1.
Pengadopsian semua aspirasi hukum sebagai sumber daya dalam untuk
melakukan reformasi hukum, yang meliputi aspirasi suprastruktur, aspirasi infrastruktur,aspirasi kepakaran dan aspirasi internasional yang diterima oleh
bangs-bangsa beradab;
2.
Menjunjung prinsip kebebasan dan ketidak berpihakan lembaga peradilan,
bebas dari campur tangan kekuatan internal maupun eksternal; 3.
Meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia;
4.
Meningkatkan semangat profesionalisme aparat penegak hukum;
5.
Pembentukan Komisi Yudisial dengan keanggotaan yang konprehensif dalam
rangka untuk mengawasi perilaku hakim dan pejabat peradilan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para hakim,
dan menangani pengaduan terhadap hakim dan aparat peradilan;
6. Mendorong fungsi kontrol masyarakat terhadap lembaga peradilan semacam
judicial awatch;
7.
Meningkatkan pengimplementasian prinsip sistem peradilan terpadu;
8.
Secara sistematis memerangi korupsi di pengadilan dan dalam sistem peradialan
9.
Rekruitmen kepemimpinan atas dasar “merit system”
C. Pembentukan Komisi Yudisial
Sejak 1998 Indonesia sedang mengalami apa yang disebut masa transisi demokrasi dan juga dalam masa “keadilan transional” dari rezim otoriter. Masa ini
yang disebut Era Reformasi.Perubahan konfigurasi politk dari otoritarian menuju demokrasi mutlak menuntut adanya perubahan yang mendasar.Dalam hal pembagian
kekuasaan tentu saja mengalami koreksi yang cukup signifikan.Pembagian kekuasaan tidak hanya meliputi kekuasaan pemerintah executive, kekuasaan membuat undang-
undang legislative, dan kekuasaan kehakiman judicative.Konsekunsi dari perubahan itu adalah amandemen konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 UUD
1945.
Universitas Sumatera Utara
Terdapat perkembangan menarik sebagai akibat perubahan rejim dalam tuntutan reformasi disamping mewujudkan tata pemerintah dan pemerintahan yang
baik yaitu mendorong sejumlah state auxiliary institusional atau lembaga negara tambahan. Kantaprawira, menyebutkan lembaga-lembaga negara ini sebagai
mesostruktur politik struktur-tengah politik.Mesostruktur politik ini penguatan peran boleh dikatakan struktur hibrida hybrid structure
58
1.Komisi Konstitusi yaitu bersifat setengah
resmi dan juga setengah tak resmi, walau dalam kenyataanya diberi atribut-atribut formal dan kewenangan berlebih. Struktur tengah politik ini antara lain untuk
Indonesia meliputi sejumlah komisi negara, seperti:
59
2.Komisi Pemilihan Umum KPU; ;
3.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; 4.Komisi Penyiaran Indonesia KPI;
5.Komisi Yudisial KY
60
58
struktur hibrida ini pertama kali diperkenalkan In ‘t Veld 2005. Istilah organisasi hibrida diciptakan pada tahun 1995 oleh In t Veld 2005. Biasanya organisasi hibrida ada di suatu posisi
antara atau dalam gradien antara instansi pemerintah murni dan perusahaan-perusahaan komersial murni Jörgensen, 1999: 570; mereka beroperasi dalam twilight zone antara publik dan swasta.
Organisasi hibrida dapat didefinisikan sebagai organisasi yang diatur oleh dua atau lebih murni tatanan pemerintahan Ruys dkk., 2007. Organisasi hibrida sebagai badan antar budaya, mampu
menjembatani hubungan terfragmentasi dan dipisahkan di ruang publik.Sebenarnya organisasi hibrida bukan hal baru, telah ada selama beberapa waktu misalnya di Inggris dan Perusahaan India Timur
Belanda abad ke-17 sering disebut sebagai contoh awal Wettenhall 2003: 237.Kickert bahkan memperkirakan bahwa saat ini banyak organisasi di ruang publik di Eropa Barat adalah organisasi
hibrida Kickert, 2001: 135.
;
59
yang besifat eenmalig dan kini sudah tidak ada lagi
60
dari sekian banyak komisi negara maka yang dasar hukumnya Konstitusi UUD 1945 adalah KPU dan Komisi Yudisial, sedangkan komisi yang lain dasar hukumnya Undang-
undang
Universitas Sumatera Utara
6.Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi KPK;
7.Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU; dan lain-lain Cornelis Lay-lebih cocok menggunakan istilah sampiran negara--
mengemukakan bahwa komisi negara pertama-tama dan terutama hadir sebagai hasil inisiatif otonom dari negara dalam keranka untuk memberikan perlindungan dan
kepastian bagi publik.
61
61
Cornelis Lay, 2006, State Auxilary Agencies, artikel dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12
tahun III, April – Juni, 2006, Jakarta: PSHK, hal 5-21
Pada dasarnya pembentukan komisi-komisi negara yang mandiri di Indonesia karena lembaga-lembaga yang ada belum dapat memberikan
jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring maraknya era demokrasi.Perubahan sistem
politik dan dinamika sosial kemasyarakatan mengakibatkan perubahan hubungan antara negara-masyarakat sipil civil society.Masyarakat sipil lebih mudah
melakukan inisiatif perubahan dengan kondisi pasca Orde Baru apalagi dengan munculnya lembaga-lembaga negara baru.Lembaga-lembaga ini masih
mencerminkan sebagai negara semi-negara.Artikulasi dan akomodasi kepentingan masyarakat sipil dapat disalurkan melalui lembaga yang ada sesuai dengan
kewenangan atau atribut yang diberikan.Bersama lembaga-lembaga negara ini masyarakat sipil dapat menjalankan beberapa fungsi sekaligus mulai dari fungsi
sebagai perpanjangan tangan pemerintah, pelengkap fungsi mitra kerja, juga fungsi kontrol sosial terhadap dampak kebijakan pemerintah.Dalam konteks Indonesia
Universitas Sumatera Utara
kekinian maka semua fungsi ini hendaknya didorong terutama fungsi kontrol.Adapun fungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah tentu saja dalam artian yang positif,
bukan sebagai antek melainkan jembatan atau penghubung negara dengan pemerintah.Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah lembaga negara yang
mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman
62
yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang
transparan dan partisipatif untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur
tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya, yang berkedudukan di Jakarta.
63
Sejarah pembentukan Komisi Yudisial
64
62
Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan
Kehakiman
diawali dari inisiatif pembentukan lembaga pengawas hakim yang dicetuskan sebagai Majelis Pertimbangan Penelitian
Hakim MPPH pada 1968.Fungsi MPPH ini adalah memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang
berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan
63
Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang saat ini sedang diajukan perubahan oleh DPR sesuai rekomendasi
putusan Mahkamah Konstitusi nomor 005PUU-IV2006 yang menghapus beberapa pasal dalam Undang-undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial
64
Sejarah pembentukan Komisi Yudisial diuraikan dalam Naskah Akademis Undang-undang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung didukung oleh Lembaga Kajian dan Advokasi
untuk Independensi Peradilan LeIP, 2003
Universitas Sumatera Utara
tindakanhukuman jabatan para hakim.Namun ide tersebut tidak dimasukkan dalam Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
65
Inisiatif pembentukan lembaga pengawas kembali disuarakan sehingga menjadi wacana yang
semakin kuat dan solid pada tahun 1998.Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR mengeluarkan Ketetapan MPR RI No.XMPR1998 tentang Pokok-
pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Reformasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.Dalam TAP MPR tersebut
dinyatakan perlunya segera diwujudkannya pemisahan yang tegas antar fungsi yudikatif dan eksekutif.Adanya desakan penyatuan atap bagi badan peradilan ini
dibawa pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
66
65
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ini mengalami 2 dua kali perubahan yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Pertama Kekuasaan Kehakiman dan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Perubahan Kedua Kekuasaan Kehakiman dan kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Sidang MPR 2001 memutuskan beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan
kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.Latar belakang pembentukan atau kelahiran Komisi Yudisial dapat ditinjau
dalam beberapa aspek-aspek sebagai berikut:
66
Undang-undang Dasar 1945 telah mengalami 4 kali amandemen. Amandemen pertama disyahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua disyahkan pada tanggal 18 Agustus 2000,
amandemen ketiga disyahkan pada tanggal 10 Nopember 2001, dan amandemen keempat disyahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Universitas Sumatera Utara
1. Aspek Filosofis
Pembentukan Komisi Yudisial di beberapa negara pada umumnya dilatarbelakangi oleh situasi-situasi seperti lemahnya pengawasan dan monitoring
terhadap kekuasaan kehakiman, tidak ada lembaga penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintah, transparansi dan akuntabilitas badan
peradilan, rendahnya konsistensi putusan, dan pengangkatan hakim yang bias kepentingan, baik kepentingan politik maupun kepentingan yang lain.
67
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa independensi peradilan masih jauh dari harapan.Secara
jelas, Hasil Studi Perkembangan Hukum oleh Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Marjono, menunjukkan rasa tidak puas masyarakat terhadap sistem peradilan yang
ada.Bahwa sebenarnya dalam masing-masing lembaga yang ada dalam lingkup peradilan saat ini telah terdapat mekanisme pengawasan, baik secara internal vertikal
maupun internal horisontal. Namun sangat disayangkan proses pengawasan yang ada tersebut masih tidak efektif dan tidak berjalan secara optimal. Hal tersebut salah
satunya adalah dikarenakan adanya semangat kesatuan esprit de corps yang demikian kuat dan proses koordinasi antar lembaga peradilan tersebut dalam
mekanisme pengawasan tidak berjalan dengan baik.Wim J.M. Voermans
68
67
Tutik, op.cit 79
melakukan penelitian terhadap sejumlah lembaga semacam Komisi Yudisial di beberapa negara Uni Eropa.Kesimpulan dari penelitian Voermans adalah Komisi
Yudisial dibentuk untuk memajukan independensi peradilan. Ahsin
68
Wim J.M. Voermans 1999, lih 2002
Universitas Sumatera Utara
Thoharimenyebutkan alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara adalah:
a. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring dilakukan secara internal saja;
b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan kehakiman
dan kekuasaan pemerintahan; c.
Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih dibebani dengan persoalan-
persoalan teknis non-hukum; d.
Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan pengadilan, karena tidak diawasi oleh lembaga yang benar-benar independen; dan
e. Pola rekrutmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang
mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik yaitu presiden dan parlemen.
2. Aspek Sistem
Alasan utama pembentukan Komisi Yudisial adalah kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik.Jawaban untuk memperbaiki
kelemahan sistem tersebut adalah penyatuan atap badan peradilan yaitu mengalihkan sepenuhnya kewenangan pembinaan aspek administrasi, keuangan, dan organisasi
dari departemen kehakiman pemerintah ke Mahkamah Agung.
69
Proses penyatuan atap ini dianggap belum mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas karena:
70
a. Penyatuan atap berpotensi melahirkan monopoli dan penyalahgunaan kekuasaan
kehakiman abuse of power oleh Mahkamah Agung apabila tidak diikuti dengan
69
ketentuan mengenai penyatuan atap ini diatur dalam Undang-undang No 35 tahun 1999 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian DPR mengganti Undang-undang ini dengan Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-undang No 48 Tahun 2009 Pasal
21 ayat 1 menyebutkan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
70
Pandangan soal perlunya segera dibentuk Komisi Yudisial disampaikan Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan KPP Asep Rahmat Fajar dari Masyarakat Pemantau Peradilan MaPPI FH UI
dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan LeIP Rifqi S. Assegaf di Jakarta pada Senin 5 Januari 2004
Universitas Sumatera Utara
perubahan sistem lainnya misalnya seleksi, mutasi, promosi, dan pengawasan terhadap hakim. Upaya untuk menghindarinya dengan menciptakan mekanisme
check and balances di bidang kekuasaan kehakiman sebagai bentuk penguatan peran publik dalam proses rekrutmen hakim agung.
b. Adanya kekhawatiran Mahkamah Agung belum mampu menjalankan tugas
barunya-sebagai konsekuensi dari penyatuatapan-karena Mahkamah Agung sendiri masih mempunyai beberapa kelemahan organisasional yang hingga saat
ini upaya perbaikannya masih dilakukan.
71
c. Masih lemahnya pengawasan internal. Gagasan pembentukan komisi-komisi
pengawas lebih merupakan jawaban atas ketidakefektifan sistem pengawasan internal fungsional yang telah built in dalam berbagai institusi penegak hukum
Santosa, 2005. Ketidakefektifan pengawasan internal pada lembaga penegak hukum tidak lepas dari berbagai faktor penyebab, antara lain 1 kualitas dan
integritas pengawas yang tidak memadai; 2 proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan; 3 belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan
menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya ketiadaan akses; 4 masih menonjolnya semangat membela sesama korps esprit de corps yang
mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak sebanding dengan perbuatannya; dan 5 tidak terdapat kehendak kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk
menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan. Membenahi pengawasan fungsional berarti memberi solusi terhadap keempat permasalahan itu.
3. Aspek Yuridis
Salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum
72
71
Paling tidak ada dua model berbeda yang mengatur keberadaan lembaga semacam Komisi Yudisial. Di negara Eropa Selatan, seperti Perancis, Italia, Spanyol atau Portugal, komisi ini cenderung
mempunyai kewenangan terbatas, yaitu perekrutan hakim, mutasi, dan promosi, serta pengawasan dan pendisiplinan hakim. Sedang di negara Eropa Barat, seperti Swedia, Irlandia, Denmark, cenderung
diberikan kewenangan yang lebih luas.Kewenangannya tidak hanya merekrut hakim, mutasi dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga mengawasi administrasi pengadilan,
keuangan pengadilan, manajemen perkara sampai dengan manajemen pengadilan. Voermans, 2004
adalah pengadilan yang mandiri, netral tidak berpihak, kompeten dan berwibawa sehingga mampu menegakkan wibawa hukum,
pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.Pemenuhan hak asasi manusia dijamin oleh pengadilan yang memiliki semua kriteria diatas.Independensi
72
Ketentuan yang menyatakan ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat 3 yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”
Universitas Sumatera Utara
pengadilan dan independensi hakim merupakan unsur esensial dari negara hukum rechstaat.Sebagai aktor utama lembaga peradilan dan dengan segala kewenangan
yang dimilikinya, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting.Hakim bebas dalam memeriksa dan memutus suatu perkara independency of judiciary.
73
Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut
kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, hingga memerintahkan penghilangan hak hidup
seseorang.
74
Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi. Hal ini tercermin dari setiap putusan yang menggunakan irah-irah atau kalimat
pembuka “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandungarti bahwa kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib
Oleh sebab itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa
pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum
dan hakim.
73
Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan, dan tidak seorangpun boleh menentukan atau mengarahkan putusan yang akan diambil, termasuk tidak boleh ada kepentingan pribadi conflict
of interest dalam menjalankan fungsi yudisialnya. Hakim dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya, serta dapat menghindari perbuatan atau perilaku yang dapat menodai kehormatan dan keluhuran martabatnya Cetak Biru Komisi Yudisial, 2010.
74
Kebebasan hakim tersebut tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar
serta asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor
4 Tahun 2004.
Universitas Sumatera Utara
dipertanggung-awabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Produk hukum terutama
dalam bentuk putusan pengadilan mengalami kecenderungan tidak mencerminkan nilai-nilai moral dan menciderai keadilan masyarakat.Posisi tawar masyarakat yang
lemah dan tertindas di bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan hukum sebagai akibat ketidakadilan multidimensional merupakan realitas yang mengenaskan
yang pada praktiknya semakin jauh dari putusan pengadilan yang mengandung muatan nilai moral yuridis yang berpihak pada keejujuran, kebenaran, dan
keadilan.Pengingkaran terhadap nilai-nilai moralitas hukum dan keadilan dengan berbagai dalih oleh beberapa kalangan aparat penegak hukum APH bukan saja
pengingkaran terhadap esensi hak asasi manusia juga merupakan penolak terhadap latar belakang berdirinya bangsa dan negara Indonesia.Para penegak hukum yang
berintegritas dan berpijak pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan profesional merupakan aset berharga dalam mewujudkan kekuasan kehakiman yang medeka,
independen, dan profesional.
75
4. Aspek Sosiologis
Korupsi sudah sedemikian rupa menjalar ke segala bidang termasuk badan peradilan.Korupsi di bidang peradilan judicial corruption atau yang sering disebut
dengan mafia peradilan menjadi ancaman bagi penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Beberapa studi Lev, 1990; Harman, 1997; KRHN LeIP, 1999; ICW,
2001; Asrun, 2004; Pompe, 2005; KHN, 2010; Satgas Pemberantasan Mafia Hukum,
75
Tutik,” Eksistensi, kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial”, Surabaya, 2007
Universitas Sumatera Utara
2010 telah mendiagnosis rusaknya institusi peradilan karena korupsi dan intervensi politik yang panjang sehingga mereduksi independensi dan imparsialitas pengadilan.
Akhir-akhir ini juga disadari bahwa intervensi yang bersifat ekonomi juga menjadi penyebab rusaknya institusi peradilan.
Mafia peradilan adalah praktik-praktik penyelewengan yang dilakukan oleh justiabel pencari keadilan, aparat penegak hukum meliputi polisi, jaksa, hakim, dan
advokat, maupun pihak lain pegawai pengadilan,panitera pengganti, juru sita, dan sebagainya dalam proses penanganan perkara di badan peradilan dengan
menggunakan uang atau materi yang lain untuk meringankan atau menguntungkan salah satu pihak.
76
76
Pembentukan Komisi Yudisial dinyatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi MK Jimly Asshiddiqie untuk melengkapi agenda pemberantasan korupsi di lingkungan penegak
hukum.Mengingat selain Komisi Yudisial yang mempunyai peran dalam pengawasan hakim juga sudah dibentuk lembaga pengawasan kejaksaan Komisi Kejaksaan dan komisi kepolisian Komisi
Kepolisian Nasional. Hal ini disampaikan Jimly Asshiddiqie saat pelantikan anggota Komisi Yudisial 2 Agustus 2005 di Istana Negara Pikiran Rakyat, 3 Agustus 2005
Badan peradilan menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan namun pada kenyataannya justru menimbulkan masalah baru bagi pencari
keadilan.Dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara di pengadilan.Hakim dalam memutus perkara, tidak
saja berdasarkan pertimbangan dari fakta-fakta persidangan, tetapi dapat dipengaruhi oleh hubungan transaksional antara para pihak yang mempunyai kepentingan untuk
memenangkan perkara dengan hakim yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara.Reformasi peradilan adalah bagian dari reformasi kehidupan
ketatanegaraan sebagai hasil dari gerakan moral rakyat terhadap penguasa Orde Baru yang otoriter dan antidemokrasi Ciri pokok dari kekuasaan ini adalah dijalankannya
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan dengan sentralistik, anti demokrasi, kontrol yang ketat terhadap semua lembaga negara, partai politik dan organisasi masyarakat, serta tidak transparan.
Dalam situasi demikian, korupsi memperoleh lahan yang subur. Proses peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan sepenuhnya di bawah pengaruh kekuasaan.
Komentar masyarakat mengenai kondisi peradilan sama sinisnya dengan yang dilontarkan kepada lembaga-lembaga politik. Mereka mempunyai kinerja yang sangat
buruk, miskin integritas, dan sangat mudah disuap.Masyarakat menyoroti sistem dan praktik penegakan hukum di bidang peradilan lingkungan kekuasaan kehakiman,
khususnya yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas hakim. Masyarakat memberikan sorotan pada cara dan hasil kinerja hakim sebagai tumpuan dan
sekaligus sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum, keadilan dan kebenaran.Komisi Yudisial berfungsi sebagai institusi pengawasan di luar struktur
Mahkamah Agung di mana aspirasi masyarakat dilibatkan dalam prosespengangkatan hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan
kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu. M. Fajrul Falaakh berharap agar pembentukan Komisi Yudisial secara lebih
mendasar dapat mengevaluasi kinerja hakim assessment of judicial performance dengan empat alasan yaitu: 1 model pengawasan Komisi Yudisial dimandulkan jadi
pola anti-akuntabilitas publik; 2 kebutuhan instrumen kerja Komisi Yudisial; 3 kelemahan model evaluasi yang sudah ada dan dikritik Mahkamah Agung; 4
harapan dan dukungan positif dari masyarakat maupun kalangan hakim yang lebih
Universitas Sumatera Utara
luas.Dukungan masyarakat terhadap pembentukan Komisi Yudisial cukup luas dan kuat.Lahirnya Komisi Yudisial banyak disuarakan aktivis organisasi non
pemerintah.Pada era ini banyak komisi-komisi yang lahir sejak tumbangnya rezim otoriter Soeharto.
77
Harian Kompas mencatat pada saat 2004 terdapat sudah tiga belas komisi dilahirkan.Kehadiran Komisi Yudisial telah menambah lembaga negara
konservatif seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang digagas Montesquieu. Dalam konsep kekuasaan negara menurut Montesquieu, doktrin pemisahan
kekuasaan dengan mekanisme cheks and balances mengharuskan kekuasaan kehakiman yang merdeka ketika menjalankan fungsi kontrol dan penyeimbang vis a
vis cabang kekuasaan lainnya, yakni kekuasaan eksekutif dan legislatif.
77
Kompas, 25 Februari 2005
Universitas Sumatera Utara
SKEMA PEMBINAAN KEHAKIMAN SEBAGAI SUBSISTEM PEMBANGUNAN HUKUM
2 feed back inputs mengenaipotensibagipembinaankehakiman
misi visi
1
4 5
6 7
8 9
10 Feek back mengenai sikon bagi pembinaan kehakiman
Gambar 1: Hasil Derivasi Sistem Kehidupan Nasional dalam Buku Sistem Nasional, Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH
PenerbitMandarMaju, Bandung 2002
ParadigmaNilai 1.
Filosofis 2.
Politis 3.
Yuridis Yangrelevanden
gankehakiman INTERAKSI
Potensi di bidang Kehakiman
1. SDM
2. PeraturanHuk
um 3.
PerangkatPen dukung
Situsi dan kondisi yang sedang
berkembang di bidang kehakiman
masa kini
Law making
perluuntukk ehakiman
Wawasanpolit ikpembangun
ankehakiman Program
legislasikhus usbidangkeh
akiman Garispolitikpe
mbangunanBi dangkehakim
an Law
Enforcement dibidangkeha
kiman Kehakiman
yangdicitac itakan
Monitoring danEvaluasi
3
56
Universitas Sumatera Utara
Keterangan: Paradigma nilai filosofis, politik dan yuridis yang relevan dengan kehakiman
yang di jumpai di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan potensi yang ada dibidang kehakiman menyangkut Sumber daya manusia, peraturan hukum yang
berlaku serta perangkat pendukung didukung dengan situasi dan kondisi penegakan hukum yang sedang berkembang di bidang kehakiman masa kini akan berinteraksi
atau bekerja sama membentuk wawasan politik pembangunan kehakiman yang akan melahirkan garis politik dibidang kehakiman. Garis politik hukum dalam pembinaan
kehakiman sebagai dasar politis bagi program legislatif dalam proses pembuatan hukum dan pembaharuan hukum yang dapat menunjang pembinaan kehakiman.
Dengan demikian kehakiman dapat bekerja dengan baik dan adil dalam memutuskan perkara berdasarkan undang-undang dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Apabila kehakiman yang dicita-citakan tidak maksimal dalam melaksanakan tugasnya maka seharusnya dilakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan situasi
dan kondisi yang ada, dalam arti lain harus dikaji ulang dari awal pembuatan hukum dalam bidang kehakiman tersebut. Jika pimbinaan kehakiman yang dicita-citakan
masyarakat sudah dapat dirasakan dengan baik akan menghasilkan sistem hukum yang eksis, kesadaran hukum serta penegakan hukum akan terjamin. Untuk itu
Komisi Yudisial sebagai lembaga independen di luar kehakiman kiranya dapat memonitoring kinerja kehakiman sesuai kewenangan yang ada pada dirinya.
Universitas Sumatera Utara
BAB III KEWENANGAN KOMISI YUDISIAL SEBAGAI SUATU LEMBAGA