, tetapi tidak berlaku untuk daerah yang lain yang memiliki kimiripan unsur yang sama pada satuan wilayah tertentu. Reduksi model Poisson di Kecamatan Pelabuhan Ratu sebagai sampel model menyebabkan pendugaan kasus malaria di Kecamatan Simpenan tidak cocok digunakan. Kondisi ini disebabkan oleh β s t parameter dari tempat S pada minggu ke t di Pelabuhan Ratu diikutsertakan dalam model Poisson. Penggunaan reduksi maupun induksi β s t di suatu daerah juga masih dipertimbangkan Teklehaimanot et al., 2004. Model Poisson untuk Kabupaten Sukabumi ditunjukkan pada persamaan 21. 49 Gambar 26 Klasifikasi zona risiko malaria Kabupaten Sukabumi. 50 Gambar 27 Sebaran kasus malaria terhadap zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Ju m lah K asu s J iw a 50 100 150 200 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Jum lah Kasus Jiw a a b 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Ju m lah K asu s J iw a 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep J u m lah K a su s J iw a c d Gambar 29 Pola regresi Poisson dari kasus malaria di Kecamatan Pelabuhan Ratu pada masing- masing distribusi lag suhu udara dan curah hujan a 4 dan 5, b 5 dan 6, c 6 dan 7, dan d 7 dan 8. Y St = - 3823 + 11.8 Tmax t-6 + 3.4 Tmax t-5 + 16.4 Tmax t-4 + 43.0 Tmax t-3 + 4.3 Tmax t-2 - 12.3 Tmax t-1 + 4.4 Tmin t-6 + 5.6 Tmin t-5 + 32.2 Tmin t-4 + 59.0 Tmin t-3 + 0.9 Tmin t-2 - 11.6 Tmin t-1 + 0.235 CH t-7 - 0.504 CH t-6 + 0.219 CH t-5 + 0.050 CH t-4 - 0.125 CH t-3 + 0.064 CH t-2 - 0.306 CH t-1 ……………………………………………………………...21 dengan YSt sebagai jumlah kasus prediksi pada minggu ke t. Sedangkan Tmax t-6 , Tmax t-5 , Tmin t-6 , Tmin t-5 , CH t-7 dan seterusnya merupakan kemunduran lag suhu minimum dan maksimum rata-rata mingguan dan curah hujan. Kemunduran suhu minimum dan suhu maksimum 6 minggu sebelum kejadian lag 6 T dan 7 minggu pada curah hujan lag 7 CH pada Gambar 29c di Kabupaten Sukabumi merupakan lag unsur cuaca yang signifikan r=0.898 yang digunakan untuk model regresi Poisson. Lag 6 minggu untuk suhu udara rata- rata dan lag 7 minggu untuk curah hujan merupakan lag yang ideal untuk asumsi pendugaan umur nyamuk dari fase telur hingga masa inkubasi di tubuh manusia. Suhu rata-rata tahunan di Kabupaten Sukabumi sebesar 24.4 °C menyebabkan waktu yang diperlukan nyamuk dari fase telur ke fase dewasa hingga masa inkubasi di tubuh manusia menjadi penyakit malaria di dalam tubuh manusia adalah 6 minggu. Pada suhu tersebut, nyamuk memerlukan waktu 1-3 hari dari fase telur ke larva, 10-18 hari dari fase larva menjadi dewasa, 8-6 hari masa infeksi Plasmodium sp. dan 10-16 hari dalam tubuh manusia untuk inkubasi Tabel 2.. Sebaran prediksi kasus malaria tiap bulan dengan regresi Poisson dengan PDL of weather di Kabupaten Sukabumi ditunjukkan oleh Gambar 30. Pola penyebaran prediksi kasus positif malaria di Kabupaten Sukabumi mengikuti pola cosinusoidal. Prediksi kasus malaria tinggi pada bulan Januari hingga Maret kemudian mengalami penurunan pada bulan 52 Gambar 30 Sebaran prediksi kasus malaria bulanan tiap desa di Kabupaten Sukabumi tahun 2004. April sampai September sedangkan pada bulan Oktober hingga Desember mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga akibat pengaruh pola annual dan curah hujan di Kabupaten Sukabumi Gambar 11.. Curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Mei hingga Agustus. Kondisi ini mempengaruhi tempat perindukan vektor malaria. Luasan perindukan vektor malaria menjadi semakin kecil. Sedangkan pada bulan November hingga Februari, Kabupaten Sukabumi memiliki jumlah curah hujan yang relatif lebih tinggi dibandingkan bulan yang lainnya. Hal ini menyebabkan semakin luas pula tempat perindukan vektor malaria. Pengaruh pola annual suhu udara rata-rata terhadap prediksi kasus di Kabupaten Sukabumi relatif kecil. Kondisi ini disebabkan oleh pengaruh suhu udara terhadap metabolisme dan transmisi Plasmodium sp. ke tubuh manusia Teklehaimanot et al., 2004. Perubahan suhu harian maksimum maupun minimum mempengaruhi jumlah infeksi nyamuk terhadap Plasmodium sp. menuju manusia. Perubahan suhu harian juga mempengaruhi proporsi potensial transmisi Plasmodium sp. dari nyamuk terhadap manusia secara berkesinambungan dinamik Smith et al., 2004. Sebaran kasus prediksi di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 sebagian besar terpusat di pantai bagian barat Kabupaten Sukabumi. Kondisi ini disebabkan oleh suhu rata-rata 27 °C daerah tersebut merupakan suhu optimum 25 °C-27°C untuk metabolisme dan perkembangan nyamuk Sukowati, 2004. Daerah pantai juga memiliki tempat perindukan nyamuk yang lebih luas dibandingkan dengan sungai di daerah pengunungan. Lagoon dan muara sungai di sekitar pantai menjadi tempat utama perindukan nyamuk Gambar 16.. Kondisi pengambilan data kasus malaria tiap puskesmas mempengaruhi keakuratan model prediksi malaria. Dari model tersebut, sebagian besar daerah bagian utara dan timur Kabupaten Sukabumi memiliki jumlah kisaran kasus prediksi antara 0-10 jumlah penderita malaria tiap desa di wilayah kerja puskesmas WKP. Hal ini disebabkan pengambilan data di daerah pantai secara ACD Active Case Detection dan di daerah utara dan timur Kabupaten Sukabumi secara PCD Passive Case Detection. ACD lebih akurat dibandingkan PCD, karena pengambilan data berdasarkan survey langsung secara teratur di WKP dengan mengambil data kesediaan darah di masing-masing puskesmas Wibowo, 2005. Sebaran kasus prediksi malaria bulan Januari umumnya menyebar di zona risiko tinggi seperti ditunjukkan pada Gambar 31. Sedangkan sebaran kasus prediksi malaria tiap bulan di zona risiko malaria ditunjukkan pada Lampiran 4.

5.4. Integrasi Model Spasial Berdasarkan