Evaluasi Peraturan Daerah Di Lingkungan Propinsi Sumatera Utara Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

(1)

TESIS

EVALUASI PERATURAN DAERAH DI LINGKUNGAN

PROPINSI SUMATERA UTARA DITINJAU BERDASARKAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

OLEH

MARDONA SIREGAR

097005015/HK

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundang-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-perundang-undangan harus senantiasa beradasarkan pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni sejak dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dengan terbitnya undang-undang tersebut terasa bahwa pembentukan peraturan semakin seragam baik dari sisi substansi maupun sistematika penuangannya. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut mutatis mutandis berlaku juga pada pembentukan Perda, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam proses pembentukan Perda Provinsi, Perda

Kabupaten/Kota, sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan dengan demikian berpotensi pula timbulnya pertentangan di antara isi materi Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan antara satu daerah dengan daerah yang lain, yang selanjutnya berpotensi timbulnya berbagai pertentangan dalam penerapan dan dalam memberikan penafsiran terhadap isi materi Perda.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.Keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat penting artinya, sebab Perda merupakan konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, Perda merupakan conditio sine quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi daerah tersebut. Perda pada dasarnya merupakan salah satu bingkai hukum atas rumusan kebijakan publik di tingkat daerah. Secara substansial Perda mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Substansi Perda Kabupaten dan Kota jauh lebih luas, tetapi tidak demikian halnya pada Perda Provinsi, meskipun sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan kabupaten dan kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masing-masing daerah pada bentuk hukum seperti Perda, perlu dipahami dengan baik dan hati-hati, sebab berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, khususnya antara provinsi dengan kabupaten dan kota

Disarankan adanya upaya setiap Pemerintah Daerah untuk menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat, disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah, dan disarankan untuk pembenahan substansial materi muatan perundang-undangan untuk memperkuat fungsi pengawasan produk hukum di daerah.


(3)

ABSTRACT

In order to guarantee of the certainty of drafting legal provisions, they have to be based on the regulations which have stipulated in Law No.10/2004 on the Drafting of Legal Provisions, starting from the planning, preparing, organizing, formulating, ratifying, enacting, and up to disseminating. By the enactment of the law, the drafting of legal provisions is becoming uniformed, both from their substances and from their embodying system. The enactment of the legal provisions is also mutatis mutandis imposed on Perda (Regional Regulations) as they are stipulated in Law No.32/2004 on Regional Government. In the process of the drafting the Provincial Regulations, the regulations of the districts and towns potentially bring out the adversity so that they will also potentially cause conflicts between the substance of the Perda and the higher legal provisions and between one region and another one. This condition will cause the contradiction in their application and in interpreting the substances of the Perda.

The method of the research was legal normative. The main data of the research were secondary data. They were collected by using library research and field research and analyzed quantitatively. The existence of Perda in the regional autonomy is very important because it constitutes the logical consequence of the regional authority to regulate and to take care of its domestic affairs. Therefore, it is a condition sine quanon in order to implement the authority of regional autonomy. Basically, Perda is a legal frame on the formulation of public policy in the regional level. Substantially, it regulates the whole government affairs which are in line with the demand of law which gives the autonomy to districts and towns as broad as possible. The substance of Perda of districts and towns is much broader than that of the provinces although all of them are autonomous. However, the authority of a province as an autonomous area is more limited than that of a district and of a town. The authority of each area which has regional regulations needs to be understood well because it can cause the conflict of authority, especially between provinces and districts and towns.

It is recommended that each area should attempt to create the integrity and the oneness of the nation and give legal certainty to each member of society, enact operational, applicative, detailed, and comprehensive regulations, including institutional authority, valid mechanism and procedures in the process of evaluation and revocation of Perda. It is also recommended that each area should improve the substantial legal materials in order to strengthen the function of supervision of regional legal products.


(4)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim.

Pada saat yang berbahagia ini izinkanlah penulis memanjatkan segala puji dan syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Evaluasi Peraturan

Daerah di Lingkungan Provinsi Sumatera Utara Ditinjau Berdasarkan Undang-Undang No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan)”.

Demikian juga shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.

Dalam melaksanakan penulisan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah penulis dalam melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu penulis anggap sebagai suatu ujian dariMu, sehingga harus penulis hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa mengharap ridho dan pertolonganMu, karena penulis yakin bahwa Engkau tidak akan membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan kemampuannya.

Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini penulis menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis muliakan, yaitu:

1. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr.M.Solly Lubis, SH selaku ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam memperluas wawasan penulis.


(5)

2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

3. Yang terpelajar Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH. Mhum selaku pembimbing III yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam penulisan Tesis ini.

4. Yang terpelajar Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH. MS selaku penguji dari kolokium hingga meja hijau yang telah banyak memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.

5. Yang Terpelajar Dr. Hasim Purba, SH. MHum selaku penguji dari mulai kolokium hingga meja hijau yang telah banyak memberikan dukungan dan saran dalam penulisan tesis ini.

6. Yang terpelajar Bapak Dr. Marzuki, SH. MHum dan yang terpelajar Bapak Gunadi, SH. MHum yang dengan penuh kasih sayang dan kesabaran telah banyak memberikan bimbingan, petunjuk dan pengetahuan yang sangat bermanfaat dan menambah cakrawala pengetahuan penulis.

7. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

8. Seseorang yang terdekat dihati penulis, Drg.Ofni Fitriani Tarigan yang dengan ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada penulis, serta senantiasa menemani penulis baik dalam suka maupun duka, penulis mengucapkan terimakasih yang tiada tara, semoga Ofni senantiasa berada dalam lindungan ALLAH SWT.


(6)

9. Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (Bapak Asmanuddin,Dani Sintara, Irwansyah, Yusrizal, Maurice, M.Topik, Ian Oktavianus, Ezriani,) dan yang lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.

Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan sebagai amal saleh dan dibalas dengan pahala yang berlipat ganda oleh ALLAH SWT, Amin.

Dalam kesempatan ini juga penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada saudara-saudara kandung penulis, yakni: Imran Siregar, Elvi Susi Yanti Siregar, Putri Handayani Siregar,kakak ipar Lita, dan keponakan Angga Apriliansyah Siregar.

Akhirnya penulis sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan tulus penulis untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran yang telah diberikan orang tua penulis tercinta, yakni Ayahanda H.Ruslan

Siregar dan Ibunda Hj.Saripah Harahap, kalian telah menjadi pemicu dan

motivator bagi anakmu untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

Akhirnya, penulis berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.

Terimakasih.

Medan, 19 Januari 2012 Penulis,


(7)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

NAMA : MARDONA SIREGAR

TTL : SIMARDONA 14 SEPTEMBER 1986

ALAMAT : JL.RAJA INAL SIREGAR, BATUNADUA,

PADANGSIDIMPUAN

NIM : 097 005 015

RIWAYAT PENDIDIKAN

a. Sekola Dasar (SD) Negeri 142421 Padangsidimpuan tamat, Tahun 1999 b. Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 2 Padangsidimpuan tamat,

Tahun 2002

c. Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 3 Padangsidimpuan tamat, Tahun 2005


(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR SKEMA ... x

DAFTAR SINGKATAN ... xi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 18

C. Tujuan Penelitian ... 18

D. Manfaat Penelitian ... 19

E. Keaslian Penelitian ... 19

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 20

1. Kerangka Teori ... 20

2. Konsepsi ... 41

G. Metode Penelitian ... 43

1. Jenis Penelitian ... 43

2. Sumber Data ... 44

3. Teknik Pengumpulan Data ... 45

4. Analisis Data ... 46

BAB II KEWENANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MEMBENTUK PERATURAN DAERAH ... 47

A. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Membentuk Peraturan Daerah ... 47

1. Peraturan Daerah Dalam Perspektif Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah ... 47

2. Pembentukan Peraturan Daerah Dalam Perspektif Demokrasi ... 56

3. Peraturan Daerah Sebagai Produk Legislasi Daerah ... 61

B. Alasan-Alasan Mengapa Pemerintah Pusat Melakukan Pembatalan Terhadap Peraturan Daerah ... 70

BAB III PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TENTANG PENGAWASAN TERHADAP PERATURAN DAERAH ... 77

A. Peraturan Perundang-undangan Yang Mengatur Tentang Peraturan Daerah ... 77


(9)

B. Landasan, Asas-Asas dan Proses Pembentukan Peraturan Daerah

Sebagai Produk Peraturan Perundang-Undangan ... 99

1. Landasan Pembentukan Perda ... 99

2. Asas-Asas Pembentukan Perda ... 103

C. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ... 110

1. Konsep Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah ... 110

2. Pengawasan Terhadap Peraturan Daerah Menurut Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah .. 122

BAB IV AKIBAT HUKUM EVALUASI PERATURAN DAERAH YANG DILAKUKAN OLEH PEMERINTAH ... 135

A. Evaluasi Materi Muatan Peraturan Daerah ... 135

B. Akibat Hukum Evaluasi Peraturan Daerah Yang Dilakukan Oleh Pemerintah ... 145

C. Evaluasi Peraturan Daerah Pada Propinsi Sumatera Utara ... 154

1. Provinsi Sumatera Utara ... 158

2. Kabupaten Asahan ... 159

3. Kabupaten Labuhan Batu ... 164

4. Kabupaten Toba Samosir ... 168

5. Kota Binjai ... 171

D. Analisis Terhadap Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota Di Provinsi Sumatera Utara ... 175

1. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Perizinan Usaha Pertanian dan Peternakan ... 175

2. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Pengesahan Akta Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar Koperasi ... 179

3. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Izin Operasi dan Izin Trayek Angkutan Jalan ... 184

4. Peraturan Daerah Tentang Retribusi Izin Menggali Kerangka dan Memakamkannya Kembali ... 186

5. Peraturan Daerah Tentang Ketentuan Izin dan Retribusi Pengelolaan Dan Pengusahaan Sarang Burung Walet ... 191

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 194

A. Kesimpulan ... 194

B. Saran ... 195


(10)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

Pembatalan Perda di Daerah Provinsi Sumatera Utara

Tahun 2007-2009 ... 154 Tabel 2 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

Pembatalan Perda di Daerah Kabupaten Asahan ... 159 Tabel 3 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

Pembatalan Perda di Daerah Kabupaten Labuhan Batu ... 165 Tabel 4 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang

Pembatalan Perda di Daerah Kabupaten Toba Samosir ... 168 Tabel 5 : Daftar Keputusan Menteri Dalam Negeri Tentang


(11)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 1 : Evaluasi Peraturan Daerah ... 39


(12)

DAFTAR SINGKATAN

APBD : Anggaran Pendapatan Belanja Daerah DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

MA : Mahkamah Agung

MENDAGRI : Menteri Dalam Negeri MENKEU : Menteri Keuangan

MPR : Majelis Permusyawaratan Rakyat PP : Peraturan Pemerintah

PERDA : Peraturan Daerah PERPRES : Peraturan Presiden

PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang PROLEGDA : Program Legislasi Daeah

PROLEGNAS : Program Legislasi Nasional RAPERDA : Rancangan Peraturan Daerah RUTR : Rancangan Umum Tata Ruang

SE : Surat Edaran

UU : Undang-Undang


(13)

ABSTRAK

Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundang-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-perundang-undangan harus senantiasa beradasarkan pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni sejak dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dengan terbitnya undang-undang tersebut terasa bahwa pembentukan peraturan semakin seragam baik dari sisi substansi maupun sistematika penuangannya. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut mutatis mutandis berlaku juga pada pembentukan Perda, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam proses pembentukan Perda Provinsi, Perda

Kabupaten/Kota, sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan dengan demikian berpotensi pula timbulnya pertentangan di antara isi materi Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan antara satu daerah dengan daerah yang lain, yang selanjutnya berpotensi timbulnya berbagai pertentangan dalam penerapan dan dalam memberikan penafsiran terhadap isi materi Perda.

Metode penelitian dilakukan dengan metode penelitian hukum normatif. Data pokok dalam penelitian adalah data sekunder. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan. Analisis data terhadap data sekunder dilakukan dengan analisis kualitatif.Keberadaan Perda dalam otonomi daerah sangat penting artinya, sebab Perda merupakan konsekuensi logis dari wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Dengan demikian, Perda merupakan conditio sine quanon dalam rangka melaksanakan kewenangan otonomi daerah tersebut. Perda pada dasarnya merupakan salah satu bingkai hukum atas rumusan kebijakan publik di tingkat daerah. Secara substansial Perda mengatur urusan pemerintahan yang sangat luas, sejalan dengan kehendak udang-undang yang memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah kabupaten dan daerah kota. Substansi Perda Kabupaten dan Kota jauh lebih luas, tetapi tidak demikian halnya pada Perda Provinsi, meskipun sama-sama merupakan daerah otonom. Namun, kewenangan Provinsi sebagai daerah otonom lebih terbatas dibandingkan dengan kewenangan kabupaten dan kota yang juga sebagai daerah otonom. Kewenangan masing-masing daerah pada bentuk hukum seperti Perda, perlu dipahami dengan baik dan hati-hati, sebab berpotensi menimbulkan konflik kewenangan, khususnya antara provinsi dengan kabupaten dan kota

Disarankan adanya upaya setiap Pemerintah Daerah untuk menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat, disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah, dan disarankan untuk pembenahan substansial materi muatan perundang-undangan untuk memperkuat fungsi pengawasan produk hukum di daerah.


(14)

ABSTRACT

In order to guarantee of the certainty of drafting legal provisions, they have to be based on the regulations which have stipulated in Law No.10/2004 on the Drafting of Legal Provisions, starting from the planning, preparing, organizing, formulating, ratifying, enacting, and up to disseminating. By the enactment of the law, the drafting of legal provisions is becoming uniformed, both from their substances and from their embodying system. The enactment of the legal provisions is also mutatis mutandis imposed on Perda (Regional Regulations) as they are stipulated in Law No.32/2004 on Regional Government. In the process of the drafting the Provincial Regulations, the regulations of the districts and towns potentially bring out the adversity so that they will also potentially cause conflicts between the substance of the Perda and the higher legal provisions and between one region and another one. This condition will cause the contradiction in their application and in interpreting the substances of the Perda.

The method of the research was legal normative. The main data of the research were secondary data. They were collected by using library research and field research and analyzed quantitatively. The existence of Perda in the regional autonomy is very important because it constitutes the logical consequence of the regional authority to regulate and to take care of its domestic affairs. Therefore, it is a condition sine quanon in order to implement the authority of regional autonomy. Basically, Perda is a legal frame on the formulation of public policy in the regional level. Substantially, it regulates the whole government affairs which are in line with the demand of law which gives the autonomy to districts and towns as broad as possible. The substance of Perda of districts and towns is much broader than that of the provinces although all of them are autonomous. However, the authority of a province as an autonomous area is more limited than that of a district and of a town. The authority of each area which has regional regulations needs to be understood well because it can cause the conflict of authority, especially between provinces and districts and towns.

It is recommended that each area should attempt to create the integrity and the oneness of the nation and give legal certainty to each member of society, enact operational, applicative, detailed, and comprehensive regulations, including institutional authority, valid mechanism and procedures in the process of evaluation and revocation of Perda. It is also recommended that each area should improve the substantial legal materials in order to strengthen the function of supervision of regional legal products.


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Peraturan Daerah (selanjutnya disingkat Perda) bagi Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota di Indonesia, menjadi instrumen yuridis operasional untuk menyelenggarakan pemerintahan daerah. Dalam konteks otonomi daerah, Perda merupakan instrumen pengendali terhadap pelaksanaan otonomi daerah, hal ini disebabkan karena esensi otonomi daerah itu adalah kemandirian atau keleluasaan (zelfstandingheid), dan bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintah yang merdeka (onafhankelijkheid), kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri. Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah yang bersangkutan berhak membuat produk hukum berupa peraturan perundang-undangan yang antara lain diberi nama Perda.1

Berdasarkan Pasal 18 Ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen, dinyatakan bahwa: Pemerintahan Daerah berhak menetapkan Perda dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dari isi pasal tersebut nampak bahwa atribusi kewenangan pembentukan Perda diberikan oleh UUD 1945 kepada Pemerintahan Daerah, yang dalam hal ini menurut Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dinyatakan bahwa: Perda adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

1


(16)

(DPRD) dengan persetujuan bersama Kepala Daerah. Sedangkan dalam Pasal 136 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapatkan persetujuan bersama DPRD. Persetujuan itu sendiri sesungguhnya mengandung kewenangan yang menentukan (dececive), artinya tanpa persetujuan DPRD maka tidak akan pernah ada Perda.

Ketentuan itu tidak berarti bahwa kewenangan membuat Perda ada pada Kepala Daerah, dan DPRD hanya bertugas memberikan persetujuan. DPRD mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda yang dibahas dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal 42 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam Penjelasan Pasal 42 Ayat (1) huruf a dinyatakan, yang dimaksud dengan “membentuk dalam ketentuan ini adalah termasuk pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.2

Seperti halnya Peraturan Perundang-undangan yang lain, Perda terikat pada norma-norma hukum, baik dari sisi paradigma, substansi, maupun prosedur

Adapun yang dimaksud dengan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, sedangkan DPRD adalah DPRD Provinsi dan/atau DPRD Kabupaten/Kota. Pengertian bersama-sama antara DPRD dengan Kepala Daerah dalam membuat Perda adalah berkait dengan prakarsanya, yaitu prakarsa dalam membuat Perda dapat berasal dari DPRD maupun dari Pemerintah Daerah.

2

Penelitian ini dilakukan pada saat belum diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga dalam penelitian ini Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sebagai peraturan perundang-undangan yang relevan untuk membahas permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini.


(17)

pembuatannya, ikatan norma-norma tersebut menentukan karakteristik dan keberlakuan Perda yang bersangkutan. Oleh karena itu validitas dan legitimasi Perda harus benar-benar diperhatikan.

Dalam upaya menjamin kepastian pembentukan peraturan perundang-undangan maka dalam setiap pembentukan peraturan perundang-perundang-undangan harus senantiasa beradasarkan pada ketentuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yakni sejak dari perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan penyebarluasan. Dengan terbitnya undang-undang tersebut terasa bahwa pembentukan peraturan semakin seragam baik dari sisi substansi maupun sistematika penuangannya. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tersebut mutatis mutandis berlaku juga pada pembentukan Perda, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Perda adalah peraturan terendah dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Konsekuensi adanya hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dalam praktek ketatanegaraan, secara teoritis semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Secara praktis pengakuan terhadap hirarki peraturan perundang-undangan secara berjenjang dapat menimbulkan problema, jika dikaitkan dengan Perda dalam kondisi tidak terdapat penyimpangan substansi terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tetapi ternyata melanggar hak konstitusional (constitutional rights violation) warga negara. Secara filosofis problema ini membawa implikasi pemahaman sebagai pengecualian dari


(18)

ketentuan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, melahirkan kewenangan constitutional

review Perda terhadap konstitusi UUD 1945 secara langsung.

Selanjutnya implementasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945, akan sangat berpotensi timbulnya kemungkinan berkembangnya pluralisme hukum.3 Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pemerintahan

daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diperlukan antisipatif pemikiran harmonisasi hukum terhadap berbagai kemungkinan timbulnya keanekaragaman dalam sistem materi muatan Perda.4

Dalam proses pembentukan Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan dengan demikian berpotensi pula timbulnya pertentangan di antara isi materi Perda dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan antara satu daerah dengan daerah yang lain, yang selanjutnya berpotensi timbulnya berbagai pertentangan dalam penerapan dan dalam memberikan penafsiran terhadap isi materi Perda.

3

Pemahaman pluralisme hukum dibedakan antara pluralisme sistem hukum dan pluralisme norma hukum, karena di Indonesia terdapat pluralisme baik pluralisme sistem hukum maupun pluralisme norma hukum. Pluralisme sistem hukum karena berlaku sistem hukum Barat, sistem hukum Adat, sistem hukum Agama. Pluralisme norma hukum misalnya ada perbedaan hukum yang berlaku untuk Jawa dan Madura, dan hukum yang berlaku untuk luar Jawa dan Madura. Pluralisme norma hukum dapat terjadi dalam satu sistem hukum karena kebutuhan tertentu, dan sepenuhnya digantungkan pada kebutuhan hukum masyarakat. Artinya, norma hukum dapat berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan kelompok masyarakat yang lainnya, tergantung kepada keadaan dan kebutuhan masyarakat yang bersangkutan. Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 252-253, Mochtar Kusumaatmadja Pendidik & Negarawan,

Kumpulan Karya Tulis, (Bandung: Alumni, 1999), hlm. 252-253.

4

Istilah ‘materi muatan’ peraturan perundang-undangan diperkenalkan oleh A. Hamid S. Attamimi, 1979, Majalah Hukum dan Pembangunan, No.3, hlm. 282-292. A. Hamid S. Attamimi, A. Hamid Attamimi S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, (Jakarta, Disertasi, Pascasarjana Universitas


(19)

Perda adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 Angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Perda mendapatkan landasan konstitusional dalam konstitusi untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945). Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 menentukan materi muatan Perda adalah seluruh materi muatan dalam rangka: a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b) menampung kondisi khusus daerah; serta c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dari sisi materi muatan, Perda adalah peraturan yang paling banyak dibebani materi muatan yang bercorak lokal. Sebagai peraturan terendah dalam hirarki peraturan perundang-undangan,5 Perda secara teoritis memiliki tingkat fleksibilitas

yang tidak boleh menyimpang dari bidang-bidang peraturan perundang-undangan nasional. Dalam pendekatan ‘stufenbau theory’ dari Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebut kemudian dalam ilmu hukum disebut asas “lex superior derogat legi

inferiori”.6

5

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, diurutkan tingkatan peraturan perundangan-undangan mulai dari, UUD, Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah. Selanjutnya Perda terdiri atas: Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa atau nama lainnya.

Semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945.

6

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, (New York: Russel & Russel, 1961), hlm. 155-162.


(20)

Di sisi lain, Perda dapat dianggap sebagai peraturan yang mengagregasi nilai-nilai masyarakat di daerah. Perda dapat berisi materi muatan nila-nilai-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itu banyak Perda yang isi materi muatannya mengatur tentang pemerintahan daerah yang bercorak lokal. Di samping itu, Perda juga menjadi instrumen pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Perda tentang pajak daerah atau Perda tentang retribusi daerah.

Selanjutnya era otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk membuat Perda. Tidak sedikit Perda diterbitkan oleh pemerintah daerah, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dalam peraturan perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski hirarki Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat di antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya

excecutive review dan judicial review terhadap Perda menjadi pertanyaan tersendiri di

era otonomi daerah mengingat Perda adalah produk Kepala Daerah dengan persetujuan bersama DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.

Terkait dengan banyaknya Perda yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah, sebagai sistem instrumen hukum negara telah ditentukan mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Perda yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga melalui


(21)

dua model kewenangan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive

review oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam menjalankan kekuasaan kehakiman sebagai kewenangan atributif yang ditentukan dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945; Pasal 1 Angka 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman; Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung; Pasal 31A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung; dan Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materiil. Dalam ketentuan aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang melakukan Pengujian terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.

Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut kemudian dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan oleh lembaga kehakiman. Selain Mahkamah Agung, kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan juga dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang kemudian dikenal dengan istilah constitutional review berwenang menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Apabila dikaitkan dengan jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun


(22)

2004, maka Mahkamah Agung memiliki kewenangan menguji: 1) Peraturan Pemerintah, 2) Peraturan Presiden, dan 3) Peraturan Daerah.

Kewenangan Mahkamah Agung melakukan pengujian terhadap tiga jenis peraturan di atas dimuat dalam beberapa peraturan perundang-undangan. Mulai dari dasar konstitusional dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945,7 kemudian Pasal 11 Ayat

(2) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman,8

selanjutnya Pasal 31 Ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung,9

Kemudian model pengujian Perda yang kedua dilakukan oleh pemerintah yang dilaksanakan oleh Kementerian Dalam Negeri. Pengujian Perda oleh pemerintah atau yang dalam kajian pengujian peraturan (toetzingrecht) dikenal dengan istilah menentukan standar ukuran suatu peraturan di bawah undang-undang dapat dibatalkan, atas alasan: 1) karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (aspek materiil); atau 2) pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku (aspek formil).

7

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, ”Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”.

8

Pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-undang No.4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa “Mahkamah Agung mempunyai kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang”.

9

Ditegaskan dalam Pasal 31 Undang-undang No.5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, bahwa: (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang. (2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.


(23)

executive review, lahir dari kewenangan pengawasan pemerintah pusat terhadap

penyelenggaraan otonomi pemerintahan daerah.10

Dalam rangka pengawasan terhadap daerah, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juncto Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, memberikan ketentuan bahwa Perda yang ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan.11

10

Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie S., Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan UUD

1945, (Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press), 2007), hlm.76-77.

Terkait dengan pembatalan Perda, Pasal 136 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menentukan bahwa “Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”. Kemudian Pasal 145 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, menyebutkan “Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”. Dalam Pasal 145 Ayat (3) ditentukan “Keputusan pembatalan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)”. Selanjutnya dalam Pasal 145 Ayat (4) ditentukan “Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (3) dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh

11


(24)

peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung”.

Berbeda dengan judicial review Perda yang dilakukan lembaga kehakiman Mahkamah Agung, executive review Perda dalam bentuk pengawasan oleh pemerintah dilakukan Kementerian Dalam Negeri. Pengujian Perda sebagai kewenangan pemerintah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintah daerah. Dalam proses evaluasi Perda oleh pemerintah pusat dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri.

Tindak lanjut pembatalan Perda menurut Pasal 145 Ayat (3) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, harus dibuat Peraturan Presiden yang menyatakan pembatalan Perda paling lama 60 (enam puluh) hari sejak diterimanya Perda oleh pemerintah pusat dari pemerintah daerah. Kemudian, menurut ketentuan Pasal 145 ayat (4) paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut, kepala daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.

Perda merupakan aturan hukum yang banyak dilakukan pengujian terutama oleh pemerintah, karena setiap Perda yang diterbitkan pada tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi harus melalui pengujian oleh pemerintah. Adanya kewenangan pemerintah untuk menguji Perda hendaknya tidak akan menjadi jalan untuk mewujudkan superioritas kekuasaan pemerintah pusat atas pemerintah daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Perda. Tidak sedikit Perda dan isi materinya yang beragam, serta mekanisme terpusat pengujian Perda oleh pemerintah dan Mahkamah Agung yang dipandang tidak efektif, efisien dan transparan, maka


(25)

perlu pengkajian untuk membentuk mekanisme yang dapat menstimulasi pembangunan daerah dan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat di daerah.12

Kemudian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah13 lebih menekankan kepada bentuk pengawasan represif dan kewajiban untuk

memberitahu. Sedangkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 juga menganut pengawasan represif dan kewajiban untuk memberitahu. Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pengawasan terhadap Perda hanya ditekankan pada pengawasan represif saja. Ini berbeda dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, dimana pada Undang-Undang tersebut pengawasan terhadap Perda dikenal dua macam, yaitu pengawasan preventif dan represif.14

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 memuat perubahan dengan menyebutkan adanya urusan wajib dan urusan pilihan, bahkan dalam penjelasannya

Perubahan ini menimbulkan permasalahan baru, seperti berubahnya bentuk perwujudan pengawasan Pemerintah Pusat terhadap Perda.

12

Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), Menuju

Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, (Jakarta: Kementerian

Perencanaan Pembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID), 2005), hlm. 120.

13

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 108, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4548) kemudian diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844)

14

Pengawasan preventif mengandung prinsip bahwa Perda dan Keputusan Kepala Daerah mengenai pokok tertentu baru berlaku sesudah ada pengesahan pejabat yang berwenang, yaitu Menteri Dalam Negeri bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat I, dan Gubernur Kepala Daerah bagi Perda dan Keputusan Kepala Daerah Tingkat II (Pasal 70 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974). Sedangkan pengawasan represif dilakukan terhadap semua Perda dan Keputusan Kepala Daerah. Pengawasan ini berwujud penangguhan atau pembatalan Perda dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatnya. Penangguhan atau pembatalan itu dilakukan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 71).


(26)

dikenal juga istilah urusan yang sifatnya concurrent. Pengelompokan urusan-urusan ini dimaksudkan sebagai upaya perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Konsekuensinya dari hal tersebut daerah dituntut untuk menjalankan urusan rumah tangganya tanpa harus menunggu penyerahan urusan pemerintahan dari Pemerintah Pusat. Semua urusan pemerintah menjadi urusan Pemerintah Daerah kecuali urusan yang secara tegas disebut sebagai kewenangan Pemerintah Pusat atau dengan kata lain disebut otonomi luas.15

Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 42 Ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, salah satu tugas dan wewenang dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) adalah membentuk Perda yang dibahas dengan Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan bersama. Ketentuan tentang Perda terdapat didalam Bab VI Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa : Pasal 136 Ayat (1) : “Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah

mendapat persetujuan bersama DPRD”.

Ayat (2) : “Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah/provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan”.

Ayat (3) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah”.

Ayat (4) : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi”.

15

Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, (Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002), hlm. 37.


(27)

Menurut Pasal 42 Ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, tugas dan wewenang DPRD yang lainnya adalah melaksanakan pengawasan terhadap segala tindakan pemerintah daerah, seperti dalam hal :

1. Pelaksanaan Perda dan Peraturan Perundang-undangan lainnya. 2. Pelaksanaan Keputusan Kepala Daerah.

3. Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam melaksananakan Program Pembangunan Daerah.

5. Pelaksanaan Kerjasama Internasional di daerah.

Sementara itu bila dilihat di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dalam hal pengawasan pemerintah terhadap Perda dan Peraturan Kepala Daerah ada pengembangannya. Di sini dapat dilihat ada 2 (dua) cara pemerintah melakukan pengawasan yakni16

1. Pengawasan terhadap Rancangan Perda (Ranperda), yaitu terhadap Rancangan Perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dahulu di evaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Ranperda Provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Ranperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hak tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal.

:

2. Pengawasan terhadap semua Perda diluar yang termasuk dalam angka 1 (satu), yaitu setiap Perda wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Pengawasan represif yang dianut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 ini dapat dilihat dalam pembentukan Perda yang telah ditetapkan dan disetujui oleh

16


(28)

DPRD dapat langsung diberlakukan tanpa menunggu pengesahan dari Pemerintah Pusat dahulu, tetapi untuk menjaga agar daerah tidak melakukan tindakan yang bertentangan dengan koridor Negara Kesatuan, maka dibuatlah ketentuan yang menyatakan bahwa Perda yang telah disahkan (dan telah berlaku) harus diberitahukan kepada Pemerintah Pusat. Hal ini terdapat dalam ketentuan Pasal 145 Ayat (1), yang menyatakan :“Peraturan Daerah disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan”. Selanjutnya di dalam Ayat (2) disebutkan bahwa : “Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”.

Selanjutnya Provinsi Sumatera Utara yang terdiri dari beberapa kabupaten/kota sebagai daerah otonom telah melaksanakan seluruh kewenangan-kewenangan yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk salah satunya dalam menetapkan Perda. Dalam menetapkan Perda tersebut semestinya baik Pemerintahan Provinsi Sumatera Utara maupun Pemerintahan Kabupaten/Kota harus memperhatikan batasan-batasan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, yaitu Perda tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, Perda lainnya dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Batasan-batasan ini harus diperhatikan oleh setiap Pemerintahan Daerah dalam setiap membuat Perda, agar Perda tidak dibatalkan oleh Pemerintah yang mempunyai wewenang untuk itu.

Data Kementerian Keuangan per tanggal 29 Maret 2010 mencatat, dari 1.024 Perda yang disampaikan untuk dievaluasi, sebanyak 472 di antaranya yang berasal


(29)

dari Provinsi Sumatera Utara sudah dibatalkan. Pembatalan dilakukan karena Perda tentang pajak daerah dan retribusi yang dibuat 26 daerah dari 33 yang ada, dinilai berpeluang menghambat investasi masuk. Rincian 26 daerah yang membuat Perda bermasalah itu, Asahan yang mengajukan 60 Perda, dibatalkan 31, Dairi menyampaikan 17 dibatalkan 12, Labuhanbatu menyampaikan 65, dibatalkan 45 dan satu direvisi, Nias menyampaikan 3, dibatalkan 2, dan Tapsel menyampaikan 38, dibatalkan 24. Kemudian Toba Samosir menyampaikan 38, dibatalkan 24, Medan menyampaikan 31, dibatalkan 17, Sibolga menyampaikan 32, dibatalkan 17, Pakpak Bharat menyampaikan 27, dibatalkan 19, Humbang Hasundutan menyampaikan 18, dibatalkan 17, Samosir menyampaikan 31, dibatalkan 20, dan Padang Lawas menyampaikan satu, dibatalkan satu.17

Kemudian Deli Serdang menyampaikan 76, dibatalkan 29 dan 2 direvisi, Mandailing Natal menyampaikan 20, dibatalkan 8, Simalungun menyampaikan 59, dibatalkan 26, Tapteng menyampaikan 5, dibatalkan 2, dan Taput menyampaikan 22, dibatalkan 3. Berikutnya Binjai menyampaikan 76, dibatalkan 30, Pematang Siantar menyampaikan 57, dibatalkan 22, Tanjung Balai menyampaikan 58, dibatalkan 22, Tebing Tinggi menyampaikan 43, dibatalkan 6, Padang Sidimpuan menyampaikan 49, dibatalkan 15, Serdang Bedagai menyampaikan 66, dibatalkan 27 dan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang mengajukan 33 perda, harus dibatalkan 7.18

Adapun Perda Pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri diantaranya adalah Perda Nomor 4 Thn 2003 Tentang

17

Juni 2011, pada pukul 10.00 WIB.

18


(30)

Retribusi Pelayanan Jasa Pengujian & Sertifikasi Mutu Barang, yang dibatalkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 174 Tahun 2004, Perda Nomor 7 Tahun 2002 Tentang Retribusi Penyelenggaraan Angkutan Barang, dibatalkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 99 Tahun 2005, Perda Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Holtikultura, dibatalkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007, serta Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Retribusi Tempat Pendaratan Kapal.

Perda Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura yang dibatalkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 dimana alasan pembatalan Perda itu oleh Pemerintah Pusat Cq Menteri Dalam Negeri karena Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 itu bertentangan dengan : 1) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah; 2) Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom; 3) Peraturan Pemerintah Nomor 266 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah, karena pemberian surat tanda daftar impor merupakan kewenangan pusat.

Selanjutnya di dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tersebut, disebutkan juga agar Gubernur Provinsi Sumatera Utara menghentikan pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura paling lambat 7 (tujuh) hari setelah keputusan tersebut ditetapkan.


(31)

Bertitik tolak dari uraian-uraian dan berdasarkan permasalahan-permasalahan di atas, penulis merasa tertarik untuk membahas dan menelitinya dengan mengambil judul Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah, sebagai berikut :

1. Mengapa banyak Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat?

2. Apa pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda? 3. Apakah akibat hukum dari evaluasi Perda yang dilakukan oleh Pemerintah?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang menjadi fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui alasan-alasan pembatalan Perda oleh Pemerintah Pusat.

2. Untuk mengetahui pengaturan perundang-undangan tentang pengawasan terhadap Perda.

3. Untuk mengetahui akibat hukum dari evaluasi Perda yang dilakukan oleh Pemerintah?


(32)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu :

1. Secara teoritis hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi peneliti selanjutnya dalam meneliti dan mengkaji Hukum Tata Negara khususnya yang berhubungan dengan Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara).

2. Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan bagi praktisi hukum untuk mengetahui Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan juga menjadi pembelajaran mengenai pembentukan Peraturan Daerah (Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara).

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi, pemeriksaan dan penelusuran yang telah dilakukan terhadap hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di perpustakaan pascasarjana Universitas Sumatera Utara, maka belum ada penelitian yang sama dengan apa yang menjadi bidang dan ruang lingkup penelitian ini, yaitu “Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara”. Oleh karena itu penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa


(33)

memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi bagi peneliti atau akademisi.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori yang dipergunakan sebagai pisau analisis dalam penelitian tesis ini dan dapat dijadikan acuan dalam membahas Evaluasi Peraturan Daerah Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Studi Pada Pemerintah Provinsi Sumatera Utara) adalah dengan menggunakan pendekatan teori “negara berdasar atas hukum” (Rechtsstaat) sebagai

grand theory yang didukung oleh midle theory “Trias Politica”(Organ/Institusi

Pemerintahan) untuk memperkuat teori utama, serta konsep pembaharuan hukum dan prinsip-prinsip pembuatan perundang-undangan yang baik dan demokratis sebagai

applied theory-nya.

Konsep tentang negara hukum, untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Plato dan kemudian dikembangkan dan dipertegas kembali oleh Aristoteles. Pada buku Plato, berjudul, Politea, dikemukakan betapa penguasa di masa itu, masa Plato hidup (429 SM - 346 SM) penguasa sangatlah tirani, haus dan gila akan kekuasaan serta sewenang-wenang dan sama sekali tidak memperdulikan nasib rakyatnya. Dalam uraiannya di buku tersebut, Plato dengan gamblang menyampaikan pesan moral, agar penguasa berbuat adil, menjunjung tinggi nilai Kesusilaan dan kebijaksanaan dan senantiasa memperhatikan kepentingan/nasib rakyatnya.


(34)

Demikian pula halnya dalam bukunya yang berjudul Politicos, Plato memaparkan suatu konsep agar suatu negara dikelola dan dijalankan atas dasar hukum (rule of the game), demi warga negara yang bersangkutan. Sedangkan buku ketiga dari Plato yang berjudul Nomoi, lebih menekankan pada para penyelenggara negara agar senantiasa diatur dan dibatasi kewenangannya dengan hukum agar tidak bertindak sekehendak hatinya.

Kemudian muncullah Aristoteles dengan karya bukunya, Politica. Di dalam buku tersebut Aristoteles mengemukakan gagasannya, bahwa suatu negara yang baik adalah negara yang diperintah/dikelola atas dasar suatu konstitusi sehingga di dalam negara tersebut hukumlah yang berdaulat.19

Menurut Satjipto Rahardjo,

Dalam perkembangannya kemudian mulai abad ke-19, dikenal konsep negara hukum yakni suatu konsep negara yang kemudian diidentifikasi sebagai konsep negara hukum Eropa Kontinental (rechtstaaat) dan konsep negara hukum Anglo Saxon (rule of law).

20

19

Arief Muladi, Landasan dan Prinsip Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, (Jakarta: Pustaka, 2005), hlm. 23.

bahwa di dunia ini tidak dijumpai satu sistem hukum saja, melainkan terdapat lebih dari satu bentuk sistem hukum. Dalam kaitan itulah dikenal sistem hukum Eropa Kontinental (sistem hukum RomawiJerman, civil

law system) dan sistem hukum Inggris (common law). Selanjutnya sebagai akibat

negara kita, Indonesia pernah menjadi koloni Belanda, maka dengan serta merta pula sistem hukum yang berlaku di Indonesia adalah sistem hukum yang sama berlaku di negara Belanda yang kebetulan berada di Benua Eropa yang dikenal dengan sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law System.

20


(35)

Di dalam kaitan dengan konsep negara hukum tersebut, Freidrich Julius Stahl,21 menegaskan, bahwa unsur-unsur negara hukum Eropa Kontinental

(rechtstaat) yaitu22

a. Adanya perlindungan hak-hak asasi manusia; :

b. Adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu; c. Adanya pemerintahan berdasarkan perundang-undangan, dan;

d. Adanya peradilan administrasi23

Selanjutnya unsur-unsur yang harus terdapat dalam Rule of Law dalam perselisihan.

24

adalah pertama, supremasi hukum (supremacy of law); kedua, persamaan di depan hukum

(equality before the law); ketiga, konstitusi yang berdasarkan atas hak-hak asasi

manusia (constitution based on human rights).25

Syarat-syarat dasar bagi pemerintahan demokratis di bawah konsep Rule of

Law adalah pertama, perlindungan konstitusional; kedua, kekuasaan kehakiman yang

21

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Ind-Hill Co, 1989), hlm. 30.

22

Gagasan mengenai Rechtsstaat ini berkembang dalam suasana liberalisme dan kapitalisme yang sedang tumbuh pesat di Eropa pada sekitar abad ke-18 yang dipelopori oleh Immanuel Kant yang mengidealkan paham laissez faire laissez aller dan gagasan negara jaga malam (nachwachtersstaat). Dalam gagasan ini setiap warga negara dibiarkan menyelenggarakan sendiri usaha-usaha kemakmurannya. Negara tidak perlu ikut campur dalam urusan-urusan yang dapat ditangani sendiri oleh masyarakat. Negara cukup berfungsi sebagai penjaga pada malam hari yang melindungi seluruh rakyat agar tetap merasa aman dan hidup tenteram. Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum

Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 90. Tentang

wawasan-wawasan yang terkandung di dalam Rechtsstaat, lihat A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan

Presiden Republik Indonesia Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”,

Disertasi Doktor (S3), (Jakarta: Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm. 139.

23

Lihat misalnya dalam Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, (Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973), hlm. 22. Pada titik ini, biasanya negara hukum dikaitkan dengan paham konstitusionalisme yang mengidealkan hukum sebagai alat yang membatasi kekuasaan dan pertanggungjawaban politik pemerintah kepada yang diperintah. C.H. McIlwain, Constitutionalism:

Ancient and Modern, (Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974), hlm. 146.

24

Menurut Richard H. Fallon, Jr., sebenarnya tidak ada pengertian yang pasti tentang Rule of

Law ini. Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997, hlm. 1-2.

25

A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hlm. 223-224.


(36)

bebas dan tidak memihak;26 ketiga, pemilihan umum yang bebas; keempat,

kebebasan menyatakan pendapat; kelima, kebebasan berserikat dan beroposisi; dan keenam, pendidikan kewarganegaraan.27

Selanjutnya John Locke (1632-1704) memperkenalkan teori pemisahan kekuasaan.

Sekali lagi ingin ditekankan di sini bahwa kekuasaan kehakiman yang bebas menjadi pilar yang sangat penting baik dalam Negara Hukum tradisi Rechtsstaat maupun dalam tradisi Rule of Law. Dengan kata lain, keberadaan kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak menjadi syarat yang penting bagi kedua tradisi negara hukum tersebut.

28

Menurutnya, kemungkinan munculnya negara dengan konfigurasi politik totaliter29

26

Menurut A.W. Bradley, pengadilan mempunyai peran penting dalam tradisi Rule of Law, karena penafsiran-penafsirannya terhadap peraturan perundang-undangan akan sangat menentukan bagi keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu negara. A.W. Bradley, “The Sovereignty of Parliament-Form or Substance?”, dalam Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing

Constitution, 4th edition, (Oxford: Oxford University Press, 2000), hlm. 34.

bisa dihindari dengan adanya pembatasan kekuasaan negara. Kekuasaan negara harus dibatasi dengan cara mencegah sentralisasi kekuasaan ke

27

South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965, The

Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurist,

1965), hlm. 39-45.

28

Sir Ivor Jennings membedakan pemisahan kekuasaan (separation of power) dalam arti material dan formal. Pemisahan kekuasaan dalam arti material ialah pemisahan kekuasaan dalam arti pembagian kekuasaan itu dipertahankan dengan tegas dalam fungsi tugas-tugas kenegaraan yang secara karakteristik memperlihatkan adanya pemisahan kekuasaan itu pada tiga badan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sedangkan yang dimaksud dengan pemisahan kekuasaan dalam arti formal ialah apabila pembagian kekuasaan itu tidak dipertahankan dengan tegas. Sir Ivor Jennings, The Law

and the Constitution, 4th edition, (London: The English Language Book Society, 1976), hlm. 22.

Robert M. McIver mengatakan bahwa pemisahan kekuasaan dalam arti material disebut dengan pemisahan kekuasaan (separation of powers), sedangkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal disebut dengan pembagian kekuasaan (division of powers). Robert M. McIver, The Modern State, (Oxford: Oxford University Press, 1950), hlm. 364.

29

Dalam konsep negara modern, totaliter ini merupakan kebalikan dari demokrasi. Sidney Hook, “Democracy” [Demokrasi: Sebuah Tinjauam Umum], dalam Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo,

eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia, (Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia FounDaerah Tingkaton,

1989), hlm. 33; Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 88.


(37)

dalam satu tangan atau lembaga. Hal ini, menurut Locke, dilakukan dengan cara memisahkan kekuasaan politik ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif

(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative power).30

Kekuasaan legislatif adalah lembaga yang membuat undang-undang dan peraturan-peraturan hukum fundamental lainnya. Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan yang melaksanakan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum yang dibuat oleh kekuasaan legislatif. Sedangkan kekuasaan federatif adalah kekuasaan yang berkaitan dengan masalah hubungan luar negeri, kekuasaan menentukan perang, perdamaian, liga dan aliansi antarnegara, dan transaksi-transaksi dengan negara asing. Ketiga cabang kekuasaan tersebut harus terpisah satu sama lain baik yang berkenaan dengan tugas maupun fungsinya dan mengenai alat perlengkapan yang menyelenggarakannya.31 Dengan demikian, tiga kekuasaan tersebut tidak boleh

diserahkan kepada orang atau badan yang sama untuk mencegah konsentrasi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.32

30

John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, (London: Everyman, 1993), hlm. 188.

Dengan adanya kekuasaan yang telah terbatasi, pemegang kekuasaan tidak bisa dengan mudah melakukan

31

Ibid.

32

Abad ke-20 merupakan awal terjadinya kecenderungan semakin leluasanya kekuasaan eksekutif. Penyebabnya adalah (1) gelombang dekolonisasi dan terbentuknya negara-negara baru dengan tahap-tahap konsolidasi awal yang memerlukan pemusatan kekuatan di tangan pemerintah; (2) munculnya era perang dingin yang membelah dunia ke dalam dua blok Barat dan Timur yang diikuti persaingan perebutan pengaruh antar blok; (3) timbulnya fenomena perang antarnegara yang memacu peningkatan anggaran militer diberbagai negara; (4) semakin kompleksnya lingkup tugas-tugas pemerintahan seiring dengan perkembangan jaman; dan (5) munculnya ketidakpuasan umum terhadap praktek multi partai yang dianggap sebagai biang keladi instabilitas internal di berbagai negara. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah: Telaah Perbandingan

Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm. 106-116; Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan dan Realitas Masa Depan”, Pidato

Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998, hlm. 10.


(38)

penyalahgunaan kekuasaannya, karena ada mekanisme kontrol yang harus dilaluinya. Pembatasan tersebut juga dimaksudkan agar hak-hak asasi warga negara akan lebih terjamin.33

Konsep ini kemudian dikembangkan oleh Montesquieu yang membagi kekuasaan ke dalam tiga bentuk, yakni kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.34 Dalam hal ini, kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh

Montesquieu karena pada titik inilah letak kemerdekaan individu dan hak-hak asasi manusia dijamin. Montesquieu sangat menekankan kebebasan kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi warga negara yang pada masa itu menjadi korban despotis raja-raja.35

Uraian di atas memperlihatkan bahwa Montesquieu menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemedekaan kekuasaan yudikatif. Argumentasi yang dapat dikemukakan pemikiran ini adalah bahwa dengan adanya kekuasaan yudikatif yang merdeka, hak-hak warga negara dapat terlindungi secara maksimal dari korban despotis kekuasaan. Menurut C.F. Strong, kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat perlengkapan negara.36

33

Lihat C.F. Strong, Modern Political Constitution, (London: Sidwick & Jackson, 1973), hlm. 245-247.

34

Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, tidak ada saling campur tangan di antara ketiga cabang kekuasaan tersebut. Oleh karena itu, dalam ajaran Trias Politika terdapat suasana checks and

balances. Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I,

(Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 19.

35

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang (The Spirit

of the Laws), (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm. 44-55. Kenyataan bahwa Montesquieu sebagai seorang

yang berprofesi hakim ikut mempengaruhi cara berpikirnya yang sangat mementingkan kekuasaan yudikatif. Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, (Jakarta: Aksara Baru, 1985), hlm.2.

36


(39)

Dalam doktrin Trias Politika, baik dalam pengertian pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan badan eksekutif.37 Hal

ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi manusia. Melalui asas kebebasan kekuasaan yudikatif diharapkan keputusan yang tidak memihak dan semata-mata berpedoman pada norma-norma hukum dan keadilan serta hati nurani hakim dapat diwujudkan.38

Ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh melampau batas kewenangan masing-masing yang telah diberikan oleh konstitusi. Dalam kerangka inilah, diperlukan adanya ajaran mengenai checks and balances system (sistem pengawasan dan keseimbangan) di antara lembaga-lembaga negara yang mengandaikan adanya kesetaraan dan saling mengawasi satu sama lain, sehingga tidak ada lembaga yang lebih powerful dari yang lain.

Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan untuk menangani dan menyelesaiakan konflik dalam segala derivasinya yang terjadi dalam kehidupan sebuah negara.

39

Dalam perspektif yang lain Sunaryati Hartono mengatakan bahwa makna pembangunan hukum itu meliputi empat usaha yaitu: (1) Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik) (2) Mengubah agar menjadi lebih baik dan

37

Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi

Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

1994), hlm. 227.

38

Budiardjo, Op. Cit.

39


(40)

modern (3) Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada (4) Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan atau tidak cocok dengan sistem baru.40

Selanjutnya Hans Kelsen dalam membicarakan Determination of the

law-Creating Function yang menyatakan bahwa norma yang lebih tinggi dapat

menentukan badan dan prosedur norma yang lebih rendah dan muatan dari norma yang lebih rendah. Teori ini dikenal dengan istilah Stufentheorie dimana menurutnya suatu norma itu selalu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu tata susunan, sehingga suatu norma yang lebih rendah selalu bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yang disebut dengan norma dasar (grundnorm).41

Indonesia sebagai negara hukum yang menganut ajaran negara berkonstitusi seperti negara-negara modern lainnya, memiliki konstitusi tertulis yang disebut Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 ini ditempatkan sebagai

fundamental law sehingga menjadi hukum dasar atau sumber pembuatan

hukum-hukum yang lainnya dan sebagai higher law Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hukum tertinggi dalam tata urutan Perundang-undangan Republik Indonesia.42

40

C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, (Bandung: Alumni, 1994) hlm. 12.

41

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, (New York: Russel and Russel, 1961), hlm. 112-113.

42

Bagir Manan, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, (Bandung: Alumni, 1993), hlm. 41-42.


(41)

Sejarah memperlihatkan bahwa tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sejak keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1950 tentang Bentuk dan Jenis peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Pusat yang terdiri dari :

1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 2. Peraturan Pemerintah;

3. Peraturan Menteri.43

Setelah undang-undang tersebut pernah berlaku Surat Presiden Nomor 2262/HK/5944 tentang Bentuk Peraturan-Peraturan Negara, kemudian Ketetapan

MPRS/XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia.45 TAP MPRS ini baru disempurnakan pada Tahun 2000 dengan

dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dan yang terakhir adalah dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.46

43

Dalam undang-undang ini sama sekali tidak diatur tentang peraturan perundang-undangan tingkat daerah, mungkin dikarenakan pada waktu itu Republik Indonesia hanya merupakan negara bagian dari Republik Indonesia Serikat (RIS).

44

Surat ini menyatakan bahwa bentuk-bentuk peraturan negara selain yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga Penetapan Presiden, Peraturan Presiden, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri. Lihat dalam Haposan Siallagan,

Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, (Medan: Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007), hlm.

280.

45

Menurut TAP MPRS ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah; 5. Keputusan Presiden; 6. Peraturan Pelaksana lainnya seperti Peraturan Menteri, Instruksi Menteri, dll.

46

Menurut TAP MPR ini jenis peraturan perundang-undangan beserta tata urutannya adalah sebagai berikut : 1. UUD RI 1945; 2. Ketetapan MPR; 3. Undang-Undang; 4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; dan 7. Peraturan Daerah.


(42)

Adapun tata urutan peraturan perundang-undangan menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut :

1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Penggati Undang-Undang; 3. Peraturan Pemerintah;

4. Peraturan Presiden;

5. Peraturan Daerah yang terdiri dari Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dan Peraturan Desa.

Intinya dari semua hukum positif yang berlaku menempatkan UUD sebagai hukum dasar dan hukum tertinggi. Hal ini membawa konsekuensi teori penjenjangan norma dari Hans Kelsen menjadi berlaku. Berarti tidak boleh ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD.

Menurut Hans Kelsen hirarki norma hukum terdiri atas47

1. Norma Dasar (Fundamental Norms/Grundnorm/Basic Norm) :

2. Norma Umum (General Norms) 3. Norma Konkret (Concrete Norms)

Fundamental Norms terdapat dalam konstitusi, General Norm terdapat dalam

undang-undang dan Concrete Norms terdapat dalam putusan pengadilan (vonnis) serta keputusan-keputusan pejabat administrasi negara.48

47

Hans Kelsen, Op.Cit.

Hans Kelsen mengemukakan norma itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu susunan hierarki, norma yang dibawah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang

48


(43)

lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai akhirnya ‘regressus’ ini berhenti pada suatu norma yang tertinggi yang disebut dengan norma dasar (Grundnorm) yang tidak dapat lagi ditelusuri siapa pembentuknya atau darimana asalnya. Norma dasar ini merupakan yang tertinggi yang berlakunya tidak bersumber dan tidak berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, tetapi berlakunya secara ‘presupposed’, yaitu ditetapkan lebih dahulu oleh masyarakat.49

Menurut Hans Nawiasky, norma tertinggi yang oleh Hans Kelsen disebut sebagai norma dasar (Grundnorm) dalam suatu negara sebaiknya tidak disebut sebagai staatsgrundnorm melainkan Staatsfundamentalnorm, atau norma

fundamental negara. Grundnorm pada dasarnya tidak berubah-ubah, sedangkan norma tertinggi berubah misalnya dengan cara kudeta atau revolusi.50

Berdasarkan teori Hans Nawiasky tersebut, A. Hamid S. Attamimi memban-dingkannya dengan teori Hans Kelsen dan menerapkannya pada struktur tata hukum di Indonesia. Attamimi menunjukkan struktur hierarki tata hukum Indonesia dengan menggunakan teori Hans Nawiasky. Berdasarkan teori tersebut, struktur tata hukum Indonesia adalah51

1. Staatsfundamentalnorm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945).

:

49

Ibid.

50

Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, (Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948), hlm. 31.

51

Tata urutan yang dipakai oleh Attamimi adalah berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan tersebut diganti dengan Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan. Pada Tahun 2003 telah ditetapkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Lihat A. Hamid A. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara; Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I–Pelita IV, Disertasi Ilmu Hukum Fakultas Pascasarjana


(44)

2. Staatsgrundgesetz: Batang Tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi

Ketatanegaraan.

3. Formell gesetz: Undang-Undang.

4. Verordnung en Autonome Satzung: Secara hierarkis mulai dari Peraturan

Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamental-norm pertama kali disampaikan oleh Notonagoro.52 Pancasila dilihat sebagai cita hukum (rechtsidee)

merupakan bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum positif adalah untuk mencapai ide-ide dalam Pancasila, serta dapat digunakan untuk menguji hukum positif. Dengan ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai Pancasila.53

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan tujuh asas Undang-undang yaitu

54

1. Undang-undang tidak berlaku surut :

2. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula

3. Undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-undang yang bersifat umum (Lex specialis derogat lex generalis)

4. Undang-undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-undang yang berlaku terdahulu (Lex posteriori derogat lex priori)

5. Undang-undang tidak dapat diganggu gugat

6. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spiritual materiil bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welvaarstaat) 7. Undang-undang yang di bawah tidak bertentangan dengan

undang-undang yang di atasnya (Lex superiore derogat lex infiriore)

52

Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental

Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Bina Aksara,

1988), hlm. 27.

53

Attamimi, Op Cit., hlm. 309.

54

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat Sebagai

Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 47. Lihat juga B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah Akademik, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya


(1)

agar tercipta kesatuan dan persatuan bangsa dan memberikan kepastian hukum bagi setiap warga masyarakat.

2. Karena masih adanya persepsi yang keliru tentang mekanisme pembatalan Peraturan Daerah, maka disarankan untuk membentuk peraturan yang bersifat operasional dan aplikatif yang merinci secara komprehensif, termasuk kewenangan kelembagaan, tentang mekanisme atau prosedural yang sah dalam proses evaluasi dan pembatalan Peraturan Daerah. Sehingga ke depan dapat dihindarkan adanya kesalahan prosedural dan pemerintah memiliki pedoman yang jalan tentang mekanisme tersebut.

3. Dalam menerapkan pengawasan produk hukum daerah yang bersifat represif, meskipun terdapat kaidah hukum lex spesialis de rogat lex generalis maupun lex

posterior de rogat lex priori, namun apabila mengatur hal yang sama seharusnya

Undang-Undang yang ada haruslah harmonis dan tidak saling tumpang tindih. Oleh karena masih adanya benturan peraturan perundang-undangan sehingga menjadi kendala dalam pengimplementasiannya di lapangan, maka perlu adanya pembenahan substansial materi muatan perundang-undangan untuk memperkuat fungsi pengawasan produk hukum daerah.


(2)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

A.V. Dicey, An Introduction to Study of the Law of the Constitution, 10th edition, (London: English Language Book Society and MacMillan, 1971), hlm. 223-224.

Amiroeddin Syarief dalam Rojidi Ranggawijaya, Pengantar Ilmu

Perundang-undangan Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1998.

Arief Muladi, Landasan dan Prinsip Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, Jakarta: Pustaka, 2005.

B. Hestu Cipto Handoyo, Prinsip-Prinsip Legal Drafting dan Desain Naskah

Akademik, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2008.

Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1999.

___________, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Hukum UII, 2002.

___________, Beberapa Masalah Hukum Tata Negara Indonesia, Bandung: Alumni, 1993.

___________, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan

Tingkat Daerah, \Bandung: LPPM Unisba, 1995.

C.H. McIlwain, Constitutionalism: Ancient and Modern, Ithaca, New York: Cornell University Press, 1974.

C.F. Strong, Modern Political Constitution, London: Sidwick & Jackson, 1973. C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20,

Bandung: Alumni, 1994.

Dahlan Thaib, Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Edisi II, Cet. I, Yogyakarta: Liberty, 1993.

Faried Ali, Hukum Tata Pemerintahan dan Proses Legislatif Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1996.


(3)

Gwendolen M. Carter dan John H. Herz, “Demokrasi dan Totaliterisme: Dua Ujung dalam Spektrum Politik”, dalam Miriam Budiardjo, Masalah Kenegaraan, Cet. III, (Jakarta: Gramedia, 1980), hlm. 88.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, translated by Andreas Wedberg, New York: Russel and Russel, 1961.

Hans Nawiasky, Allegemeine Rechstlehre als System der rechtlichen Grundbegriffe, Einsiedeln/Zurich/Koln: Benziger, 1948.

Henry P. Panggabean, Fungsi Mahkamah Agung Dalam Praktik Sehari-hari (Upaya

Penanggulangan Tunggakan Perkara dan Pemberdayaan Fungsi Pengawasan Mahkamah Agung), Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan,

2001.

Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, Cet. IV, Jakarta: Aksara Baru, 1985. Jeffrey Jowell dan Dawn Oliver, eds., The Changing Constitution, 4th edition, Oxford:

Oxford University Press, 2000.

Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum Nasional di Abad Globalisasi, Cetakan I, Jakarta: Balai Pustaka, 1998.

John Locke, Two Treatises of Government, New Edition, London: Everyman, 1993. Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah:

Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, Jakarta: UI-Press,

1996.

Koentjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997.

M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-undangan, Bandung: Alumni, 1983. ____________, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju, 1994.

_____________, Ilmu Pengetahuan Perundang-undangan, Bandung: Mandar Maju, 2009. _____________, Kebijakan Publik, Bandung: Mandar Madju, 2007.


(4)

Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi

Pancasila: Kumpulan Karangan Prof. Miriam Budiardjo, Jakarta: PT

Gramedia Pustaka Utama, 1994.

Mochtar Kusumaatmadja, Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis, Bandung: Alumni, 1999.

Montesquieu, Membatasi Kekuasaan: Telaah Mengenai Jiwa Undang-Undang (The

Spirit of the Laws), Jakarta: Gramedia, 1993.

Muhammad Mahfud MD, Politik Hukum, LP3ES, 2001, 2001.

Ni’matul Huda, Otonomi Daerah, Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Notonagoro, Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (Pokok Kaidah Fundamental

Negara Indonesia) dalam Pancasila Dasar Falsafah Negara, Cetakan

Ketujuh, Jakarta: Bina Aksara, 1988.

Padmo Wahjono, Pembangunan Hukum di Indonesia, Jakarta: Ind-Hill Co, 1989.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Ikhtisar Antinomi Aliran Filsafat

Sebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: Rajawali, 1984.

Robert M. McIver, The Modern State, Oxford: Oxford University Press, 1950.

Robert Mohl, Two Concepts of the Rule of Law, Indianapolis: Liberty Fund Inc., 1973.

Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia Dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: PSH Tata Negara FH UI, 2005.

Sir Ivor Jennings, The Law and the Constitution, 4th edition, London: The English Language Book Society, 1976.

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994.

Suko Wiyono dan Kusnu Goesniadhie S., Kekuasaan Kehakiman Pasca Perubahan

UUD 1945, Malang: Penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press),


(5)

Sunoto, Analisis Kebijakan Dalam Pembangunan Berkelanjutan, Bahan Pelatihan

Analisis Kebijakan Bagi Pengelola Lingkungan, Jakarta: Kementerian Negara

Lingkungan Hidup, 1997.

B. Makalah, Majalah, Jurnal, Disertasi, Karya Ilmiah, dll

A. Hamid S. Attamimi, “Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia Dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara: Suatu Studi Mengenai Analisis Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan dalam Kurun Waktu Pelita I-Pelita IV”, Disertasi Doktor (S3), Jakarta: Fakultas Pascasarjana

Universitas Indonesia, 1990.

Denny J.A., Jonminofri, Rahardjo, eds., Menegakkan Demokrasi: Pandangan

Sejumlah Tokoh dan Kaum Muda Mengenai Demokrasi di Indonesia,

Jakarta: Kelompok Studi Indonesia bekerja sama dengan The Asia Found Daerah Tingkaton, 1989.

Haposan Siallagan, Penerapan Asas-Asas Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan Yang Baik Dalam Pembuatan Peraturan Daerah, Medan:

Disertasi Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, 2007.

Jimly Asshiddiqie, “Undang-Undang Dasar 1945: Konstitusi Negara Kesejahteraan

dan Realitas Masa Depan”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap

Madya Pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, diucapkan pada tanggal 13 Juni 1998.

M. Solly Lubis, Proses Pembuatan Peraturan Perundang-undangan, Makalah disampaikan pada seminar tentang “Partisipasi Publik Dalam Proses Legislasi Sebagai Pelaksanaan Hak Politik”, dilaksanakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan HAM RI dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Sumatera Utara di Hotel Garuda Plaza Medan, 2 Mei 2007.

Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), Menuju

Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan

Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID), 2005.

Richard H. Fallon, Jr., “The Rule of Law as a Concept in Constitutional Discourse”, dalam Columbia Law Review, Volume 97, No. 1, 1997.


(6)

South-East Asian and Pacific Conference of Jurist, Bangkok, February 15-19, 1965,

The Dynamic Aspects of the Rule of Law in the Modern Age, Bangkok:

International Commission of Jurist, 1965.

C. Internet

D. Peraturan Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, LN No. 53, TLN No. 4389

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materiil yaitu bahwa Hak Uji Materiil.

Peraturan MK No 06/PMK/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.