Alasan-Alasan Mengapa Pemerintah Pusat Melakukan Pembatalan Terhadap Peraturan Daerah.

lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi Undang- Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Keputusan Menteri; c. Perda dapat mengatur norma sanksi pidana maupun sanksi administrasi secara terbatas; d. Syarat sahnya pemberlakuan Perda wajib diundangkan dalam Lembaran Daerah; e. Perda sebagai bagian integral dari peraturan perundang-undangan dapat menjadi objek Judicial Review ke Mahkamah Agung; f. Perda yang dinilai bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi, dan Perda lainnya menjadi objek pengawasan preventif dan represif Pemerintah Pusat; dan g. Atas dasar butir f, putusan Pemerintah Pusat yang membatalkan Perda dapat menjadi pokok pangkal sengketa dalam prosedur keberatan kepada Pemerintah Pusat maupun Mahkamah Agung. Dari karakteristik di atas, menunjukkan bahwa Perda secara teoritis, normatif maupun empiris jelas termasuk kategori produk lembaga legislasi.

B. Alasan-Alasan Mengapa Pemerintah Pusat Melakukan Pembatalan Terhadap Peraturan Daerah.

Pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah disebutkan dalam pasal 218 ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana Universitas Sumatera Utara diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah, yang terdiri dari: 110 a. Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan didaerah. b. Pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Berkaitan dengan keberadaan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh pemerintahan daerah, mekanisme pengawasan yang berlaku adalah sebagai berikut: 111 1. Peraturan Daerah disampaikan kepada pemerintah paling lama 7 hari setelah ditetapkan. 2. Pemerintah Pusat dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi danatau peraturan perundang-undangan lainnya. 3. Keputusan Pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud diatas ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterimanya peraturan daerah tersebut. 4. Paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan sebagaimana tersebut diatas, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan peraturan daerah dan selanjutnya DPRD bersama kepala daerah mencabut peraturan daerah dimaksud. 5. Apabila provinsikabupatenkota tidak dapat menerima keputusan pembatalan peraturan daerah sebagaimana tersebut diatas dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. 110 Dalam penjelasan Pasal 218 ayat 1 disebutkan bahwa pengawasan yang dimaksudkan adalah agar pelaksanaan berbagai urusan pemerintahan didaerah tetap dapat berjalan sesuai dengan standard dan kebijakan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah alam hal ini meliputi peraturan daerah provinsi dan peraturan gubernur, peraturan daerah kabupatenkota dan peraturan bupatiwalikota serta peraturan desa dan peraturan kepala desa. 111 Perhatikan Pasal 145 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah. Universitas Sumatera Utara 6. Apabila keberatan sebagaimana tersebut diatas dikabulkan sebahagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. 7. Apabila pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan peraturan daerah sebagaimana tersebut diatas, maka peraturan daerah dimaksud dinyatakan berlaku. Bahwa pedoman pengawasan terhadap penyelenggaraan Otonomi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, maka pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah tersebut memiliki korelasi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Dekonsentrasi berkaitan dengan wewenang Gubernur adalah hal melaksanakan pengawasan represif terhadap kebijakan daerah dimana Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat di Daerah dapat membatalkan Peraturan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota Pasal 10 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2001. Selanjutnya sebagai peraturan pelaksana, Menteri Dalam Negeri membentuk Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 tentang Pengawasan Represif Kebijakan Daerah. Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri tersebut kebijakan daerah mencakup aturan, ketentuan dan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dituangkan dalam Peraturan Daerah, Keputusan Kepala Daerah, Keputusan Dewan Perwakilah Rakyat Daerah, dan Keputusan Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Pasal 1 ayat 7. Dalam Pasal 4 Keputusan tersebut sekali lagi ditegaskan tentang kewenangan Gubernur untuk membatalkan: a. Peraturan Daerah KabupatenKota tentang pajak dan retribusi daerah; Universitas Sumatera Utara b. Peraturan Daerah KabupatenKota tentang pengelolaan pengawasan; c. Peraturan Daerah KabupatenKota tentang penghapusanperubahan asset daerah; d. Peraturan Darah KabupatenKota tentang sumbangan pihak ketiga kepada pemerintah daerah; e. Keputusan Bupati dan Walikota tentang sumbangan pihak ketiga kepada pemerintah daerah; f. Keputusan BupatiWalikota tentang penghapusanperubahan asset daerah. Pengawasan represif terhadap kebijakan daerah merupakan suatu kebutuhan yang sangat penting untuk dilakukan dalam hal pencegahan dan penanggulangan bentuk arogansi daerah dalam menerapkan kebijakan daerah yang dilakukan di luar dari kewenangannya. Selain kesewenang-wenangan daerah yang seringkali menyerobot kewenangan Pusat pengawasan ini juga dibutuhkan agar tidak menimbulkan penyelenggaraan pemerintahan yang berdampak negatif bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Dalam perkembangannya, praktek penyelenggaraan pemerintahan daerah sering memunculkan kerancuan kewenangan yang menurut M. Solly Lubis dapat dikategorikan sebagai berikut: 1. Ketidaksiapan pihak ataupun kalangan legislatif dan eksekutif baik di pusat ataupun di daerah untuk memahami penerapan Undang-Undang secara benar dan seragam. 2. Munculnya sikap ekstrim pada pemerintah Kabupaten dan Kota yang menganggap tidak lagi memiliki hubungan administrasi dan fungsional dengan Propinsi hingga berhubungan dengan pusat secara langsung tanpa melalui atau memberitahukannya kepada Gubernur. 3. Adanya kecenderungan daerah untuk mengeruk sebanyak mungkin sumber-sumber pendapatan asli daerah yang penekanannya pada sektor Universitas Sumatera Utara pajak daerah dan retribusiiuran yang pada akhirnya memberatkan masyarakat daerah serta memperburuk kondisi perekonomian daerah. 4. Munculnya kecenderungan pengkaplingan wilayah kekuasaan antar Kabupaten dan Kota terlepas dari campur tangan Pusat. 5. Kerancuan kewenangan pada urusan-urusan tertentu antara Pusat, Propinsi, ataupun KabupatenKota seperti terhadap permasalahan pertanahan M. Solly Lubis: 2002, hal. 21-22. Sebelumnya, untuk mengantisipasi berbagai permasalahan di atas Menteri Dalam Negeri juga telah mengeluarkan Surat Edaran pada tanggal 19 Oktober 1998 yang menginstruksikan kepada Kepala Daerah untuk melakukan pemetaan terhadap ketentuan-ketentuan ataupun produk hukum yang materinya bertentangan ataupun menimbulkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya dengan indikator sebagai berikut: a. Bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi b. Duplikasi dengan ketentuan dan substansi yang sama c. Melampui batas kewenangan d. Menghambat pertumbuhan ekonomi daerah e. Menambah simpul birokrasi f. Bertentangan dengan jiwa dan semangat Otonomi Daerah g. Tidak akomodatif terhadap tuntutan reformasi. Indikasi diatas menjadi landasan secara luas terhadap pelaksanaan pengawasan represif sebagaimana telah digariskan berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 41 Tahun 2001 di atas. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka mempunyai hubungan dengan pendapat Philippus M. Hadjon, dkk dalam hal memberikan pengertian peraturan Universitas Sumatera Utara daerah, 112 1. Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya. yang dalam hal ini apabila pengertian tersebut tidak dijalankan maka dapat dikategorikan sebagai alasan-alasan untuk membatalkan peraturan daerah, yaitu: 2. Tidak boleh mengatur sesuatu yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah yang lebih tinggi tingkatannya. 3. Tidak boleh mengatur sesuatu hal yang termasuk urusan rumah tangga daerah tingkat bawahnya. Oleh karena itu, alasan pembatalan peraturan daerah oleh pemerintah sebagaimana diuraikan diatas, dapat disebutkan bahwa peraturan daerah yang dibatalkan tersebut dalam proses pembentukannya tidak memperhatikan landasan dasar berlaku yang baik dalam suatu peraturan perundang-undangan. Dalam ilmu perundang-undangan dikenal adanya landasan yang mendasari keberlakuan suatu peraturan perundang-undangan. M. Solly Lubis menyatakan ada 3 tiga landasan pembuatan peraturan perundang-undangan, yaitu: 113 1. Landasan filosofis, yaitu dasar filsafat atau pandangan atau idee yang menjadi dasar cita-cita sewaktu menuangkan hasrat dan kebijaksanaan pemerintahan kedalam suatu perencanaan atau draft peraturan negara. Misalnya Pancasila menjadi dasar filsafat perundang-undangan. Pada prinsipnya tidak dibuat suatu peaturan yang bertentangan dengan filsafat ini. 2. Landasan yuridis, ialah ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum rechtsground bagi pembuatan suatu peraturan. Misalnya UUD 1945 menjadi landasan yuridis bagi pembuatan Undang-Undang organik. 112 Philippus M. Hadjon, dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia Introduction To The Indonesian Administrative Law, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1993, hlm. 60. 113 M. Solly Lubis, Paradigma Kebijakan Hukum Pasca Reformasi, Dalam Rangka Ulang Tahun Ke 80 Prof. Solly Lubis, Jakarta: PT. Sofmedia, 2010, hlm. 190. Universitas Sumatera Utara Selanjutnya Undang-Undang itu menjadi landasan yuridis bagi pembuatan peraturan pemerintah, ataupun peraturan daerah. 3. Landasan politis, ialah garis kebijakan politik yang menjadi dasar selanjutnya bagi kebijakan-kebijakan dan pengarah ketatalaksanaan pemerintahan negara. Berdasarkan landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan politis tersebut diatas, menurut penulis untuk menjawab alasan mengapa pemerintah pusat melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah, maka apabila dikaitkan dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Tanggal 19 Oktober 1998 sebagaimana dikemukakan diatas, dapat disimpulkan bahwa: 1. Peraturan daerah yang dibuat bertentangan dengan jiwa dan semangat otonomi daerah dan tidak akomodatif terhadap tuntutan reformasi serta menghambat pertumbuhan ekonomi daerah adalah pengingkaran terhadap landasan filosofis dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. 2. Peraturan daerah yang dibuat bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi serta duplikasi dengan ketentuan dan substansi yang sama adalah pengingkaran terhadap landasan yuridis dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. 3. Peraturan daerah yang dibuat dengan melampaui batas kewenangan serta menambah simpul birokrasi adalah pengingkaran terhadap landasan politis dalam pembuatan suatu peraturan perundang-undangan. Artinya adalah bahwa alasan pemerintah pusat melakukan pembatalan terhadap peraturan daerah adalah karena peraturan daerah tersebut tidak memenuhi seluruh atau sebahagian landasan dalam pembuatan peraturan perundang-undangan, yaitu: landasan filosofis, landasan yuridis dan landasan politis. Universitas Sumatera Utara

BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN