di tingkat Pengadilan Tingkat I, dan hakim Ad Hoc menjalankan kekuasaan kehakiman pada bidang-bidang tertentu.
94
Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945, bahwa “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.Maka
obyek pengawasan perilaku hakim oleh lembaga eksternal adalah seluruh hakim yang berada di lingkungan peradilan, yaitu hakim di lingkungan peradilan tingkat pertama
dan tingkat banding, hakim di lingkungan peradilan Mahkamah Agung dan hakim di lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi.
Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, terlihat jelas bahwa secara historis, semangat dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 adalah
memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh hakim. Pengawasan eksternal terhadap semua hakim adalah penting
karena tidak setiap tahun hakim dapat dimintai pertanggungjawaban kepada MPR
2.1 Hakim di bawah Mahkamah Agung
Dalam buku cetak biru pembaruan Mahkamah Agung yang dikutip oleh O. C. Kaligis,
95
94
O.C. Kaligis, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”,Jakarta 2006 hlm. 334
telah dikemukakan dengan jelas beberapa hal penting yang berkaitan dengan pengawasan dan pendisiplinan hakim, yaitu bahwa Mahkamah Agung
95
O. C. Kaligis, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”, Jakarta, 2006 hlm. 26
Universitas Sumatera Utara
menganngap bahwa pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa
Mahkamah Agung tidak mampu menegakkan kedisiplinan hakim secara konsisten.Sehingga dalam hal ini, dianggap perlu pengawasan hakim-hakim yang
berada di bawah Mahkamah Agung oleh lembaga di luar lembaga peradilan seperti Komisi Yudisial.Sebagai pengawas tertinggi di semua lingkungan peradilan,
Mahkamah Agung tidak berhasil melakukan pengawasan tersebut. 2.2
Hakim Agung Berdasarkan pembahasan dalam rumusan masalah yang pertama, maka dapat
disimpulkan bahwa sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman, sebagai puncak perjuangan masyarakat memperoleh keadilan, sebagai pengendali tertinggi segala
urusan pengadilan di bawahnya, serta maraknya judicial corruption yang terjadi di Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya kemerosotan kepercayaan
masyarakat terhadap lembaga ini, maka pengawasan eksternal terhadap Mahkamah Agung dianggap penting.
Selain alasan tersebut, hakim di bawah Mahkamah Agung telah diawasi oleh Mahkamah Agung, sehingga sebagai puncak pengadilan Mahkamah Agung harus
dikontrol oleh lembaga di luar lingkungan peradilan agar terjaga independensi dan akuntabilitasnya.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Hakim Konstitusi
Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi yang mempunyai kewenangan strategis dalam sistem ketatanegaraan,
mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran
partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilu yang putusannya bersifat final dan mengikat tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap putusan
Mahkamah Konstitusi. Dengan kewenangan yang demikian, maka pengawasan terpadu terhadap Mahkamah Konstitusi diangap perlu untuk mengimbangi dan
manjaga agar Mahkamah Konstitusi tetap menjalankan fungsinya secara bertanggungjawab.Menjadi penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk memberikan
pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu.
Selain itu, kondisi Mahkamah Konstitusi yang akhir-akhir ini mengeluarkan putusan pengujian undang-undang yang kontroversial dan dianggap sering memutus
diluar yang dimohon oleh para pemohon. Akan ada kekhawatiran Mahkamah Konstitusi menjadi penafsir tunggal Undang-undang Dasar yang tak tersentuh,
sehingga perlu ada lembaga yang mengimbangi dan mengontrol tugas Mahkamah Konstitusi. Jika perilaku Hakim Konstitusi dibiarkan tanpa adanya mekanisme
pengawasan eksternal, hal ini akan menimbulkan kekhawatiran terjadinya kekacauan konstitusional. Oleh karena pentingnya pengawasan Hakim Konstitusi, maka dalam
Universitas Sumatera Utara
proses revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 nantinya agar Hakim Konstitusi dikembalikan lagi menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial.
Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka menjadi penting pengawasan secara eksternal terhadap semua hakim di lingkungan peradilan tingkat
pertama dan tingkat banding, hakim di Mahkamah Agung dan hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjaga serta mengimbangi kekuasaan
kehakiman agar terwujud kekuasaan kehakiman yang independen, bersifat imparsial, transparan serta akuntabel.
2.4 Aspek Pengawasan
2.4.1 Pengawasan Teknis Yudisial dan Teklnis Administratif
Ada dua aspek kekuasaan kehakiman yang merdeka.Pertama, merdeka diartikan sebagai kemerdekaan dalam penyelenggaraan fungsi yustisial yaitu
memeriksa, memutus suatu perkara atau menetapkan suatu permohonan yustisial.Kedua, kemerdekaan badan peradilan yaitu peradilan diberi wewenang
mengelola sendiri administrasi, kepegawaian, keuangan.
96
96
Bagir Manan,“Teori dan Politik Konstitusi”, Yogyakarta: FH UII Press, 2003 hlm, 95
Dengan demikian, untuk menjaga independensi kekuasaan kehakiman, maka pengawasan teknis yudisial dan
teknis administratif menjadi kewenangan internal lembaga peradilan.Dalam rangka menjamin kebebasan hakim dalam memutus perkara, maka tidak ada seorangpun
yang berhak mengganggu gugat putusan seorang hakim termasuk ketua Mahkamah Agung.
Universitas Sumatera Utara
Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dan berdasarkan Pasal 11 ayat 4 Undang-
undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung mempunyai wewenang pengawasan terhadap pengadilan yang berada di bawahnya.
Pasal 32 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk mengawasi
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Pengawasan teknis yudisial ini adalah berkaitan dengan
pelaksanaan tugas seorang hakim untuk memeriksa, memutus, dan mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan.Dengan demikian, kewenangan pengawasan
teknis yudisial menjadi milik Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi.Demikian pula Mahkamah Konstitusi yang merupakan puncak kekuasaan
kehakiman selain Mahkamah Agung, sebagai pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri, maka kewenangan pengawasan teknis yudisial Mahkamah Konstitusi menjadi
wewenang internal Mahkamah Konstitusi. Dalam hal pengawasan Teknis Administrasi, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai puncak
kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk mengelola sendiri urusan administrasi, finansial maupun kepegawaian sebagai bentuk independensi kekuasaan
kehakiman dari cabang kekuasan eksekutif.
Universitas Sumatera Utara
2.4.2 Pengawasan Etika Hakim
Secara konstitusional, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang menjaga
dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim tetap ada.Sehingga, lembaga inilah yang berwenang untuk melakukan pengawasan
eksternal hakim-hakim di semua lingkungan peradilan.Diperlukan lembaga pengawasan hakim yang bersifat mandiri ini terlepas dari semua cabang kekuasaan
eksekutif, legislatif dan yudikatif.Lembaga ini sebagai tempat masyarakat mengadukan segala perilaku hakim.
Menurut Gani Abdullah dalam cuplikan dialog sidang uji materiil Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dikutip oleh O.C Kaligis,
97
97
O.C Kaligis Associates, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”, Jakarta, 2006: 126
Undang- undang memaparkan mengenai bentuk pengawasan hakim yang dilakukan oleh
Komisi Yudisial. Menurutnya, pada waktu pembahasan Undang-undang Komisi Yudisial, pembentuk undang-undang menginginkan pengawasan terhadap hakim-
hakim di bawah Mahkamah Agung secara teknis yudisial menjadi urusan Mahkamah Agung. Tetapi harkat dan martabat perilaku hakim akan berkaitan dengan putusan
yang dikeluarkan oleh hakim. Sebab, dapat diduga dalam putusan tersebut terdapat unsur-unsur yang merendahkan harkat dan martabatnya.Dalam menjaga kemerdekaan
kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial tidak berwenang untuk memeriksa putusan dalam hal ini belum diputuskan oleh hakim atau dalam proses konsep
Universitas Sumatera Utara
putusan.Komisi Yudisial berwenang memeriksa terhadap putusan hakim yang sudah dijatuhkan di depan sidang terbuka, karena dalam putusan terbuka untuk umum
siapapun berhak untuk memeriksa putusan itu. Yang menjadi persoalan pada waktu Komisi Yudisial melaksanakan
kewenangan pengawasannya sebelum putusan Mahkamah Konstitusi adalah mengenai putusan hakim.Dalam hal ini hakim yang menjadi subjek terlapornya
karena hakim diduga melanggar prinsip pedoman perilaku hakim, imparsialitas dan profesionalitas.Prinsip tersebut adalah prinsip yang melekat pada diri seorang hakim,
jika prinsip tersebut dilanggar maka menjadi kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa seorang hakim. Prinsip tersebut terkait dengan putusan yang dikeluarkan
oleh hakim Oleh karena itu, untuk memastikan adanya unsur pelanggaran atau unsur judicial corruption, putusan hakim dapat digunakan sebagai pintu masuk entry
point untuk memeriksa dan mengawasi hakim karena disini hakim dapat membuktikan kejujuran, moralitas, imparsialitas dan integritas serta
profesionalitasnya. Dalam aspek ini, independensi dapat tetap terjaga dan ada tidaknya unsur judicial corruption tetap dapat dikontrol.Terkait dengan kewenangan
pengawasan perilaku hakim tidak melanggar prinsip independensi dan imparsialitas. Hakim tetap dapat memutus dengan mandiri mengingat harus ada proses di Majelis
Kehormatan terlebih dahulu karena tidak mungkin hakim diberhentikan tanpa alasan yang sah.
Universitas Sumatera Utara
Di dalam melaksanakan wewenang pengawasan perilaku hakim, diperlukan suatu pedoman perilaku hakim .Namun demikian, selama Undang-undang Komisi
Yudisial berlaku, tidak ada penjabaran kewenangan pengawasan dan batasan perilaku hakim code of conduct, serta ketidakjelasan kewenang untuk membentuk code of
conduct hakim tersebut.Hal inilah yang menjadi salah satu latarbelakang Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial.
Komisi Yudisial secara konstitusional masih memiliki kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim. Berdasarkan pertimbangan bahwa Komisi Yudisial bukan
pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan hanya sebagai supporting organ lembaga negara penunjang, maka Komisi Yudisial tidak berwenang melakukan pengawasan
teknis yudisial dan teknis administratif atau dengan kata lain Komisi Yudisial tidak berwenang untuk melakukan fungsi checks and balances, melainkan hanya penegak
kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dalam kewenangan yang demikian, Komisi Yudisial sebaiknya diberikan kewenangan untuk menyusun kode
etik hakim code of conduct, agar pedoman itu lebih obyektif karena dibuat bersama lembaga di luar lembaga peradilan.Kewenangan pembuatan kode etik hakim tersebut
dapat dibuat bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.Yang terpenting adalah prosedur pengawasan perilaku hakim
tersebut harus jelas, tepat dan adil sehingga tidak menimbulkan potensi mengganggu kemandirian hakim dan lembaga peradilan.
Universitas Sumatera Utara
Jimly Asshiddiqie, memaparkan bahwa Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus
perkara yang dihadapinya. Disamping itu, independensi juga tercermin dalam sikap para hakim dalam berbagai peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sitem penggajian, dan pemberhentian para hakim.Prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip
ketidakberpihakan the principle of impartiality.Namun, di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip-
prinsip lain yang juga dianggap penting.Misalnya, dalam forum International judicial conference di Bangalore, India, 2001, berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku
hakim sedunia yang kemudian disebut the Bangalor Draft.
98
Dalam The Bangalore principle itu, tercantum adanya enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan
bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip independence, impartiality, propriety, equality,dan competence and diligence.
99
1 Independensi Independence Principle
Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita hukum. Independensi tersebut melekat sangat
dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai
institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya.
2 Ketidak berpihakan Impartiality Principle
Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara
yang diajukan. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, disertai penghayatan yang
98
Jimly Asshiddiqie, “The Bangalore principle “, 2006: 53
99
Jimly Asshiddiqie, “The Bangalore principle “, 2006: 54-55.
Universitas Sumatera Utara
mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam
tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga pada putusan pengadilan dapat benar-benar diterima bagi
semua pihak.
3 Integritas
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan kekutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat
negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai
ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, polularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan
kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniah dan jasmaniah atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan
kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.
4 Kepantasan dan kesopanan
Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kekusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hukum, baik sebagai pribadi
maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan.
5 Kesetaraan
Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan
satu dan yang lain.
6 Kecakapan dan keseksamaan
Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya.Kecakapan tercermin dalam
kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, danatau pengalaman dalam pelaksanaan tugas.Sedangkan keseksamaan
merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional
hakim.
Pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial dibatasi pada pelanggaran kode etik atau kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,
keluhuran martabat serta perilaku hakim, sehingga perlu diuraikan kode etik hakim.Sedangkan pengawasan atas substansi perkara dan teknis peradilan tetap
berada di tangan Mahkamah Agung.Perlu menghilangkan tumpang tindih atau dibuat
Universitas Sumatera Utara
sinkronisasi prosedur-prosedur pengawasan dan penjatuhan sanksi sehingga harus ada kooordinasi antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung serta Mahkamah
Konstitusi. 2.5
Pengawasan Internal dan Eksternal Di Mahkamah Agung terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang
pembentukannya didasarkan pada Pasal 12 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Begitu pula di Mahkamah Konstitusi, Pasal 23 ayat
5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi memiliki Majelis Kehormatan Mahkamah
Konstitusi yang fungsinya berkaitan dengan pemberhentian tidak hormat Hakim Konstitusi”.
Dalam hal hubungan antara pengawasan eksternal dengan pengawas internal perlu ada hubungan kemitraan yang baik.Dalam hal terjadi tindak pidana oleh hakim,
maka diperlukan kerjasama antara Majelis Kehormatan, Komisi Yudisial dengan jaksa penuntut umum ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Diharapkan Majelis
Kehormatan yang mengawasi internal lembaga peradilan tidak hanya berasal dari kalangan hakim, tetapi dari kalangan manapun, yaitu dari akademisi maupun tokoh
masyarakat ahli sehingga pengawasan akan bersifat obyektif. Pasal 32 ayat 1 sampai dengan ayat 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun
1985 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, menggariskan “Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap
Universitas Sumatera Utara
penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman”.
Demikian pula menurut Pasal 11 ayat 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, mengatur bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas
perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-undang.Oleh karena Mahkamah Agung berperan
sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan.Mendasarkan pada kewenangan tersebut, maka Mahkamah Agung dan
Komisi Yudisial dapat menjalin kerjasama untuk melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung.
Dalam hal pemberian sanksi terhadap hakim yang bermasalah, maka diserahkan kepada masing-masing yang berwenang. Jika dalam hal ini yang dilanggar
adalah perbuatan pidana, maka yang menindak adalah jaksa penuntut umum ataupun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika yang dilanggar adalah
kehormatan perilaku hakim, maka pengawasan eksternal juga diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi kepada hakim dan dalam hal terkait dengan teknis yudisial
dan teknis administrasi, maka diserahkan kepada majelis kehormatan. Meskipun kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim
telah dihapus dengan putusanMahkamah Konstitusi, tetapi secara konstitusional Komisi Yudisial tetap memiliki kewenangan sebagai lembaga yang bersifat mandiri
Universitas Sumatera Utara
yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sesuai Pasal 24B
ayat 1 UUD 1945. Komisi Yudisial memang sebaiknya tidak menjatuhkan sanksi kepada hakim berdasarkan penilaian pada putusan saja.Putusan memang dapat
dianalisis hanya untuk entry point guna menilai kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku hakim dalam memutus sebuah perkara.
Dengan kewenangan sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi, maka Komisi Yudisial sebagai lembaga yang independen diharapkan tetap dapat
mendukung lembaga peradilan dengan pengawasan perilaku hakim.Pemberian sanksi oleh hakim yang melanggar kode etik harus diatur sedemikian rupa agar tidak
menimbulkan potensi mengganggu kemerdekaan hakim dan peradilan. Jika tetap menerapkan pola pemberian rekomendasi hasil pengawasan Komisi Yudisial kepada
Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, maka independensi hakim akan tetap terjaga dan tidak melanggar konstitusi. Perlu ada landasan normatif yang kuat
dan mengikat agar kewenangan pengawasan dan pemberian sanksi Komisi Yudisial berkekuatan hukum dan tetap menjamin independensi peradilan.Dengan demikian,
perlu pengaturan lebih lengkap mengenai mekanisme, obyek dan jenis pengawasan hakim yang dilakukan Komisi Yudisial.Hal ini tentunya diperlukan perubahan
Undang-undang Komisi Yudisial oleh DPR dan Presiden agar kewenangan pengawasan dikembalikan kepada Komisi Yudisial dengan lebih jelas dan strategis.
Universitas Sumatera Utara
Dalam rangka menjaga transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan diperlukan partisipasi publik untuk turut mengawasi perilaku hakim.Masyarakat
diberikan hak mengawasi setiap tindakan dan perilaku hakim yang dianggap melanggar kehormatannya.Masyarakat juga diberikan hak untuk melaporkan setiap
dugaan pelanggaran kehormatan seorang hakim.Hal ini adalah upaya untuk mengembalikan kewibawaan lembaga peradilan bagi masyarakat.Secara umum di
negara dunia, sebuah lembaga ex officio seperti komisi Yudisial menjadi bagian dari Mahkamah Agung, tetapi karena kondisi masyarakat bangsa ini yang sudah tidak
percaya kepada sistem pengawasan internal, maka di Indonesia dapat menghadirkan lembaga pengawas non yudisial yang terlepas dari cabang kekuasaan legislatif
maupun eksekutif.
D. Komisi Yudisial di Beberapa Negara dan Konsep Ideal Komisi Yudisial Ke Depan