2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Cara penyerahan wewenang dengan rincian sebagaimana dipraktekkan dalam pembentukan kedua Haminte juga dikehendaki oleh Undang-Undang
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945. Dalam salah satu butir penjelasan umum Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 diutarakan perlunya
penentuan batas-batas wewenang daerah tidak memasuki wewenang Pemerintah Pusat. Menurut Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang berasal dari karya
suatu panitia yang diketahui R.P. Suroso semasa Kabinet Sjahrir III, wewenang daerah akan disebutkan dalam setiap undang-undang pembentukan daerah.
120
Wewenang yang dimaksud dapat seluruhnya otonomi, yang akan diserahkan kepada daerah antara lain adalah pengairan, pertanian, kehewanan, perindustrian,
pendidikan dan kebudayaan. Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 1948
121
Cara penyerahan wewenang yang sama juga dikehendaki oleh Undang- Undang NIT Nomor 44 Tahun 1950. Dalam Undang-undang itu dinyatakan
Pemerintah bermaksud memberikan otonomi yang lebih besar kepada kabupaten daripada otonomi yang pernah diberikan kepadanya pada masa Hindia Belanda.
Pemerintah juga bermaksud memberikan otonomi yang lebih besar kepada Pemerintah Kota daripada otonomi yang diberikan kepada kabupaten.
120
Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 23 ayat 2 dan penjelasan Umum angka III butir 17.
121
Undang-undang ini lebih menonjolkan tuntutan demokrasi di mana daerah-daerah setelah beberapa tahun merdeka, ingin punya kewenangan yang luas untuk mengatur daerahnya masing-
masing, namun tidak berhasil karena pada waktu itu terjadi agresi Belanda berturut-turut tahun 1947 dan 1948.
Universitas Sumatera Utara
bahwa urusan yang masuk rumah tangga daerah diterapkan dengan undang- undang. Tetapi dalam undang-undang tersebut tidak ditegaskan apakah undang-
undang pembentukan daerah otonom atau undang-undang lain. Cara penyerahan dengan rincian sebagaimana dikehendaki oleh Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 1948 dipakai oleh Pemerintah dalam membentuk empat buah daerah Tingkat I di Pulau Jawa di tahun 1950. Secara rinci 15 urusan
pangkal masing-masing daerah diberikan kepada Propinsi Jawa Timur,
122
Daerah Istimewa Yogyakarta,
123
Propinsi Jawa Tengah,
124
dan Propinsi Jawa Barat.
125
Semula urusan pangkal Propinsi Jawa Timur sebagimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 sebanyak 13 buah. Tetapi dengan Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 1950 jumlah urusan pangkal Propinsi Jawa Timur disamakan dengan jumlah urusan yang diberikan kepada propinsi lainnya di Pulau
Jawa, yakni 15 buah. Pada umumnya urusan pangkal yang tercantum dalam setiap undang-undang pembentukan dirinci ke dalam kegiatan atau pekerjaan tertentu.
Sebagaimana janji Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, maka kegiatan yang dirinci dapat dalam bentuk otonomi, rincian kegiatan tercantum dalam lampiran
dari setiap pembentukan. Bahkan rincian dari setiap urusan juga akan dilakukan
122
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Timur jo Undang-Undang No. 18 Tahun 1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 1950.
123
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1947 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta jo Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1950 tentang Perubahan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 1947 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
124
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah.
125
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Barat.
Universitas Sumatera Utara
dalam Peraturan Pemerintah tentang pelaksanaan penyerahan urusan. Dari rincian kegiatan dalam Peraturan Pemerintah itu akan tampak luas pekerjaan yang
diserahkan dari apa yang tertulis dalam lampiran.
126
Menurut rencana pemerintah, sebagian besar kegiatan atau fungsi yang akan diserahkan kepada propinsi berupa bimbingan dan pengawasan terhadap Daerah
otonom yang lebih rendah. Walaupun menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 titik berat otonomi terletak di desa Daerah Tingkat III, namun dalam
penjelasan umum berbagai undang-undang pembentukan propinsi ditegaskan bahwa mengingat berbagai faktor, terutama kurangnya tenaga yang cakap maka
pemusatan fungsi pada daerah tingkat terbawah dalam tahap permulaan belum dapat terpenuhi seperti yang diharapkan. Karena itu dalam tahap permulaan
Daerah Tingkat II akan diserahi fungsi tersebut.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957