KEMANDIRIAN LEMBAGA KEHAKIMAN JAJARAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MEMBUTUHKAN ADANYA

BAB II JAJARAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MEMBUTUHKAN ADANYA

KOMISI YUDIAL

A. KEMANDIRIAN LEMBAGA KEHAKIMAN

Kemandirian suatu institusi semestinya dibangun oleh institusi itu sendiri melalui performance yang benar-benar prima. Kemandirian yang di bentuk dari dalam from withinakan bersifat substansial serta hakiki sehingga pada akhirnya memperoleh pengakuan dari luar. Lebih lagi, pengakuan tersebut akan sekaligus mencerminkan nilai-nilai kewibawaan. Kalaupun suatu institusi secara formal dipaksakan memperolah status independen namun nyatanya masih menerima pengaruh lainnya, maka lembaga itu sama sekali tidak mandiri. Sebaliknya, suatu lembaga yang kinerjanya amat baik, integritas pelaksanaannya tidak diragukan, profesional, objektif, tegas namun adil, jelas akan memperoleh pengakuan tampa perlu menuntut independensi. Sungguh ironis sekali apabila agenda utama reformasi untuk memberantas korupsi justru semakin jauh dari sasaran karena adanya asumsi bahwa independensi institusi merupakan syarat yang tidak bisa ditinggalkan guna mencapai tujuan reformasi tersebut. 35 Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara denokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia barat.Seperti gagasan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani kuno abad ke-6 s.d ke-3 SM yang dapat dirujuk pada negara polis Athena dan pikiran-pikiran Aristoteles, Plato, dan sebagainya.Namun, gagasan demokrasi ini kemudian lenyap dari dunia barat sejak Romawi dikalahkan oleh Eropa Barat dikuasai oleh Nasrani yang membangun pemerintahan oteriter dan menindas kebebasan rakyat.Di barat pada waktu itu dikembangkan pemikiran bahwa kehidupan sosial dan spiritual 35 Antonius Sujata, Reformasi dan Penegakan Hukum, Jakarta: Djambatan, 2000. hlm.144 27 Universitas Sumatera Utara rakyatharus tunduk kepada Paus gereja dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politik harus tunduk kepada Raja.Kegelapan dunia Barat ini kemudian dipecahkan oleh munculnya zaman Renaissance 1350-1600 yang minimbulkan minat pada pemunculan kembali sastra dan budaya yunani kuno.Munculnya Renaissance itu tidak lepas dari peristiwa Perang Salib yang berlangsung tidak kurang dari dua abad 1099-1299. Di dalam perang yang panjang itu akulturasi antara Islam dan Barat terjadi, sebab Islam pada awal-awal perang salib sedang berada di puncak kejayaannya, telah memancing kesadaran bagi orang-orang Barat yang datang ke negara-negara Islam sebagai konsekuensi dari perang yang saling memasuki wilayah itu. Setelah berhubungan dengan orang-orang Islam timbullah gagasan di kalangan orang Barat tentang perlunya kebebasan dan hak-hak rakyat serta penggalakan pengembangan ilmu pengetahuan seperti yang ketika itu berkembang di dunia Islam.Gagasan-gagasan seperti itu cepat menyebar dan dalam waktu yang tidak terlalu lama orang-orang Eropa Barat memasuki abad pemikiran 650-1850 yang menuntut pendobrakan atau pemerdekaan bagi pikiran rakyat dari pembatasan- pembatasan yang ditentukan oleh gereja.Pada gilirannya timbullah gagasan di bidang politik bahwa manusia mempunyai hak yang tidak boleh diselewengkan oleh pemerintah, dan absolutism dalam pemerintahan haruslah didobrak. Rasionalitas yang mendasari perkembangan tersebut adalah perjanjian masyarakat teori social contract yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah itu berkuasa karena ada Universitas Sumatera Utara perjanjian masyarakat yang memberikan kekuasaan dan rakyatakan mematuhinya selama hak-hak rakyat tidak diselewengkan. 36 Kemandirian peradilan, menyangkut dengan sistem kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan pada pasal 24 UUD 1945.Pasal ini menuntut serta meletakkan landasan konstitusional tentang The Independence of The Judiciary. Secara konstitusional Pasal 24 UUD 1945 menuntut dan mengkehendaki kekuasaan kehakiman : 1. Yang benar-benar bersifat imparsial: Bebas dan merdeka dari pengaruh para pihak yang berperkara, serta tidak memihak kepada salah satu pihak sesuai dengan asas memberi kesempatan yang sama kepada setiap pihak audi alteran partem atau must give the same opportunity to each party. Memberi perlakuan samaequal treatment kepada para pihak atau disebut juga equal dealing. 2. Juga harus benar-benar bebas dan merdeka dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau penguasa independence from the executive power Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum. 37 36 Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia, Jakarta: Gramedia,1999 Hlm.270 Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya 37 R.St.J.Macdonal, F.Matcher, and H.Petzold, The European System for the protection of Human Rihgts, The Hague:Kluwer Academic Publishers, 1993, hlm.397. Universitas Sumatera Utara diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya. Sebagaimana telah disebutkan diatas, kekuasaan kehakiman merupakan instrument penting untuk menjamin hak-hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak pada pihak-pihak tertentu, maka dapat dipastikan negara tersebut tidak demokatis. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merujuk pada kemerdekaan dari campur tangan pemegang kekuasaan lain dalam persoalan-persoalan kehakiman. Tujuan membebaskan dan memerdekaan kekuasaan kehakiman badan peradilan dari pengaruh dan gemgaman penguasa eksekutif, agar terjamin pelaksanaan fungi dan kewenangan peradilan yang jujur dan adil dan peradilan mampu berperan mengawasi pengadilan-pengadilan bawahan.Dan pengadilan cenderung untuk menerima putusan-putusasnya terdahulu. Kekuasaan kehakiman yang independen dipahami sebagai tidak adanya pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain di luar kekusaan kehakiman dalam proses peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta yang muncul dalam persidangan dan keterkaitannya dengan hukum yang berlaku. Supremasi hukum erat kaitannya dengan putusan pengadilan yang mandiri, yang berisi keadilan hukum, yang memenuhi kepastian hukum.Untuk itu diperlukan tegaknya pengadilan yang independen, yang merupakan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh ektra judicial.Wajah semuanya itu harus Universitas Sumatera Utara tercermin dari Mahkamah Agung, pengembang utama dan pertama eksistensi supremasi hukum. 38 Pemisahan secara tegas lembaga judikatif harus disertai dengan pemberian kewenangan secara otonom yang berkaitan dengan kemandirian dalam bidang kehakiman seperti fungsi judicial review, supervisi, konsultatif legislatif, dan administrative kepada Mahkamah Agung selaku lembaga pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan. 39 Artinya, akan tidak ada lagi ketegangan- ketegangan yang sering terjadi di antara dua badan dalam bidang dan fungsi kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 10 Declaration of Human Rights mensyaratkan independensi lembaga pengadilan adalah prasyarat terciptanya Rule of Law. Misi utama lembaga yudikatif dalam negara hukum adalah menjaga dan memelihara tegaknya supremasi hukum. 40 Sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuasaan, lembaga yudikatif dimungkinkan untuk melaksanakan pengadilan secara jujur, obyektif, tidak memihak, dan adil.Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lembaga yudikatif merupakan sandaran harapan dan kepercayaan terakhir bagi warga negara untuk memperoleh keadilan.Yudikatif sering disebut sebagai landing of the last resort.Keistimewaaan yudikatif dibanding dengan legislatif dan eksekutif adalah pada substansi sifat produk lembaga.Produk legislatif, yang berupa Undang-Undang dan produk eksekutif, yang 38 Syamsuhadi, “Visi dan Misi Reformasi Hukum dan Keadilan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Jakarta: 2000 39 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 40 Hendarmin Ranadireksa, “Arsitektur Konstitusi Demokratik”, Bandung, 2009, hal 220 Universitas Sumatera Utara berupa kebijakan atau aturan-aturan pemerintah, didasarkan pada “demi kepentingan umum”.Sementara yudikatif mendasarkan putusannya pada “demi keadilan”. Bahkan di Indonesia, pengadilan mendasarkan putusannya dengan kalimat “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Karena sifatnya yang demikian hakim acapkali diidentik-predikat sebagai “kepanjangan tangan Tuhan di dunia”.Dengan predikat seperti itu mengandung makna bahwa, penyalahgunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan elit politik merupakan penyalagunaan atau penghianatan atas kepercayaan rakyat sementara penyalagunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan hakim adalah pengingkaran atas fungsi dan misi sucinya sebagai “perpanjangan Tangan Tuhan” Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak yang harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan adanya tekanan, pengaruh dan campur tangan siapapun. Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan sangat melekat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yag berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar hakim berupa intervensi yang bersifat Universitas Sumatera Utara mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada orang lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yangpada orang lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya. 41 Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan.Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istemewa hakim, melainkan hak yang melekat pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak.Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi 41 Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7, “Desain Konstitusional Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010, hlm. 70. Universitas Sumatera Utara peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif. 42 Dengan demikian, independensi peradilan ini harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis dengannya, yakni akuntabilitas publik. Independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusa penting konferensi Internasional Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa “Independence does not mean that judge is entiled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUD RI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial. 43 Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melaksanakan indepenensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat bertindak “contra legem”. Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, di 42 Ibid 43 Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung”, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 24 Universitas Sumatera Utara mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan kata lain dapat dipahami dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan. 44 Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi “tirani kekuasaan kehakiman”.Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuknya adalah kontrol atau pengawasan melalui media massa. Dengan demikian aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman.Dengan demikian kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi dan pengawasan.Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap implementasi dan profesional dalam bidangnya.Oleh karena itu, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan 44 Paulus E. Lotulung, “ Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum” makalah disampaikan dalam seminar pembangunan Hukum Nasional VII diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Kehakiman dan HAM RI, Dempasar, 14-18 Juli 2003, hlm.7. Universitas Sumatera Utara akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impartialisme. 45 Agus Surajat mengungkapkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus ditopang dengan kebijakan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang pengawasan untuk mewujudkan akuntabilitas kinerja yang tinggi.Reformasi birokrasi harus mewujudkan sistem pengawasan nasional untuk mensinergikan pengawasan internal, eksternal dan masyarakat guna menjamin kualitas dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan.Pengawasan juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk membangun manajemen pemerintahan dan pembangunan yang efektif, efesien, tepat sasaran, guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. 46 Pada awal reformasi dilakukan dengan melakukan perampingan struktur organisasi instansi pengawasan internal. Pada tahun 2005, muncul program reformasi di bidang pengawasan yang lebih dikenal dengan nama “STAR-SDP” State Audit Reform Sector Developmen Project. Proyek ini dibangun dengan landasan adanya suatu ketidakberdayaan di bidang pengawasan yang di sebabkan oleh: Di Indonesia, program birokrasi pengawasan sudah dimulai sejak tahun 1996. 1. Kemampuan sumber daya manusia aparatur pengawasan baik intern maupun ekstern yang kurang memadai. 2. Kedudukan akuntan pemerintah dalam struktur organisasi lembaga internal yang relative masih lemah 3. Institusi pengawasan yang didudukkan pada posisi yang tidak sepenuhnya independen 4. Kurangnya koordinasi dan sinergi antar lembaga pengawasan 5. Pengaturan kelembagaan yang lemah hingga mempengaruhi kinerja lembaga- lembaga audit 6. Lemah dalam pemahaman dan aplikasi standard an praktek audit yang diakui secara internasional. 47 Untuk itu peran STAR-SDP dijabarkan melalui program penguatan kapasitas lembaga audit eksternal dan internal baik berupa pengembangan sistemprosedur operasional kerja, pengembangan sumber daya manusia, termasuk pendidikan maupun penyediaan fasilitas kantor sebagai upaya untuk mendukung operasional 45 Ibid 46 Warta Pengawasan, “Reformasi Pengawasan”, 1 Maret 2010. Hlm.10 47 Ibid Universitas Sumatera Utara kerja yang lebih efektif dan efesien. Implementasi hal tersebut dilakukan melalui beberapa kegiatan pokok, meliputi: 1. Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal, ekternal dan pengawasan masyrakat. 2. Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efesien dan transparan 3. Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif 4. Mengembangkan pengawasan berbasis kinerja 5. Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional 6. Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan sistem imformasi dan perbaikan kualitas informasi hasil pengawasan 7. Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan. 48 Kebebasan dan kemandirian hakim A freedom and independency judiciary harus diwujudkan secara konkrit, walaupun tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Mekanisme check and balances, check and control harus didorong dan diciptakan untuk menghindari adanya power blocks. Pemindahan kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim dalam aspek organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan ke Mahkamah Agung Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1995, tampa diikuti dengan perubahan sistem pengawasan yang baik terhadap pelaksaan kekuasaan kehakiman, terdapat peluang besar bagi penyalahgunaan kewenangan abuse of power oleh Mahkamah Agung. 49 Kendati telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan hal ichwal kekuasaan kehakiman di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen, masih ditemukan beberapa hal lainnya yang dapat mengakibatkan secara terhormat 48 Ibid 49 Abdul Manan, “Kemandirian Lembaga Peradilan dan Supremasi Hukum di Indonesia” majalah hukum USU,Februari 2004.hlm.121 Universitas Sumatera Utara dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi. Publik telah mengetahui bahwa periode orde lama dan orde baru ada masalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman berkenaan dengan intervensi kekuasaan dan kepentingan politik serta eksekutif. Intervensi dimaksud dilakukan melalui: 1. Kedudukan mahkamah ditempatkan sebagai bagian dari instrument kekuasaan politik orde lama untuk menjalankan politik “revolusioner” dari kekuasaan 2. Pada periode orde baru, mahkamah tidak lagi secara eksplisit menjadi bagian dari kepentingan tetapi ada “Kontrol politik” terhadap tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol politik yang dimaksud antara lain meliputi: mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan dan pengangkatan ketua mahkamah, control eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim di lingkungan mahkamah, politik angaran yang disusun dan dirumuskan dengan campur tangan yang cukup intensif dan birokrasi pemerintahan. 3. Pasca orde baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi sepenuhnya dapat didesakkan kepada mahkamah karena adanya rumusan pasal di dalam konstitusi yang cukup tegas yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. 50

B. MAFIA PERADILAN DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM