3 METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April hingga bulan Agustus 2010 di Laboratorium Plankton, Laboratorium Pengendalian Pencemaran Lingkungan,
Laboratorium Hidrokimia Pusat Penelitian Limnologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Cibinong Bogor serta Laboratorium Bioteknologi
Hasil Perairan II dan Laboratorium Mikrobiologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil Perairan, Institut Pertanian Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan-bahan yang digunakan untuk penelitian meliputi inokulum kultur Spirulina
fusiformis, media pertumbuhan Zarouk Lampiran 1. Bahan kimia untuk analisis kuantitatif fikosianin adalah 100 mM larutan buffer fosfat pH 7
yang dibuat dari K
2
HPO
4
, KH
2
PO
4
dan aquades. Bahan kimia untuk analisis aktivitas antioksidan metode FTC adalah asam linoleat, FeCl
2
20 mM, ammonium tiosianat, HCl dan etanol. Bahan yang digunakan untuk amobilisasi adalah
kitosan. Alat yang digunakan meliputi spektrofotometer UV-vis, spray dryer,
freeze dryer , lemari pendingin, freezer, kertas Whatman GFA, sentrifus
suhu rendah, desikator, cawan timbang neraca analitik, pH meter, paranet, oven, tanur, vortex, autoklaf, alat-alat gelas.
3.3 Metode Penelitian
Metode penelitian secara umum terbagi dalam beberapa tahap. Pertama adalah kultivasi Spirulina. Tahap kedua adalah ekstraksi dan pengeringan pigmen
fikosianin. Tahap ketiga adalah prosedur pengujian fikosianin kering yang dihasilkan. Tahap ke 4 adalah prosedur amobilisasi menggunakan kitosan. Tahap
ke 5 adalah pengujian kelarutan dan stabilitas fikosianin amobil. Diagram alir metode penelitian ditampilkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Diagram alir metode penelitian
3.3.1 Kultivasi Spirulina
Kultivasi Spirulina dilakukan dengan sistem fed-batch culture, yaitu metode kultivasi yang dilakukan dengan menambahkan media secara berkala atau
secara acak dimana kultur dipanen secara rutin Lee Shen 2004. Kultivasi dilakukan di dalam wadah plastik PE, dengan ukuran diameter 60 cm dan panjang
± 10 m. Kultur diletakkan di atas atap gedung agar memperoleh penyinaran cahaya matahari. Untuk menghindari fotoinhibisi karena intensitas penyinaran
matahari terlalu tinggi, kultur Spirulina ditudungi dengan paranet. Kultur setiap hari diaduk dengan cara mengangkat salah satu ujung plastik beberapa kali hingga
Inokulum Spirulina Kultivasi Spirulina
Pemanenan dan Pengeringan Biomassa Spirulina
Ekstraksi fikosianin
Fikosianin
Pengeringan Spray dryer Fikosianin kering
Pengeringan Freeze dryer Fikosianin kering
1. Uji Aktivitas Antioksidan
metode FTC 2.
Analisis kadar fikosianin 3.
Analisis kandungan protein 4.
Analisis kadar air 5.
Analisis kadar abu Imobilisasi Menggunakan
kitosan 1:1, 1:2, 2:1
Pengeringan Menggunakan spray dryer
Fikosianin amobil Uji kelarutan
Fikosianin amobil Uji Pemanasan
Suhu pasteurisasi
15
membentuk gelombang. Pengadukan harus dilakukan untuk mencegah penumpukan nutrien pada satu titik.
Selama kultivasi dilakukan pengukuran rapat optis kultur menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 480 nm. Pengukuran rapat
optis kultur digunakan untuk menentukan waktu pemanenan. Pengukuran dilakukan setiap hari pada pukul 09.30 WIB. Pengambilan sampel dilakukan
setelah dilakukan pengadukan supaya sampel yang diambil seragam.
3.3.2 Pemanenan dan pengeringan
pemanenan Spirulina dilakukan saat kepadatan sel sudah cukup tinggi rapat optis kultur 1 yaitu pada hari ke-10 dan 18. Pemanenan dilakukan
dengan cara menyaring biomasa menggunakan kain nylon mesh dengan kerapatan 20 µm. Sebelum penyaringan dilakukan, kultur Spirulina dipindahkan terlebih
dahulu ke bak penampungan sementara. Hal ini dilakukan untuk mempermudah penyaringan kultur Spirulina dari wadah plastik. Kultur Spirulina yang telah
ditampung langsung disaring ke bak penampungan kedua. Media kultivasi hasil penyaringan selanjutnya dimasukkan ke dalam wadah plastik untuk ditumbuhkan
kembali. Pengeringan biomasa Spirulina dilakukan berdasarkan hasil penelitian
Mohammad 2007, yaitu biomasa dikeringkan pada suhu ruang 25-30
o
C. Untuk mempercepat waktu pengeringan, biomasa dihamparkan pada tempat yang
lapang dan diberi aliran udara menggunakan kipas angin. Pengeringan dengan cara ini dapat menghasilkan kadar fikosianin sebesar 8,090 .
3.3.3 Ekstraksi fikosianin
Ekstraksi fikosianin dilakukan berdasarkan metode Lorenz 1998. Fikosianin diekstraksi dari Spirulina menggunakan larutan buffer fosfat 100 mM
pH 7. Prosedur ekstraksi dilakukan dengan cara menambahkan larutan buffer fosfat ke dalam contoh kering Spirulina yang akan diekstraksi. Campuran buffer
fosfat dan Spirulina dikocok menggunakan vorteks agar tercampur semua. Sampel disimpan dalam lemari pendingin pada suhu 10
o
C selama 24 jam. Campuran dikocok dan disentrifugasi untuk memisahkan fikosianin dari biomasa Spirulina.
Sentrifugasi dilakukan dengan kecepatan minimum 3500 rpm selama 5 menit pada suhu 10
o
C. Analisis kuantitatif fikosianin berdasarkan metode Lorenz 1998. Kadar
fikosianin dihitung dengan mengukur absorbansi fikosianin pada panjang gelombang 620 nm, dengan buffer fosfat sebagai blanko. Persentase fikosianin
dalam bahan dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:
3.3.4 Pengeringan fikosianin
Fikosianin dikeringan menggunakan dua metode berbeda, yaitu pengeringan menggunakan suhu tinggi dan suhu rendah. Pengeringan dengan
suhu tinggi dilakukan menggunakan spray dryer, sedangakan pengeringan dengan suhu rendah dilakukan menggunakan freeze dryer. Alat spray dryer yang
digunakan untuk pengeringan fikosianin adalah Büchi 190 Mini Spray Dryer. Prinsip pengeringan menggunakan spray dryer penyemprotan larutan contoh
dalam bentuk partikel kecil droplet melewati media pengering bersuhu tinggi Dubey et al. 2009.
Pengeringan dengan suhu rendah menggunakan freeze dryer dengan suhu pengeringan kurang dari -18
o
C. Prosedur pengeringan dengan freeze dryer dilakukan dengan menyiapkan larutan fikosianin dan dimasukkan kedalam tabung
khusus yang disediakan. Fikosianin dalam tabung dimasukkan kedalam freezer hingga larutan membeku. Kemudian tabung berisi larutan fikosianin membeku
dipasangkan pada alat freeze dryer yang sudah dihidupkan. Selanjutnya, keran pengatur tekanan dibuka agar uap air yang tersublim dapat berpindah dari bahan.
Proses ini berlangsung hingga bahan benar-benar kering.
3.3.5 Amobilisasi fikosianin menggunakan kitosan
Prosedur amobilisasi fikosianin dilakukan dengan mencampurkan pigmen fikosianin cair dari hasil ekstraksi dengan kristal kitosan yang telah dilarutkan
dalam asam asetat 2. Kitosan yang mempunyai kemampuan absorpsi akan mengikat fikosianin sehingga membentuk matriks ketika dikeringkan. Campuran
larutan fikosianin dengan larutan kitosan adalah 1:1, 1:2, dan 2:1. Campuran ini
17
dikeringkan dengan menggunakan spray dryer Diagram alir prosedur amobilisasi fikosianin dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Prosedur amobilisasi pigmen fikosianin menggunakan kitosan Efektivitas metode amobilisasi ini dievaluasi dengan menguji kemampuan
larut kembali fikosianin amobil dan tingkat stabilitasnya terhadap perlakuan pemanasan pasteurisasi. Kemampuan larut fikosianin amobil diuji dengan cara
melarutkan fikosianin amobil pada akuades selama 3-5 menit, kemudian jumlah fikosianin yang terlarut diukur rapat optisnya menggunakan spektrofotometer.
Nilai rapat optis yang diperoleh digunakan untuk menduga tingkat kelarutan fikosianin amobil yang diuji. Nilai rapat optis paling besar menunjukkan kelarutan
fikosianin yang paling tinggi. Tingkat stabilitas fikosianin amobil diuji pada suhu pasteurisasi.
Pengujiannya dilakukan dengan meletakkan fikosianin amobil pada tabung reaksi dan dimasukkan ke dalam waterbath yang telah diseting suhu pasteurisasi selama
15 detik. Stabilitas fikosianin amobil diamati dengan melarutkan fikosianin Larutan fikosianin
Kristal Kitosan
Pelarutan dalam Asetat 2 Larutan Kitosan
Pencampuran Fikosianin dan Kitosan
1:1, 1:2. 2:1
Campuran fikosianin dan kitosan
Pengeringan menggunakan Spray Drier
Biopigmen Amobil
amobil yang telah dipanaskan kemudian diukur rapat optis fikosianinnya. Tingkat stabilitas fikosianin amobil diduga berdasarkan nilai rapat optis yang terukur.
3.3.6 Pengujian aktivitas antioksidan metode feritiosianat FTC Kikuzaki
Nakatani 1993
Pengujian antioksidan dilakukan dengan metode feritiosianat. Prosedur pengujian meliputi penyiapan contoh bahan fikosianin kering dari pengeringan
dengan spray dryer dan freeze dryer. Contoh fikosianin kering ditimbang sebanyak 4 mg lalu dilarutkan dalam 2 mL buffer fosfat 0,1 M pH 7,0.
Selanjuntnya campuran ditambahkan 1 mL aquades dan 2 mL asam linoleat 50 mM dalam etanol 99,5 Lampiran 2. Campuran reaksi tersebut
kemudian diinkubasi selama 10 hari pada suhu 37 °C. Campuran reaksi diambil setiap hari sebanyak 50 µL dan ditambahkan 6 mL etanol 75, 50 µL amonium
tiosianat 30 dan 50 µL FeCl
2
20 mM dalam HCl 3,5. Hasil campuran tersebut diukur nilai absorbansinya pada panjang gelombang 500 nm. Diagram
alir metode pengujian aktivitas antioksidan menggunakan FTC ditampilkan pada Gambar 5.
Data yang diperoleh selanjutnya dihitung daya penghambatannya terhadap oksidasi asam linoleat dengan cara menghitung selisih antara absorbansi
sampel dengan absorbansi linoleat kemudian dibagi dengan nilai absorbansi asam linoleat.
Fikosianin kering Contoh fikosianin ditimbang sebanyak 4 mg
Pelarutan contoh dalam 2 ml buffer fosfat 0.1 M pH 7.0 Penambahan 1 mL akuades dan 2 mL
asam linoleat 50 mM dalam etanol 99.5
19
Gambar 5 Diagram alir pengujian aktivitas antioksidan fikosianin
3.3.7 Analisis kadar protein AOAC 1995
Prosedur analisis protein terdiri dari tiga tahap yaitu destruksi, destilasi, dan titrasi. Pengukuran kadar protein dilakukan dengan metode mikro Kjeldahl.
Sampel ditimbang sebanyak 1,01 gram untuk fikosianin freeze dryer dan 0,61 gram untuk fikosianin spray dryer. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam
labu Kjeldahl 100 mL, lalu ditambahkan 0,25 gram kjeltab campuran K
2
SO
4
dan CuSO
4
dan 3 mL H
2
SO
4
pekat. Sampel didestruksi pada suhu 400
o
C selama kurang lebih 1 jam sampai larutan jernih lalu didinginkan. Setelah dingin, ke
dalam labu Kjeldahl ditambahkan 50 mL akuades dan 20 mL NaOH 40, kemudian dilakukan proses destilasi dengan suhu destilator 100
o
C. Hasil destilasi ditampung dalam labu Erlenmeyer 125 mL yang berisi campuran 10 mL
asam borat H
3
BO
3
2 dan 2 tetes indikator bromcherosol green-methyl red yang berwarna merah muda 1:2. Setelah volume destilat mencapai 40 mL dan
berwarna hijau kebiruan, maka proses destilasi dihentikan. Lalu destilat dititrasi dengan HCl 0,10 N sampai terjadi perubahan warna merah muda. Volume titran
dibaca dan dicatat. Larutan blanko dianalisis seperti contoh. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Faktor Konversi = 6,25
Cairan reaksi tersebut diinkubasi Selama 10 hari pada suhu 37
o
C Setiap hari campuran reaksi diambil 50 µL
dan ditambah dengan 6 ml etanol 75 50 µL amonium fiosianat 30 dan
50 µL FeCl
2
20 mM dalam HCl 3.5 Pengukuran nilai absorbansi
λ 500 nm
3.3.8 Analisis Kadar Air AOAC 1995
Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105
o
C selama 30 menit, kemudian cawan tersebut diletakkan ke dalam desikator selama lebih
kurang 30 menit. Setelah cawan dingin ditimbang hingga beratnya konstan. Sebanyak 1-2 g fikosianin ditimbang dalam cawan porselen yang telah diketahui
beratnya. Cawan berisi fikosianin dimasukkan ke dalam oven pada suhu 102-105
o
C selama kurang lebih 6 jam. Selanjutnya cawan dimasukkan ke dalam desikator kembali dan dibiarkan hingga dingin. Setelah Sekitar 30 menit cawan
berisi fikosianin ditimbang. Perhitungan kadar air dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan: a = Berat cawan kosong g b = Berat cawan dengan sampel g
c = Berat cawan dengan sampel setelah dikeringkan g
3.3.9 Analisis Kadar Abu AOAC 1995
Prinsip penetapan kadar abu yaitu dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550-600
o
C. Cawan porselin dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105
o
C selama 30 menit. Sebanyak 1-2 g contoh fikosianin kering ditimbang dalam cawan porselin yang telah
diketahui beratnya. Contoh kemudian dikeringkan dalam oven dan diarangkan. Selanjutnya diabukan dalam tanur pada suhu 600
o
C selama 6-8 jam sampai pengabuan sempurna abu berwarna putih. Contoh kemudian didinginkan dalam
desikator dan ditimbang. Rumus untuk menghitung kadar abu adalah sebagai berikut :
Keterangan: a = Berat cawan kosong g
b = Berat cawan dengan sampel Spirulina fusiformis g c = Berat cawan abu porselen dengan sampel setelah diabukan g
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kultivasi Spirulina fusiformis
Kultivasi Spirulina fusiformis dilakukan dalam wadah plastik berdiameter 60 cm dan panjang ± 10 meter Gambar 6. Wadah plastik dipilih untuk kultivasi
karena dinilai lebih efisien dan ekonomis dibandingkan bak fibre glass dan kolam permanen. Wadah plastik lebih mudah dipindah-pindahkan dan tidak
membutuhkan tempat luas. Penggunaan wadah plastik juga dapat mempermudah pengadukan kultur Spirulina. Pengadukan harus dilakukan agar tidak terjadi
penumpukan nutrien pada satu titik.
Gambar 6 Kondisi kultivasi Spirulina Kultivasi Spirulina menggunakan penyinaran cahaya matahari. Kultivasi
dengan penyinaran cahaya matahari merupakan cara alternatif untuk mengurangi biaya kultivasi. Namun, kultivasi dengan sumber penyinaran cahaya matahari
memiliki kelemahan, yaitu faktor lingkungan seperti intensitas cahaya dan suhu tidak dapat dikendalikan. Intensitas penyinaran cahaya matahari yang terlalu
tinggi dapat menyebabkan terjadinya fotoinhibisi. Fotoinhibisi adalah fenomena penurunan kecepatan fotosintesis akibat intensitas cahaya yang terlalu tinggi.
Penurunan kecepatan fotosintesis terjadi karena reaksi enzimatik yang memanfaatkan energi dalam jumlah tetap tidak mampu menggunakan energi
cahaya yang melebihi kapasitasnya Masojidek et al. 2004. Pada penelitian ini fotoinhibisi dicegah dengan menudungi kultur menggunakan paranet. Penggunaan
paranet menyebabkan cahaya matahari mengenai kultur secara tidak langsung. Achmadi et al. 2002 melaporkan, sinar langsung yang mengenai biakan
Spirulina platensis pada media limbah lateks dapat menghambat pertumbuhan,
sebaliknya cahaya tidak langsung dapat menaikkan produksi biomasa. Pertumbuhan Spirulina diamati dengan mengukur rapat optis kultur
menggunakan spektrofotometer pada OD
480 nm
Achmadi et al. 2002. Nilai rapat optis kultur yang diperoleh digunakan untuk menduga kepadatan sel Spirulina
per satuan volume dan untuk menentukan waktu pemanenannya. Hasil pengukuran rapat optis kultur yang diperoleh tidak digunakan untuk membentuk
kurva pertumbuhan karena metode kultivasi yang digunakan adalah fed-batch culture.
Metode fed-batch culture adalah metode kultivasi yang dilakukan dengan menambahkan media secara berkala atau secara acak dimana kultur dipanen
secara rutin Lee Shen 2004. Penambahan media selama kultivasi ini menyebabkan terjadinya pengenceran sehingga peningkatan nilai rapat optis
kultur menjadi tidak teratur sehingga kurva pertumbuhan tidak terbentuk. Hasil pengamatan pertumbuhan Spirulina ditampilkan dalam bentuk grafik pada
Gambar 7.
Gambar 7 Rapat optis kultur Spirulina OD
480 nm
Grafik pertumbuhan mengalami peningkatan secara umum namun mengalami penurunan tajam pada hari ke-11. Nilai rapat optis kultur pada hari ke-
11 menurun karena pemanenan dan penambahan media pada hari ke 10. Pemanenan dan penambahan media menyebabkan terjadinya pengenceran pada
kultur sehingga nilai rapat optis yang terukur menurun. Data hasil pengukuran nilai rapat optis kultur Spirulina ditampilkan pada Lampiran 2.
0.2 0.4
0.6 0.8
1 1.2
1.4
2 4
6 8
10 12
14 16
18 OD
48 nm
Waktu Kultivasi hari
23
4.2 Pigmen Fikosianin