memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi
bagi peneliti atau akademisi.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori
Teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara adalah dengan
menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” Rechtsstaat sebagai grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica”OrganInstitusi
Pemerintahan untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai
applied theory-nya. Konsep tentang negara hukum, untuk pertama kalinya dikemukakan oleh
Plato dan kemudian dikembangkan dan dipertegas kembali oleh Aristoteles. Pada buku Plato, berjudul, Politea, dikemukakan betapa penguasa di masa itu, masa Plato
hidup 429 SM - 346 SM penguasa sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta sewenang-wenang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya.
Dalam uraiannya di buku tersebut, Plato dengan gamblang menyampaikan pesan moral, agar penguasa berbuat adil, menjunjung tinggi nilai Kesusilaan dan
kebijaksanaan dan senantiasa memperhatikan kepentingannasib rakyatnya.
Universitas Sumatera Utara
Demikian pula halnya dalam bukunya yang berjudul Politicos, Plato memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar
hukum rule of the game, demi warga negara yang bersangkutan. Sedangkan buku ketiga dari Plato yang berjudul Nomoi, lebih menekankan pada para penyelenggara
negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya.
Kemudian muncullah Aristoteles dengan karya bukunya, Politica. Di dalam buku tersebut Aristoteles mengemukakan gagasannya, bahwa suatu negara yang baik
adalah negara yang diperintahdikelola atas dasar suatu konstitusi sehingga di dalam negara tersebut hukumlah yang berdaulat.
19
Menurut Satjipto Rahardjo, Dalam perkembangannya kemudian
mulai abad ke-19, dikenal konsep negara hukum yakni suatu konsep negara yang kemudian diidentifikasi sebagai konsep negara hukum Eropa Kontinental
rechtstaaat dan konsep negara hukum Anglo Saxon rule of law.
20
19
Arief Muladi, Landasan dan Prinsip Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, Jakarta: Pustaka, 2005, hlm. 23.
bahwa di dunia ini tidak dijumpai satu sistem hukum saja, melainkan terdapat lebih dari satu bentuk sistem hukum. Dalam kaitan
itulah dikenal sistem hukum Eropa Kontinental sistem hukum RomawiJerman, civil law system dan sistem hukum Inggris common law. Selanjutnya sebagai akibat
negara kita, Indonesia pernah menjadi koloni Belanda, maka dengan serta merta pula sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang sama berlaku di
negara Belanda yang kebetulan berada di Benua Eropa yang dikenal dengan sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law System.
20
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam kaitan dengan konsep negara hukum tersebut, Freidrich Julius Stahl,
21
menegaskan, bahwa unsur-unsur negara hukum Eropa Kontinental rechtstaat yaitu
22
a. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia;
:
b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu;
c. Adanya pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, dan;
d. Adanya peradilan administrasi
23
Selanjutnya unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law dalam perselisihan.
24
adalah pertama, supremasi hukum supremacy of law; kedua, persamaan di depan hukum
equality before the law; ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi manusia constitution based on human rights.
25
Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of Law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang
21
Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1989, hlm. 30.
22
Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang
mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam nachwachtersstaat. Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha
kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh
rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 90. Tentang wawasan-
wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai
Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi Doktor S3, Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hlm. 139.
23
Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973, hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham
konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism:
Ancient and Modern, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974, hlm. 146.
24
Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam
Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2.
25
A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10
th
edition, London: English Language Book Society and MacMillan, 1971, hlm. 223-224.
Universitas Sumatera Utara
bebas dan tidak memihak;
26
ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat, kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan
keenam, pendidikan kewarganegaraan.
27
Selanjutnya John Locke 1632-1704 memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan.
Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam
Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat
yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.
28
Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter
29
26
Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan
bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing
Constitution, 4
th
edition, Oxford: Oxford University Press, 2000, hlm. 34.
bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke
27
South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, Bangkok: International Commission of Jurist,
1965, hlm. 39-45.
28
Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan separation of power dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti
pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law
and the Constitution, 4
th
edition, London: The English Language Book Society, 1976, hlm. 22. Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan
pemisahan kekuasaan separation of powers, sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan division of powers. Robert M. McIver, The Modern State,
Oxford: Oxford University Press, 1950, hlm. 364.
