Hakim di bawah Mahkamah Agung

di tingkat Pengadilan Tingkat I, dan hakim Ad Hoc menjalankan kekuasaan kehakiman pada bidang-bidang tertentu. 94 Sebagaimana dalam Pasal 24 ayat 2 UUD 1945, bahwa “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.Maka obyek pengawasan perilaku hakim oleh lembaga eksternal adalah seluruh hakim yang berada di lingkungan peradilan, yaitu hakim di lingkungan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, hakim di lingkungan peradilan Mahkamah Agung dan hakim di lingkungan peradilan Mahkamah Konstitusi. Mempertimbangkan fakta-fakta di atas, terlihat jelas bahwa secara historis, semangat dan jiwa yang terkandung dalam Pasal 24B ayat 1 UUD 1945 adalah memberi kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk melakukan pengawasan terhadap seluruh hakim. Pengawasan eksternal terhadap semua hakim adalah penting karena tidak setiap tahun hakim dapat dimintai pertanggungjawaban kepada MPR

2.1 Hakim di bawah Mahkamah Agung

Dalam buku cetak biru pembaruan Mahkamah Agung yang dikutip oleh O. C. Kaligis, 95 94 O.C. Kaligis, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”,Jakarta 2006 hlm. 334 telah dikemukakan dengan jelas beberapa hal penting yang berkaitan dengan pengawasan dan pendisiplinan hakim, yaitu bahwa Mahkamah Agung 95 O. C. Kaligis, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”, Jakarta, 2006 hlm. 26 Universitas Sumatera Utara menganngap bahwa pengawasan yang dilakukan Mahkamah Agung tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain itu, Mahkamah Agung juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung tidak mampu menegakkan kedisiplinan hakim secara konsisten.Sehingga dalam hal ini, dianggap perlu pengawasan hakim-hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung oleh lembaga di luar lembaga peradilan seperti Komisi Yudisial.Sebagai pengawas tertinggi di semua lingkungan peradilan, Mahkamah Agung tidak berhasil melakukan pengawasan tersebut. 2.2 Hakim Agung Berdasarkan pembahasan dalam rumusan masalah yang pertama, maka dapat disimpulkan bahwa sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman, sebagai puncak perjuangan masyarakat memperoleh keadilan, sebagai pengendali tertinggi segala urusan pengadilan di bawahnya, serta maraknya judicial corruption yang terjadi di Mahkamah Agung yang mengakibatkan terjadinya kemerosotan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini, maka pengawasan eksternal terhadap Mahkamah Agung dianggap penting. Selain alasan tersebut, hakim di bawah Mahkamah Agung telah diawasi oleh Mahkamah Agung, sehingga sebagai puncak pengadilan Mahkamah Agung harus dikontrol oleh lembaga di luar lingkungan peradilan agar terjaga independensi dan akuntabilitasnya. Universitas Sumatera Utara 2.3 Hakim Konstitusi Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi yang mempunyai kewenangan strategis dalam sistem ketatanegaraan, mempunyai kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-undang Dasar, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, serta memutus perselisihan tentang hasil pemilu yang putusannya bersifat final dan mengikat tidak dapat dilakukan upaya hukum terhadap putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan kewenangan yang demikian, maka pengawasan terpadu terhadap Mahkamah Konstitusi diangap perlu untuk mengimbangi dan manjaga agar Mahkamah Konstitusi tetap menjalankan fungsinya secara bertanggungjawab.Menjadi penting bagi Mahkamah Konstitusi untuk memberikan pengawasan terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang memiliki kewenangan untuk itu. Selain itu, kondisi Mahkamah Konstitusi yang akhir-akhir ini mengeluarkan putusan pengujian undang-undang yang kontroversial dan dianggap sering memutus diluar yang dimohon oleh para pemohon. Akan ada kekhawatiran Mahkamah Konstitusi menjadi penafsir tunggal Undang-undang Dasar yang tak tersentuh, sehingga perlu ada lembaga yang mengimbangi dan mengontrol tugas Mahkamah Konstitusi. Jika perilaku Hakim Konstitusi dibiarkan tanpa adanya mekanisme pengawasan eksternal, hal ini akan menimbulkan kekhawatiran terjadinya kekacauan konstitusional. Oleh karena pentingnya pengawasan Hakim Konstitusi, maka dalam Universitas Sumatera Utara proses revisi Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 nantinya agar Hakim Konstitusi dikembalikan lagi menjadi obyek pengawasan Komisi Yudisial. Berdasarkan beberapa pertimbangan tersebut, maka menjadi penting pengawasan secara eksternal terhadap semua hakim di lingkungan peradilan tingkat pertama dan tingkat banding, hakim di Mahkamah Agung dan hakim di lingkungan Mahkamah Konstitusi dalam rangka menjaga serta mengimbangi kekuasaan kehakiman agar terwujud kekuasaan kehakiman yang independen, bersifat imparsial, transparan serta akuntabel. 2.4 Aspek Pengawasan 2.4.1 Pengawasan Teknis Yudisial dan Teklnis Administratif Ada dua aspek kekuasaan kehakiman yang merdeka.Pertama, merdeka diartikan sebagai kemerdekaan dalam penyelenggaraan fungsi yustisial yaitu memeriksa, memutus suatu perkara atau menetapkan suatu permohonan yustisial.Kedua, kemerdekaan badan peradilan yaitu peradilan diberi wewenang mengelola sendiri administrasi, kepegawaian, keuangan. 96 96 Bagir Manan,“Teori dan Politik Konstitusi”, Yogyakarta: FH UII Press, 2003 hlm, 95 Dengan demikian, untuk menjaga independensi kekuasaan kehakiman, maka pengawasan teknis yudisial dan teknis administratif menjadi kewenangan internal lembaga peradilan.Dalam rangka menjamin kebebasan hakim dalam memutus perkara, maka tidak ada seorangpun yang berhak mengganggu gugat putusan seorang hakim termasuk ketua Mahkamah Agung. Universitas Sumatera Utara Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi dari empat lingkungan peradilan yang berada di bawahnya dan berdasarkan Pasal 11 ayat 4 Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung mempunyai wewenang pengawasan terhadap pengadilan yang berada di bawahnya. Pasal 32 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung menyatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman. Pengawasan teknis yudisial ini adalah berkaitan dengan pelaksanaan tugas seorang hakim untuk memeriksa, memutus, dan mengadili setiap perkara yang diajukan ke pengadilan.Dengan demikian, kewenangan pengawasan teknis yudisial menjadi milik Mahkamah Agung sebagai lembaga pengadilan tertinggi.Demikian pula Mahkamah Konstitusi yang merupakan puncak kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung, sebagai pengadilan konstitusi yang berdiri sendiri, maka kewenangan pengawasan teknis yudisial Mahkamah Konstitusi menjadi wewenang internal Mahkamah Konstitusi. Dalam hal pengawasan Teknis Administrasi, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai puncak kekuasaan kehakiman diberikan kewenangan untuk mengelola sendiri urusan administrasi, finansial maupun kepegawaian sebagai bentuk independensi kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasan eksekutif. Universitas Sumatera Utara 2.4.2 Pengawasan Etika Hakim Secara konstitusional, Komisi Yudisial sebagai lembaga yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim tetap ada.Sehingga, lembaga inilah yang berwenang untuk melakukan pengawasan eksternal hakim-hakim di semua lingkungan peradilan.Diperlukan lembaga pengawasan hakim yang bersifat mandiri ini terlepas dari semua cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif.Lembaga ini sebagai tempat masyarakat mengadukan segala perilaku hakim. Menurut Gani Abdullah dalam cuplikan dialog sidang uji materiil Komisi Yudisial di Mahkamah Konstitusi sebagaimana dikutip oleh O.C Kaligis, 97 97 O.C Kaligis Associates, “Mahkamah Agung VS Komisi Yudisial”, Jakarta, 2006: 126 Undang- undang memaparkan mengenai bentuk pengawasan hakim yang dilakukan oleh Komisi Yudisial. Menurutnya, pada waktu pembahasan Undang-undang Komisi Yudisial, pembentuk undang-undang menginginkan pengawasan terhadap hakim- hakim di bawah Mahkamah Agung secara teknis yudisial menjadi urusan Mahkamah Agung. Tetapi harkat dan martabat perilaku hakim akan berkaitan dengan putusan yang dikeluarkan oleh hakim. Sebab, dapat diduga dalam putusan tersebut terdapat unsur-unsur yang merendahkan harkat dan martabatnya.Dalam menjaga kemerdekaan kekuasaan kehakiman, Komisi Yudisial tidak berwenang untuk memeriksa putusan dalam hal ini belum diputuskan oleh hakim atau dalam proses konsep Universitas Sumatera Utara putusan.Komisi Yudisial berwenang memeriksa terhadap putusan hakim yang sudah dijatuhkan di depan sidang terbuka, karena dalam putusan terbuka untuk umum siapapun berhak untuk memeriksa putusan itu. Yang menjadi persoalan pada waktu Komisi Yudisial melaksanakan kewenangan pengawasannya sebelum putusan Mahkamah Konstitusi adalah mengenai putusan hakim.Dalam hal ini hakim yang menjadi subjek terlapornya karena hakim diduga melanggar prinsip pedoman perilaku hakim, imparsialitas dan profesionalitas.Prinsip tersebut adalah prinsip yang melekat pada diri seorang hakim, jika prinsip tersebut dilanggar maka menjadi kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa seorang hakim. Prinsip tersebut terkait dengan putusan yang dikeluarkan oleh hakim Oleh karena itu, untuk memastikan adanya unsur pelanggaran atau unsur judicial corruption, putusan hakim dapat digunakan sebagai pintu masuk entry point untuk memeriksa dan mengawasi hakim karena disini hakim dapat membuktikan kejujuran, moralitas, imparsialitas dan integritas serta profesionalitasnya. Dalam aspek ini, independensi dapat tetap terjaga dan ada tidaknya unsur judicial corruption tetap dapat dikontrol.Terkait dengan kewenangan pengawasan perilaku hakim tidak melanggar prinsip independensi dan imparsialitas. Hakim tetap dapat memutus dengan mandiri mengingat harus ada proses di Majelis Kehormatan terlebih dahulu karena tidak mungkin hakim diberhentikan tanpa alasan yang sah. Universitas Sumatera Utara Di dalam melaksanakan wewenang pengawasan perilaku hakim, diperlukan suatu pedoman perilaku hakim .Namun demikian, selama Undang-undang Komisi Yudisial berlaku, tidak ada penjabaran kewenangan pengawasan dan batasan perilaku hakim code of conduct, serta ketidakjelasan kewenang untuk membentuk code of conduct hakim tersebut.Hal inilah yang menjadi salah satu latarbelakang Mahkamah Konstitusi mencabut kewenangan pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial. Komisi Yudisial secara konstitusional masih memiliki kewenangan untuk mengawasi perilaku hakim. Berdasarkan pertimbangan bahwa Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan hanya sebagai supporting organ lembaga negara penunjang, maka Komisi Yudisial tidak berwenang melakukan pengawasan teknis yudisial dan teknis administratif atau dengan kata lain Komisi Yudisial tidak berwenang untuk melakukan fungsi checks and balances, melainkan hanya penegak kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Dalam kewenangan yang demikian, Komisi Yudisial sebaiknya diberikan kewenangan untuk menyusun kode etik hakim code of conduct, agar pedoman itu lebih obyektif karena dibuat bersama lembaga di luar lembaga peradilan.Kewenangan pembuatan kode etik hakim tersebut dapat dibuat bersama antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi.Yang terpenting adalah prosedur pengawasan perilaku hakim tersebut harus jelas, tepat dan adil sehingga tidak menimbulkan potensi mengganggu kemandirian hakim dan lembaga peradilan. Universitas Sumatera Utara Jimly Asshiddiqie, memaparkan bahwa Prinsip independensi itu sendiri antara lain harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu, independensi juga tercermin dalam sikap para hakim dalam berbagai peraturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sitem penggajian, dan pemberhentian para hakim.Prinsip kedua yang sangat penting adalah prinsip ketidakberpihakan the principle of impartiality.Namun, di samping kedua prinsip tersebut, dari perspektif hakim sendiri berkembang pula pemikiran mengenai prinsip- prinsip lain yang juga dianggap penting.Misalnya, dalam forum International judicial conference di Bangalore, India, 2001, berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim sedunia yang kemudian disebut the Bangalor Draft. 98 Dalam The Bangalore principle itu, tercantum adanya enam prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim di dunia, yaitu prinsip-prinsip independence, impartiality, propriety, equality,dan competence and diligence. 99 1 Independensi Independence Principle Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita hukum. Independensi tersebut melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. 2 Ketidak berpihakan Impartiality Principle Ketidakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan. Ketidakberpihakan mencakup sikap netral, menjaga jarak yang sama dengan semua pihak yang terkait dengan perkara, disertai penghayatan yang 98 Jimly Asshiddiqie, “The Bangalore principle “, 2006: 53 99 Jimly Asshiddiqie, “The Bangalore principle “, 2006: 54-55. Universitas Sumatera Utara mendalam mengenai keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ketidakberpihakan senantiasa melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga pada putusan pengadilan dapat benar-benar diterima bagi semua pihak. 3 Integritas Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan kekutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, polularitas, ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian mencakup keseimbangan ruhaniah dan jasmaniah atau mental dan fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya. 4 Kepantasan dan kesopanan Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan kekusilaan antarpribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hukum, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. 5 Kesetaraan Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab, tanpa membedakan satu dan yang lain. 6 Kecakapan dan keseksamaan Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya.Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, danatau pengalaman dalam pelaksanaan tugas.Sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim. Pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial dibatasi pada pelanggaran kode etik atau kode perilaku hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, sehingga perlu diuraikan kode etik hakim.Sedangkan pengawasan atas substansi perkara dan teknis peradilan tetap berada di tangan Mahkamah Agung.Perlu menghilangkan tumpang tindih atau dibuat Universitas Sumatera Utara sinkronisasi prosedur-prosedur pengawasan dan penjatuhan sanksi sehingga harus ada kooordinasi antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung serta Mahkamah Konstitusi. 2.5 Pengawasan Internal dan Eksternal Di Mahkamah Agung terdapat Majelis Kehormatan Mahkamah Agung yang pembentukannya didasarkan pada Pasal 12 ayat 3 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 Tentang Mahkamah Agung. Begitu pula di Mahkamah Konstitusi, Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi memiliki Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang fungsinya berkaitan dengan pemberhentian tidak hormat Hakim Konstitusi”. Dalam hal hubungan antara pengawasan eksternal dengan pengawas internal perlu ada hubungan kemitraan yang baik.Dalam hal terjadi tindak pidana oleh hakim, maka diperlukan kerjasama antara Majelis Kehormatan, Komisi Yudisial dengan jaksa penuntut umum ataupun Komisi Pemberantasan Korupsi. Diharapkan Majelis Kehormatan yang mengawasi internal lembaga peradilan tidak hanya berasal dari kalangan hakim, tetapi dari kalangan manapun, yaitu dari akademisi maupun tokoh masyarakat ahli sehingga pengawasan akan bersifat obyektif. Pasal 32 ayat 1 sampai dengan ayat 4 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004, menggariskan “Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap Universitas Sumatera Utara penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman”. Demikian pula menurut Pasal 11 ayat 4 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, mengatur bahwa Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan Undang-undang.Oleh karena Mahkamah Agung berperan sebagai pengawas tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan.Mendasarkan pada kewenangan tersebut, maka Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial dapat menjalin kerjasama untuk melakukan pengawasan terhadap hakim-hakim yang berada di bawah Mahkamah Agung. Dalam hal pemberian sanksi terhadap hakim yang bermasalah, maka diserahkan kepada masing-masing yang berwenang. Jika dalam hal ini yang dilanggar adalah perbuatan pidana, maka yang menindak adalah jaksa penuntut umum ataupun Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jika yang dilanggar adalah kehormatan perilaku hakim, maka pengawasan eksternal juga diberikan kewenangan untuk memberikan sanksi kepada hakim dan dalam hal terkait dengan teknis yudisial dan teknis administrasi, maka diserahkan kepada majelis kehormatan. Meskipun kewenangan pengawasan Komisi Yudisial terhadap perilaku hakim telah dihapus dengan putusanMahkamah Konstitusi, tetapi secara konstitusional Komisi Yudisial tetap memiliki kewenangan sebagai lembaga yang bersifat mandiri Universitas Sumatera Utara yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan berwenang menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim sesuai Pasal 24B ayat 1 UUD 1945. Komisi Yudisial memang sebaiknya tidak menjatuhkan sanksi kepada hakim berdasarkan penilaian pada putusan saja.Putusan memang dapat dianalisis hanya untuk entry point guna menilai kemungkinan terjadinya penyimpangan perilaku hakim dalam memutus sebuah perkara. Dengan kewenangan sebagaimana yang diamanahkan oleh konstitusi, maka Komisi Yudisial sebagai lembaga yang independen diharapkan tetap dapat mendukung lembaga peradilan dengan pengawasan perilaku hakim.Pemberian sanksi oleh hakim yang melanggar kode etik harus diatur sedemikian rupa agar tidak menimbulkan potensi mengganggu kemerdekaan hakim dan peradilan. Jika tetap menerapkan pola pemberian rekomendasi hasil pengawasan Komisi Yudisial kepada Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi, maka independensi hakim akan tetap terjaga dan tidak melanggar konstitusi. Perlu ada landasan normatif yang kuat dan mengikat agar kewenangan pengawasan dan pemberian sanksi Komisi Yudisial berkekuatan hukum dan tetap menjamin independensi peradilan.Dengan demikian, perlu pengaturan lebih lengkap mengenai mekanisme, obyek dan jenis pengawasan hakim yang dilakukan Komisi Yudisial.Hal ini tentunya diperlukan perubahan Undang-undang Komisi Yudisial oleh DPR dan Presiden agar kewenangan pengawasan dikembalikan kepada Komisi Yudisial dengan lebih jelas dan strategis. Universitas Sumatera Utara Dalam rangka menjaga transparansi dan akuntabilitas lembaga peradilan diperlukan partisipasi publik untuk turut mengawasi perilaku hakim.Masyarakat diberikan hak mengawasi setiap tindakan dan perilaku hakim yang dianggap melanggar kehormatannya.Masyarakat juga diberikan hak untuk melaporkan setiap dugaan pelanggaran kehormatan seorang hakim.Hal ini adalah upaya untuk mengembalikan kewibawaan lembaga peradilan bagi masyarakat.Secara umum di negara dunia, sebuah lembaga ex officio seperti komisi Yudisial menjadi bagian dari Mahkamah Agung, tetapi karena kondisi masyarakat bangsa ini yang sudah tidak percaya kepada sistem pengawasan internal, maka di Indonesia dapat menghadirkan lembaga pengawas non yudisial yang terlepas dari cabang kekuasaan legislatif maupun eksekutif.

D. Komisi Yudisial di Beberapa Negara dan Konsep Ideal Komisi Yudisial Ke Depan