Penyusunan Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria (Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

(1)

FIOLENTA MARPAUNG

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(2)

(Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO dan AGUS WIBOWO.

Jumlah kasus malaria meningkat drastis di Kabupaten Sukabumi sejak tahun 2003. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh pola penyebaran vektor malaria (Anopheles sp.). Lingkungan (Altitude, LandUsed, dan Slope) mempengaruhi tempat perindukan nyamuk sedangkan unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan dan populasi nyamuk Anopheles. Pemahaman dan analisis data lingkungan dan unsur cuaca terhadap pola penyebaran vektor malaria dapat digunakan dalam penyususunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Overlay data lingkungan digunakan untuk menduga zona risiko malaria. Sedangkan prediksi jumlah kasus malaria dimodelkan menggunakan robust regresi Poisson dengan input suhu rata minimum mingguan, suhu rata maksimum mingguan serta jumlah curah hujan rata-rata mingguan dengan PDL (Polynomial Distribution Lag) of weather di Kabupaten Sukabumi. Arithmetic Overlay antara zona risiko dan prediksi kasus malaria menunjukkan zona risiko lonjakan kasus malaria tiap bulan di Kabupaten Sukabumi.

Sebaran zona risiko malaria menyebar di seluruh Kabupaten Sukabumi. Zona risiko tinggi terkonsentrasi di daerah pantai. Sedangkan zona tidak berisiko (non risk) terkonsentrasi di daerah pegunungan. Prediksi kasus malaria tiap bulan dengan PDL of weather 6 lag untuk suhu udara rata-rata dan 7 lag untuk curah hujan menunjukkan jumlah kasus tertinggi terjadi di daerah pantai dan jumlah kasus terendah terjadi di daerah pegunungan. Sebaran lonjakan kasus malaria tertinggi juga terjadi di daerah pantai dan terendah di daerah pantai. Sedangkan pola sebaran lonjakan mengikuti pola curah hujan bulanan di Kabupaten Sukabumi.

Interaksi antara data lingkungan dan unsur cuaca terhadap siklus perindukan dan metabolisme nyamuk merupakan faktor utama dalam memprediksi jumlah kasus malaria. Peringatan dini dapat dilakukan 1-1,5 bulan sebelum terjadinya lonjakan zona kasus malaria tinggi (high risk) di Kabupaten Sukabumi.


(3)

FIOLENTA MARPAUNG

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(4)

Judul Skripsi : Penyusunan Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria (Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

Nama : FIOLENTA MARPAUNG

NRP : G 24102002

.

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc in IT Ir. Agus Wibowo, M.Sc. NIP. 132206238 NIP. 680003126

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP. 131473999


(5)

Y\b_XagT `TecThaZ

Everything is wonderfull

at that time

My Mom and Dad

My Big Brother Davidson my My sisters (Denni, Netty, Ria and Rita)

This Little Masterpiece Is Dedicated to


(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 29 September 1984 dari ayah Arsenius Marpaung dan ibu Aratlan Adriana Saragih . Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Swasta Cahaya Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) periode 2003/2004 bidang Kewirausahaan. Penulis pernah melaksanakan kegiatan praktik lapang pada bulan Juli – Agustus 2005 di Teknologi Inventaris Sumber Daya Alam - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.


(7)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunianya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pemodelan prediksi malaria dengan judul Penyusunan Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria (Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc in IT dan Bapak Ir. Agus Wobowo, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, dukungan dan nasihat sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, MS selaku penguji, Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc dan Bapak Ir. Sutikno, MS; yang telah banyak memberikan saran selama penyusunan karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, Dinas PPM&PL (Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan), Kabupaten Sukabumi dan BTIC-SEMEAO BIOTROP yang telah membantu penulis dalam ketersediaan data.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada Papa, Mama, Denni’s family, Kak Netty, Ria’s family, Kak Rita dan Bang David atas segala doa, dukungan, bantuan serta kasih sayangnya kepada penulis. Untuk K’Maria, K’Benni, K’Erwin, K’Micky-BIOTROP terima kasih atas bantuannya dalam kesabarannya untuk mengajariku. K’Denni, K’Dani, K’Bongot, terima kasih atas bantuannya dalam pemahaman penyakit malaria dan kesehatan.

Penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga besar civitas Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM); seluruh dosen, para pegawai GFM (Pak Jun, Pak Toro, Pak Pono, Kak Aziz, Bu Indah, Mbak Wanti, Pak Koiruddin, Pak Udin). Crew GFM’39 (Nana, Ana, Nti, Kiki, Sapta, Rudi, Ode, Joko, Mian, Nida, Yo, Basyar, Ani, Aprian, Away, Deni, Lina, Gian, Samba, Ipit, Tado, Lupi, Vivi, Eko, Anton, Zainul, Misna, Linda, Made, An2, Sasat dan Dwinita) serta penghuni Novia IC (Maria, Natha, Ellen, Mila, Riri, Elsa, Opink, Meli, Andri, Ana, mbak Anjar, Angel, Nisa, Mita, Lina, Nita, Mbak Loli, Ayu, Ika dst) - thanks atas segala semangat, keceriaan dan kebersamannya. Mauliate.

Bogor, Agustus 2006


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 1

1.3. Hipotesis ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Penyakit dan Vektor Malaria ... 1

2.2. Siklus Hidup Parasit dan Vektor Malaria ... 2

2.2.1. Siklus Hidup Parasit Malaria ... 2

2.2.1.1. Plasmodium vivax ... 2

2.2.1.2. Plasmodium falciparum ... 2

2.2.2. Siklus Hidup Vektor Malaria ... 3

2.3. Hubungan Cuaca dan Topografi dengan Vektor Malaria ... 5

2.3.1. Suhu ... 5

2.3.2. Kelembaban Udara ... 6

2.3.3. Curah Hujan ... 6

2.3.4. Radiasi ... 6

2.3.5. Angin ... 6

2.3.6. Topografi ... 6

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 7

2.4.1. Konsep Dasar dan Pengertian SIG ... 7

2.4.2. Subsistem SIG ... 7

2.4.3. Data SIG ... 8

2.4.3.1. Model Raster ... 8

2.4.3.2. Model Vektor ... 8

2.4.4. Fungsi Analisis ... 8

2.4.4.1. Fungsi Analisis Atribut ... 9

2.4.4.2. Fungsi Analisis Spasial ... 9

2.4.5. Pemanfaatan SIG dalam Penyebaran Malaria ... 10

2.4.6. Protokol SIG Malaria ... 10

2.4.6.1. Subsistem Manajemen Data Dasar Populasi Malaria ... 10

2.4.6.2. Subsistem Manajemen Data Geografis ... 10

2.4.6.3. Subsistem Analisis dan Pemanggilan Data ... 11

2.5. Penginderaan Jauh ... 11

2.5.1. Klasifikasi Citra ... 11

2.5.2. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) ... 11

2.6. Weather Monitoring Model (WMM) ... 12

2.7. Artikel dan Jurnal Malaria Secara Spasial dan Statistik ... 12

III. KEADAAN UMUM KABUPATEN SUKABUMI 3.1. Kondisi Geografis ... 13

3.2. Topografi ... 13

3.3. Iklim ... 14

3.4. Penyebaran Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 15

IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Waktu dan Tempat ... 17

4.2. Ruang Lingkup Penelitian ... 18

4.3. Asumsi ... 18

4.4. Alat dan Bahan ... 18

4.4.1. Alat yang Digunakan ... 18


(9)

4.5. Metode Penelitian ... 19

4.5.1. Pengekstrasian dan Pengolahan Citra Satelit untuk Klasifikasi LandUsed (Penggunaan Lahan) ... 19

4.5.2. Klasifikasi Daerah Endemis Malaria dan Interaksi Kasus Positif terhadap Lingkungan ... 19

4.5.3. Pemodelan Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria ... 19

4.5.3.1. Model Spasial Zona Risiko Malaria ... 19

4.5.3.2. Pemodelan Numerik Hubungan Antara Prediktor dan Kasus Malaria ... 19

4.5.4. Integrasi Model Spasial ... 20

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Klasifikasi Penutupan Lahan (LandUsed) Kabupaten Sukabumi ... 20

5.2. Sebaran Daerah Endemis Malaria dan Interaksi Kasus Positif Malaria terhadap Lingkungan ... 20

5.2.1. Sebaran Daerah Endemis di Kabupaten Sukabumi ... 22

5.2.2. Interaksi Kasus Positif Malaria terhadap Lingkungan ... 22

5.3. Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria ... 28

5.3.1. Zona Risiko Malaria Berdasarkan Unsur Lingkungan ... 28

5.3.2. Pemodelan Numerik Prediktor dan Kasus Malaria ... 35

5.4. Integrasi Model Spasial Berdasarkan Unsur Lingkungan dan Unsur Cuaca ... 40

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 43

6.2. Saran ... 43

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 43


(10)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Tempat Perindukan Larva, Tempat Peristirahatan dan Perilaku Nyamuk Anopheles sp.

Dewasa Sebagai Vektor Malaria ... ... 4

2. Pengaruh Suhu Udara Rata-Rata terhadap Siklus Nyamuk Anoheles sp. dan Siklus Sprogoni Parasit Plasmodium sp. serta Pengaruhnya terhadap Jumlah Luasan Perindukan Menjadi Kejadian Kasus Malaria ... 6

3. Daftar Data dan Peta Populasi Dan Malaria dalam SIG Malaria ... 10

4. Artikel/ Jurnal Secara Spasial Maupun Statistik ... 12

5. Klasifikasi Penggunaan Lahan Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 ... 20

6. Klasifikasi Penutupan Lahan (LandUsed) di Daerah Endemis Malaria Kabupaten Sukabumi ... 22

7. Klasifikasi Pengaruh Ketinggian Tempat (Altitude) Terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria Di Kabupaten Sukabumi ... 31

8. Klasifikasi Pengaruh Kemiringan Lereng (Slope) terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 31

9. Klasifikasi Pengaruh Penggunaan Lahan (LandUsed) terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 31

10. Pengaruh Variabel Lingkungan dalam Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 31


(11)

FIOLENTA MARPAUNG

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(12)

(Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat). Dibimbing oleh IDUNG RISDIYANTO dan AGUS WIBOWO.

Jumlah kasus malaria meningkat drastis di Kabupaten Sukabumi sejak tahun 2003. Peningkatan tersebut dipengaruhi oleh pola penyebaran vektor malaria (Anopheles sp.). Lingkungan (Altitude, LandUsed, dan Slope) mempengaruhi tempat perindukan nyamuk sedangkan unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan dan populasi nyamuk Anopheles. Pemahaman dan analisis data lingkungan dan unsur cuaca terhadap pola penyebaran vektor malaria dapat digunakan dalam penyususunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

Overlay data lingkungan digunakan untuk menduga zona risiko malaria. Sedangkan prediksi jumlah kasus malaria dimodelkan menggunakan robust regresi Poisson dengan input suhu rata minimum mingguan, suhu rata maksimum mingguan serta jumlah curah hujan rata-rata mingguan dengan PDL (Polynomial Distribution Lag) of weather di Kabupaten Sukabumi. Arithmetic Overlay antara zona risiko dan prediksi kasus malaria menunjukkan zona risiko lonjakan kasus malaria tiap bulan di Kabupaten Sukabumi.

Sebaran zona risiko malaria menyebar di seluruh Kabupaten Sukabumi. Zona risiko tinggi terkonsentrasi di daerah pantai. Sedangkan zona tidak berisiko (non risk) terkonsentrasi di daerah pegunungan. Prediksi kasus malaria tiap bulan dengan PDL of weather 6 lag untuk suhu udara rata-rata dan 7 lag untuk curah hujan menunjukkan jumlah kasus tertinggi terjadi di daerah pantai dan jumlah kasus terendah terjadi di daerah pegunungan. Sebaran lonjakan kasus malaria tertinggi juga terjadi di daerah pantai dan terendah di daerah pantai. Sedangkan pola sebaran lonjakan mengikuti pola curah hujan bulanan di Kabupaten Sukabumi.

Interaksi antara data lingkungan dan unsur cuaca terhadap siklus perindukan dan metabolisme nyamuk merupakan faktor utama dalam memprediksi jumlah kasus malaria. Peringatan dini dapat dilakukan 1-1,5 bulan sebelum terjadinya lonjakan zona kasus malaria tinggi (high risk) di Kabupaten Sukabumi.


(13)

FIOLENTA MARPAUNG

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Sains

pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2006


(14)

Judul Skripsi : Penyusunan Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria (Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat)

Nama : FIOLENTA MARPAUNG

NRP : G 24102002

.

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc in IT Ir. Agus Wibowo, M.Sc. NIP. 132206238 NIP. 680003126

Mengetahui,

Dekan

Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam

Prof. Dr. Ir. Yonny Koesmaryono, MS NIP. 131473999


(15)

Y\b_XagT `TecThaZ

Everything is wonderfull

at that time

My Mom and Dad

My Big Brother Davidson my My sisters (Denni, Netty, Ria and Rita)

This Little Masterpiece Is Dedicated to


(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Medan pada tanggal 29 September 1984 dari ayah Arsenius Marpaung dan ibu Aratlan Adriana Saragih . Penulis merupakan anak keenam dari enam bersaudara.

Tahun 2002 penulis lulus dari SMA Swasta Cahaya Medan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih program studi Meteorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Agrometeorologi (HIMAGRETO) periode 2003/2004 bidang Kewirausahaan. Penulis pernah melaksanakan kegiatan praktik lapang pada bulan Juli – Agustus 2005 di Teknologi Inventaris Sumber Daya Alam - Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta.


(17)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunianya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah pemodelan prediksi malaria dengan judul Penyusunan Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria (Studi Kasus Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Idung Risdiyanto, S.Si., M.Sc in IT dan Bapak Ir. Agus Wobowo, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan pengarahan, dukungan dan nasihat sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr.Ir. Yonny Koesmaryono, MS selaku penguji, Bapak Prof. Dr. Ir. Ahmad Bey, M.Sc dan Bapak Ir. Sutikno, MS; yang telah banyak memberikan saran selama penyusunan karya ilmiah ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Laboratorium Hidrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB, Dinas PPM&PL (Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan), Kabupaten Sukabumi dan BTIC-SEMEAO BIOTROP yang telah membantu penulis dalam ketersediaan data.

Terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis ucapkan kepada Papa, Mama, Denni’s family, Kak Netty, Ria’s family, Kak Rita dan Bang David atas segala doa, dukungan, bantuan serta kasih sayangnya kepada penulis. Untuk K’Maria, K’Benni, K’Erwin, K’Micky-BIOTROP terima kasih atas bantuannya dalam kesabarannya untuk mengajariku. K’Denni, K’Dani, K’Bongot, terima kasih atas bantuannya dalam pemahaman penyakit malaria dan kesehatan.

Penghargaan penulis sampaikan kepada keluarga besar civitas Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM); seluruh dosen, para pegawai GFM (Pak Jun, Pak Toro, Pak Pono, Kak Aziz, Bu Indah, Mbak Wanti, Pak Koiruddin, Pak Udin). Crew GFM’39 (Nana, Ana, Nti, Kiki, Sapta, Rudi, Ode, Joko, Mian, Nida, Yo, Basyar, Ani, Aprian, Away, Deni, Lina, Gian, Samba, Ipit, Tado, Lupi, Vivi, Eko, Anton, Zainul, Misna, Linda, Made, An2, Sasat dan Dwinita) serta penghuni Novia IC (Maria, Natha, Ellen, Mila, Riri, Elsa, Opink, Meli, Andri, Ana, mbak Anjar, Angel, Nisa, Mita, Lina, Nita, Mbak Loli, Ayu, Ika dst) - thanks atas segala semangat, keceriaan dan kebersamannya. Mauliate.

Bogor, Agustus 2006


(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 1

1.3. Hipotesis ... 1

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Penyakit dan Vektor Malaria ... 1

2.2. Siklus Hidup Parasit dan Vektor Malaria ... 2

2.2.1. Siklus Hidup Parasit Malaria ... 2

2.2.1.1. Plasmodium vivax ... 2

2.2.1.2. Plasmodium falciparum ... 2

2.2.2. Siklus Hidup Vektor Malaria ... 3

2.3. Hubungan Cuaca dan Topografi dengan Vektor Malaria ... 5

2.3.1. Suhu ... 5

2.3.2. Kelembaban Udara ... 6

2.3.3. Curah Hujan ... 6

2.3.4. Radiasi ... 6

2.3.5. Angin ... 6

2.3.6. Topografi ... 6

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 7

2.4.1. Konsep Dasar dan Pengertian SIG ... 7

2.4.2. Subsistem SIG ... 7

2.4.3. Data SIG ... 8

2.4.3.1. Model Raster ... 8

2.4.3.2. Model Vektor ... 8

2.4.4. Fungsi Analisis ... 8

2.4.4.1. Fungsi Analisis Atribut ... 9

2.4.4.2. Fungsi Analisis Spasial ... 9

2.4.5. Pemanfaatan SIG dalam Penyebaran Malaria ... 10

2.4.6. Protokol SIG Malaria ... 10

2.4.6.1. Subsistem Manajemen Data Dasar Populasi Malaria ... 10

2.4.6.2. Subsistem Manajemen Data Geografis ... 10

2.4.6.3. Subsistem Analisis dan Pemanggilan Data ... 11

2.5. Penginderaan Jauh ... 11

2.5.1. Klasifikasi Citra ... 11

2.5.2. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) ... 11

2.6. Weather Monitoring Model (WMM) ... 12

2.7. Artikel dan Jurnal Malaria Secara Spasial dan Statistik ... 12

III. KEADAAN UMUM KABUPATEN SUKABUMI 3.1. Kondisi Geografis ... 13

3.2. Topografi ... 13

3.3. Iklim ... 14

3.4. Penyebaran Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 15

IV. BAHAN DAN METODE 4.1. Waktu dan Tempat ... 17

4.2. Ruang Lingkup Penelitian ... 18

4.3. Asumsi ... 18

4.4. Alat dan Bahan ... 18

4.4.1. Alat yang Digunakan ... 18


(19)

4.5. Metode Penelitian ... 19

4.5.1. Pengekstrasian dan Pengolahan Citra Satelit untuk Klasifikasi LandUsed (Penggunaan Lahan) ... 19

4.5.2. Klasifikasi Daerah Endemis Malaria dan Interaksi Kasus Positif terhadap Lingkungan ... 19

4.5.3. Pemodelan Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria ... 19

4.5.3.1. Model Spasial Zona Risiko Malaria ... 19

4.5.3.2. Pemodelan Numerik Hubungan Antara Prediktor dan Kasus Malaria ... 19

4.5.4. Integrasi Model Spasial ... 20

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Klasifikasi Penutupan Lahan (LandUsed) Kabupaten Sukabumi ... 20

5.2. Sebaran Daerah Endemis Malaria dan Interaksi Kasus Positif Malaria terhadap Lingkungan ... 20

5.2.1. Sebaran Daerah Endemis di Kabupaten Sukabumi ... 22

5.2.2. Interaksi Kasus Positif Malaria terhadap Lingkungan ... 22

5.3. Model Spasial untuk Memprediksi Penyebaran Malaria ... 28

5.3.1. Zona Risiko Malaria Berdasarkan Unsur Lingkungan ... 28

5.3.2. Pemodelan Numerik Prediktor dan Kasus Malaria ... 35

5.4. Integrasi Model Spasial Berdasarkan Unsur Lingkungan dan Unsur Cuaca ... 40

VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 43

6.2. Saran ... 43

VII. DAFTAR PUSTAKA ... 43


(20)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

1. Tempat Perindukan Larva, Tempat Peristirahatan dan Perilaku Nyamuk Anopheles sp.

Dewasa Sebagai Vektor Malaria ... ... 4

2. Pengaruh Suhu Udara Rata-Rata terhadap Siklus Nyamuk Anoheles sp. dan Siklus Sprogoni Parasit Plasmodium sp. serta Pengaruhnya terhadap Jumlah Luasan Perindukan Menjadi Kejadian Kasus Malaria ... 6

3. Daftar Data dan Peta Populasi Dan Malaria dalam SIG Malaria ... 10

4. Artikel/ Jurnal Secara Spasial Maupun Statistik ... 12

5. Klasifikasi Penggunaan Lahan Kabupaten Sukabumi Tahun 2005 ... 20

6. Klasifikasi Penutupan Lahan (LandUsed) di Daerah Endemis Malaria Kabupaten Sukabumi ... 22

7. Klasifikasi Pengaruh Ketinggian Tempat (Altitude) Terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria Di Kabupaten Sukabumi ... 31

8. Klasifikasi Pengaruh Kemiringan Lereng (Slope) terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 31

9. Klasifikasi Pengaruh Penggunaan Lahan (LandUsed) terhadap Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 31

10. Pengaruh Variabel Lingkungan dalam Penentuan Zona Risiko Malaria di Kabupaten Sukabumi ... 31


(21)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

1. Nyamuk Anopheles sp. dewasa ... 2

2. Uraian subsistem-subsistem SIG ... 7

3. Data SIG dalam bentuk layers/ themes... 8

4. Ilustrasi model data vektor dan model data raster ... 8

5. Query spasial unruk mencari luas penutupan lahan kurang dari 40000m2 ... 9

6. Klasifikasi data spasial dari 7 kelas (a) menjadi 5 kelas (b) ... 9

7. Prinsip dasar overlay poligon. Dua buah poligon layer A dan B akan menghasilkan data spasial baru (data atribut) yang merupakan hasil interaksi layer A dan B ... 9

8. Kerangka umum SIG Malaria ... 11

9. Peta topografi Kabupaten Sukabumi ... 15

10. Suhu udara rata-rata Kabupaten Sukabumi periode 11 tahun (1994-2004) ... 14

11. Curah hujan rata-rata Kabupaten Sukabumi periode 11 tahun (1994-2004) ... 14

12. Pola musim penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Sukabumi pada tahun 1994-2004 16

13. Pola penyebaran kasus malaria di Kabupaten Sukabumi patda tahun 1999-2004 ... 16

14. Sebaran spasial kasus positif malaria tiap desa di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 ... 17

15. Area studi ... 18

16. Klasifikasi penggunan lahan Kabupaten Sukabumi ... 21

17. Peta sebaran desa perindukan Anopheles sp. di Kabupaten Sukabumi ... 23

18. Peta sebaran desa endemis Kabupaten Sukabumi ... 24

19. Peta sebaran daerah pemukiman kasus malaria di daerah perindukan Nyamuk Anopheles Pada jelajah terbang 1mil ... 25

20. Peta sebaran daerah pemukiman kasus malaria di daerah perindukan Nyamuk Anopheles Pada jelajah terbang 2mil ... 26

21. Peta sebaran daerah pemukiman kasus malaria di daerah perindukan Nyamuk Anopheles Pada jelajah terbang 3mil ... 27

22. Hubungan kerapatan kasus terhadap luasan perindukan dan pemukiman tiap desa perindukan dengan jelajah nyamuk (a) 1 mil, (b) 2 mil dan (c) 3 mil ... 28

23. Peta sebaran klasifikasi pembobotan (scoring) dari ketinggian tempat (altitude) ... 30

24. Peta sebaran klasifikasi pembobotan (scoring) dari kemiringan tempat (slope) ... 32

25. Peta sebaran klasifikasi pembobotan (scoring) dari penggunaan lahan (LandUsed) ... 33

26. Klasifikasi zona risiko malaria Kabupaten Sukabumi ... 36

27. Sebaran kasus malaria terhadap zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 . 37 28. Hubungan kerapatan kasus terhadap zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi ... 35

29. Pola regresi Poisson dari kasus malaria di Kecamatan Pelabuhan Ratu pada masing-masing distribusi lag suhu udara dan curah hujan (a) 4 dan 5, (b) 5 dan 6, (c) 6 dan 7, (d) 7 dan 8 38


(22)

30. Sebaran prediksi kasus malaria bulanan tiap desa di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 ... 39 31. Sebaran kasus prediksi malaria bulan Januari 2004 menurut zona risiko malaria di

Kabupaten Sukabumi ... 41 32. Prediksi ebaran zona lonjakan kasus malaria di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 ... 42


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman 1. Peta sebaran kasus positif malaria menurut penggunaan lahan (LandUsed) tahun 2004 ... 46 2. Peta sebaran kasus positif malaria menurut ketinggian tempat (altitude) tahun 2004 ... 47 3. Peta sebaran kasus positif malaria menurut kemiringan lereng (slope) tahun 2004 ... 48 4. Daftar istilah ... 49


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Malaria merupakan masalah kesehatan utama di Kabupaten Sukabumi. Dari data PPM&PL Depkes (Pemberantas Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan) tahun 2002, tercatat 143 kasus positif malaria dan 18 orang meninggal dunia. Sedangkan dari data tahun 2003, sebanyak 1.790 kasus malaria dan 27 orang meninggal dunia tercatat terjadi di Kabupaten Sukabumi. Kondisi tersebut menyebabkan kembalinya Kabupaten Sukabumi sebagai daerah KLB (Kejadian Luar Biasa) Malaria (www.depkes.go.id).

Peningkatan kasus malaria cenderung dipengaruhi oleh perubahan pola distribusi vektor malaria. Pola distribusi vektor malaria (nyamuk Anopheles sp.) berkembang dari skala lokal menjadi skala global (http://www.who.ch/). Kondisi tersebut didukung oleh perubahan daerah endemik malaria yang bertambah luas dan peningkatan jumlah penduduk tanpa disertai dengan peningkatan sarana kesehatan. Perpindahan penduduk dari satu tempat ke tempat lain, khususnya dari daerah rawan penyakit menular ke daerah lain, menyebabkan daerah yang telah bebas dari penyakit terkena kembali (www.depkes.go.id).

Berbagai upaya dilakukan untuk memberantas penyakit maupun vektor malaria. Upaya tersebut mencakup pengobatan pasien, penggunaan obat-obatan anti malaria, pemusnahan nyamuk vektor pembawa penyakit serta pemusnahan tempat pembiakan nyamuk. Tetapi upaya tersebut kurang efektif karena obat anti-malaria maupun obat pembasmi nyamuk memberikan dampak yang kecil terhadap penurunan kepadatan transmisi nyamuk. (Hargreaves K et al., 2000 dalam Mushinzimana et al., 2005). Oleh karena itu diperlukan sistem kewaspadaan dini serta perencanaan pemberantasan malaria yang tepat dan berkesinambungan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.

Pendugaan Sistem Kewaspadaan/ Peringatan Dini Malaria atau Early Warning System Malaria (EWSM) berdasarkan pada pendugaan kepadatan larva vektor serta penentuan tempat perindukan dan habitat vektor. Pendugaan faktor-faktor tersebut dibatasi oleh lingkungan habitat dan tempat perindukan vektor itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh lingkungan mampu mengatur atau mereduksi transmisi malaria secara

signifikan (Killen et al., 2002 dalam Mushinzimana et al., 2005).

Unsur-unsur cuaca/iklim juga merupakan input pendugaan sistem peringatan dini. Unsur cuaca merupakan faktor pembatas perkembangbiakan vektor tiap fase dan populasi nyamuk. Pendugaan peringatan dini berdasarkan unsur-unsur cuaca/iklim dapat memprediksi lonjakan kasus malaria dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan oleh kasus malaria tersebut dapat dipresentasikan sebagai vektor malaria (Teklehaimot et al., 2004).

1.2. Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menyusun rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria berdasarkan kondisi penutupan lahan dan unsur-unsur cuaca.

1.3. Hipotesis

Penyebaran kasus malaria ditentukan dari pendugaan penyebaran vektor malaria.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Deskriptif Penyakit dan Vektor

Malaria

Penyakit malaria merupakan penyakit menular yang berasal dari infeksi parasit Plasmodium sp. Parasit Plasmodium berkembang di dalam sistem imun (kekebalan tubuh) manusia, menginfeksi hati, dan menghancurkan sel darah merah. Pada masa inkubasi, Plasmodium hidup dan berkembang biak dalam sel hati. Beberapa hari sebelum gejala pertama terjadi, organisme tersebut menyerang dan menghancurkan sel darah merah sejalan dengan perkembangan mereka, sehingga menyebabkan demam. Demam ini dapat terjadi selama dua minggu setelah infeksi (FKUI, 1990).

Berdasarkan jenis Plasmodium yang dapat berkembang di dalam tubuh manusia, malaria dapat dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu: Malaria Tertiana disebabkan oleh Plasmodium vivax, Malaria Quartana yang disebabkan oleh Plasmodium malariae, Malaria Tropika atau Malaria Serebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, dan Malaria Ovale yang disebabkan oleh Plasmodium ovale. Dari keempat jenis Plasmodium tersebut, Plasmodium falciparum merupakan jenis Plasmodium yang sangat berbahaya (PPM&PL Depkes). Hal ini disebabkan oleh Plasmodium falciparum dapat menyebabkan


(25)

kematian terutama pada anak-anak di bawah 5 tahun (FKUI, 1990).

Plasmodium vivax dan Plasmodium falcifarum merupakan penyebab penyakit malaria utama di Kabupaten Sukabumi. Dari data kesediaan darah pasien malaria, tercatat lebih dari 90% mengandung Plasmodium falciparum maupun Plasmodium vivax. Plasmodium malariae dan kasus indegenous tercatat jarang terjadi di Kabupaten Sukabumi (PPM&PL Depkes).

Anopheles sp. merupakan subfamili dari Anophelinae seperti Anopheles sundaicus dan Anopheles aconicus. Kedua nyamuk ini banyak ditemukan di daerah Sukabumi (PPM&PL Depkes). Nyamuk Anopheles sp. merupakan genus yang utama dalam subgenus ini. Menurut Brown (1986) dalam Soviana et al., (2000), Anopheles sp. dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Animal Filum : Invertebrata Kelas : Insekta Subkelas : Pterygota Ordo : Diptera Subordo : Nematocera Famili : Culicidae Subfamili : Anophelinae Genus : Anopheles

Species :Anophleles sundaicus, Anopheles aconicus, dan lain-lain

Gambar 1 Nyamuk Anopheles sp. dewasa.

Nyamuk Anopheles sp. merupakan ektoparasit yang berbentuk langsing baik tubuh, sayap maupun probosisnya. Anophleles sp. mempunyai morfologi yang hampir sama dengan jenis nyamuk lainnya. Nyamuk Anopheles mempunyai maksilari papi yang sama panjang dengan probosis (alat untuk menusuk dan menghisap cairan makanan atau darah) tetapi pada nyamuk jantan, ujung palpi membesar (club-shaped). Posisi hinggap nyamuk menungging, dengan kaki-kaki yang panjang dan langsing (Brown, 1986 dalam Soviana et al., 2000).

2.2.Siklus Hidup Parasit dan Vektor Malaria

2.2.1. Siklus Hidup Parasit Malaria 2.2.1.1. Plasmodium vivax

Ketika nyamuk Anopheles betina (yang mengandung parasit malaria) menggigit

manusia, Plasmodium vivax akan

mengeluarkan sporozoit dari kelenjar ludah nyamuk masuk ke dalam peredaran perifer manusia. Setelah kira-kira 30 menit, sporozoit masuk ke dalam sel hati dan tumbuh menjadi skizon hati dan menjadi hipnozoit. Hipnozoit tetap beristirahat dalam sel hati selama beberapa waktu (kira-kira 3 bulan), sampai aktif kembali dan mulai dengan daur eksoeritrosit sekunder (FKUI, 1990).

Merozoit dari skizon hati masuk ke peredaran darah, menghinggapi eritrosit dan mulai dengan daur eritrosit untuk perkembangbiakan aseksual (skizogoni darah). Merozoit skizon eritrosit tersebut tumbuh menjadi trifozoit muda yang berbentuk cincin dengan ukuran sepertiga eritrosit. Eritrosit yang dihinggapi parasit Plasmodium vivax akan mengalami perubahan ukuran menjadi lebih besar, berwarna pucat dan berbentuk seperti titik Schuffner (FKUI, 1990).

Daur eritrosit pada Plasmodium vivax berlangsung selama 48 jam secara berkesinambungan. Hal ini ditandai dengan berubahnya trifozoit muda menjadi trifozoit tua yang sangat aktif. Pigmen parasit semakin nyata dan berwarna kuning. Sedangkan eritosit dipenuhi oleh merozoit dari skizon yang telah matang (FKUI, 1990).

Siklus seksual (sporogoni) parasit Plasmodium vivax dalam nyamuk, dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Siklus akan berlangsung selama 16 hari jika berada pada suhu 20°C dan 8-9 hari pada suhu 27°C. Sedangkan dibawah 15°C, perkembangbiakan seksual parasit tidak berlangsung (FKUI, 1990).

2.2.1.2. Plasmodium falciparum

Perkembangan aseksual parasit Plasmodium falciparum berbeda dengan Plasmodium vivax. Perkembangan aseksual dalam hati hanya berlangsung hingga fase pra-eritrosit. Parasit tidak mengalami fase eksoeritrosit yang dapat menimbulkan relaps jangka panjang (rekuens) seperti Plasmodium vivax yang mempunyai hipnozoit dalam hati (FKUI, 1990).

Jumlah skizon hati parasit Plasmodium falciparum lebih banyak dibandingkan Plasmodium vivax. Stadium trifozoit muda


(26)

Plasmodium falciparum sangat kecil dan halus dengan ukuran seperenam eritrosit. Trofozoit tua akan menghilang dari darah tepi setelah 24 jam tertahan di kapiler-kapiler darah, seperti otak, jantung, plasenta, usus dan sumsum tulang belakang; di tempat-tempat ini, parasit akan berkembang secara skizogoni. Skizon yang telah matang akan membentuk merozoit dan mengisi dua per-tiga eritrosit. Kondisi ini cenderung menyebabkan penyumbatan kapiler-kapiler darah (FKUI, 1990).

Pembentukan gametosit parasit berlangsung di alat-alat dalam dan darah tepi kapiler. Gametosit (makrogametosit dan mikrogametosit) mengalami skigozoni. Sitoplasma bertambah besar, tidak padat dan berwarna merah muda (FKUI, 1990). Jumlah gametosit pada infeksi Plasmodium falciparum lebih banyak dibandingkan dengan jumlah gametosit Plasmodium lainnya. Hal inilah yang menyebabkan Plasmodium falcifarum merupakan species penyakit malaria yang paling berbahaya (http://www.ppmplp.depkes.go.id).

Siklus seksual Plasmodiun falciparum dalam nyamuk hampir sama dengan Plasmodium vivax. Siklus seksual berlangsung 22 hari pada suhu lingkungan 20°C, 15-17 hari pada suhu 23°C dan 10-11 hari pada suhu 25°C-28°C. Sedangkan dibawah 15°C, perkembangbiakan seksual parasit tidak berlangsung (FKUI, 1990).

2.2.2. Siklus Hidup Vektor Malaria

Seekor nyamuk betina Anopheles yang telah menghisap darah, dapat menghasilkan telur antara 100-400 butir dalam satu kali masa telur (Brown, 1983). Nyamuk Anopheles sp. mengalami metamorfosis sempurna yaitu telur, larva, pupa dan dewasa. Telur akan menetas menjadi larva kemudian melakukan pengelupasan kulit sebanyak 4 kali; lalu tumbuh menjadi pupa dan akhirnya menjadi nyamuk dewasa. Waktu yang diperlukan untuk pertumbuhan sejak telur diletakkan sampai dewasa bervariasi antara 2-10 minggu bergantung pada sumber darah dan suhu udara. Keempat fase metamorfosis tersebut memerlukan lingkungan untuk perkembangannya (FKUI, 1990).

Perkembangan Telur Anopheles sp. Telur Anopheles menyerupai perahu dengan pelampung dari chorion yang berlekuk-lekuk disebelah lateral. Telur tersebut memiliki panjang kira-kira 0,7 mm. Nyamuk Anopheles meletakan telurnya di dalam air dan umumnya akan menetas dalam

waktu 1-3 hari pada suhu 30°C, tetapi akan membutuhkan 7 hari pada suhu 16°C. Telur Anopheles sangat resisten terhadap pengeringan dan suhu yang sangat tinggi maupun suhu rendah. Telur Anopheles akan musnah pada suhu diatas 40°C dan tidak berkembang pada suhu di bawah 12°C (Brown, 1983).

Perkembangan Larva Anopheles sp. Stadium larva membutuhkan air untuk kehidupannya. Larva mengalami 4 stadium perkembangan untuk mencapai panjang kira-kira 10 mm. Larva Anopheles sp. memiliki kebiasaan beristirahat dengan mengantung secara horizontal terhadap permukaan air. Larva nyamuk Anopheles memakan algae, bakteri dan bahan-bahan organik kecil yang berukuran 20-100 mikron dari permukaan air (Brown, 1983). Waktu yang dibutuhkan stadium larva menjadi pupa berkisar antara 9-12 hari (Cander, 1981 dalam Derhana, 2005), dan pada suhu dibawah 10°C, larva tidak menjadi pupa (Borror et al. 1989 dalam Derhana, 2005).

Perkembangan Pupa Anopheles sp. Stadium pupa merupakan fase tanpa makan dan sangat sensitif terhadap pergerakan air. Stadium ini berlangsung dalam waktu 2-3 hari, tetapi dapat diperpanjang hingga 10 hari jika berada pada suhu rendah, di bawah suhu 10°C. Pupa nyamuk tidak mengalami perkembangan. Waktu menetas (ekslosi), kulit pupa terkelupas akibat gesekan gelembung udara dan kegiatan bentuk nyamuk dewasa yang ingin melepaskan diri (Soviana dan Hadi, 2000).

Perkembangan Anopheles sp. dewasa Nyamuk yang telah melepaskan diri dari kulit pupa akan mencari pasangan untuk mengadakan perkawinan. Perkawinan akan terjadi antara 1-2 hari setelah keluar dari pupa. Nyamuk jantan dewasa umumnya dapat bertahan hidup selama 6-7 hari sedangkan nyamuk betina dapat bertahan hidup selama 2 minggu di alam (Soviana dan Hadi, 2000). Kebiasaan

Setiap jenis nyamuk memiliki jarak terbang yang berbeda-beda. Nyamuk Anopheles sp. mempunyai jarak terbang efektif antara tempat perindukan dan sumber makanan darah. Sedangkan jarak terbang maksimum berkisar 1-3 mil (Brown, 1983).

Nyamuk tertarik oleh cahaya terang, pakaian berwarna gelap dan adanya manusia


(27)

dan hewan sebagai sumber makanan darah. Daya tarik jarak jauh disebabkan oleh adanya perangsangan bau dari zat-zat yang dikeluarkan oleh hewan ataupun manusia, seperti CO2 dan beberapa zat asam amino.

Lokalisasi suhu hangat dan kelembaban turut mempengaruhi pola penyebaran nyamuk (Brown, 1983).

Umumnya species nyamuk Anopheles sp. sebagai host definitive memiliki perilaku yang berbeda-beda. Perilaku tersebut menentukan proses penularan malaria seperti tempat

hinggap/istirahat yang eksofilik (senang hinggap di luar rumah) dan endofilik (suka hinggap di dalam rumah). Anopheles sp. juga memiliki tempat menggigit yang berbeda-beda yakni eksofagik (menggigit di luar rumah) dan endofagik (lebih suka menggigit di dalam rumah). Obyek yang digigit Anopheles sp. juga berbeda-beda, yakni antrofilik ( menggigit manusia) dan zoofilik ( menggigit hewan). Perilaku nyamuk dewasa di Kabupaten Sukabumi secara terperinci dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Tempat Perindukan Larva, Tempat Peristirahatan dan Perilaku Nyamuk Anopheles sp.

Dewasa Sebagai Vektor Malaria

Vektor Tempat Perindukan Larva Perilaku Nyamuk Dewasa

An.

sundaicus*†

Muara sungai yang dangkal pada musim kemarau,tambak ikan yang kurang terpelihara, parit-parit disepanjang pantai bekas galian yang berisi air payau.

Antrofilik > Zoofilik, menggigit sepanjang malam.

Tit: di dalam dan luar rumah An.

aconicus*†

Persawahan dengan saluran irigasi, tepi sungai pada musim kemarau, kolam ikan dengan tanaman kecil di dalamnya.

Zoofilik > Antrofilik, Eksofagik menggigit diwaktu senja hingga dini hari Tit: di luar rumah (pit traps) An.

barbirostris*†

Sawah dan saluran irigasi, kolam, rawa, mata air, sumur, dan lain-lain.

Zoofilik

Eksofagik > Endofagik dan menggigit pada malam hari Tit: di luar (pada tanaman) An.

malculatus*†

Mata air dan sungai dengan air jernih yang mengalir lambat di daerah pegunungan dan daerah perkebunan teh.

Zoofilik > Antrofilik menggigit pada malam hari

Tit: di luar rumah (sekitar kandang)

An. subpicus†

Kumpulan air yang permanen/ sementara, celah tanah bekas kaki binatang, tambak ikan dan bekas galian.

Antrofillik > Zoofilik menggigit pada malam hari

Tit: di dalam dan di luar rumah (kandang)

An.

balabacensis†

Bekas roda yang tergenang air, air, bekas jejak kaki binatang pada tanah lumpur yang berair, tepi sungai pada musim kemarau, kolam atau kali yang berbatu di hutan dan daerah pedalaman.

Antrofilik < Zoofilik Tis: Endofilik menggigit pada malam hari

Tit: di luar tumah (sekitar kandang).

An.

nigerrimus†‡

Sawah, kolam dan rawa yang ada tanaman air.

Zoofilik > Antrofilik dan menggigit dari senja hingga malam hari

Tit: di luar rumah (kandang)

Keterangan:

An : Anopheles

Tit : tempat tinggal tetap Tis : tempat tinggal sementara

* : jenis nyamuk Anopheles sp. dominan di Kabupaten Sukabumi (PPM&PL Depkes Kab. Sukabumi) † : jenis nyamuk Anopheles sp. yang di temukan di Jawa Barat

‡ : jenis nyamuk Anopheles sp. yang ditemukan di Kabupaten Sukabumi (Sumber: Depkes, 1990 dalam FKUI, 1990)

Walaupun memiliki tempat hinggap, tempat menggigit dan objek yang digigit yang berbeda-beda, nyamuk Anopheles memiliki ciri-ciri siklus hidup yang hampir sama, sebagai berikut:

• Mengalami siklus genotropik.

• Kegiatan menghisap darah pada hewan dan manusia, hanya dilakukan oleh nyamuk betina dan dilakukan segera setelah kawin.


(28)

• Nyamuk betina hanya mengalami satu kali kawin.

• Spermatozoa dikeluarkan oleh nyamuk jantan ke spermateka betina untuk membuahi sel telur.

• Menghisap darah untuk memperoleh nutrien yang dibutuhkan dalam perkembangan telur dalam ovaria. (Beberapa species dapat bersifat autogeni pada kelompok telur pertama).

• Setelah menghisap darah, abodemen yang berwarna merah muda akan membesar dan berwarna merah tua (gelap) setelah darah diserap oleh telur di dalam ovari yang besar.

• Telur diletakkan satu per satu langsung di permukaan air alam (Soviana dan Hadi, 2000).

Pola penyebaran malaria dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu host

(manusia/nyamuk), agent (parasit

Plasmodium) dan environment (lingkungan). Penyebaran malaria akan terjadi apabila ketiga komponen tersebut mendukung. Manusia sebagai Host Intermediate dapat terinfeksi oleh agent dan merupakan tempat berkembangbiaknya agent (FKUI, 1990). Epidiomologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi penentuan vektor malaria di suatu daerah endemis malaria adalah:

1. Kebiasaan nyamuk Anopheles menghisap darah manusia.

2. Lama hidup nyamuk betina dewasa lebih dari 10 hari.

3. Nyamuk Anopheles dengan kepadatan tinggi dan mendominasi species lain yang ditemukan.

4. Hasil infeksi percobaan di laboratoriun yang menunjukkan kemampuan untuk mengembangkan Plasmodium menjadi stadiun sporozoit (FKUI, 1990).

Data epidiomologi malaria juga dapat ditentukan/ dianalisis dengan membandingkan jumlah kasus, SPR, ABER dan API, AMI tiap tahun (Saleh, 2002).

Entomologi Kesehatan

Faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya penyakit malaria adalah:

1. Peningkatan kerentanan penduduk 2. Peningkatan penderita reservoir 3. Peningkatan jumlah dan umur vektor 4. Peningkatan jumlah penderita

5. Pengaruh indegenous malaria (DEPKES, 1990 dalam Saleh, 2002).

Transmisi penyakit malaria dominan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor sosial. Transmisi malaria terjadi akibat adanya kontak langsung antara manusia dan vektor malaria akibat pengaruh lingkungan; yaitu jenis pemukiman (perkampungan atau berada di pinggir hutan), jenis pekerjaan, sanitasi dan penempatan kandang ternak (DEPKES, 1990 dalam Saleh, 2002). Penempatan kandang ternak di sekitar rumah dapat mereduksi transmisi penyakit malaria terhadap manusia nyamuk Anopheles sp. Hal ini disebabkan oleh ketersedian sumber darah di alam. Kebiasaan nyamuk untuk menggigit di luar rumah (alam) juga turut mempengaruhi transmisi tersebut (Tabel 1). Pengaruh lingkungan mempengaruhi pola penyebaran vektor malaria (Host Definitive).

Faktor sosial ataupun manusia itu sendiri juga mempengaruhi transmisi malaria. Usia, jenis kelamin, ras, sosial ekonomi, status perkawinan, riwayat penyakit sebelumnya, gaya dan cara hidup, hereditas (keturunan), status gizi dan tingkat imunitas turut mempengaruhi transmisi malaria (http://www.ppmplp.depkes.go.id).

2.3. Hubungan Cuaca dan Topografi dengan Vektor Malaria

2.3.1. Suhu

Suhu merupakan karakteristik tempat perindukan yang mempengaruhi metabolisme, perkembangan, pertumbuhan, adaptasi dan sebaran geografik larva nyamuk. Peningkatan suhu 1°C dapat meningkatkan kecepatan angka metabolisme dengan rata-rata konsumsi O2 dan CO2 sebesar 10%. Pengaruh

peningkatan suhu juga mempengaruhi proses biologis nyamuk seperti kegiatan gerakan bernafas, detak jantung, ritme sirkulasi darah dan kegiatan enzim. (Ward, 1992 dalam Saleh, 2002).

Pada suhu diatas 32°C -35°C, metabolisme serangga akan terganggu menuju proses fisiologi. Suhu udara rata-rata yang optimun untuk perkembangan nyamuk adalah 25°C-27°C. Sedangkan perkembangan nyamuk akan terhenti dibawah suhu 10°C dan diatas suhu 40°C (Sukowati, 2004). Macan (1963) dalam Saleh (2002), menemukan suhu air 18°C merupakan suhu yang paling rendah dibutuhkan larva nyamuk di daerah tropis, sedangkan suhu 36°C selama 2 bulan berturut-turut dapat mematikan semua larva nyamuk. Pengaruh suhu udara terhadap perkembangan nyamuk secara terperinci dapat dilihat dari tabel 2.


(29)

Tabel 2 Pengaruh Suhu Udara Rata-Rata Terhadap Siklus Nyamuk Anopheles sp. dan Siklus Sporogoni Parasit Plasmodium sp. serta Pengaruhnya Terhadap Jumlah Luasan Perindukan Menjadi Kejadian Kasus Malaria

Faktor Cuaca Fase dan Durasi Siklus Nyamuk Anopheles sp. dan Siklus Sporogony Parasit Plasmodium sp. yang Dipengaruhi Oleh Faktor Cuaca

Luasan Perindukan nyamuk ---Æ Kasus Malaria Siklus Nyamuk

Anopheles sp.

Siklus Sporogony parasit Plasmodium sp. Suhu Udara

Rata-Rata

LarvaÆDewasa (hari)

Gigitan PertamaÆ infeksi (hari)

Periode Inkubasi di dalam Tubuh Manusia 16°C

17°C 18°C 20°C 22°C 30°C 35°C 39C 40°C

47 37 31 23 18 10 7,9 6,7 6,5 111 56 28 19 7,9 5,8 4,8 4,8 4,8 10-16 hari

(Sumber: Teklehaimot et al., 2004) 2.3.2. Kelembaban Udara

Kelembaban udara dapat mempengaruhi longevity (umur) nyamuk. Sistem pernafasan nyamuk menggunakan pipa-pipa udara yang disebut trachea dengan lubang-lubang dinding yang disebut spiracle. Pada waktu kelembaban rendah, spiracle terbuka lebar tanpa ada mekanisme pengaturnya sehingga menyebabkan penguapan air dari dalam tubuh nyamuk (Suroso, 2001). Penambahan kelembaban udara di laboratoruim menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan terhadap populasi nyamuk, tetapi kondisi tersebut tidak signifikan di alam (Saleh, 2002). Kisaran kelembaban udara dipengaruhi oleh suhu udara. Namun jelas bagi serangga, kelembaban udara yang optimum untuk perkembangan adalah 73% - 100% (Sunjaya, 1970, Andrewartha & Birch 1974 dalam Koesmaryono, 1999).

2.3.3. Curah Hujan

Frekuensi curah hujan yang moderat dengan penyinaran yang relatif panjang menambah habitat nyamuk. Luasan habitat nyamuk tiap species Anopheles bervariasi. Hal tersebut dipengaruhi oleh jumlah dan frekuensi hari hujan, keadaan geografi, dan sifat fisik lahan. Curah hujan yang terus berkurang pada lahan pertanian akan menciptakan kondisi lagoon dan tambak menjadi payau sehingga menciptakan habitat bagi Anopheles sundaicus (Sukowati, 2004).

2.3.4. Radiasi

Radiasi mempengaruhi secara langsung perkembangan dan umur serangga. Inframerah dengan panjang gelombang 760 µm–3.105 µm memberikan efek pemanasan optimum untuk perkembangan serangga. Sedangkan ultra violet dengan panjang gelombang 0.1 µm- 400 µm memberikan efek mematikan

(Koesmaryono, 1999).

Cahaya tampak (400 µm - 760 µm) mempengaruhi fototropisme dan fotoperioditas serangga. Fotoperioditas (lamanya terang dan gelap – panjang hari) mempengaruhi aktifitas serangga. Kegiatan mengigit nyamuk aktif sepanjang malam mulai pukul 18.00 – 06.00 dan puncak mengigit terjadi pada pukul 24.00–01.00 (Marsaulina, 2002).

2.3.5. Angin

Angin tidak memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan dan perkembangan serangga. Angin memberikan peranan yang besar dalam pola penyebaran serangga (Koesmaryono, 1999).

2.3.6. Topografi

Pola penyebaran malaria terhadap ketinggian suatu tempat mempunyai hubungan yang erat. Pola penyebaran tersebut semakin luas terjadi pada wilayah yang berada pada ketinggian dibawah 1000 mdpl dan semakin sedikit atau tidak ditemukan pada ketinggian diatas 1000 mdpl. Hal ini disebabkan oleh perilaku nyamuk Anopheles sp. yang senang hidup di dataran rendah (www.depkes.go.id). Kisaran ketinggian


(30)

tempat perindukan nyamuk Anopheles juga relatif berubah. Hal tersebut disebabkan oleh perubahan suhu udara pada masing-masing ketinggian (Srivastava et al., 2003).

2.4. Sistem Informasi Geografis (SIG) 2.4.1. Konsep Dasar dan Pengertian SIG

Sistem informasi geografis pada hakekatnya merupakan sebuah rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran situasi muka bumi atau informasi tentang ruang muka bumi yang diperlukan untuk dapat menjawab atau menyelesaikan masalah yang terdapat dalam ruang muka bumi yang bersangkutan. SIG mampu mengintegrasikan deskripsi lokasi dengan karakteristik fenomena yang ditemukan pada suatu lokasi sehingga dapat mendukung dalam pengambilan keputusan spasial. Kegiatan tersebut meliputi pengumpulan, penataan, pengolahan, penganalisaan, dan penyajian data/fakta spasial yang ada atau terdapat dalam ruang muka bumi tertentu (Prahasta, 2001).

Menurut ESRI (1996) dalam Prahasta (2001), SIG merupakan kumpulan yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data geografi dan data personil yang dirancang secara efisien untuk memperoleh, menyimpan, meng-update, memanipulasi, menganalisis dan menampilkan semua bentuk informasi yang bereferensi geografi.

2.4.2. Subsistem SIG

Subsistem-subsistem yang terdapat dalam SIG adalah:

Data Input; data input merupakan subsistem yang bertugas untuk mengumpulkan dan mempersiapkan data spasial dan data atribut dari berbagai sumber. Subsistem ini bertanggung jawab dalam mengkonversi atau mentransformasikan format data asli menjadi format yang digunakan dalam SIG (Gistut, 1994 dalam Prahasta, 2001). • Data Output; data output merupakan

subsistem yang berfungsi untuk menampilkan atau mengeluarkan keluaran seluruh atau sebagian basisdata, baik dalam bentuk softcopy maupun hardcopy seperti tabel, grafik dan peta (Demers, 1997 dalam Prahasta, 2001).

Data Management; data menagement berfungsi untuk mengorganisasikan data spasial dan data atribut ke dalam sebuah basisdata sehingga mudah untuk dipanggil, di-update maupun di-edit (Aronoff, 1989 dalam Prahasta, 2001).

Data Manipulation dan Analysis; subsistem ini berfungsi untuk menentukan informasi-informasi yang dapat dihasilkan oleh SIG. Subsistem ini juga dapat melakukan manipulasi dan pemodelan data untuk menghasilkan informasi yang diiginkan (Demers, 1997 dalam Prahasta, 2001).

Uraian jenis masukan, proses, dan jenis keluaran dari keempat subsistem tersebut, dapat ditunjukkan seperti Gambar 2.

Gambar 2 Uraian subsistem-subsistem SIG. (Sumber: Prahasta, 2001)

DATA INPUT Tabel Laporan Pengukuran Lapangan Data Digital Peta (Tematik, Topografi, dll) Citra Satelit, Foto

Udara, dll Storage (database) Input Retrieval Processing Output Peta Tabel Laporan Informasi Digital (Softcopy)

DATA MANAGEMENT DAN MANIPULATION


(31)

2.4.3. Data SIG

Data basisdata SIG disusun dalam bentuk layer/ theme (Gambar 3). Satu layer dapat memuat informasi tertentu, seperti: penggunaan lahan (LandUsed), jaringan jalan, sungai, batas administrasi, lokasi stasiun kilmatologi. Presentasi masing-masing layer tersebut dilakukan dengan manipulasi obyek dasar atau entity spasial yang memiliki atribut geometri. Bentuk reprenstasi entity spasial tersebut berupa konsep data vektor dan konsep data raster yang disajikan dengan menggunakan model data raster atau model data vektor (Prahasta, 2001).

2.4.3.1. Model Raster

Model data raster menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan menggunakan struktur matriks atau piksel-piksel yang membentuk grid. Setiap piksel memiliki atribut tersendiri, termasuk koordinatnya yang unik (di sudut grid (pojok), di pusat grid, atau di tempat lainnya). Akurasi model data raster tergantung pada resolusi atau ukuran pikselnya (sel grid) di permukaan bumi. Entity spasial raster disimpan di dalam layers yang secara fungsionalitas direlasikan dengan unsur-unsur petanya. Contoh sumber-sumber entity spasial raster adalah citra satelit, citra radar, dan model ketinggian dijital (DEM –Digital Elevation Model). Pada model raster, data geografi ditandai oleh nilai-nilai (bilangan) elemen matriks persegi panjang dari suatu obyek (Prahasta, 2001).

2.4.3.2. Model Vektor

Model data vektor menampilkan, menempatkan, dan menyimpan data spasial dengan menggunakan titik-titik (entity titik), garis-garis (entity garis) atau poligon (entity area) beserta atribut-atributnya. Bentuk dasar representasi data spasial ini didefinisikan oleh sistem koordinat kartesian dua dimensi (x,y). Representasi vektor suatu obyek disajikan dalam ruang atau dimensi koordinat yang diasumsikan bersifat kontiniu (Prahasta, 2001). Perbedaan data spasial antara model vektor dan model raster ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 3 Data SIG dalam bentul layers/

themes

(Sumber: Wibowo, 2005)

Gambar 4 Ilustrasi model data vektor dan model data raster.

(Sumber: Wibowo, 2005)

2.4.4. Fungsi Analisis

Secara umum terdapat dua jenis fungsi analisis dalam SIG, yaitu fungsi analisis atribut (basisdata atribut) dan fungsi analisis spasial (Prahasta, 2001).

2.4.4.1. Fungsi Analisis Atribut

Fungsi analisis atribut terdiri atas operasi dasar sistem pengolahan basisdata (DBMS) dan perluasannya, yaitu:

Operasi dasar basisdata, seperti membuat dan menghapus basisdata atau tabel basisdata, menyisipkan data baru ke dalam tabel basisdata, mencari data dari tabel basisdata, meng-edit data dan menghapus data dari tabel basisdata serta membuat indeks untuk setiap tabel basisdata.

Perluasan operasi basisdata; seperti mengekspor atau mengimpor basisdata kedalam sistem basisdata lain dan berkomuniksi dengan sistem basisdata yang lainnya (Prahasta, 2001).


(32)

2.4.4.2. Fungsi Analisis Spasial

Beberapa fungsi analisis spasial dalam SIG sebagai berikut:

Fungsi pengukuran, query spasial dan fungsi klasifikasi (Reclassify); fungsi pengukuran mencakup pengukuran jarak suatu obyek, luas area dalam 2 dimensi atau 3 dimensi. Query spasial berfungsi mengidentifikasikan obyek secara selektif, definisi pengguna, maupun melalui kondisi logika. Contoh query spasial adalah mencari suatu area yang kurang dari 40000 m2 pada area penutupan lahan (Gambar 5.). Sedangkan fungsi klasifikasi bertugas untuk mengklasifikasikan kembali suatu data (data spasial atau data atribut) menjadi data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu. Misalnya penggunaan data spasial ketinggian muka bumi (topografi) untuk diturunkan menjadi data spasial seperti kemiringan lereng (slope), arah hadap sebuah permukaan (aspect), variasi bentukan dalan dalam degradasi kecerahan (hillshade) dan kontur. Fungsi ini merupakan fungsi yang meng-eksplore data tanpa membuat perubahan yang mendasar. Fungsi eksplore umumnya digunakan sebelum analisis data. Fungsi klasifikasi juga digunakan untuk menyederhanakan kelas data spasial (Gambar 6.).

Gambar 5 Query spasial untuk mencari luas penutupan lahan kurang dari 40000m2.

(Sumber: Prahasta 2001)

Jaringan (network); fungsi jaringan merujuk data spasial titik-titik (points) atau garis-garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak dapat dipisahkan. Misalnya menghitung jarak titik awal dan titik akhir dan mengakumulasi jarak-jarak dari segmen yang membentuknya.

Gambar 6 Klasifikasi data spasial dari 7 kelas (a) menjadi 5 kelas (b).

(Sumber: Prahasta 2001)

Tumpang Susun (overlay); fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data spasial yang menjadi input-nya. Ilustrasi fungsi overlay ditunjukkan seperti Gambar 7. Fungsi overlay ini juga berlaku untuk model data raster. Prinsip overlay juga mengikuti operasi aritmatik (seperti penjumlahan, pengurangan dan perkalian), operasi statistik (seperti minimum dan maksimum), operasi boolean (seperti and dan or), kondisional (if condition) dan operasi lainnya.

Gambar 7 Prinsip dasar overlay poligon. Dua buah poligon layer A dan B akan menghasilkan

data spasial baru (data atribut) yang merupakan hasil interaksi layer A dan B.

(Sumber: Prahasta 2001)

Buffering; fungsi buffering akan menghasilkan data spasial baru yang berbentuk poligon atau zona dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi input-nya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik pusatnya. Data spasial garis akan


(33)

menghasilkan data spasial baru berupa poligon-poligon yang melingkupi gari-garis tersebut. Sedangkan data spasial poligon akan menghasilkan data spasial baru yang besar dan konsentris.

3D analysis; fungsi ini terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan dengan presentasi data spasial dalam ruang tiga dimensi. Fungsi ini banyak menggunakan fungsi interpolasi (Prahasta, 2001). 2.4.5. Pemanfaatan SIG dalam Penyebaran

Malaria

SIG dapat dapat dimanfaatkan untuk membantu penentuan penyebaran malaria. Secara umum SIG Malaria terdiri atas serangkaian subsistem manajemen data dasar (data dasar dan data geografis), serta subsistem analisis dan pemanggilan (retrival) data. Inventarisasi data populasi dan data malaria yang distandarisasi, peta-peta SIG malaria, dan fungsi analisis spasial dari SIG antara lain klasifikasi, penilaian, tumpang susun, dan fungsi-fungsi lingkungan digunakan dalam SIG Malaria (Wibowo, 2005).

2.4.6. Protokol SIG Malaria

Menurut Luo, 2001 , kerangka umum SIG malaria sebagai berikut:

2.4.6.1. Subsistem Manajemen Data Dasar Populasi Malaria

Data kasus malaria (Plasmodium sp. dan jumlah penderita) dan data populasi merupakan data dasar dalam SIG. Data tersebut membutuhkan identifer (kode umum) yang digunakan untuk menghubungkan data populasi dan kasus malaria dengan

karakterisrik geografis, seperti desa, puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit, stasiun klimatologi, dan lain-lain. Kode desa digunakan sebagai identifer unik yang distandarisasi secara nasional untuk menghubungkan data atribut (kasus malaria dan populasi) dengan karakteristik geografis (peta).

Sistem surveilens di Jawa-Bali melibatkan dua mekanisme pengumpulan data, yaitu Active Case Detection (ACD) dan Passive Case Detection (PCD). ACD merupakan mekanisme pengumpulan data secara langsung di lapangan. Petugas lapangan secara teratur mengunjungi lokasi yang berada di wilayah kerja masing-masing puskesmas. Sedangkan PCD merupakan mekanisme pengumpulan data secara tidak langsung. Data diperoleh dari puskesmas dan puskesmas pembantu.

Indikator sistem surveilens ditentukan oleh API rate, AMI rate, ABER dan SPR. Annual Parasite Incidence Rate (API rate) dan Annual Malaria Incidence Rate (AMI rate) merupakan indikator utama dalam sistem surveilens. API dan AMI merupakan indikator yang digunakan untuk mengetahui tingkat epidemis malaria suatu wilayah. Penggunakan API dan AMI tersebut secara nasional ditetapkan masing-masing untuk pulau Jawa-Bali dan pulau-pulau di luar Jawa-Jawa-Bali. Sedangkan Annual Blood Examination Rate (ABER) dan Slide Positive Rate (SPR) merupakan indikator sekunder yang digunakan dalam penilaian kegiatan surveilens. Rincian data dan indikator SIG Malaria dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Daftar Data dan Peta Populasi dan Malaria dalam SIG Malaria

Daftar Data Atribut Daftar Peta

1. Jumlah populasi tiap desa 1. Peta titik desa

2. Jumlah kasus malaria klinis 2. Peta titik rumah sakit 3. Jumlah sediaan darah yang diperiksa 3. Peta titik puskesmas

4. Jumlah kasus positif 4. Peta titik puskesmas pembantu

5. Jumlah kasus positif bagi Plasmodium falciparum 5. Peta batas desa 6. Jumlah kasus positif bagi Plasmodium vivax 6. Peta batas kecamatan

7. Jumlah kasus indigenous 7. Peta penggunaan lahan

8. Jumlah kasus indigenous Plasmodium falciparum 8. Peta topografi 9. Jumlah kasus indigenous Plasmodium vivax 9. Peta hidrologi

10.Daftar puskesmas pembantu yang memiliki laboratoriun 10. Peta jaringan jalan raya 2.4.6.2. Subsistem Manajemen Data

Geografis

Subsistem manajemen data geografis merupakan sistem berupa vektor yang dikenal sebagai model ”topologi”. Objek pada sub

sistem ini dapat berupa titik, garis, dan poligon. Dalam SIG Malaria, lokalitas (seperti kota, puskesmas, puskesmas pembantu, rumah sakit, pusat kota) digambarkan sebagai titik. Jaringan transportasi (jalan dan jalan raya),


(34)

Sub sistem manajemen data dasar dan malaria

Sub sistem manajemen data geografis (peta)

SIG

Sub sistem analisis spasial dan pemanggilan daerah

Grafik Peta Tabel

Gambar 8 Kerangka umum SIG jaringan hidrologi (sungai dan anak sungai), jaringan Wilayah Kerja Puskesmas (WKP) dan kontur digambarkan sebagai garis. Sedangkan batas desa, batas kecamatan, dan batas kabupaten digambarkan sebagai poligon. Data lingkungan seperti bentang wilayah, hidrologi, penggunaan lahan, pola perlindungan tanah (land cover) dan jaringan jalan raya juga termasuk dalam data geografis. Data lingkungan tersebut digunakan dalam pengambilan keputusan untuk mempelajari pola penyebaran spasial malaria. Sedangkan peta jaringan jalan raya digunakan untuk menilai pemberian pelayanan kesehatan dalam kegiatan surveilens dan penanggulangan malaria.

2.4.6.3. Subsistem Analisis dan Pemanggilan Data

Sub sistem analisis dan pemanggilan data merupakan subsistem yang berperan penting untuk meningkatkan kemampuan pengguna, terutama dalam kegiatan pengambilan keputusan. Sub sistem ini berperan dalam output SIG Malaria. Hal ini disebabkan oleh cakupan subsistem sebagian besar berupa karakteristik SIG, seperti visualisasi, query (pemanggilan) data atribut dan spasial, klasifikasi, operasi hitung, operasi tumpang susun dan fungsi lingkungan.

Ketiga subsistem SIG Malaria saling berkorelasi menghasilkan tampilan Output berupa grafik, peta, dan tabel. Subsistem manajemen data dasar populasi dan malaria serta subsistem data geografis mempengaruhi hasil yang akan dikeluarkan oleh subsistem analisis dan pemanggilan data. Keterkaitan antar ketiga subsistem tersebut ditunjukan pada Gambar 8.

2.5. Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan salah satu teknik dalam SIG untuk mengumpulkan informasi dari jarak tertentu (Aronoff, 1991 dalam Prahasta, 2001). Pernyataan “dari jarak tertentu” secara umum menggambarkan bahwa tidak ada kontak langsung dengan informasi yang ingin

diperoleh tadi. Penginderaan jauh memanfaatkan berbagai perangkat seperti kamera, radiometer, penyiam (scanner), atau sensor seperti satelit.

2.5.1. Klasifikasi Citra

Citra penginderaan jauh dianalisis secara digital untuk mendapatkan informasi tematik. Klasifikasi multispektral adalah suatu metode yang digunakan untuk mengekstrak informasi, terutama informasi penutup lahan. Klasifikasi multispektral menggunakan pendekatan kuantitatif dan mengurangi subyektifitas pada kegiatan interpretasi. Metode klasifikasi multispektral dapat menggunakan algoritma-algoritma berikut : (1) Klasifikasi Tegas (Hard Classifier), (2) Klasifikasi Samar (Soft Classifier), dan (3) Klasifikasi Hibrid (Jensen, 1996 dalam Prahasta 2001). Algoritma Klasifikasi Tegas pada umumnya terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification) dan Klasifikasi Tak Terbimbing (Unsupervised Classification).

2.5.2. Klasifikasi Terbimbing (Supervised Classification)

Klasifikasi Terbimbing menggunakan pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya yang dapat berasal dari hasil ekstraksi informasi/interpretasi foto udara, peta dan lain-lain. Pengetahuan ini akan digunakan untuk mengidentifikasi piksel-piksel contoh dan menetapkan kelas ciri yang bersesuaian. Parameter-parameter statistika dari contoh kelas digunakan untuk mengkelaskan ciri yang mirip dari sebuah piksel, seperti pencarian daerah yang homogen dan memiliki kisaran variabilitas yang baik. Estimasi ciri kelas umumnya menggunakan klasifikasi Bayes Maximum Likelihood dengan asumsi distribusi normal (normal class distribution) dan vektor rataan kelas dan matriks kovarian harus dihitung (Schowengerdt, 1983). Swain (1978) menyatakan bahwa untuk mendapatkan statistik kelas yang memenuhi syarat, piksel contoh yang diperlukan berkisar antara 10 – 100, dengan notasi vektor pengukuran sebagai berikut:

Xc = [BVij1, BVij2, …, BVijk] ...(1) dengan BVijk menyatakan nilai piksel (brightness value) untuk piksel ke-i,j dan pada band ke-k. Selanjutnya akan didapatkan pula vektor pengukuran rataan untuk setiap kelas sebagai berikut:


(35)

Mc = [µc1, µc2, …, µck] ...(2) dengan µck merepresentasikan nilai rataan dari data yang diperoleh untuk kelas c pada band k. Selain itu bisa didapatkan pula matrik kovarian pada setiap kelas c sebagai berikut:

dengan Covckl adalah kovarian dari kelas c dari band k sampai l.

Aturan keputusan dalam algoritma Bayes Maximum Likelihood merupakan penentu penggolongan setiap piksel ke dalam kelas yang bersesuaian dengan menempatkan piksel berdasar kemiripan atau kemungkinan yang paling tinggi. Hal ini mengasumsikan bahwa statistik dari data training set untuk setiap kelas dan setiap band menyebar secara normal (Gaussian). Aturan keputusan pada algoritma ini dapat dinotasikan sebagai berikut:

X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika: Pc ≥ Pi, i adalah kelas ke-1, 2, …, m Pc = { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc)

T

Vc

-1

(X-Mc)] ...(3) dengan det(Vc) adalah determinan dari matriks kovarian Vc.

Persamaan 3. mengasumsikan bahwa setiap kelas memiliki kemungkinan kejadian yang sama pada permukaan bumi. Kejadian pada data penginderaan jauh menunjukkan bahwa ada kemungkinan kejadian yang tinggi bagi suatu kelas daripada kelas yang lain. Sebagai ilustrasi, bila kelas air mendominasi

suatu citra, maka dapat diharapkan bahwa akan semakin banyak piksel yang akan dikelaskan sebagai air. Dengan demikian, dimungkinkan untuk memasukkan informasi a priori pada pengambilan keputusan dalam klasifikasi. Pemasukan informasi ini dapat dilakukan dengan pembobotan setiap kelas c dengan kemungkinan a priori ac sehingga: X ada dalam kelas c, jika dan hanya jika: Pc(ac) ≥ Pi(ai), i adalah kelas ke-1, 2, …, m Pc(ac) = loge(ac) - { -0.5loge[det(Vc)]} – [0.5(X-Mc)

T

Vc

-1

(X-Mc)]...(4) 2.6. Weather Monitoring Model

Weather Monitoring Model [WMM] yang dikembangkan oleh Risdiyanto (2001), merupakan model untuk memonitor kondisi cuaca harian. WMM mengintegrasikan model numerik (sebagai model mekanistik) dan model spasial sehingga menghasilkan sebuah informasi spasial cuaca. WMM dapat memberikan informasi data-data cuaca seperti temperature udara, tekanan udara, kecepatan dan arah angin, radiasi matahari, dan estimasi kandungan uap air. WMM juga dapat digunakan untuk membangkitkan data cuaca harian.

2.7. Artikel dan Jurnal Malaria Secara Spasial dan Statiktik

Penelitian mengenai prediksi malaria secara spasial dan statistik telah banyak dilakukan. Penelitian tersebut menyangkut berbagai aspek seperti aspek biologi, aspek ekologi dari parasit dan vektor malaria maupun manusia. Sejumlah penelitian mengenai spasial dan statistik malaria yang telah dipublikasikan, dapat dilihat secara terperinci pada tabel 4.

Tabel 4 Artikel/ Jurnal Malaria Secara Spasial Dan Statistik*

Penulis Features Metodologi

Bourna et al.,

1997 Prediksi zona risiko malaria.

Hubungan El Nino terhadap outbreak kasus malaria.

Luo, 2001 Penentuan pola penyebaran

kasus klinis malaria. Integrasi SIG. Srivastava, 2001 Prediksi habitat vektor malaria.

Pendekatan SIG dan model algoritma parameter ekologi dan intergrasi penyebaran nyamuk Anopheles dirus. Srivastava, 2003 Penentuan habitat vektor

malaria.

Arithmetic Overlay dari unsur-unsur lingkungan.

Zhou et al.,

2003 Persamaan kasus malaria.

Model statistik berdasarkan hubungan iklim terhadap kasus malaria.


(36)

Penulis Features Metodologi

Levine et al., 2004

Prediksi distribusi ekologi dan

geografi vektor malaria. Model genetik algoritma parasit malaria. Omumbo et al.,

2004

Persamaan regresi antara trasmisi malaria, parasit malaria dan iklim.

Analisis MARA Fuzzy Climate Suitability Index dan model statistk berdasarkan data kasus malaria.

Paul et al., 2004

Interpretasi trasmisi malaria berdasarkan parasit malaria, vektor malaria dan outbreak malaria.

Model statistik antar parasit dan vektor malaria.

Smith and McKenzie, 2004

Persamaan dinamik malaria berdasarkan parasit, vektor malaria dan manusia.

Model statistik hubungan antara parasit, vektor malaria dan manusia.

Teklehaimanot et al., 2004

Prediksi pola kasus malaria berdasarkan mekanisme biologi parasit malaria.

Regresi Poisson dengan PDL

(Polynomial Distribusi Lag) model dari unsur cuaca.

Teklehaimanot et al., 2004

Prediksi kasus epidemik berdasarkan parasit malaria.

Regresi Poisson dengan PDL

(Polynomial Distribusi Lag) model dari unsur cuaca.

Briet et al., 2005 Peta penyebaran malaria sebelum dan setelah tsunami.

Analisis kasus malaria sebelum dan setelah tsunami.

Chen et al., 2005

Identifikasi Anopheles arabiensis dan transmisi.

Penentuan tempat perindukan nyamuk dan kasus malaria.

Hulden et al.,

2005 Zona epidemik malaria.

Analisis API (Annual Parasite Incidence) Malaria.

Kopec et al., 2005

Early Warning System Malaria (EWSM) berbasis curah hujan.

Monitoring Online curah hujan di daerah epidemik malaria.

Krishnamoorthy, et al., 2005

Penentuan zona risiko malaria dan perubahan lahan.

Survei kasus dan analisis perubahan lahan sebelum dan setelah tsunami. Mushinzimana,

et al., 2005

Penentuan tempat nyamuk Anopheles sp.

Perbandingan LandCover dari citra LANDSAT ETM 7+, IKONOS, dan Aerial Photo.

Wibowo, 2005 Early Warming System Malaria

(EWMS). Integrasi SIG dan kegiatan surveilens

Keterangan:

* : data diurutkan berdasarkan tahun artikel/ jurnal malaria (Sumber: www.malariajournal.com dan www.pnas.com)

III. KEADAAN UMUM

KABUPATEN SUKABUMI

3.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Barat. Kabupaten Sukabumi terletak pada batas meridian 6043'-7029' Lintang Selatan dan 106049'-107000' Bujur Timur. Kabupaten Sukabumi berjarak tempuh 120 km dari ibukota negara dan 95 km dari ibukota provinsi Jawa Barat.

Wilayah Kabupaten Sukabumi merupakan wilayah kabupaten terluas di Jawa–Bali, sekaligus sebagai salah satu kabupaten tertinggal di Jawa Barat. Luas wilayah administratif Kabupaten Sukabumi adalah 41280 km2 atau 412799.54 ha. Secara fisik

wilayah dibatasi oleh 60 % daratan dan 40 % lautan dengan batas wilayah sebagai berikut: • Sebelah utara berbatasan dengan

Kabupaten Bogor

• Sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia

• Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak, Provinsi Banten dan Samudera Hindia

• Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Cianjur [www.bappeda-sukabumi.go.id]

3.2. Topografi

Secara topografis profil rupa bumi Kabupaten Sukabumi umumnya bergelombang di bagian selatan dan bergunung di bagian utara dan wilayah bagian tengah. Kabupaten Sukabumi berada pada ketinggian berkisar antara 0–2960 meter di


(37)

atas permukaan laut (mdpl). Sekitar 4128 km2 topografinya Kabupaten Sukabumi berupa bukit-bukit dan gunung-gunung dengan kemiringan yang terjal. Gunung-gunung yang tinggi adalah gunung-gunung berapi yang terletak di sebelah utara, yaitu: Gunung Gede Pangrango yang tingginya kurang lebih 2958 m dan Gunung Salak 2211 m yang lerengnya semakin landai ke arah Sungai Cimandiri (www.bappeda-sukabumi.go.id).

Di Sukabumi bagian tengah, sebelah selatan Sungai Cimandiri terletak dataran tinggi Jampang yang tingginya 500-.000 mdpl. Dataran rendah Kabupaten Sukabumi berada pada ketinggian 0-100 mdpl, terletak dibagian selatan dan timur namun persebarannya sangat terbatas. Wilayah ini sebagian besar berbatasan dengan Samudera Hindia. Umumnya di Kabupaten Sukabumi sebaran ketinggian lahan berada pada kisaran 100-500 meter diatas permukaan laut seperti ditunjukan oleh Gambar 9.

3.3. Iklim

Kabupaten Sukabumi yang terletak pada 6°43'-7°29' di sebelah selatan garis khatulistiwa, termasuk dalam zona tropis yang ditandai dengan kelembaban udara yang sedang, curah hujan yang tinggi dan kecepatan angin yang sedang (Iklim Tipe B1 Oldeman). Distribusi curah hujan sementara terutama ditentukan oleh pola peredaran udara dari bulan Mei hingga bulan Oktober berhembus angin muson timur yang kering, dan dari bulan November hingga bulan Maret bertiup angin Muson Barat yang basah. Di bagian selatan Sukabumi angin musim barat biasanya bertiup lebih awal, yaitu pada akhir bulan September (www.bappeda-sukabumi.go.id).

Distribusi curah hujan secara tata ruang terutama ditentuka

n oleh ketinggian lokasi dan keadaaan geografis. Curah hujan tertinggi ( > 4000 mm per tahun), tercatat di Sukabumi bagian utara, disekitar lereng Gunung Gede, di Kecamatan Ciemas, sebelah timur Teluk Pelabuhan Ratu. Di kaki gunung berapi di sebelah utara dan di Sukabumi selatan memiliki curah hujan rata-rata berkisar 3000-4000 mm/tahun. Daerah yang terletak di sebelah utara dan selatan Sungai Cimandiri mempunyai curah hujan tahunan rata-rata yang paling rendah berkisar 2000–3000 mm/tahun (www.bappeda-sukabumi.go.id).

Berdasarkan sistem klasifikasi Koppen, Kabupaten Sukabumi tergolong dalam tipe iklim Af. Kabupaten Sukabumi memiliki suhu udara terendah 23.6°C dengan suhu bulan

terdingin lebih dari 18°C terjadi pada bulan Februari, Juli, Agustus dan Desember (Gambar 10.). Pola musim mengikuti pola monsoonal dengan rata-rata curah hujan bulan terkering 64 mm dan curah hujan rata-rata 4074 mm/tahun (www.bappeda-sukabumi.go.id). 23.0 23.2 23.4 23.6 23.8 24.0 24.2 24.4 24.6

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan S u h u U d ar a ( 0C)

Gambar 10 Suhu udara rata-rata Kabupaten Sukabumi periode 11 tahun (1994 - 2004). (Sumber: Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, 2005)

Bulan Juli dan Agustus merupakan bulan dengan curah hujan yang paling sedikit dalam beberapa tahun bahkan tidak terjadi hujan sama sekali selama bulan tersebut. Sedangkan bulan November dan bulan Desember tercatat sebagai bulan yang paling sering terjadi hujan. Curah hujan rata-rata tahunan wilayah Sukabumi bekisar antara 2000-4000 mm/tahun (www.bappeda-sukabumi.go.id).

Jumlah hari hujan pertahun rata-rata tercatat sebanyak 144 hari (angka rata-rata selama 10 tahun). Catatan hujan yang terjadi selama tahun 1996-1999 menunjukan kondisi yang fluktuatif. Pada tahun 1996, curah hujan tercatat 970 mm dalam 151 hari hujan. Pada tahun 1997 curah hujan mencapai 1399 mm dalam 92 hari hujan. Tahun 1998 curah hujan mencapai 3716 mm dalam 197 hari hujan sedangkan pada tahun 1999 curah hujan mencapai 2660 mm dalam 151 hari hujan (www.bappeda-sukabumi.go.id). Penentuan musim kemarau didasarkan pada curah hujan kurang dari 150 mm sehingga musim kemarau terjadi dari bulan Mei hingga Juni dan musim hujan terjadi dari bulan Oktober hingga April, disajikan pada Gambar 11.

0 100 200 300 400 500 600 700 800

Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec

Bulan Cu ra h Hu ja n ( m m )

Gambar 11 Curah hujan rata-rata Kabupaten Sukabumi periode 11 tahun (1994 - 2004). (Sumber: Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, 2005)


(38)

(39)

4 4 5 1 2 1 5 1 8 1 6 6 1 6 6 2 2 7

2 9 0

8 4 1 2 4 1 2 9

6 7 7 2 6 7 0

3 6 2

1 4 0 1 3 4

1 7 1 1 7 9

2 1 4

6 4 6 5 4 7 5 7 1 1 6 1 7 4

7 6 1 5 4

2 3 5 2 1 3

1 7 8

0 1 0 0 2 0 0 3 0 0 4 0 0 5 0 0 6 0 0 7 0 0 8 0 0

M E D I A N K S 0 4 M I N M A X

0 500 1000 1500 2000 2500 3000

1999 2000 2001 2002 2003 2004

Tahun Ju m la h K a su s

Plasmodium falcifarum Plasmodium vivax Kasus Positif Malaria

Suhu udara di Kabupaten Sukabumi tidak banyak berubah sepanjang tahun. Hal ini disebabkan oleh posisi Kabupaten Sukabumi yang terletak dekat dengan khatulistiwa. Suhu berkisar antara 18°C-30°C dengan rata-rata 26°C, suhu rata-rata dipermukaan laut adalah 26°C-27°C. Suhu tersebut akan turun sekitar 0.5°C setiap ketinggian naik 100 meter. Kelembaban udara berkisar antara 85%-89%, perbedaan temperatur antara siang dan malam adalah sekitar 8°C–10°C (Stasiun Klimatologi Dramaga Bogor, 2005).

3.4.Penyebaran Malaria di Kabupaten Sukabumi

Menurut DEPKES, Kabupaten Sukabumi ditetapkan sebagai kawasan Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria sejak tahun 2002. Jumlah kasus malaria tertinggi terjadi di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan dan Desa Lengkapjaya, Kecamatan Lengkong. Pada bulan Januari hingga Juni 2004, tercatat jumlah kasus malaria di Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan dan Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong sebanyak 785 orang. Dari jumlah tersebut sebanyak 51 orang diantaranya menderita malaria berat dan 8 orang meninggal dunia (www.depkes.go.id).

Pola penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Sukabumi tidak fluktuatif setiap bulan. Jumlah kasus malaria tertinggi terjadi pada bulan Maret dan terendah terjadi pada bulan September. Nilai tengah kasus malaria tertinggi terjadi pada bulan Desember sedangkan nilai tengah jumlah kasus terendah rata-rata terjadi pada bulan Februari hingga Maret seperti yang disajikan pada Gambar 12.

Pola penyebaran malaria baik kasus positif malaria maupun kasus malaria bagi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax per tahun, juga menunjukan pola yang tidak fluktuatif. Jumlah kasus positif malaria dan jumlah kasus malaria bagi Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax relatif konsisten setiap tahun, khususnya pada tahun 1999-2002. Sedangkan peningkatan jumlah kasus malaria terjadi pada tahun 2002-2003. Peningkatan ini diikuti dengan penurunan jumlah kasus malaria pada tahun 2003-2004. Pola penyebaran kasus malaria di Kabupaten Sukabumi tersebut ditunjukan pada Gambar 13. Sedangkan sebaran spasial kasus positif malaria tahun 2004 di Kabupaten Sukabumi ditunjukkan pada Gambar 14.

Gambar 12 Pola musim penyebaran penyakit malaria di Kabupaten Sukabumi pada tahun

1999 – 2004.

(Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, 2004)

Gambar 13 Pola penyebaran kasus malaria di Kabupaten Sukabumi pada tahun 1999-2004. (Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, 2004)

IV. BAHAN DAN METODE

4.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Agustus 2006 di Laboratorium Meteorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Teknologi Inventaris Sumber Daya Alam, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta. Sedangkan area studi adalah Kabupaten Sukabumi yang terletak pada 6043'-7029' Lintang Selatan dan 106049'-107000' Bujur Timur.


(40)

(1)

Koesmaryono, 1999. Hubungan Cuaca – Iklim dengan Hama Tanaman. Makalah pada Pelatihan Dalam Negeri Dosen Perguruan Tinggi Negeri Bagian Barat, 1-12 Februari 1999. Program Pasca Sarjana. Institut pertanian Bogor.

Marpaung, F. 2005. Pemanfaatan SIG (Sistem Informasi Geografis) untuk Mengetahui Pola Penyebaran Malaria Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Praktik Lapang. Departemen Geofisika dan Meteorologi: FMIPA-IPB. Bogor.

Marsaulina, I. 2001. Model Irigasi Berkala di Daerah Persawahan untuk Menurunkan Kepadatan Larva Nyamuk Anopheles sp. Di Desa Sihepeng, Kabupaten Mandailing Natal, Propinsi Sumatera Utara.

http:/jkpkbppk-gdl-grey/2002-rawaty/727.index.html [28 oktober 2005]. Mushinzimana, E, Munga, S, Minakawa, N,

Li Li, Feng, CC, Bian, L, Schmidt, C, Beck, L, Zhou, G, Githeko, AK and Yan, G. 2004. Lanscape determinants and remote sensing of anopheliae mosquito larva habitats in the westren Kenya highlands. Mal Joul. Vol 5:13.

Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep Dasar. Bandung: Informatika.

Prahasta, E. 2004. Sistem Informasi Geografis Tools dan Plug-Ins. Bandung: Informatika Risdiyanto, I. 2001. Weather Monitoring

Model based on Satelite Data. Graduate Program. Bogor Agricultural University. Saleh, DS. 2002. Studi Habitat Anopheles

nigerrimus gilles 1900 dan Epidiomologi Malaria di Desa Lengkong, Kabupaten Sukabumi. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Smith, DL and McKenzie FE. 2004. Static and dynamic of malaria infection in Anopheles mosquitoes. Mal joul. Vol 3:13. Soviana dan Hadi UK. 2000. Ektoparasit:

Pengenalan, Diagnosis dan Pengendaliannya. IPB Press. Bogor.

Srivastava, A, Nagpal, BN, Saxena, R, and Subbarao, K . 2001. Predictive Habitat Modelling for Forest Malaria Vektor Species Anopheles dirus in India – A GIS

Srivastava, A. 2003. Mapping Malaria. arunas@ndf.vsnl.net.in [22 Juli 2005] Sukowati, S. 2004. Hubungan Iklim/Cuaca

Dengan Penyakit Menular Vektor (DBD dan Malaria). Seminar Sosialisasi Hasil Penelitian dampak Perubahan Iklim terhadap Kesehatan. DEPKES. Jakarta. 6 April 2004.

Suroso, T. 2001. Perubahan Iklim dan Kejadian Penyakit yang Ditularkan Vektor. Makalah pada Semiloka Perubahan Iklim dan Kesehatan 27-29 Maret 2001 di Ciloto. Direktorat PPBB Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Teklehaimot HD, Marc L, Awash T dan Joel S. 2004. Weather-prone prediction of Plasmodium falcifarum malaria in epidemic-prone regions of Ethiopia I. Patterns of lagged weather effects reflect biological mechanis. Mal Joul. Vol 3:41. Wibowo A. 2005. Early Warning System

Malaria (EWSM) Banjarnegara District, Central Java. Jakarta.

http://www.bappeda-sukabumi.go.id [28Oktober 2005]

http://www.depkes.go.id [5 November 2005] http://ww.esri.com [28 Oktober 2005] http://www.ppmplp.depkes.go.id [10

November 2005]

www.malariajournal.com [28 Maret 2006] www. mara.com [30 Maret 2006]

www.pnas.com [21 Juni 2006] www.who.co.id [5 November 2005]


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 4 Daftar istilah

Autogeni pemakan sesamanya Antrofilik mengigit manusia

Endofilik tempat hingga di dalam rumah Endofagik tempat mengigit di dalam rumah Eksoeritosit berada di luar sel darah merah Eksifagik tempat mengigit di luar rumah Eksofilik temoat hinggap senang di luar rumah Ektoparasit parasit yang berkembang di luar tubuh

Epidemiologi ilmu yang mempelajari tentang penyebaran penyakit, natalitas, mortalitas, dan pola lonjakan penyakit

Entomologi ilmu yang mempelajari tentang serangga

Fisiologi ilmu yang mempelajari tentang fungsi organ normal Fotoperioditas lamanya terang dan gelap

Gametosit oosit atau spermatosit atau sel yang menghasilkan gamet Indegenous sifat alami dari suatu penyakit

Inkubasi keadaan yang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan, seperti pada pembiakan bakteri maupun jaringan, perkembangan penyakit menular dari waktu masuknya patogen hingga timbulnya gejala klinis Kesediaan darah pengambilan data penyakit berdasarkan hasil laboratorium pemeriksaan

darah

Lateral bagian bawah

Morfologi ilmu yang mempelajari tentang bentuk tubuh mahluk hidup

Parasit tanaman atau hewan yang hidup pada atau dalam organisme hidup lain yang memberikan beberapa keuntungan baginya

Parasit Plasmodium parasit yang ketahanan hidupnya bergantung pada hospes/inang Relaps kembalinya penyakit setelah dampak mereda

Resisten tahan

Reservoir sifat pembawa (carier)

Sporozoit stadium protozoa tertentu yang menular dan motil yang dihasilkan dari sprorogoni

Titik Schuffer berbentuk koma

Vektor malaria nyamuk Anopheles yang di dalam darahnya mengandung parasit Plasmodium sp