Amobilisasi Kitosan Karakteristik pigmen fikosianin dari Spirulina fusiformis yang dikeringkan dan diamobilisasi

komposisi bahan, terutama kandungan total padatan, semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan berlangsung lebih cepat Heldman Singh 1981. Suhu pengeringan tergantung dari produk yang dikeringkan. suhu pengeringan dapat mempengaruhi mikrokapsul. Suhu inlet yang tinggi digunakan untuk meningkatkan aliran penguapan dari membran semipermeabel pada permukaan droplet. Rentang suhu inlet yang umumnya aman digunakan dan menghasilkan retensi yang baik adalah 160-210 o C Reinnecius et al. 1988 Kelebihan metode spray drying Desorby et al. 1997 Quinn 1965 diantaranya adalah: 1. Produk akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas. 2. Suhu produk rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup tinggi. 3. Penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja. 4. Produk akhir yang dihasilkan berbentuk bubuk yang stabil sehingga memudahkan dalam penanganan dan transportasi. 5. Biaya produksi lebih murah bila dibandingkan dengan metode freeze drying Kekurangan metode spray drying Desoby et al. 1997 diantaranya adalah: komponen volatile bertitik didih rendah dapat hilang selama proses. Material inti terdapat pada permukaan mikrokapsul sehingga dapat meningkatkan oksidasi dan kemungkinan perubahan perisa dari produk enkapsulasi.

2.7 Amobilisasi

Amobilisasi merupakan suatu teknik untuk menempatkan enzim atau sel dalam suatu ruang atau matriks sehingga sebagian besar aktifitasnya berkurang namun masih memperlihatkan aktifitas katalitiknya. Terdapat lima prinsip metode amobilisasi sel atau enzim, yaitu adsorpsi, ikatan kovalen, penjeratan, enkapsulasi, dan ikatan silang Bickerstaff 1997. Amobilisasi dapat dilakukan dengan carrier fixation , enkapsulasi, ikatan silang dan atau menggunakan membran catalyst retention dalam sistem berlanjut Wiffels et al. 1996. Metode penjeratan entrapping telah umum digunakan dalam amobilisasi sel. Terutama bahan pembawa yang terbuat dari bahan berbentuk gel, seperti karagenan dan alginat. Metode penjeratan cukup sederhana dan dapat diterapkan secara luas untuk pemerangkapan sel mikroba dan organel dengan berbagai ukuran dan karakteristiknya Klinkenberg et al. 2001. Penjeratan atau pemerangkapan menyebabkan konsentrasi lokal sel menjadi tinggi. Sel-sel mikroorganisme dijebak dalam matrik polimer yang bersifat membran semipermeabel sehingga mikroorganisme masih dapat menjalankan aktifitasnya. Sel mikroba diperangkap secara fisik namun tidak diikat secara kimiawi. Sarana penempatan mikroorganisme dapat berbentuk gel suatu bentuk serabut kapiler atau mikrokapsul Henrikardiyah 1996. Bahan yang digunakan untuk amobilisasi sel dengan metode penjeratan, ada dua jenis, yaitu polimer alami dan polimer buatan. Polimer alami yang umum digunakan yaitu kolagen, gelatin, agaragarosa, karagenan, gelatin, selulosa, kitosan dan alginat Bickerstaff 1997.

2.8 Kitosan

Kitosan adalah turunan dari kitin dengan rumus N-Asetil-D-Glukosamin, yaitu polimer kationik yang mempunyai jumlah monomer sekitar 2000-3000 monomer. Kitosan dapat berinteraksi dengan bahan-bahan bermuatan seperti protein. Kitosan mempunyai bentuk kristal rombik dengan struktur silang antar bentuk alfa, beta, dan gamma membentuk suatu matriks seperti resin. Karakteristik kitosan ini membuatnya sangat cocok digunakan sebagai absorben atau agen amobilisasi Suptijah 2006. Kitosan sebagai polimer alami dapat diperoleh dari hewan berkulit keras terutama dari laut seperti kulit udang, rajungan, kepiting, dan cumi-cumi. Kandungan kitosan pada bahan kulit tersebut antara 10-15. Selain dari hewan laut, kitosan juga dapat diperoleh dari dinding sel jamur antara lain Aspergillus niger Hardjito 2006. Kitosan dipisahkan dari komponen lain pada cangkang udang, rajungan, dan cumi- cumi melalui proses demineralisasi, deproteinasi, dan deasetilasi. Proses ini menggunakan asam kuat demineralisasi dan basa kuat deproteinasi dan dilakukan pada suhu tinggi. Saat ini penelitian mengenai pengolahan kitosan telah berkembang, diantaranya dilakukan secara mikrobiologi dan enzimatis Setyahadi 2006; Rochima et al. 2006. Berat molekul kitosan sebesar 1,24 x 10 6 Dalton sedangkan derajat deasetilasinya adalah sekitar 80-85 Krajewska 2004. Berat molekul ini tergantung dari derajat deasetilasi yang dihasilkan pada saat ekstraksi. Semakin banyak gugus asetil yang hilang pada kitosan, maka semakin kuat interaksi antar ion dan ikatan hydrogen dari kitosan Sugita et al. 2009. Kitosan merupakan polielektronik netral pada pH asam. Bahan-bahan seperti protein, anion, polisakarida, dan asam nukleat yang bermuatan negatif akan berinteraksi kuat dengan kitosan membentuk ion netral Krajewska 2004. Kitosan mempunyai gugus amino bebas polikationik, pengkelat, dan pembentuk dispersi dalam larutan asam asetat. Bila kitosan dilarutkan dalam asam maka kitosan akan menjadi polimer kationik dengan struktur linear sehingga dapat digunakan dalam proses flokulasi, pembentuk film atau amobilisasi dalam berbagai reagen biologi termasuk enzim Rinaudo 2006. Proses kationisasi mengarah kepada pembentukan grup yang fungsional OH dan NH. Kitosan yang larut dalam asam memiliki keunikan, yaitu mampu membentuk gel yang stabil dan membentuk muatan dwi kutub, yaitu muatan positif pada gugus NH dan muatan negatif pada gugus karboksilat Krajewska 2004. Kitin-kitosan merupakan senyawa kimia yang mudah menyesuaikan diri, hidrofilik, memiliki reaktivitas kimia yang tinggi karena mengandung gugus OH dan gugus NH 2 untuk ligan yang bervariasi sebagai pewarna dan penukar ion. Ketahanan kimia yang dimiliki kitosan juga cukup baik. Kitosan larut dalam asam, tetapi tidak larut dalam basa, serta tidak larut dalam media campuran asam basa Ronaldo 2008. Melihat kitosan mempunyai gugus aminNH yang reaktif dan gugus hidroksil yang banyak serta kemampuannya membentuk gel maka kitosan dapat berperan sebagai komponen reaktif, pengkelat, pengikat, pengabsorbsi, penstabil, pembentuk film, penjernih, flokulan, koagulan Shahidi et al. 1999. 3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian