penyerahan urusan. Urusan-urusan tersebut merupakan urusan baik Propinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya maupun Kabupaten-Kabupaten Daerah Tingkat II di
wilayah itu. Urusan pangkal ini secara hukum dapat dilaksanakan seketika.
5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
Pengaturan tentang cara penyerahan wewenang dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974
129
Dalam Pasal 1 butir e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 dijelaskan bahwa daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas
wilayah tertentu yang berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 4 ayat 2 dikemukakan bahwa ”pembentukan, nama,
batas, ibukota, hak dan wewenang urusan serta modal pangkal daerah ditetapkan dengan undang-undang”. Kedua pasal itu sama sekali tidak mengisyaratkan
tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah tidak sejelas pengaturan dalam berbagai undang-undang pemerintahan
daerah sebelumnya. Cara penyerahan wewenang yang dianut oleh undang-undang yang terakhir ini hanya dapat dipahami dengan jalan merangkaikan sejumlah
pasal dan penjelasan undang-undang, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal-pasal tertentu, serta menyimpulkannya.
129
Undang-Undang ini mengatur tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang menganut “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab” sesuai dengan amanat politis dalam GBHN.
Universitas Sumatera Utara
bahwa wewenang atau urusan dalam undang-undang dimaksud akan dirinci dan atau dirumuskan secara umum.
Walaupun demikian, dalam Pasal 8 ditentukan bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Sebaiknya menurut Pasal 9 bahwa sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah dapat ditarik kembali dengan peraturan
perundang-undangan yang setingkat. Dalam penjelasan umum butir 4 6 b 1 dikemukakan bahwa :
”Urusan otonomi daerah tidaklah statis, tetapi berkembang dan berubah. Hal ini terutama disebabkan oleh keadaan yang timbul dan berkembang di
dalam masyarakat itu sendiri. Berhubung dengan itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, undang-undang ini memberikan kemungkinan untuk
secara bertahap menambah penyerahan urusan-urusan kepada daerah, tetapi sebaliknya dimungkinkan pula penarikan kembali sesuatu urusan yang semula
telah diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah. Diserahkan menjadi urusan rumah tangga daerah. Bahkan dimungkinkan pula penghapusan
sesuatu daerah dan pembentukan daerah-daerah baru.” Sepanjang mengenai penambahan penyerahan urusan ditegaskan oleh
penjelasan Pasal 8 ayat 2 bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah haruslah disertai perangkat, alat perlengkapan dan sumber
pembiayaan, sehingga dengan demikian urusan pemerintahan yang diserahkan itu dapat diselenggarakan sebaik-baiknya. Namun, dalam penjelasan yang sama juga
dikemukakan bahwa penambahan penyerahan urusan pemerintah kepada daerah
Universitas Sumatera Utara
adakalanya tidak perlu disertai dengan penyerahan perangkatnya, apabila daerah yang bersangkutan telah mempunyai perangkat tersebut.
Dari isi Pasal 8 dan Pasal 9 beserta penjelasan undang-undang, baik penjelasan umum maupun penjelasan pasal, dapat disimpulkan bahwa Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974 cenderung untuk menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Kesimpulan ini makin kuat apabila dikaitkan dengan
penjelasan umum butir 4 4 I 1 bahwa : ”Dinas-dinas daerah adalah unsur pelaksana pemerintahan daerah.
Urusan-urusan yang diselenggarakan oleh dinas-dinas daerah adalah urusan yang telah menjadi urusan rumah tangga daerah. Pembentukan dinas daerah
untuk melaksanakan urusan-urusan yang masih menjadi wewenang Pemerintah Pusat dan belum diserahkan kepada daerah dengan suatu undang-
undang atau Peraturan Pemerintah menjadi urusan rumah tangganya, tidak dibenarkan.”
Dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri 363 Tahun 1977 tentang Pedoman Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah garis
kebijaksanaan pemakaian cara penyerahan wewenang dengan rincian makin kuat. Dalam Pasal 9 dinyatakan bahwa Dinas Daerah dapat dibentuk dengan
persyaratan sebagai berikut : a.
Urusan yang menjadi tugasnya adalah urusan rumah tangga daerah berdasarkan penyerahan hak dalam rangka Otonomi Daerah berupa
kewenangan pangkal dan kewenangan yang berasal dari penyerahan selanjutnya;
Universitas Sumatera Utara
b. Merupakan perangkat daerah yang bersifat organik;
c. Merupakan perangkat yang langsung melaksanakan pelayanan terhadap
masyarakat; d.
Merupakan perangkat daerah yang tidak bertujuan mencari keuntungan; e.
Sesuai dengan kemampuan daerah, baik ditinjau dari segi kepegawaian, keuangan maupun peralatan.
Secara konsisten Pemerintah menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian dalam pembentukan daerah otonom daerah dalam kurun waktu Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1974. Dalam pembentukan Daerah Tingkat I Timor- Timur dan 13 Daerah Tingkat II di wilayah Timor Timur atas dasar Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1976 tentang pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah
Tingkat I Timor Timur jo Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1976 ditentukan bahwa urusan pangkal bagi masing-masing Daerah Tingkat I Timor Timur dan
Daerah Tingkat II di wilayah Timor Timur meliputi 1 Kesejahteraan Sosial, 2 Pertanian, 3 Kesehatan, 4 Pendidikan dan Pengajaran, 5 Pekerjaan Umum.
Penyerahan secara nyata urusan-urusan tersebut kepada daerah dilakukan secara bertahap dan bersama-sama oleh Menteri yang membidangi urusan tersebut dan
Menteri Dalam Negeri dengan mengingat keadaan dan kemampuan daerah yang bersangkutan. Penyerahan urusan lainnya dilaksanakan secara bertahap dan diatur
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya dalam Pasal 8 diatur urusan yang tergolong ke dalam urusan tata usaha daerah. Baik
Universitas Sumatera Utara
dalam undang-undang maupun Peraturan Pemerintah tersebut di atas tidak terdapat rincian kegiatan dari tiap urusan dimaksud.
Dalam pembentukan beberapa Daerah Tingkat II di luar Timor Timur, pemerintah juga menganut cara penyerahan wewenang dengan rincian. Melalui Pasal
9 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1990 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Halmahera Tengah dan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1990
tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung masing-masing daerah terbentuk itu secara nyata diserahi 9 urusan pangkal. Enam dari 9 urusan itu adalah
sama. Urusan-urusan yang sama adalah pengaturan dan penyelanggaraan kewenangan untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman kehidupan masyarakat
di daerah yang bersangkutan, pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dasar, pertanian, tanaman pangan, dan pendapatan. Tiga urusan lain yang berbeda lagi
Kabupetan Halmahera Tengah adalah peternakan, perkebunan, dan perikanan. Sedangkan tiga urusan lain yang berbeda bagi Kotamadya Daerah Tingkat II Bitung
adalah tata kota dan pertamanan, kebersihan dan pemadaman kebakaran. Dari masing-masing pasal tersebut di atas terdapat ketentuan bahwa
penambahan atau pengurangan urusan tersebut diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Cara penyerahan wewenang dengan rincian
juga dipraktekkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat. Menurut Pasal 10
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1991 tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Barat diserahi secara nyata 3 urusan pangkal. Enam dari 8
urusan ini juga sama dengan enam urusan yang diberikan kepada dua daerah
Universitas Sumatera Utara
tersebut di atas. Sedangkan dua urusan yang lain adalah peternakan dan perkebunan. Dalam ayat 2 dari Pasal 10 juga terdapat ketentuan yang
menyatakan bahwa penambahan atau pengurangan urusan tersebut diatur sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam tahun 1992 pemerintah juga membentuk Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1992 tentang Pembentukan
Kotamadya Daerah Tingkat II Denpasar. Dalam pembentukan Daerah Tingkat II Pemerintah tetap berpegang pada cara penyerahan wewenang dengan rincian.
Melalui Pasal 10 undang-undang ini dirinci urusan pangkal Daerah Tingkat II tersebut sebanyak 11 buah. Menurut penjelasan pasal tersebut, wewenang pangkal
teresbut secara nyata telah mampu dilaksanakan. Adapun rincian fungsi dari tiap urusan sama dengan rincian yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Baik penambahan maupun pengurangan urusan diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dari seluruh urusan di atas terlihat terjadinya kecenderungan perubahan cara penyebaran wewenang yang dianut seiring dengan perubahan undang-
undang yang mengatur pemerintah daerah. Namun perubahan itu tidak bertalian dengan perubahan Undang-Undang Dasar yang menjadi landasan dari undang-
undang tentang pemerintah yang bersangkutan. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 menganut cara penyerahan
wewenang dengan rumusan umum sebagai reaksi terhadap cara penyerahan wewenang dengan rincian yang dipraktekkan Pemerintah Hindia Belanda.
Sebaliknya, walaupun Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 juga berlandaskan
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Dasar Tahun 1945, namun Undang-undang ini menganut cara penyerahan wewenang dengan perincian.
Baik Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 maupun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 menganut cara penyerahan wewenang campuran, yakni
dengan rumusan umum dan rincian, namun landasan kedua undang-undang itu berbeda. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 berlandaskan Undang-Undang
Dasar Sementara Tahun 1950, sedangkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 berdasarkan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, sebagaimana Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 berlandaskan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan undang-undang ini juga menganut cara
penyerahan wewenang dengan rincian. Cara penyerahan wewenang yang dianut dalam undang-undang tentang
pemerintahan daerah tidak selamanya secara konsisten dipraktekkan oleh pemerintah dalam pembentukan daerah otonom di Indonesia. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 menganut cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum, namun praktek yang dijalankan oleh Pemerintah terhadap daerah-daerah
otonom di Pulau Jawa terlihat diskriminatif. Bagi daerah-daerah otonom yang dihidupkan kembali sebagai peninggalan Pemerintah Hindia Belanda di Pulau
Jawa, Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian. Demikian pula Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 menganut cara
penyerahan wewenang dengan rincian. Namun dalam pembentukan daerah- daerah otonom semasa periode berlakunya undang-undang itu pemerintah
mempraktekkan cara penyerahan wewenang yang berbeda. Di Pulau Jawa, dalam
Universitas Sumatera Utara
pembentukan daerah otonom di luar D.I.Yogyakarta, baik daerah Tingkat I maupun Daerah Tingkat II Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang
dengan rincian. Sedangkan dalam pembentukan Propinsi D.I. Yogyakarta, dan berbagai daerah otonom di Sumatera, Kalimantan dan di kawasan bekas Negara
Indonesia Timur pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang campuran, baik dengan rincian maupun dengan rumusan umum. Namun di
penghujung berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Pemerintah menggunakan cara penyerahan wewenang dengan rincian bagi Propinsi Irian
Barat Jaya. Dalam periode berikutnya, sekalipun berkali-kali terjadi perubahan undang-
undang tentang pemerintah daerah dan dalam berbagai undang-undang itu dianut pula cara penyerahan wewenang yang berbeda, namun dalam praktek
pembentukan daerah otonom pasca PRRI-Permesta di berbagai kawasan pemerintah selalu menggunakan cara penyerahan wewenang dengan cara rincian.
Dengan demikian, kecenderungan pemakaian cara penyerahan wewenang tertentu tampaknya tidak bertalian dengan undang-undang tentang pemerintahan
daerah yang melandasinya tetapi bertalian dengan periodesasi pemerintahan. Dalam masa demokrasi cenderung dipakai kombinasi cara penyerahan wewenang,
khususnya di kawasan luar Jawa, sedangkan dalam periode Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru selalu dipakai cara penyerahan wewenang dengan rincian di
berbagai kawasan. Cara penyerahan wewenang dengan rincian memang dapat menjamin
terdapatnya pembagian wewenang dan fungsi antar tingkatan pemerintah. Namun,
Universitas Sumatera Utara
jaminan semacam itu dapat terwujud apabila tersedia startegi pembagian wewenang dan fungsi terlebih dahulu. Strategi dimaksud pada waktu itu dan
bahkan hingga kini belum tersedia sehingga menimbulkan kelambanan dalam proses desentralisasi pengotonomian dan atau inkonsistensi dalam
kebijaksanaan Pemerintah mengenai pengisian otonomi kepada daerah. Bagi daerah yang berkemampuan administrasi tinggi, cara penyerahan
wewenang dengan rincian terasa kurang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya prakarsa daerah dalam layanan dan pembangunan. Karena itu
cara penyerahan wewenang dengan rincian perlu didampingi dengan cara penyerahan wewenang dengan rumusan umum. Namun cara penyerahan
wewenang dengan rumusan umum ini baru berarti bagi daerah apabila mendapat dukungan dari dua sisi. Dari sisi daerah berupa kemampuan administrasi.
Sedangkan dari sisi Pemerintah berupa kebijaksanaan Pemerintah tentang organisasi, kepegawaian, dan keuangan daerah yang selaras.
Konsekuensi pemakaian cara penyerahan wewenang adalah dengan terwujudnya wewenang pangkal urusan pangkal dari daerah otonom yang
bersangkutan. Dalam distribusi wewenang pangkal antar tingkatan daerah otonom, terdapat kecenderungan bahwa Daerah Tingkat II yang terbentuk
kemudian setelah pembentukan Daerah Tingkat I diatasnya seperti yang terjadi di Sumatera memiliki jumlah urusan pangkal jauh lebih kecil daripada jumlah
urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Sebaliknya, Daerah Tingkat II yang terbentuk lebih awal daripada pembentukan Daerah Tingkat I di atasnya seperti
Daerah Tingkat II di kawasan bekas NTT secara profesional memiliki jumlah
Universitas Sumatera Utara
urusan pangkal lebih besar daripada jumlah urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Daerah Tingkat II yang terbentuk bersamaan dengan waktu pembentukan
Daerah Tingkat I di atasnya seperti Irian Jaya, Timor Timor dan Pulau Jawa cenderung memiliki jumlah urusan pangkal yang kurang lebih sama dengan
jumlah urusan pangkal Daerah Tingkat I di atasnya. Dari peta urusan pangkal juga terlihat variasi lain. Pada umumnya urusan
pangkal daerah otonom di Pulau Jawa dan di Sumatera Utara merupakan wewenang potensial, karena urusan pangkal tersebut tidak dapat dilaksanakan
segera setelah terbentuknya daerah otonom yang bersangkutan. Sedangkan urusan pangkal daerah otonom di kawasan lain pada umumnya merupakan wewenang
riil, karena urusan pangkal itu dapat segera dilaksanakan setelah terbentuknya daerah otonom yang bersangkutan. Walaupun demikian, kedua variasi urusan
pangkal tersebut pada akhirnya bertalian erat dengan pelaksanaan penyerahan wewenang yang tertuang dalam berbagai Peraturan Pemerintah tentang
pelaksanaan penyerahan urusan pemerintahan.
6. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004