29
Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo,
eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia FounDaerah Tingkaton,
1989, hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, Jakarta: Gramedia,
1980, hlm. 88.
Universitas Sumatera Utara
dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif
legislative power, kekuasaan eksekutif executive power, dan kekuasaan federatif federative power.
30
Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan
yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing.
Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang
menyelenggarakannya.
31
Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
32
30
John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, London: Everyman, 1993, hlm. 188.
Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan
31
Ibid.
32
Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah 1 gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru
dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; 2 munculnya era perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang diikuti
persaingan perebutan pengaruh antar blok; 3 timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer diberbagai negara; 4 semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas
pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan 5 munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktek multi partai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di berbagai negara. Jimly
Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI-Press, 1996, hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “Undang-
Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan
pada tanggal 13 Juni 1998, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih
terjamin.
33
Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan
kekuasaan yudikatif.
34
Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi
manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang
pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.
35
Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dapat
dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban
despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government Pemerintah
yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.
36
33
Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidwick Jackson, 1973, hlm. 245-247.
34
Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politika terdapat suasana checks and
balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993, hlm. 19.
35
Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang The Spirit of the Laws, Jakarta: Gramedia, 1993, hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montesquieu sebagai seorang
yang berprofesi hakim ikut mempengaruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985, hlm.2.
36
C.F. Strong, Op. Cit., hlm. 6.
Universitas Sumatera Utara
Dalam doktrin Trias Politika, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan
yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.
37
Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi
penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan
semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.
38
Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah,
diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system sistem pengawasan dan keseimbangan di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya
kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.
Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan
untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara.
39
Dalam perspektif yang lain Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makna pembangunan hukum itu meliputi empat usaha yaitu: 1 Menyempurnakan
membuat sesuatu yang lebih baik 2 Mengubah agar menjadi lebih baik dan
37
Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
1994, hlm. 227.
38
Budiardjo, Op. Cit.
39
Ibid., hlm. 153.
Universitas Sumatera Utara
modern 3 Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada 4 Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau tidak cocok
dengan sistem baru.
40
Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the law- Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat
menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya
suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma
dasar grundnorm.
41
Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut
Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan hukum-
hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.
42
40
C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994 hlm. 12.
41
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, New York: Russel and Russel, 1961, hlm. 112-113.
42
Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993, hlm. 41-42.
Universitas Sumatera Utara
Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Bentuk
dan Jenis peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari : 1. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
2. Peraturan Pemerintah; 3. Peraturan Menteri.
43
Setelah undang-undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor 2262HK59
44
tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, kemudian Ketetapan MPRSXXMPRS1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib
Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.
45
TAP MPRS ini baru disempurnakan pada Tahun 2000 dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor IIIMPR2000 dan yang terakhir adalah
dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
46
43
Dalam undang-undang ini sama sekali tidak diatur tentang peraturan perundang-undangan tingkat daerah, mungkin dikarenakan pada waktu itu Republik Indonesia hanya merupakan negara
bagian dari Republik Indonesia Serikat RIS.
44
Surat ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan negara selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Lihat dalam Haposan Siallagan, Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan
Peraturan Daerah, Medan: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007, hlm. 280.
45
Menurut TAP MPRS ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-UndangPeraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dll.
46
Menurut TAP MPR ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; dan 7. Peraturan Daerah.
Universitas Sumatera Utara
Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah sebagai berikut : 1.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2.
Undang-UndangPeraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3.
Peraturan Pemerintah; 4.
Peraturan Presiden; 5.
Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah KabupatenKota dan Peraturan Desa.
Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan
norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.
Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas
47
1. Norma Dasar Fundamental NormsGrundnormBasic Norm :
2. Norma Umum General Norms 3. Norma Konkret Concrete Norms
Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan vonnis
serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.
48
47
Hans Kelsen, Op.Cit.
Hans Kelsen mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan
hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
48
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti
pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar Grundnorm yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar
ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu
ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.
49
Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar Grundnorm dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut
sebagai staatsgrundnorm
melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma
fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.
50
Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban- dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum
di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum
Indonesia adalah
51
1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila Pembukaan UUD 1945.
:
49
Ibid.
50
Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, EinsiedelnZurichKoln: Benziger, 1948, hlm. 31.
51
Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XXMPRS1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. IIIMPR2000 tentang
Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat
A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi
Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hlm. 287.
Universitas Sumatera Utara
2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi
Ketatanegaraan. 3.
Formell gesetz: Undang-Undang. 4.
Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.
Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.
52
Pancasila dilihat sebagai cita hukum rechtsidee merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif
adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm
maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.
53
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu
54
1. Undang-undang tidak berlaku surut
:
2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi,
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula 3.
Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum Lex specialis derogat lex generalis
4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang
yang berlaku terdahulu Lex posteriori derogat lex priori 5.
Undang-undang tidak dapat diganggu gugat 6.
Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun
individu, melalui pembaharuan atau pelestarian asas welvaarstaat
7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan undang-
undang yang di atasnya Lex superiore derogat lex infiriore
52
Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pokok Kaidah Fundamental Negara Indonesia dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, Jakarta: Bina Aksara,
1988, hlm. 27.
53
Attamimi, Op Cit., hlm. 309.
54
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984, hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo,
Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008, hlm. 73.
Universitas Sumatera Utara
Sementara itu Amiroeddin Syarief menetapkan adanya lima asas perundang-undangan yaitu
55
1. Asas tingkatan hirarkis
:
2. Undang-undang tak dapat diganggu gugat
3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang
yang bersifat umum Lex specialis derogat lex generalis 4.
Undang-undang tidak berlaku surut 5.
Undang-undang yang baru mengenyampingkan Undang-undang yang lama Lex posteriori derogat lex priori
Selanjutnya secara politik kedudukan Perda tidak lain merupakan produk hukum lembaga legislatif daerah,
56
Perda sebagaimana produk hukum pada umumnya akan diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan
dominan.
57
Pemerintah termasuk Pemerintah Daerah, dalam merumuskan suatu kebijakan kadang kala bukanlah untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh
dari suatu kepentingan tertenu, melainkan cenderung mengumpulkan berbagai preferensi untuk mengekspresikan suatu harapan yang penuh dari suatu sektor lain.
58
Suatu kebijakan biasanya diterima sebagai suatu hasil keputusan bersama yang dikaitkan secara khusus dengan pembuatannya, sehingga penyusunannya harus
melalui proses yang panjang dan berkaitan dengan berbagai aspek kepentingan dan kewenangan.
59
Sebagai salah satu sumber hukum dalam hierariki perundang-undangan Indonesia Pasal 136 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
55
Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998, hlm. 43.
56
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 238-239.
57
Muhammad Mahfud MD, LP3ES, 2001, 2001, hlm. 9.
58
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: PSH Tata Negara FH UI, 2005, hlm. 263.
59
Sunoto, Analisis Kebijakan Dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 1997, hlm. 10.
Universitas Sumatera Utara
Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa Perda merupakan salah satu sarana dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Perda merupakan produk hukum yang dibuat oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Prakarsa suatu Perda dapat berasal dari DPRD atau dari Pemerintah Daerah. Perda
pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Kewenangan membuat Perda merupakan wujud nyata pelaksanaan hak otonomi yang dimiliki oleh suatu daerah dengan tujuan untuk mewujudkan kemandirian daerah dan
memberdayakan masyarakat. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menciptakan konteks politik yang member peluang bagi
penciptaan kelembagaan politik antara Pemerintah Daerah dan DPRD membentuk kebijakan publik yang menentukan.
60
Kemudian kesemua hal yang berkaitan dengan pembentukan Perda berlangsung dalam proses perundang-undangan.
61
Tentang proses perundang- undangan M. Solly Lubis
62
menyebutkan sebagai proses pembuatan peraturan Negara, dengan kata lain tata cara mulai dari perencanaan rancangan, pembahasan,
pengesahan, penetapan dan akhirnya pengundangan peraturan yang bersangkutan. Proses adalah merupakan kegiatan yang berawal dan akan berakhir pada suatu
keadaan tertentu dimana kegiatan itu sendiri menghendakinya.
63
60
Ni’matul Huda, Otonomi Daerah…………..Op.Cit., hlm. 232.
Maka peraturan perundang-undangan berupa : Undang-Undang, Peraturan Pemerintah Pengganti
61
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996, hlm. 185.
62
M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Alumni, 1983, hlm. 13.
63
Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan……………..Op.Cit., hlm. 186.
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Perpu, Peraturan Pemerintah PP, Peraturan Daerah Perda dan sebaginya adalah produk atau hasil dari kegiatan pembuatan perundang-undangan itu.
Peraturan perundang-undangan itu berada di dalam dan sekaligus merupakan bagian dari kegiatan perundang-undangan.
64
Sebuah peraturan dinilai sempurna jika dipenuhinya syarat-syarat sebagai berikut
65
1. Peraturan itu memberikan keadilan bagi yang berkepentingan, misalnya
apakah kalangan buruh, petani, nelayan, pedagang kaki lima, kaum perempuan, para guru dan dosen, merasa bahwa dengan kehadiran
peraturan hukum itu maka kepentingannya akan benar-benar dilindungi.
:
2. Peraturan hukum itu memberikan kepastian, dalam arti kepastian
hukum, bahwa dengan berlakunya peraturan itu akan jelas batas-batas hak recht, right dan kewajiban plicht, duty, semua pihak yang
berkaitan dalam sesuatu hubungan hukum rechtsbetrekkingen misalnya dalam hubungan perburuhan, hubungan perkawinan,
borongan kerja dan sebaginya.
3. Peraturan itu memberikan manfaat yang jelas bagi yang berkepentingan
dengan kehadiran peraturan itu. Umumnya, jika dua syarat terdahulu sudah dipenuhi maka syarat yang ketiga ini akan dipenuhi juga.
Kemudian, menurut M. Solly Lubis,
66
1. Paradigma filosofis philosophical paradigm yakni sistem nilai yang
tercakup dalam dasar negara Pancasila; bagi penyelenggaraan kekuasaan
pemerintahan sebagai sistem kehidupan bernegara, dikenal ada 3 tiga macam paradigma dasar yaitu :
2. Paradigma yuridis-konstitusional juridical paradigm dalam UUD
1945; dan 3.
Paradigma politis political paradigm dalam Garis Besar Haluan Negara.
64
M. Solly Lubis, Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, Makalah disampaikan pada seminar tentang “Partisipasi Publik Dalam Proses Legislasi Sebagai Pelaksanaan Hak Politik”, dilaksanakan
oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara di Hotel Garuda Plaza Medan, 2 Mei 2007, hlm. 2.
65
M. Solly Lubis, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, Bandung: Mandar Madju, 2009, hlm. 45.
66
M. Solly Lubis, Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Madju, 2007, hlm. 70.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Bagir Manan, syarat-syarat agar suatu peraturan perundang- undangan itu dinyatakan baik adalah
67
1. Ketepatan dalam struktur, pertimbangan, dasar hukum, bahasa,
pemakaian huruf dan tanda baca yang benar. :
2. Kesesuaian antara isi dengan dasar yuridis, sosiologis dan filosofis.
3. Peraturan Perundang-undangan itu dapat dilaksanakan applicable dan
menjamin kepastian.
Untuk membuat sebuah peraturan perundang-undangan yang baik, harus berlandaskan pada 3 tiga unsur yaitu : dasar filosofis, sosiologis dan yuridis.
1. Dasar Filosofis : Suatu peraturan perundang-undangan dalam rumusannya harus
sesuai dengan cita-cita hukum rechtsidee, yaitu menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Hukum diharapkan mencerminkan sistem tersebut
dengan baik sebagai sarana yang melindungi nilai-nilai maupun sebagai sarana mewujudkan dalam tingkah laku masyarakat. Semuanya itu bersifat filosofis,
artinya menyangkut pandangan mengenai inti atau hakekat sesuatu. 2.
Dasar Sosiologis : Peraturan perundang-undangan yang dibuat itu harus
mencerminkan kenyataan yang hidup dalam masyarakat sehingga sesuai dengan keyakinan umum atau kesadaran hukum masyarakat.
3. Dasar Yuridis : Ketentuan hukum yang menjadi dasar hukum bagi pembuatan
suatu peraturan. Misalnya Undang-Undang Dasar 1945 menjadi dasar yuridis bagi pembuatan undang-undang organik. Dasar yuridis juga sangat penting dalam
pembuatan suatu peraturan perundang-undangan karena mempunyai beberapa keharusan yang harus diperhatikan, yaitu :
67
Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah, Bandung: LPPM Unisba, 1995, hlm. 12-13.
Universitas Sumatera Utara
a. Keharusan yang berlandaskan yuridis beraspek formal, yaitu dasar yuridis
yang memberi kewenangan bagi instansi tertentu untuk membuat peraturan tertentu.
b. Keharusan yang berlandaskan yuridis beraspek materiil adalah ketentuan-
ketentuan hukum tentang masalah atau persoalan apa yang harus diatur, terutama kalau diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi tingkatnya. Peraturan jenis ini penting terutama bagi jenis peraturan perundang-undangan pelaksana, yaitu yang derajatnya di bawah undang-
undang. Keharusan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang
tidak tinggi tingkatannya berkaitan dengan hirarki norma hukum yang dikemukakan oleh Kelsen dalam teorinya mengenai jenjang norma hukum stufentheorie. Menurut
Kelsen norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar
pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu
norma yang dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif, yaitu norma dasar groundnorm.
68
Berdasarkan teori jenjang norma menurut Hans Kelsen mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu berdasar dan bersumber pada norma di atasnya,
tetapi ke bawah norma hukum itu juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma
68
Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta: Kanisius, 2007, hlm. 25.
Universitas Sumatera Utara
yang lebih rendah daripadanya. Dengan demikian, suatu peraturan perundang- undangan yang lebih tinggi, maka peraturan tersebut dapat dibatalkan.
Guna menghindari kemungkinan Perda dicabut atau dibatalkan, maka diharapkan adanya sumber daya manusia di kalangan politisi yang handal dan
memahami esensi dalam penyusunan produk-produk hukum yang dibutuhkan oleh daerah sebagai pelaksanaan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi, dan penyelenggaranaan kepentingan umum bestuurzoorg di daerah.
69
69
Bagir Manan dalam Supardan Modoeng, Teori dan Praktek Penyusunan Perundang- undangan Tingkat Daerah, Jakarta: PT. Tintamas Indonesia, 2001, hlm. 55.
Universitas Sumatera Utara
Skema 1
Evaluasi Peraturan Daerah
Oleh : Mardona Siregar Mahasiswa S2 Hukum Tata Negara 2011NIM 097005015HK
Feed back dan input bagi Pembentukan Peraturan Daerah yang baik
Feed back dan input bagi Pembentukan Peraturan Daerah yang baik Sumber :
Hasil Derivasi Skema Sistem Kehidupan Nasional dalam Buku Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009.
Prinsip Kedaulatan
Rakyat
- Tercipta-
nya Pera- turan Da-
erah yang baik
- Meminima
lisir Perda yang
dibatalkan Pelaksanaan
pengembangan Tata Cara
Pembentu-kan dan Evaluasi
Perda
Peraturan di bidang
Pembentu- kan
Peraturan Daerah
Kebijakan Nasional di
Bidang Politik
Hukum
INTERAKSI Potensi :
• Masyarakat
• Pem. Pusat
• Pem. Daerah
• DPRD
Sikon :
- Banyaknya Perda
yang dibatalkan oleh Pemerintah
Pusat
- Terbatasnya SDM
di daerah yang menguasai teknik
penyusunan Perda
Universitas Sumatera Utara
Menurut skema di atas dapat diuraikan bahwa, sejak era otonomi daerah dibuka sampai saat ini telah ribuan Perda berbagai daerah di Indonesia telah
dibatalkan baik yang dilakukan oleh pemerintah pusat eksekutif maupun Mahkamah Agung judikatif, hal ini disebabkan kebanyakan Perda bertentangan dengan
peraturan yang lebih tinggi, rumusannya tidak jelas serta tidak berperspektif hak asasi manusia, tidak berperspektif jender, tidak tidak berperspektif lingkungan dan tidak
berperspektif investasi. Pengawasan terhadap aktifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah termasuk evaluasi terhadap produk hukum daerah merupakan suatu
konsekuensi logis Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI, hal ini menunjukkan bahwa di dalam NKRI tidak boleh ada bagian daerah yang lepas atau tidak ada negara
di dalam negara. Terkait dengan hal tersebut Van Kempen mengatakan sebagai berikut
70
: ”...bahwa otonomi mempunyai arti lain daripada kedaulatan souvoreigniteit,
yang merupakan atribut dari bagian-bagiannya seperti gemeente, provincie dan sebagainya, yang hanya dapat memiliki hak-hak yang berasal dari negara,
bagian-bagian mana justru sebagai bagian-bagian dapat berdiri sendiri zelfstanding, akan tetapi tidak mungkin dapat dianggap merdeka
onafhankelijk. Lepas dari, ataupun sejajar dengan negara”. Prinsip yang terkandung dalam negara kesatuan ialah bahwa pemerintah pusat
berwenang untuk campur tangan yang lebih intensif terhadap persoalan-persoalan di daerah. Dengan demikian pemerintah pusat berwenang melakukan pengawasan
terhadap produk hukum di daerah untuk menjamin agar konsep otonomi daerah berjalan pada jalurnya.
70
Bagir Manan dalam Supardan Modoeng, Teori dan Praktek……. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal evaluasi terhadap Perda yang dilakukan oleh eksekutif dikenal adanya pengawasan preventif dan pengawasan refresif. Pengawasan preventif
merupakan evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap Rancangan Peraturan Daerah Ranperda Provinsi dan oleh Gubernur terhadap Ranperda
KabupatenKota, sedangkan pengawasan represif dilakukan setelah Perda disahkan. Sehingga guna meminimalisir Perda bermasalah dibutuhkan keterbukaan
pemerintahan daerah dalam setiap pembentukan Perda agar sedapat mungkin melibatkan peran serta pemangku kepentingan stakeholders selain itu diperlukan
peningkatan kompetensi Sumber Daya Manusia SDM di Pemerintahan Daerah terutama di bidang penyusunan dan perancangan Perda, sehingga diharapkan
terwujud suatu Perda yang berkualitas 2. Konsepsi
Dalam penelitian hukum kerangka konsepsional diperoleh dari peraturan perundang-undangan atau melalui usaha untuk membentuk pengertian-pengertian
hukum. Apabila kerangka konsepsional tersebut diambil dari peraturan perundang- undangan tertentu maka biasanya kerangka konsepsional tersebut sekaligus
merumuskan definisi-definisi tertentu, yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan konstruksi data.
71
Kerangka konsepsional dalam merumuskan atau membentuk pengertian- pengertian hukum, kegunaannya tidak hanya terbatas pada penyusunan kerangka
konsepsional saja, akan tetapi bahkan pada usaha merumuskan definisi-definisi
71
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994, hlm. 80.
Universitas Sumatera Utara
operasional di luar peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, konsep merupakan unsur pokok dari suatu penelitian.
72
Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca rencana penelitian ini, maka dipandang perlu untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan konsep-konsep
dibawah ini : 1.
Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
73
2. Perda adalah
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah Gubernur
atau BupatiWalikota.
74
3. Hak Menguji Formil adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk
peraturan perundang-undangan terjelma melalui cara-cara procedure sebagaimana telah ditentukan atau diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang berlaku atau tidak.
75
4. Hak Menguji Materil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian
menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu
72
Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997, hlm. 24.
73
Pasal 1 Angka 2, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389. Bandingkan dengan Maria
Farida Indrati. S, Op.Cit., hlm. 12, yaitu mengenai peraturan perundang-undangan terdapat beberapa unsur yaitu : a. merupakan suatu keputusan yang tertulis, b. dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat
yang berwenang dan, c. mengikat umum.
74
Pasal 1 Angka 7, Republik Indonesia, Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389
75
Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari Upaya Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung,
Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan, 2001, hlm. 127.
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan tertentu verordenende macht berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
76
5. Pengujian Materil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan materi muatan
dalam ayat, pasal, danatau bagian UU yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
77
6. Pengujian Formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses
pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil.
78
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian