MAFIA PERADILAN DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM

dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi. Publik telah mengetahui bahwa periode orde lama dan orde baru ada masalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman berkenaan dengan intervensi kekuasaan dan kepentingan politik serta eksekutif. Intervensi dimaksud dilakukan melalui: 1. Kedudukan mahkamah ditempatkan sebagai bagian dari instrument kekuasaan politik orde lama untuk menjalankan politik “revolusioner” dari kekuasaan 2. Pada periode orde baru, mahkamah tidak lagi secara eksplisit menjadi bagian dari kepentingan tetapi ada “Kontrol politik” terhadap tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol politik yang dimaksud antara lain meliputi: mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan dan pengangkatan ketua mahkamah, control eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim di lingkungan mahkamah, politik angaran yang disusun dan dirumuskan dengan campur tangan yang cukup intensif dan birokrasi pemerintahan. 3. Pasca orde baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi sepenuhnya dapat didesakkan kepada mahkamah karena adanya rumusan pasal di dalam konstitusi yang cukup tegas yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. 50

B. MAFIA PERADILAN DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM

Tuduhan adanya korupsi di pengadilan di mulai oleh kalangan advokat dengan ungkupan “mafia peradilan”.Tuduhan itu sudah dilontarkan oleh peradilan sejak tahun 1970-an. Mafia peradilan di sini tidak merujuk pada kejahatan terorganisasi seperti mafia Sisilia, tetapi mafia peradilan merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Mafia Peradilan selalu ada khususnya di negara-negara berkembang yang memiliki manejemen pemerintahan lemah seperti lemahnya sistem pengawasan 50 Jurnal Legislasi, Reformasi Konstitusi: Perspektif Kekuasaan Kehakiman,Jakarta: Ami Global Media, Maret 2010, hlm 54-55. Universitas Sumatera Utara melekat dalam tubuh lembaga birokrasi, lemahnya mekanisme sistem kontrol lembaga-lembaga pemerintahan dan lemahnya kontrol masyarakat.Mafia peradilan lebih mudah tumbuh dan berkembang dalam sistem pemerintah yang tertutup atau semi tertutup karena sejalan dan seirama dengan sifat dan pola mafia yang juga tertutup. 51 Mafia peradilan adalah praktek kejahatan yang bersifat sistemik. Kata mafia menyiratkan pengertian adanya konfirasi, artinya bahwa apa yang dilakukan aparat tidak sendiri-sendiri melainkan dilakukan melalui jalinan kerjasama oleh sebagian atau seluruh lembaga yang terkait dengan proses hukum. Sebagaimana yang dikemukan oleh Muladi, “…sebagai mantan hakim agung, Muladi mengaku tahu mafia peradilan bukan Cuma terjadi di MA, melainkan sejak penyelidikan. Mafia peradilan sudah menjadi organized crime……Untuk mengatasinya, butuh kepemimpinan bersih, mulai dari kepolisian, pengadilan, kejaksaan, sampai MA. Kalau pimpinan bersih, anak buah pasti bersih. Kalau pimpinan maling, anak buahnya juga maling……”. 52 Dari rangkaian kejahatan hukum yang terorganisir semaam itu, hakim akan menempati posisi paling aman. Hakim akan sulit tersentuh hukum, untuk tidak dikatakan kebal hukum, karena hakim dapat berlindung pada norma dan ketentuan dasar undang-undang bahwa kedudukan hakim adalah bebas dan mandiri. Posisi dan kewenangan hakim tidak boleh dicampuri oleh eksekutif, legislative, apalagi oleh masyarakat umum. Para hakim berlindung di balik prinsip asas yudikatif adalah lembaga yang harus bebas dari intervensi luar artinya tidak boleh ada campur tangan luar dalam bentuk apapun selama berlangsung proses peradilan, pro-justisia. Dengan berlindung pada asas tersebut hakim bias dengan bebas melaksanakan tugasnya, 51 Kompas, 11 Februari 2006, h.5 52 Kompas, 18 Oktober 2005, h.3 Universitas Sumatera Utara menjatuhkan vonis sesuai dengan skenario yang telah dirancang sebelumnya. Kunci utama mafia peradilan adalah lemahnya integritas moral hakim. Praktek mafia peradilan atau korupsi peradilan bias dilakukan aparat penegak hukum dengan melakukan rekayasa hukum atas kasus atau perkara hukum, dikenal dengan istilah jual beli perkara. Jual beli perkara, jual beli putusan, rekasa hukum untuk menguasai asset negara atau pemilik asset yang berada pada posisi lemah rakyat jelata, rakyat awam hukum akan menjadi pandangan sehari-hari. Petugas dan penegak hukum bermain dan menari diatas keserawutan hukum yang melanda negara.White collar crime kejahatan kerah putih yakni kejahatan yang dilakukan oleh “manusia-manusia tehormat”, menemukan lahan subur.Di tangan mereka hukum bias diatur, dibolak-balik, dipilih dan dipilih sedemikian rupa, disesuaikan dengan target yang sebelumnya telah ditetapkan. Menurut pendapat Ronny Nitibaskara; “..…mafia peradilan secara obyektif sebenarnya harus dilihat dari integrated criminal justice yang terdiri dari polisi, jaksa, panitera hakim, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan tentu saja pengacara……” 53 Ketua Komosi Yudisial, M. Busyro Muqoddas, mencoba untuk menjabarkan mafia peradilan lebih lanjut lagi dari bentuk-bentuk lahiriahnya. Menurutnya ada empat bentuk modus operandi mafia peradilan yang kerap terjadi di peradilan Indonesia. 54 1. Penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. 2. Manipulasi fakta hukum. 3. Manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. 4. Modus terakhir, berupa pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Adapun antara Makelar kasus markus dengan Mafia Peradilan adalah dua hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan.Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari 53 Kompas, 26 November 2005, h.5 54 www.hukumonline.com Universitas Sumatera Utara Makelar Kasus. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain, dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi hampir disemua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidato- pidato kosong belaka. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan.Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang terpaksa harus membelinya. 55 Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin.Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”. Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab 55 Ibid Universitas Sumatera Utara mereka kepada publik. Lebih baik tebal muka dan tidak punya rasa malu, dari pada menggubris sindiran publik yang bakal mengurangi rejeki mereka 56 Buruknya kinerja para Penegak Hukum dan buruknya sistem pengawasan yang ada dalam proses penegakan hukum, telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan termasuk makelar kasus markus di Indonesia. Kenyataan ini bila kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan “markus” dan “mafia peradilan” eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. . Oleh karenanya berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan menjadikan moral force yang berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai basic guna terbangunnya budaya sikap dan prilaku para Penegak hukum di Indonesia. Tanpa itu, semuanya menjadi utopia belaka. Dalam hal penegakan supremasi hukum, 57 56 Ibid ada beberapa langka istemik yang harus dilakukan 57 Muladi, “Reformasi Hukum Sebagai Bagian Intergral dari Proses Demokratisasi di Indonesia”, delapan tulisan contributor disalin dari buku kenangangan purna bakti Prof.M.Solly Lubis, SH, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002,hlm 78-79 Universitas Sumatera Utara 1. Pengadopsian semua aspirasi hukum sebagai sumber daya dalam untuk melakukan reformasi hukum, yang meliputi aspirasi suprastruktur, aspirasi infrastruktur,aspirasi kepakaran dan aspirasi internasional yang diterima oleh bangs-bangsa beradab; 2. Menjunjung prinsip kebebasan dan ketidak berpihakan lembaga peradilan, bebas dari campur tangan kekuatan internal maupun eksternal; 3. Meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia; 4. Meningkatkan semangat profesionalisme aparat penegak hukum; 5. Pembentukan Komisi Yudisial dengan keanggotaan yang konprehensif dalam