Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders

(1)

EFEKTIVITAS ANGER MANAGEMENT TRAINING

UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS PADA

REMAJA DISRUPTIVE BEHAVIOR DISORDERS

TESIS

NASRIZULHAIDI 117029019

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(2)

EFEKTIVITAS ANGER MANAGEMENT TRAINING

UNTUK MENURUNKAN AGRESIVITAS PADA

REMAJA DISRUPTIVE BEHAVIOR DISORDERS

TESIS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi

NASRIZULHAIDI 117029019

PROGRAM PENDIDIKAN MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI KEKHUSUSAN KLINIS ANAK

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2014


(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis ini diajukan oleh

Nama : NASRIZULHAIDI

NIM : 117029019

Kekhususan : Klinis Anak

Judul Tesis : Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders

Telah berhasil dipertahankan dihadapan para dewan penguji dan diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi kekhususan Klinis Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

DEWAN PENGUJI

Penguji I/ Pembimbing : Irna Minauli, M.Si, Psikolog [ ]

Penguji II : Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog [ ]

Medan, 11 Februari 2014

Koordinator Program Pendidikan Magister Dekan Fakultas Psikologi USU Psikologi Profesi Fakultas Psikologi USU

Dr. Wiwik Sulistyaningsih, Psikolog Prof. Dr. Irmawati, Psikolog NIP 19650112 200003 2 001 NIP 19530131 198003 2 001


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sungguh-sungguh, bahwa tesis yang telah saya susun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Psikologi Profesi kekhususan Klinis Anak dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, adalah hasil karya saya sendiri.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan tesis yang saya kutip dari hasil karya orang lain, telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila dikemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam tesis ini, saya bersedia menerima sangsi dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 11 Februari 2014 Yang menyatakan,

NASRIZULHAIDI NIM 117029019


(5)

Jalan terbaik untuk bebas dari masalah

adalah dengan memecahkannya

(Alan Saporta)

Perubahan tidak akan datang jika kita

menunggu orang lain atau lain waktu.

Diri kitalah yang ditunggu-tunggu.

Diri kitalah perubahan yang kita cari

(Barack Hussein Obama)

بْ لْطم اضر دْ صْ م تْنأ ْ لإ

“Ya Allah, Engkaulah yang aku

maksud


(6)

Karya ini dipersembahkan khusus

untuk:

Agustina, S.Psi ~ istri tercinta yang

hebat dan selalu mendukung suami

untuk meraih cita-citanya.

Farras Shakila Nasri ~ si cerdas

yang cantik, periang, kreatif dan

komunikatif.

Azzam Mubarak Nasri ~ si cerdas

yang tampan dengan senyuman

khasnya, dermawan dan teguh

pendirian.

Nadhifa Izzati Nasri ~ si cantik

yang baik budi pekertinya, lahir

pada tanggal 07 Februari 2014 dan

turut memberikan cerita haru

menjelang sidang Tesis ayahnya


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah-Nya, sehingga penulis mampu menyelesaikan tesis ini dengan semaksimal mungkin. Meskipun begitu penulis menyadari, kalau tesis ini masih banyak kekurangannya. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan adanya masukan yang membangun, agar ke depannya penulis dapat melakukan penelitian lebih baik lagi, yang akan bermanfaat untuk semuanya.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, diantaranya:

1. Ibu Irna Minauli, M.Si, Psikolog, selaku pembimbing utama dan “dosen

idola” karena penulis mendapatkan role model dari sikap kebijaksanaan beliau yang memberikan dukungan besar untuk kelancaran proses bimbingan dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi. Selain itu sikap ramah yang penuh kekeluargaan, penuh empati dan selera humor beliau yang baik, sangat

membuat “kenyamanan” sehingga memberikan motivasi yang besar sekali bagi penulis untuk melakukan yang terbaik saat menyusun Tesis ini

2. Ibu Elvi Andriani Yusuf, M.Si, Psikolog, selaku penguji II dan “dosen idola” karena penulis mendapatkan role model dari sikap beliau yang begitu humble

(meski Allah telah berikan kelebihan akan nikmat kekayaan, cantik dan pintar), selalu tampil menarik dan suka tersenyum, respect pada semua orang, tegas, tepat waktu, open minded, detail dan tersistematis dalam bekerja.


(8)

3. Istri tercinta (Tina), sang buah hati yang terkasih (Shakila, Azzam, Nadhifa), keluarga besar semuanya (almarhum/ah orangtuaku, mertua, bukde Ida sekeluarga, abang-kakakku), yang turut mendo’akan dan telah membantu sehingga menjadi penyemangat terkuat bagi penulis untuk menyelesaikan perkuliahan di Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Prof. Dr. Irmawati, Psikolog, selaku Dekan di Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si, Psikolog, selaku Koordinator Program

Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara.

6. Ibu Eka Ervika M.Si, Psikolog, selaku Koordinator kekhususan Klinis Anak dan dosen Pembimbing Akademik.

7. Seluruh staf pengajar Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara, yang telah memberikan ilmu dan pengalamannya (Pak Zul, Pak Eka, Pak Fery, Bu Desvi, Bu Yosi, Bu Asih, Bu Lela, Bu Lily, Bu Dina, Bu Eti, Bu Mutia, Bu Emi, Bu Vivi, Bang Alif, Kak Debi, Kak Rahma, Kak Rahmi, Kak Indri, Kak Liza, Kak Juli, Kak Ridhoi, Kak Lisa, Kak Cherry, Dina Nazriani).

8. Seluruh staf administrasi Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara (Kak Eli, Eko, Yudi), yang telah membantu untuk keperluan administrasi mahasiswa.

9. Kepala sekolah SMPN 1 Kutacane – Kabupaten Aceh Tenggara (Drs.M.Samin.AS, MM), semua guru dan staf sekolah, yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam penelitian ini.


(9)

10. Siswa-siswa yang sudah bersedia untuk terlibat dalam mengevaluasi dan mengisi skala, serta subjek yang terpilih dalam penelitian ini.

11. Rekan-rekan seperjuangan angkatan VI Magister Psikologi Profesi Universitas Sumatera Utara kekhususan Klinis Anak (Ayu, Wini, Nila, Yulinda, Muti, Mayang), teman-teman dari KLD (Irfan, Tika-almh, Ira, David), teman-teman dari PIO (Yuni, Uci, Karli, Gita, Kiki, Amel, Ivi, Sherry, Rara, Cici), teman-teman dari Pendidikan (Ema, Kiky, Rena, Ulfa) dan mahasiswa MP2 lainnya (Yustian prof, Ebit, Umi, Suri, Susi, Evi, Kak Ita, Kak Reni, Indy, Wina, Mbak Ning, Ayu Aceh, Aci, Meyke, Dini).

12. Tempat-tempat yang telah memberikan kenyamanan bagi penulis (kamar kos, perpustakaan USU, ruang diskusi MP2, psycholib, Mesjid Agung Medan, SUN Plaza, Plaza Medan Fair) dan fasilitas jaringan internet wifi di USU yang turut memperlancar dalam mencari bahan.

Penulis juga ingin berterima kasih pada pihak-pihak yang tidak mungkin disebutkan satu persatu, yang sudah membantu dan memberikan dukungan selama ini. Penulis hanya berharap semoga Allah SWT, akan membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda, Amin.

Medan, 11 Februari 2014 Penulis


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... HALAMAN PENGESAHAN ... HALAMAN PERNYATAAN ... HALAMAN MOTTO ... HALAMAN PERSEMBAHAN ... KATAPENGANTAR ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... ABSTRAK ...

ABSTRACT ... I II III IV V VI IX XIII XIV XV XVII XVIII BAB I BAB II PENDAHULUAN ... 1.1. Latar Belakang Masalah ... 1.2. Tujuan Penelitian ... 1.3. Manfaat Penelitian ... 1.3.1. Manfaat Teoritis ... 1.3.2. Manfaat Praktis ...

LANDASAN TEORI ... 2.1. Disruptive Behavior Disorders ...

1 1 8 8 8 8 9 9


(11)

BAB III

2.1.1. Pengertian Disruptive Behavior Disorders ... 2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior Disorders ... 2.2. Agresivitas ... 2.2.1. Pengertian Agresivitas ... 2.2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas 2.2.3. Agresivitas pada Masa Remaja ... 2.3. Anger Management Training (AMT) ... 2.3.1. Pengertian Anger Management Training ... 2.3.2. Teknik-teknik dalam Anger Management Training... 2.4. Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders ... 2.5. Hipotesis ...

METODE PENELITIAN ... 3.1. Variabel Penelitian ... 3.2. Definisisi Operasional ... 3.2.1. Agresivitas ... 3.2.2. Anger Management Training ... 3.3. Subjek Penelitian ... 3.4. Desain Penelitian ...

9

13 15 15 16 20 22 22

23

28 29

30 30 30 30 31 31 33


(12)

BAB IV

BAB V

3.5. Metode Pengumpulan Data ... 3.5.1. Skala ... 3.5.2. Wawancara ... 3.5.3. Observasi ... 3.5.4. Lembaran Tugas ... 3.6. Prosedur Penelitian ... 3.6.1. Tahap Persiapan Penelitian ... 3.6.2. Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 3.7. Analisa Data ...

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 4.1. Deskripsi Subjek Penelitian ... 4.2. Hasil Kategorisasi Subjek Penelitian ... 4.3. Hasil Uji Asumsi ... 4.3.1. Uji Normalitas ... 4.3.2. Uji Homogenitas ... 4.4. Hasil Analisa Data ... 4.5. Pembahasan ... 4.5.1. Pembahasan Data Kelompok ... 4.5.2. Pembahasan Data Individual ... 4.6. Kelebihan dan Kelemahan Penelitian ...

KESIMPULAN DAN SARAN ... 34 34 35 35 36 36 36 44 46 48 48 50 50 51 52 52 56 56 63 71 73


(13)

5.1. Kesimpulan ... 5.2. Saran ... 5.2.1. Remaja Disruptive Behavior Disorders ... 5.2.2. Guru ... 5.2.3. Peneliti Selanjutnya ...

DAFTAR PUSTAKA ...

73 73 74 74 75


(14)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.

Blue Print Skala CPRS ...

Blue Print Skala BAQ ... Norma Kategorisasi Skala CPRS ... Norma Kategorisasi Skala BAQ ... Taraf Kecerdasan Subjek dengan Alat Tes SPM ... Rancangan Modul Anger Management Training ... Hasil Seleksi Subjek Penelitian ... Jadwal Pertemuan Intervensi ... Deskripsi Umum Subjek Penelitian ... Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Skala ... Hasil Uji Normalitas Skala BAQ ... Hasil Uji Homogenitas Skala BAQ ... Hasil Independent Sample t-test Skala BAQ ... Hasil Paired Sample t-test Skala BAQ ...

36 37 39 39 40 41 43 45 49 50 51 52 53 55


(15)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Klasifikasi Perilaku Disruptive ... Kerangka Teoritis Penelitian ... Rancangan Eksperimen ... Perbedaan Mean Skor Agresivitas KE & KK ... Rentang Skor Mean Difference KE & KK ... Skor Skala BAQ - KE (Pretest - Posttest) ... Skor Skala BAQ - KK (Pretest - Posttest) ...

12 29 33 54 56 62 62


(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.

Hasil Uji Validitas Skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) ... Hasil Uji Validitas Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) ... Hasil Uji Reliabilitas Skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) ... Hasil Uji Reliabilitas Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) ... Data Skor Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) ... Hasil Uji Normalitas Skala BAQ –Pretest ...

Hasil Uji Homogenitas Data Subjek Penelitian ... Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen & Kontrol –Pretest ... Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen & Kontrol –Posttest ... Hasil Uji Paired Sample t-test di Kelompok Eksperimen ... Hasil Uji Paired Sample t-test di Kelompok Kontrol ...

80 81 83 84 85 86 87 88 89 90 91


(17)

12.

13. 14. 15. 16. 17.

18.

Modul Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disruptive Behavior Disorders ... Skala CPRS ... Skala BAQ ...

Slide Presentasi Modul Anger Management Training ...

Informed Consent ... Lembaran Tugas (1, 2 dan 3) pada Subjek di Kelompok Eksperimen ... Lembar Jawaban A2 – SPM ...

92 104 107 111


(18)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders. Subjek penelitian dipilih melalui screening dengan skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) dan pengukuran agresivitas dengan skala BAQ (Buss-Perry

Aggression Questionnaire). AMT (Anger Management Training) berupa psikoedukasi, yang mempelajari tentang pemahaman dasar marah, ekspresi marah dan akibatnya, mengidentifikasi diri saat marah, mengontrol pikiran marah dan menentukan tingkat kemarahan. Selanjutnya memahami anger management

melalui film, relaksasi otot dan pernapasan, cara menyelesaikan konflik, cara mengontrol marah dan perencanaan dalam mengontrol marah. Adapun metode yang digunakan terdiri dari diskusi kasus, latihan individual, presentasi dan

modelling perilaku. Penempatan subjek dengan random assignment dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen berjumlah 10 orang, mendapat AMT selama 3 kali pertemuan dan setiap pertemuan memerlukan waktu 120 menit. Sementara subjek di kelompok kontrol juga berjumlah 10 orang, namun tidak mendapatkan perlakuan. Pengujian hipotesis dengan teknik Independent Sample t-test dan hasilnya p = 0,000 < 0,05. Kemudian untuk melihat perbedaan tingkat agresivitas subjek di kelompok eksperimen saat pretest dan posttest

digunakan teknik Paired Sample t-test, hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean

sebesar 25,5. Hal yang sama dilakukan pada kelompok kontrol dan hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean sebesar -11,1. Dapat disimpulkan anger management

efektif untuk menurunkan agresivitas. Dalam hal ini subjek di kelompok eksperimen mengalami penurunan agresivitas setelah mendapat AMT dan subjek di kelompok kontrol mengalami peningkatan agresivitas karena tidak mendapatkan AMT. Selain itu AMT dapat pula diberikan pada individu yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, dengan memodifikasi program yang lebih berbentuk operasional konkrit.

Kata kunci: anger management training, agresivitas, disruptive behavior disorders


(19)

Abstract

The aim of this research is to determine the effectiveness of anger management training to reduce aggression in adolescent with disruptive behavior disorders. Subjects selected through screening with CPRS scale (Conduct Problem Risk Screen) and using BAQ scale (Buss-Perry Aggression Questionnaire) to measure aggression. AMT (Anger Management Training) in this research is a form of psychoeducation, which students learned about the basic understanding of angry, anger expression and it’s consequences, self identify their feelings when angry, angry thoughts controlling and determined the level of anger. Further understanding of anger management through the movie, muscle relaxation and breathing, how to resolve conflicts, how to control anger and anger planning control. The method used consists of case discussions, individual exercises, presentation and behavior modeling. The placement of the subject done by random assignment, which are divided into two groups. The experimental group consist of 10 students, received AMT for 3 times meeting and each meeting held in 120 minutes. The number of subjects in control group is 10 students also, but do not receive treatment. Hypothesis testing was done by using technique Independent Sample t-test and the result is p = 0,000 < 0,5. To measure the differences in the level of aggressiveness of the subjects in the experimental group during pretest and posttest, used Paired Sample t-test techniques, the result is p = 0,000 < 0,05 with mean 25,5. The same thing is done in the control group and the result is p = 0,000 < 0,05 with mean -11,1. It can be concluded that anger management training can reduce aggressiveness. In this case the subjects in the experimental group experienced a decrease in aggressiveness after receiving AMT while subjects in the control group increased their aggressiveness because they didn’t get AMT. In addition AMT can be given to individual with lower level of intelligence, by modifying form of the program more concrete operational.

Keywords: anger management training, aggression, disruptive behavior disorders.


(20)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan mengetahui efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders. Subjek penelitian dipilih melalui screening dengan skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) dan pengukuran agresivitas dengan skala BAQ (Buss-Perry

Aggression Questionnaire). AMT (Anger Management Training) berupa psikoedukasi, yang mempelajari tentang pemahaman dasar marah, ekspresi marah dan akibatnya, mengidentifikasi diri saat marah, mengontrol pikiran marah dan menentukan tingkat kemarahan. Selanjutnya memahami anger management

melalui film, relaksasi otot dan pernapasan, cara menyelesaikan konflik, cara mengontrol marah dan perencanaan dalam mengontrol marah. Adapun metode yang digunakan terdiri dari diskusi kasus, latihan individual, presentasi dan

modelling perilaku. Penempatan subjek dengan random assignment dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok eksperimen berjumlah 10 orang, mendapat AMT selama 3 kali pertemuan dan setiap pertemuan memerlukan waktu 120 menit. Sementara subjek di kelompok kontrol juga berjumlah 10 orang, namun tidak mendapatkan perlakuan. Pengujian hipotesis dengan teknik Independent Sample t-test dan hasilnya p = 0,000 < 0,05. Kemudian untuk melihat perbedaan tingkat agresivitas subjek di kelompok eksperimen saat pretest dan posttest

digunakan teknik Paired Sample t-test, hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean

sebesar 25,5. Hal yang sama dilakukan pada kelompok kontrol dan hasilnya p = 0,000 < 0,05 dengan mean sebesar -11,1. Dapat disimpulkan anger management

efektif untuk menurunkan agresivitas. Dalam hal ini subjek di kelompok eksperimen mengalami penurunan agresivitas setelah mendapat AMT dan subjek di kelompok kontrol mengalami peningkatan agresivitas karena tidak mendapatkan AMT. Selain itu AMT dapat pula diberikan pada individu yang memiliki kemampuan di bawah rata-rata, dengan memodifikasi program yang lebih berbentuk operasional konkrit.

Kata kunci: anger management training, agresivitas, disruptive behavior disorders


(21)

Abstract

The aim of this research is to determine the effectiveness of anger management training to reduce aggression in adolescent with disruptive behavior disorders. Subjects selected through screening with CPRS scale (Conduct Problem Risk Screen) and using BAQ scale (Buss-Perry Aggression Questionnaire) to measure aggression. AMT (Anger Management Training) in this research is a form of psychoeducation, which students learned about the basic understanding of angry, anger expression and it’s consequences, self identify their feelings when angry, angry thoughts controlling and determined the level of anger. Further understanding of anger management through the movie, muscle relaxation and breathing, how to resolve conflicts, how to control anger and anger planning control. The method used consists of case discussions, individual exercises, presentation and behavior modeling. The placement of the subject done by random assignment, which are divided into two groups. The experimental group consist of 10 students, received AMT for 3 times meeting and each meeting held in 120 minutes. The number of subjects in control group is 10 students also, but do not receive treatment. Hypothesis testing was done by using technique Independent Sample t-test and the result is p = 0,000 < 0,5. To measure the differences in the level of aggressiveness of the subjects in the experimental group during pretest and posttest, used Paired Sample t-test techniques, the result is p = 0,000 < 0,05 with mean 25,5. The same thing is done in the control group and the result is p = 0,000 < 0,05 with mean -11,1. It can be concluded that anger management training can reduce aggressiveness. In this case the subjects in the experimental group experienced a decrease in aggressiveness after receiving AMT while subjects in the control group increased their aggressiveness because they didn’t get AMT. In addition AMT can be given to individual with lower level of intelligence, by modifying form of the program more concrete operational.

Keywords: anger management training, aggression, disruptive behavior disorders.


(22)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Setiap orang pernah merasakan marah, karena marah itu adalah reaksi yang normal dan alami. Seseorang juga mungkin akan marah ketika sedang frustrasi karena kebutuhan, keinginan dan tujuannya tidak tercapai. Adakalanya pula seseorang menjadi marah di dalam situasi yang membuatnya merasa terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang wajar. Akan tetapi marah akan menjadi negatif dan tidak sehat, apabila seseorang itu menjadi tidak sabar sehingga bersikap impulsif dan melakukan agresivitas (Bhave & Saini, 2009; Reilly & Shopshire, 2002).

Mengekspresikan marah, bukan berarti seseorang harus menjadi agresivitas. Justru faktanya, dengan mengekspresikan marah dapat mencegah terjadinya agresivitas dan membuat orang lain menjadi meminta maaf (Izard dalam Thomas, 2001). Maksudnya dengan mengekspresikan marah secara positif, dapat membuat orang lain menjadi tersadar akan kesalahannya dan dapat membantu seseorang pula agar bisa bertahan dalam mengatasi permasalahannya di berbagai situasi (Averil & Novaco dalam Bhave & Saini, 2009). Dalam hal ini antara marah dan agresivitas, jelas berbeda. Dimana marah merupakan emosi, sedangkan agresivitas adalah perilaku yang dapat menyebabkan kerugian bagi orang lain atau merusak barang dan kekerasan lisan (Reilly & Shopshire, 2002).


(23)

Para ahli mendefinisisikan marah cukup beragam, karena tidak semuanya terfokus ke arah yang negatif. Menurut McCarthy, Barnes, & Alpert (dalam Blake & Hamrin, 2007), marah merupakan emosi negatif yang merusak terkait dengan penderitaan, permasalahan, mengamuk dan kebencian. Kemudian Cox, Stabb, Brucker, & Novaco (dalam Lench, 2004) berpendapat, marah ialah cara penanganan yang tidak tepat dengan keadaan menegangkan, menimbulkan konflik yang lebih besar dan membuat seseorang menjadi tidak nyaman. Bhave & Saini (2009) mengatakan, marah yaitu emosi yang disebabkan dari sumber internal dan eksternal, serta sebagai reaksi yang wajar untuk keberlangsungan hidup. Sementara Dunbar (2004) menDefinisisikan marah adalah emosi perasaan tidak menyenangkan, yang dapat berubah dari kejengkelan ringan hingga mengamuk.

Semua orang pernah mengalami marah, namun setiap orang akan menjadi penentu bagi dirinya sendiri dalam mengekspresikan marahnya. Cara seseorang dalam mengekspresikan marahnya bisa digolongkan menjadi tiga: (1) agresivitas ke orang lain (directed toward others) yaitu ekspresi marah yang merusak dengan cara negatif sehingga mengakibatkan timbulnya agresivitas secara fisik dan lisan, seperti berteriak, menjerit, memukul, menghancurkan barang, melempar buku atau kursi; (2) mengarah ke dalam diri (directed inward) atau ditekan (supressed), akibatnya juga dapat merusak pada diri seseorang, karena dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi, depresi, bunuh diri, penyakit pernapasan, membuat seseorang menjadi lebih banyak merokok, minum alkohol, gagal di sekolah dan sebagainya; (3) mengontrol dengan baik (well controlled) yaitu dengan mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).


(24)

3

Mengekspresikan marah secara positif atau terkontrol merupakan emosi yang menyehatkan dan menjadi tujuan setiap orang. Sebenarnya marah merupakan tanda atau alarm yang akan mengalir ke otak, bahwa ada sesuatu yang salah, sehingga akan memberikan energi pada tubuh berupa adrenalin untuk memperbaiki situasi yang terjadi. Saat keadaan marah terjadi, seseorang dapat memilih tiga cara primitif yang mendasar sekali untuk dilakukan yaitu: (1) dengan mempersiapkan segala sesuatu yang nantinya dapat mengancam; (2) langsung berjuang menghadapinya; dan (3) mencoba lari untuk menghindarinya (Bhave & Saini, 2009; Provenzana, 2004).

Permasalahan marah menjadi salah satu risiko terbesar yang dialami remaja khususnya laki-laki, karena emosi mereka masih kurang stabil. Dimana keadaan remaja mudah sekali terpancing marah, memiliki konflik dalam pertemanan dan melakukan agresivitas. Jika dibandingkan antara anak-anak atau orang dewasa, masa remaja cenderung lebih emosional, (Marcus, 2007). Dalam hal ini erat kaitannya dengan keadaan remaja, yang merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Meskipun begitu pada masa remaja, juga mengalami perkembangan dalam berfikir kritis (Keating dalam Santrock, 2010). Tidak dipungkiri jika dibandingkan dengan anak-anak, remaja lebih mampu menciptakan beragam pilihan, menelaah situasi dari berbagai sudut pandang, memperkirakan konsekuensi dari sebuah keputusan dan mempertimbangkan kredibilitas dari suatu sumber. Namun pada masa remaja sering pula dikaitkan dengan label juvenile delinquent (kenakalan remaja), karena perilaku remaja yang suka melanggar peraturan atau bertindak secara ilegal (Santrock, 2010).


(25)

Fakta yang terjadi di lapangan, mengenai kasus tawuran antar pelajar di Indonesia cukup memprihatinkan, karena setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. Komisi nasional perlindungan anak (Komnas PA) melaporkan tentang tawuran pelajar pada tahun 2011 tercatat 128 kasus dan sepanjang tahun 2012 menjadi 147 kasus hingga memakan korban jiwa sebanyak 82 orang (Kuwado, 2012). Kasus kenakalan pelajar yang muncul juga beragam, mulai dari melawan, berbohong, bolos, mengganggu, berkelahi, memalak (memeras) dan mencuri uang atau barang temannya. Tindakan pelajar tersebut sering diberi label sebagai anak nakal dan tingkah laku kenakalan itu dapat istilahkan dengan perilaku disruptive (Mukhtar & Hadjam, 2006).

Perilaku disruptive disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau

inapproriate behaviors (Matthys & Lochman, 2010). Dalam kehidupan sehari-hari, perilaku disruptive sering dijumpai dari masa kanak-kanak hingga remaja. Seseorang yang berperilaku disruptive dapat terjadi hanya sementara, karena hal tersebut dipengaruhi oleh watak dan faktor lingkungan. Bahkan bisa juga menetap dan berkembang, menjadi oppositional defiant disorder (ODD) atau conduct disorder (CD). Gejala yang tampak pada remaja yang disruptive, biasanya mereka dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang, atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010). Jika mengacu pada DSM-IV-TR, diagnosa untuk perilaku ODD dan CD dapat dilihat dalam kelompok disruptive behavior disorders, yang terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Sebagai gambaran, perilaku ODD tidak begitu parah dibandingkan dengan CD (American Psychiatric Association, 2000).


(26)

5

Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja

disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics, 2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).

Anger management bertujuan untuk menghindari konsekuensi negatif, akibat dari ekspresi marah yang tidak sesuai. Secara ekstrim, marah memungkinkan sekali dapat mengarah pada kekerasan atau agresivitas secara fisik. Akibatnya yang terjadi setelah itu, seseorang bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah, menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).

Penelitian tentang marah sudah banyak dilakukan dan para ahli sepakat bahwa marah akan menjadi masalah bila frekuensi, kekuatan dan lamanya marah begitu tinggi atau dikelola tidak efektif. Intervensi psikoedukasi seperti anger management training (AMT) bukanlah terapi, melainkan dapat menghasilkan potensi untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan, menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar, serta berlatih dengan cara khusus dan strategis (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001).

AMT merupakan program yang bertujuan untuk mencegah risiko kekerasan yang dialami oleh remaja, khususnya mengenai agresivitas (Marcus 2007). Secara khusus Feindler & Ecton (dalam Kellner & Bry, 1999)


(27)

menyebutkan, AMT itu meliputi: (1) menyediakan informasi kognitif dan komponen perilaku tentang marah; (2) mengajarkan teknik kognitif dan perilaku untuk mengelola marah; dan (3) memfasilitasi penerapan keterampilan baru. Keterampilan baru yang diajarkan contohnya: relaksasi, berperilaku asertif, antisipasi, instruksi diri, evaluasi diri, role play dan pemecahan masalah. Dalam hal pelaksanaan AMT menurut Feindler & Engel (2011), bisa dilakukan secara individual dan kelompok. Meskipun yang diberikan terhadap kedua bentuk itu pada prinsipnya sama, tetapi memiliki keuntungan yang berbeda (contohnya, jika diberikan secara individual maka penanganannya menjadi lebih mendalam, sedangkan jika kelompok akan memberikan kesempatan adanya contoh dari anggota kelompok dan penguat orang lain dari perilaku prososial). Namun pada umumnya AMT dilakukan secara kelompok, karena marah itu adalah emosi

interpersonal (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001).

Perintis anger management menurut Beck (dalam Dunbar, 2004) adalah Ellis, dimana marah terjadi akibat dari persepsi seseorang yang dikelola oleh pikiran dan dikeluarkan dengan ekspresi marah yang tidak sehat. Pendekatannya didesain untuk membantu klien agar menyadari, bahwa pikiran dan perasaan itu memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Dalam hal ini emosi seseorang dipengaruhi oleh persepsinya terhadap suatu kejadian dan itu merupakan asumsi dari cognitive behavioral therapy (CBT). Kemudian Dobson (2010) menyebutkan bahwa, rational emotive behavior therapy (REBT) yang ditemukan oleh Albert Ellis pada tahun 1955, menjadi petunjuk yang dicontoh oleh pendekatan cognitive behavioral. Sementara itu Dunbar (2004) menyatakan, kalau CBT merupakan


(28)

7

program dasar pencetus sebuah pendekatan holistik untuk menangani seseorang yang tidak sehat dalam mengelola marahnya.

Dari beberapa laporan penelitian disebutkan bahwa, anger management

memberikan hasil positif terhadap remaja yang nakal, mahasiswa, pengemudi dengan kemarahan yang tinggi, wanita Afrika-Amerika, agen lalu lintas kota New York, individu yang learning disabilities, veteran perang yang post traumatic stress disorder, pasien jantung dan wanita yang di penjara (Thomas, 2001). Selain itu Benson (dalam Fletcher & Poindexter, 1996) mendesain AMT, pada seseorang yang mengalami mental retardation tergolong mild hingga moderate.

Hasil penelitian dari Siddiqah (2010) tentang anger management program, memberikan sumbangan sebesar 6% untuk mengurangi perilaku agresif remaja. Kemudian penelitian dari Kellner & Bry (1999) mengenai AMT yang dilakukan secara kelompok pada 7 orang remaja di sekolah yang mengalami gangguan emosional, juga menunjukkan pengaruh positif terhadap penurunan agresif fisik dan menyarankan untuk penelitian berikutnya akan lebih baik jika adanya pendekatan yang memberikan insight pada remaja dengan diagnosa lebih khusus.

Jelas terlihat bahwa intervensi AMT memiliki pengaruh positif dan dapat mengurangi agresivitas. Oleh karena itu peneliti merasa tertarik ingin melihat efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja

disruptive behavior disorders. Apalagi sepengetahuan peneliti mengenai penelitian anger management di Indonesia hanya ada beberapa saja dan belum ditujukan untuk diagnosa khusus. Bahkan di kampus Universitas Sumatera Utara belum ada yang melakukannya, sehingga semakin memotivasi peneliti.


(29)

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah anger management training efektif untuk menurunkan agresivitas pada remaja

disruptive behavior disorders. Adapun tujuan khususnya adalah untuk melakukan perubahan berpikir pada area kognitif dan perilaku subjek, supaya mengekspresikan marahnya secara positif atau terkontrol.

1.3. Manfaat Penelitian 1.3.1. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini adalah menambah referensi bagi Psikologi Klinis, khususnya Psikologi Klinis Anak. Penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan mengenai efektivitas penerapan anger management training

untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders.

1.3.2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang bermanfaat bagi semua orang untuk mengekspresikan marahnya secara positif atau terkontrol. Selain itu modul anger management training yang telah disusun dalam penelitian ini, juga dapat dimanfaatkan nantinya oleh pihak-pihak yang berkepentingan.


(30)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Disruptive Behavior Disorders (DBD) 2.1.1. Pengertian Disruptive Behavior Disorders

Disruptive behavior disebut juga dengan perilaku yang tidak pantas atau

inapproriate behaviors. Jika perilaku tersebut sering muncul, tidak hanya hubungan seorang anak dengan sesama temannya saja yang terganggu, melainkan dengan orang dewasa ikut terganggu pula (Matthys & Lochman, 2010). Sedangkan Schroeder & Gordon (2002) menyatakan, disruptive behavior adalah bentuk perilaku yang negatif seperti mengamuk, merengek atau menangis yang berlebihan, menuntut perhatian, tidak patuh, melawan, melakukan agresivitas yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, mencuri, berbohong, merusak barang dan kenakalan (delinquency).

Mengacu pada DSM-IV-TR (diagnostic and statistical manual of mental disorders–fourth edition–text revision), disruptive behavior disorders merupakan bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dimana ODD dan CD, terpisah dengan attention deficit/hyperactivity disorder (AD/HD). Singkatnya, perilaku ODD tidak begitu parah dibandingkan CD, yang melakukan agresivitas pada orang atau hewan, merusak barang, mencuri atau menipu (Loeber, et al. dalam Mash & Wolfe, 2005; American Psychiatric Association, 2000).


(31)

Bentuk perilaku ODD menunjukkan sikap yang tidak pantas diusianya yang terjadi berulang-ulang, seperti keras kepala, bermusuhan dan melawan. Sementara perilaku CD, bentuk agresivitasnya sudah lebih parah yang terjadi berulang-ulang dan menetap, serta perilaku antisosialnya sudah membuat luka atau melanggar hak-hak orang lain, baik secara fisik, perkataan kasar, mencuri, atau melakukan kerusakan (Mash & Wolfe, 2005). Perbedaan yang mendasar antara ODD dengan CD bukan hanya dari tingkat keparahannya saja, melainkan juga dari perkembangan dan hirarki yang menghubungkan diantara keduanya, bahwa gejala ODD sering muncul sebelum berkembang menjadi CD yaitu sebelum masa pubertas pada anak laki-laki (Sutker & Adams, 2002). Ketika bentuk perilaku individu ada pada kedua kriteria untuk ODD dan CD, dalam hal ini dalam menentukan diagnosanya akan menjadi CD (American Psychiatric Association, 2000).

Berdasarkan Mash & Wolfe (2005); Schroeder & Gordon (2002); Matthys & Lochman (2010); American Psychiatric Association (2000), kriteria diagnostik untuk perilaku ODD yang tertera di DSM adalah: merupakan bentuk perilaku yang negativistik, bermusuhan dan melawan setidaknya terjadi pada 6 bulan terakhir, kemudian gejala yang muncul bisa 4 atau lebih seperti:

1) sering mengamuk.

2) sering membantah dengan orang dewasa.

3) sering melawan atau menolak untuk menuruti permintaan atau aturan dari orang dewasa.


(32)

11

5) sering menyalahkan orang lain atas kesalahan atau perilaku tidak pantas yang sudah dilakukannya.

6) sering tersinggung atau mudah terganggu dengan orang lain. 7) sering marah dan membenci.

8) sering iri hati atau membalas dendam.

Adapun acuan kriteria diagnostik untuk perilaku CD seperti yang tertera di DSM yaitu: pola perilaku yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau tidak sesuai dengan norma sosial untuk seusianya, yang terjadi berulang-ulang dan menetap, ditunjukkan dengan 3 gejala atau lebih pada 12 bulan yang lalu, setidaknya 1 gejala di 6 bulan terakhir diantaranya:

1) sering menggangu, mengancam, atau mengintimidasi orang lain. 2) sering memulai perkelahian fisik.

3) menggunakan senjata yang menyebabkan luka fisik serius seperti: dengan tongkat pemukul, batu bata, pecahan botol, pisau dan pistol.

4) melakukan kekejaman fisik pada orang lain. 5) melakukan kekejaman fisik pada hewan.

6) mencuri yang berhadapan dengan korbannya seperti: merampok, mengambil dompet, pemerasan dan menyamun.

7) memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual.

8) membakar sesuatu yang menimbulkan kerusakan serius dengan tujuan mencari perhatian.

9) sengaja menghancurkan barang milik orang lain selain membakar. 10) merusak rumah orang lain, gedung atau mobil.


(33)

11) sering berbohong untuk mendapatkan barang atau meminta pertolongan atau menghindari kewajiban seperti menipu orang lain.

12) mencuri sesuatu yang tidak berharga tanpa menghadapi korbannya seperti mencuri di toko tetapi tanpa merusak atau menyelusup dan pemalsuan.

13) sering keluar rumah pada malam hari meskipun orang tua melarang, berawal sebelum usia 13 tahun.

14) melarikan diri dari rumah selama semalam setidaknya dua kali saat tinggal dengan orang tua atau di rumah sebagai pengganti orang tua, atau sekali tanpa pulang dalam waktu yang panjang.

15) sering bolos dari sekolah, berawal sebelum usia 13 tahun.

Kemudian Frick et al. (dalam Schroeder & Gordon, 2002), membuat klasifikasi mengenai disruptive behavior menjadi dua dimensi yaitu: (1) covert-overt dan (2) destructive-nondestructive. Supaya memudahkan untuk memahami hal tersebut, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini:

Gambar 1. Klasifikasi Perilaku Disruptive Destructive

Menghancurkan barang Agresif

Mencuri Kejam

Main api Menyerang

Merusak Berkelahi

Berbohong Menindas

Kejam pada hewan Balas dendam

Covert Overt

Sakit hati Melawan

Bolos Mengamuk

Penyalahgunaan obat Tidak patuh

Melarikan diri Berdebat

Bergadang Mengganggu orang lain

Keras kepala

Menentang orang dewasa Mudah tersinggung

Marah Nondestructive


(34)

13

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders adalah bentuk perilaku negatif atau antisosial, dimana tindakan yang dilakukan sudah tidak sesuai dengan norma sosial, yang terjadi secara berulang-ulang dan menetap, akibatnya tidak hanya merugikan pada diri individu itu sendiri namun juga pada orang lain. Bahkan perilaku individu tersebut sudah melanggar hak-hak dasar orang lain dan sudah tidak pantas lagi untuk usianya.

2.1.2. Faktor-faktor Penyebab Disruptive Behavior Disorders

Penyebab disruptive behavior disorders cukup beragam, akan tetapi Schroder & Gordon (2002) membaginya menjadi tiga faktor yaitu:

1) Faktor genetik atau biologis

Penyebab disruptive behavior disorders dari faktor genetik menjadi dasar karakteristik seseorang atau predisposisi. Berdasarkan hasil penelitian terkini jika dilihat dari perbedaan jenis kelamin, dinyatakan bahwa anak laki-laki lebih disruptive dibandingkan anak perempuan. Aspek temperamen juga mengakibatkan perilaku disruptive diantaranya: regulasi emosi, reaktifitas yang intens (khususnya frustrasi), emosi negatif dan gampang marah, kemampuan dalam mengontrol diri, serta pendekatan yang tinggi atau lemah untuk menghindar (dapat memunculkan perilaku berisiko). Plomin (dalam Schroder & Gordon, 2002) menyimpulkan bahwa, komponen genetik cukup besar pengaruhnya pada orang dewasa yang memiliki perilaku antisosial dan kriminalitas. Namun Rutter et al. & Schmitz et al. (dalam Schroder & Gordon, 2002) membantah, dimana hubungan genetik lebih mungkin


(35)

ditemukan dalam kasus-kasus perilaku antisosial yang berlanjut sampai dewasa, sedangkan kasus-kasus yang mengalami penurunan perilaku antisosial pada usia tertentu lebih cenderung didasarkan oleh lingkungan. 2) Faktor keluarga

Penyebab disruptive behavior disorders pada faktor keluarga, yaitu terkait degan disfungsi orang tua dalam mengasuh. Dalam hal ini ada beberapa hal yang mempengaruhinya yaitu: perlakuan orangtua (gaya pendisiplinan, kehangatan vs permusuhan, pengawasan terhadap anak), psikopatologi orangtua (seperti ibu yang depresi, gangguan kepribadian, penggunaan obat terlarang dan perilaku antisosial atau kriminal), perkawinan/orangtua yang disfungsi (seperti perceraian atau berpisah, konflik, kekerasan pada pasangan) dan konflik saudara kandung.

3) Faktor lingkungan

Faktor lingkungan atau keadaan di sekitar seseorang yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan, juga dapat menyebabkan

disruptive behavior disorders sehingga memunculkan permasalahan perilaku antisosial. Status sosial ekonomi rendah yang terkombinasi dengan stres kronik, orangtua tunggal, isolasi sosial, kurangnya stimulasi dari lingkungan dan keterbatasan pengetahuan, dapat mengakibatkan gejala depresi pada ibu, yang berpengaruh terhadap perlakuan orangtua menjadi kurang baik. Selain itu lingkungan miskin juga cukup membahayakan bagi anak, dimana mereka sering melihat role model yang menampilkan kekerasan, penyalahgunaan obat terlarang dan bersekolah dengan keadaan yang memprihatinkan.


(36)

15

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa disruptive behavior disorders dapat disebabkan oleh faktor keluarga karena disfungsi orangtua dalam mengasuh, faktor genetik atau biologis meskipun mejadi predisposisi jika kasus perilaku antisosialnya berlanjut sampai dewasa, namun jika mengalami penurunan pada usia tertentu cenderung disebabkan oleh faktor lingkungan yang terkait dengan status sosial ekonomi rendah atau kemiskinan.

2.2. Agresivitas

2.2.1. Pengertian Agresivitas

Agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Adapun menurut Coccaro (2003) agresivitas sebuah perilaku yang berhubungan, dari mengamuk hingga melakukan tindakan kejahatan, termasuk marah, permusuhan, gampang marah dan impulsif. Kemudian Parke & Slaby (dalam Eisenberg, 2006) mengatakan, agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud dapat merugikan atau melukai orang lain. Lebih luas Loeber (dalam Eisenberg, 2006) mendefinisikan agresivitas akan memunculkan perilaku antisosial, yang menyebabkan kerugian secara fisik atau mental, kerusakan barang atau hilang dan kemungkinan bisa menjurus ke arah yang kriminal dengan melanggar hukum.

Sementara Collins Concise Dictionary (dalam Harding, 2006), agresivitas diartikan sebagai sebuah serangan, tindakan yang merugikan, aktivitas yang tidak sopan, permusuhan atau sikap mental yang dapat merusak. Begitu pula menurut VandenBos (dalam Marcus, 2007), agresivitas berdasarkan kamus psikologi


(37)

adalah perilaku yang menimbulkan kerugian, kerusakan atau mengalahkan orang lain. Selain itu Geen (dalam Russell, 2008) menjelaskan, agresivitas memberikan stimulus aversif dari satu orang ke yang lainnya, dengan maksud melukai dan berekspektasi setelah melukai membuat orang lain termotivasi untuk lolos atau menghindari stimulus. Selanjutnya Anderson & Bushman (dalam Russell, 2008) menyimpulkan bahwa agresivitas yaitu perilaku diarahkan pada orang lain yang dilakukan saat itu dengan maksud untuk melukai. Sebagai tambahan pelaku mempercayai kalau perilakunya akan melukai target dan si target menjadi termotivasi untuk menghindari perilaku tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas adalah perilaku yang memiliki maksud untuk melukai dan menyakiti orang lain, baik secara fisik atau verbal sehingga menyebabkan kerugian dan kerusakan, bahkan dapat memunculkan perilaku antisosial. Dimana perilakunya juga memiliki tujuan untuk mengalahkan orang lain, membuat orang yang menjadi korbannya akan termotivasi untuk lolos dan menghindar.

2.2.2. Faktor-faktor yang Menyebabkan Agresivitas

Menurut Baron & Branscombe (2012), ada empat faktor yang menyebabkan agresivitas diantaranya:

1) Faktor sosial (social)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor sosial, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: frustrasi (frustration), provokasi langsung (direct provocation) dan kekerasan dalam media (media violence). Seseorang akan frustrasi saat ia tidak


(38)

17

mendapatkan, apa yang diinginkan atau seperti yang diharapkannya. Mengenai teori agresivitas yang disebabkan oleh frustrasi, Dollard et al. (dalam Baron & Branscombe, 2012) membaginya menjadi dua diantaranya: (a) frustrasi selalu mengarah ke salah satu bentuk agresivitas; dan (b) agresivitas selalu berasal dari adanya frustrasi. Namun kenyataan lain menunjukkan bahwa ketika seseorang frustrasi, ternyata tidak selalu merespon dengan melakukan agresivitas. Dimana respon yang terjadi bisa saja kesedihan, keputusasaan, atau depresi. Dalam hal ini frustrasi hanya salah satu hal penting, yang dapat menyebabkan agresivitas. Adapun provokasi langsung yang memiliki efek paling kuat terhadap agresivitas adalah saat orang lain merendahkan seseorang dengan ekspresi yang sombong atau menghina (Harris dalam Baron & Branscombe, 2012). Begitu pula dengan kritik yang kasar dan tidak sopan, terutama jika diarahkan pada diri seseorang daripada perilakunya (Baroon, dalam Baron & Branscombe, 2012). Selain itu candaan dengan pernyataan yang menyebutkan kekurangan dan kecacatan seseorang (Kowalski dalam Baron & Branscombe, 2012). Sementara itu munculnya agresivitas juga bisa disebabkan oleh kekerasan dalam media berupa film, televisi dan video games. Beberapa hasil penelitian dengan jelas menyatakan, semakin banyak film atau program televisi yang menampilkan kekerasan dan ditonton oleh anak-anak, maka tingkat agresivitasnya akan semakin tinggi ketika remaja atau dewasa sehingga memungkinkan mereka dapat ditahan karena tindak kejahatan.

2) Faktor budaya (cultural)


(39)

yaitu: “kehormatan pada budaya (cultures of honor)“, kecemburuan seksual (sexual jealousy) dan peran pada laki-laki (the male gender role). Beberapa norma disebuah negara memperbolehkan adanya agresivitas atas nama kehormatan. Sebagai contoh banyak tema film Barat yang lama dengan karakter, terpaksa menembak seseorang karena kehormatannya ternodai. Terlihat juga di film Asia, yang bercerita tentang perkelahian diantara pendekar untuk mengetahui siapa yang lebih hebat. Begitu pula dengan kecemburuan seksual yang terkait dengan perselingkuhan pada pasangan, memiliki proporsi yang besar terhadap agresivitas. Dimana kecemburuan merupakan emosi yang begitu kuat, dengan perasaan dihianati dan marah. Selain itu peran pada laki-laki, di negara manapun akan mengaitkan kejantanan dengan pertumbuhan yang optimal dan kematangan seksual. Dalam hal ini saat kejantanan seorang lelaki ditantang, ia lebih memilih untuk melakukan agresivitas.

3) Faktor pribadi (personal)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor pribadi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: keperibadian (personality), narsis (narcissism) dan perbedaan jenis kelamin (gender differences). Dalam hal ini jika seseorang memiliki kepribadian seperti berikut ini: (1) sangat kompetitif; (2) selalu dalam keadaan terburu-buru; (3) cepat sekali marah dan melakukan agresivitas. Gambaran kepribadian tersebut cenderung menunjukkan agresivitas lebih tinggi dibeberapa situasi dan melakukan hostile aggression yang bertujuan untuk melukai korbannya. Meskipun ada indikasi lain pula pada orang tersebut untuk melakukan instrumental aggression, yang bertujuan selain melukai korbannya,


(40)

19

juga berkeinginan untuk mendapatkan sesuatu yang bernilai atau pujian dari orang lain dengan bersikap kasar. Selain itu orang yang memiliki sifat narsis yang tinggi, juga akan menunjukkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan Bushman et al. (dalam Baron & Branscombe, 2012), yang menyatakan bahwa bila seseorang setuju dengan pernyataan berikut: “Jika saya mengatur dunia, maka dunia akan menjadi lebih baik” dan

“Saya lebih bisa melakukan apapun dibanding orang lain.” Reaksi yang berlebih seperti itu akan meningkatkan agresivitas saat egonya merasa terancam, apalagi saat orang lain meragukan dirinya, yang membuat harga dirinya menjadi terserang. Selain itu terkait perbedaan jenis kelamin, berdasarkan penelitian dilaporkan bahwa, agresivitas laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan. Agresivitas yang dilakukan laki-laki akan langsung ditujukan pada target, seperti menyerang dengan fisik, mendorong, melempar, berteriak dan menghina (Bogard et al.; Bjorkqvist et al. dalam Baron & Branscombe, 2012).

4) Faktor situasi (situational)

Agresivitas yang disebabkan oleh faktor situasi, dipengaruhi oleh beberapa hal yaitu: suhu (temperature) dan alkohol (alcohol). Terkait dengan suhu, dari beberapa hasil penelitian dilaporkan bahwa ada hubungan antara agresivitas dengan suhu yang panas (Anderson et al. dalam Baron & Branscombe, 2012). Selanjutnya mengkonsumsi alkohol, juga dapat meningkatkan agresivitas. Hal ini diperkuat dari beberapa eksperimen pada orang yang mengkonsumsi alkohol sehingga menjadi mabuk, ditemukan agresivitasnya menjadi lebih


(41)

tinggi dan membuatnya juga menjadi lebih mudah terprovokasi dibandingkan dengan orang yang tidak mengkonsumsi alkohol (Bushman et al. dalam Baron & Branscombe, 2012).

Sementara Buss-Perry (dalam Demirtas, 2012) menyimpulkan ada empat faktor yang memunculkan agresivitas diantaranya: physical aggression

(agresivitas fisik), anger (marah), hostility (permusuhan, kebencian) dan verbal aggression (agresivitas verbal).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa agresivitas dapat disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya agresivitas fisik, marah, permusuhan dan agresivitas verbal. Dimana faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari diri pribadi seseorang, sosial, budaya suatu negara dan situasi tertentu.

2.2.3. Agresivitas pada Masa Remaja

Masa remaja merupakan masa transisi yang terkait dengan kepribadian, fisik, akademik dan sosial. Sebagian dari remaja mampu melewati masa transisi ini, meskipun adapula yang kesulitan. Transisi yang nyata pertama kali terlihat adalah, perubahan dengan keadaan sekolah. Dalam hal ini remaja mengalami transisi dari SD ke SMP dan lanjut ke SMA. Meskipun transisi dengan keadaan sekolah tidak secara khusus berpengaruh terhadap meningkatnya agresivitas, tetapi dari hasil penelitian menunjukkan terjadinya penurunan dalam tugas akademik, meningkatnya kebencian pada pengalaman di sekolah dan rendahnya harga diri (Wigfield et al. dalam Marcus, 2007). Namun pada saat remaja awal, gangguan pubertas sangat berpengaruh terhadap mood dan memungkinkan


(42)

21

agresivitas anak laki-laki menjadi meningkat karena hormon testosteronpun meningkat diusia 12-14 tahun (Lee et al. dalam Marcus, 2007).

Dari beberapa ulasan penelitian menyebutkan bahwa, kesulitan yang dialami pada masa remaja semakin meningkat dan adanya beberapa gangguan di dalam perkembangannya. Gangguan yang dialami yaitu: (1) konflik dengan orangtua, dimana remaja cenderung melawan dan menentang otoritas orang dewasa sehingga konflik menjadi meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja awal; (2) gangguan mood, dimana emosi remaja cenderung berubah-ubah dibandingkan anak-anak atau orang dewasa sehingga frekuensi depresi mood juga meningkat, biasanya terjadi pada masa remaja pertengahan; dan (3) perilaku yang berisiko, dimana remaja kemungkinan menyebabkan gangguan di masyarakat dan berperilaku yang dapat melukai dirinya sendiri atau orang-orang di sekitarnya, biasanya terjadi pada masa remaja akhir (Arnet, dalam Marcus, 2007).

Selain itu masa remaja biasanya lebih dikenal sebagai masa yang penuh risiko dan memungkinkan dapat memunculkan agresivitas yang tinggi. Hal ini diperkuat dari data yang diperoleh pada remaja yang usianya 14-18 tahun, dimana 42% laki-laki dan 28% perempuan melakukan penyerangan secara fisik (USDHHS, dalam Marcus, 2007). Bahkan kematian diusia remaja antara 15-24 tahun, yang disebabkan oleh pembunuhan menduduki urutan kedua jika dibandingkan dengan usia perkembangan lainnya (NCHS, dalam Marcus, 2007). Selain itu dari survey yang dilakukan tentang kejahatan, pada usia 12-19 tahun menunjukkan hasil yang begitu tinggi karena menjadi korban kekerasan oleh kelompok diusianya (Snyder et al. dalam Marcus, 2007).


(43)

2.3. Anger Management Training (AMT) 2.3.1. Pengertian Anger Management Training

Anger management training merupakan pelatihan yang diberikan pada seseorang dengan tujuan agar ia mampu mengekspresikan marahnya dengan cara yang tepat sehingga membuat nyaman pada dirinya sendiri dan orang lain (Bhave & Saini, 2009). Sementara Gentry (2007) menyimpulkan, anger management

training adalah suatu pelatihan untuk menangani permasalahan marah yang terkait dengan pikiran, sehingga membuat seseorang berespon dengan tepat akan perasaannya, bertanya dengan pertanyaan yang sesuai disaat marah, bagaimana menentukan pilihan ketika sedang marah dan mengambil tindakan atas konsekuensi perilaku yang telah membuatnya sakit hati.

Sedangkan Gulbenkoglu & Hagiliassis (2006) membuat pengertian tentang anger management training ialah suatu pelatihan yang bukan memiliki tujuan untuk menghilangkan marah, karena marah merupakan emosi yang normal, melainkan dengan memberikan semangat pada seseorang agar mengelola marahnya dengan cara yang konstruktif dan efektif. Adapun Marcus (2007) menjelaskan, anger management training adalah pelatihan yang akan membantu seseorang mengenali isyarat dari tubuhnya disaat marah, menggunakan pernyataan diri yang positif dan belajar teknik-teknik mengurangi stres seperti menghitung mundur untuk mengontrol marahnya.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa anger management training merupakan bentuk pelatihan yang bertujuan agar seseorang mampu menggunakan cara-cara yang konstruktif dan efektif dalam mengelola marahnya,


(44)

23

dengan mempelajari teknik-teknik yang dapat mengurangi stres sehingga ekspresi marahnya tersalurkan secara tepat.

2.3.2. Teknik-teknik dalam Anger Management Training

Menurut Bhave & Saini (2009), ada empat belas teknik yang perlu dipelajari dalam anger management training diantaranya:

1) Menyebutkan sebuah mantra

Dengan mengulang dan menyebutkan kata-kata yang menenangkan, efeknya dapat membawa kedamaian pada pikiran seperti: rileks, tetap tenang, lalu dikombinasikan dengan menarik napas yang dalam hingga dapat dirasakan emosi yang semakin bisa dikontrol.

2) Role playing

Sebelumnya perlu sekali belajar memahami akan isyarat pada tubuh yang dapat menimbulkan marah, seperti wajah terasa menjadi panas, tangan menjadi dingin atau bergetar dan gagap saat berbicara. Kemudian gunakankanlah teknik yang dapat membantu diri, untuk mencegah timbulnya marah yang tidak terkontrol. Dalam hal ini jika merasa akan munculnya marah dalam perdebatan yang semakin memanas, lebih baik berhentilah dan keluarlah dari situasi itu.

3) Pergi menjauh ketika orang lain berteriak

Maksudnya pada saat sedang marah, sebaiknya pergi keluar dari situasi tersebut dan duduklah sendiri untuk menenangkan diri.


(45)

Disaat diri sudah tenang dan sudah dapat berfikir secara rasional, setelah itu boleh kembali ke situasi sebelumnya.

5) Keluarkanlah kemarahan sebelum bertemu orang yang membuat marah Cara yang bisa dilakukan yaitu: (a) dengan membayangkan orang tersebut ada duduk dihadapan dan memberikan izin untuk mengatakan apapun yang diinginkan, karena hal ini dapat membuang rasa sakit kemarahan dan kebencian yang dirasakan; (b) boleh pula dengan menulis surat kemarahan dan menangis setelah membacanya sekali, karena hal ini dapat melepaskan beban yang dirasakan sehingga bila nantinya akan bertemu orang tersebut membuat diri dapat tetap tenang, sebab sudah mengeluarkan kemarahan pada waktu sebelumnya; (c) boleh juga dengan melakukan beberapa olahraga fisik seperti berlari, berenang, atau melakukan teknik relaksasi, mendengarkan musik sebelum pergi dan bertemu dengan orang atau situasi yang dapat menyebabkan marah.

6) Belajar untuk berdamai pada diri sendiri

Hal-hal yang bisa dilakukan yaitu: menikmati apa saja yang sudah dimiliki, tidak perlu harus selalu bersama orang lain disetiap waktu, adakalanya perlu sendiri karena akan memberikan waktu dalam merefleksikan apapun yang membuat lebih menyadarkan diri dan memperbaikinya. Kemudian saat merasakan marah, cobalah untuk membayangkan bagaimana ganas dan jeleknya wajah yang tampak, apalagi jika sampai terlihat oleh orang yang disayangi. Saat sudah membayangkan bagaimana reaksi yang akan terjadi dengan tampilan diri yang negatif, maka cara itu akan membantu supaya lebih


(46)

25

tenang. Pada orang yang sangat kaku dan keras, ternyata membuat mereka akan lebih mudah marah. Oleh karena itu mereka perlu belajar untuk melepaskan ketegangan dan perasaan marah dengan bersikap tenang dan tertawa pada diri sendiri.

7) Lihat ke kaca pada saat marah untuk melihat wajah yang tidak menyenangkan 8) Memperbaiki pengaturan waktu

Dalam hal ini janganlah mengatur jadwal dan batas akhir pengumpulan yang tidak realistik atau menunda-nunda untuk diri sendiri dan orang lain. Kemudian usahakanlah untuk melakukan banyak hal pada waktu yang sedikit dan menghindari stres karena hal itu dapat memicu marah.

9) Mencoba dengan gaya hidup yang sehat

Memakan makanan yang sehat, rutin berolahraga dan istirahat yang cukup. 10) Belajar untuk berpikir dan mengekspresikan emosi yang positif

Perlu disadari, kalau manusia memiliki kesalahan. Kemudian cobalah belajar untuk menerima dan menyadari, kalau diri sendiri juga bisa salah dan akuilah itu. Pada beberapa situasi marah, seseorang mampu meminta maaf dengan setulus hati, begitu pula dengan diri sendiri yang harus bisa pula untuk meminta maaf pada orang lain. Dimana memaafkan juga merupakan alat yang dapat mengurangi marah, meningkatkan harga diri dan memiliki harapan untuk ke depannya (Enright, dalam Bhave & Saini, 2009).

11) Bertindak seperti orang dewasa yang matang dan bertanggung jawab

Kemarahan banyak menghancurkan pernikahan. Daripada berkelahi, Mace et al. (dalam Bhave & Saini, 2009) menyarankan, agar mengakui kemarahan,


(47)

kemudian kontrollah atau ringankanlah, lalu mintalah pada pasangan untuk membantu dalam menguraikan apa yang sudah dilakukan keduanya dan peduli terhadap tindakan pasangan yang sudah dilakukan pada situasi tersebut, yang berakhir dengan kesepakatan bersama.

12) Belajar untuk meminta maaf dan memaafkan

Ada beberapa hal yang perlu dilakukan yaitu: (a) cobalah untuk melihat situasi dari perspektif orang lain ketika merasakan marah; (b) ingatlah bahwa setiap orang punya kesalahan dan hal itu merupakan proses bagi seseorang untuk belajar memperbaikinya; (c) temukan sebuah role model dari seseorang yang telah mampu menangani permasalahan terhadap keadaan yang sulit dengan kehidupan yang tenang dan bahagia, dengan menemukan cara yang dilakukannya untuk diterapkan pada diri sendiri; (d) ingatlah bahwa apapun yang ada pada dirimu dapat merubah dirimu dan responmu pada orang lain, yang memungkinkan juga dapat merubah respon orang lain pada dirimu. Dimana marah tidak menyelesaikan terhadap situasi tertentu, justru berakibat sakit yang akan berpengaruh pada diri sendiri; (e) saat seseorang menyakiti atau salah dan merasa menyesal, tidak ada salahnya untuk dimaafkan. Menurut Ohbuchi et al. dalam Bhave & Saini (2009), menerima maaf dapat mengurangi agresivitas dan memperbaiki kesan terhadap orang yang memaafkan. Bahkan Holmes, dalam Bhave & Saini (2009) mengatakan, permohonan maaf yang tulus sangat efektif untuk mengurangi marah; (f) tidak perlu berteriak dan bersuara keras, karena seseorang akan menjadi asertif dan mau mengatakan alasan perilakunya yang telah mengganggu; (g)


(48)

27

komunikasi yang keliru dapat menyebabkan banyak kesalahpahaman; (h) jika berdiskusi dengan tenang, maka memungkinkan untuk mendapatkan pemecahan masalah karena tidak berespon marah.

13) Menghindari konflik

Sebelum mengatakan yang tidak pantas berpikirlah apakah hal itu akan menyelesaikan masalah atau memperkeruh dan janganlah sampai mengamuk atau berkelahi saat menyatakan kritik, kekecewaan, marah atau tidak senang. 14) Jangan marah selama diskusi atau berdebat

Mencoba mengubah marah dan irrational thought, dengan cara yang lebih rasional dan pikiran yang tenang. Dimana pada anger management training

termasuk di dalamnya: conceptual reframing atau cognitive restructuring, mengidentifikasi stimulus penyebab dan pelatihan relaksasi yang berguna untuk mengurangi ketegangan fisik akibat marah sehingga tidak menjadi agresivitas. Kemudian gunakanlah pernyataan yang mengekspresikan perasaan, daripada pernyataan yang menyalahkan orang lain. Contohnya katakanlah: “Aku kecewa karena sudah menjaga kamarku tetap bersih tapi kau berantakin, karena aku capek membersihkannya.”Daripadamengatakan: “Kau sangat jorok atau kau selalu membuat kamarku berantakan.” Selain itu

cobalah menerima setiap orang tidak seperti dirimu, tak ubahnya dirimu tidak akan sama seperti orang yang dijumpai. Maksudnya jika tidak memaksakan semua orang di sekitar akan menyetujui seperti yang diinginkan, maka seseorang tidak akan kecewa dan marah saat ada beberapa orang lain yang tidak suka dengannya.


(49)

2.4. Efektivitas Anger Management Training untuk Menurunkan Agresivitas pada Remaja Disrutive Behavior Disorders

Mengacu pada DSM-IV-TR, disruptive behavior disorders merupakan bentuk dari perilaku antisosial, yang terbagi menjadi dua kriteria yaitu conduct disorder (CD) dan oppositional defiant disorder (ODD). Dalam hal ini remaja yang disruptive dengan sengaja melanggar peraturan seperti mencuri, merusak barang-barang, atau menyerang (American Academy of Pediatrics, 2010).

Perilaku disruptive merupakan bentuk ekspresi marah yang negatif dan tidak sehat, karena sudah memunculkan agresivitas (Bhave & Saini, 2009). Dimana agresivitas merupakan perilaku yang memiliki maksud untuk menyakiti seseorang baik secara fisik atau verbal (Myers, 2010). Akibatnya yang terjadi setelah itu, remaja tersebut bisa saja akan ditangkap atau dipenjara, mengalami luka fisik, membalas dendam, kehilangan orang yang disayang, merasa bersalah, menjadi malu atau menyesal (Reilly & Shopshire, 2002).

Dikarenakan remaja yang berperilaku disruptive tidak hanya akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk mengatasi permasalahan tersebut, penanganan dan pencegahan terhadap remaja

disruptive sangat perlu dilakukan. Salah satu intervensi psikososial yang sangat disarankan yaitu dengan mengontrol marah (American Academy of Pediatrics, 2010), atau disebut juga dengan anger management karena merupakan cara terbaik dalam mengekspresikan marah secara positif (Bhave & Saini, 2009).

Anger management training (AMT) merupakan program yang bertujuan untuk mencegah risiko kekerasan khususnya agresivitas pada remaja dan didesain


(50)

29

untuk membantu mengurangi intensitas dan durasi emosi marah (Marcus, 2007). Dalam hal ini AMT bukanlah terapi, melainkan salah satu bentuk intervensi psikoedukasi yang manfaatnya dapat menghasilkan potensi untuk perubahan perilaku dengan meningkatkan pengetahuan, menyediakan perspektif baru, memberikan klien kesempatan untuk belajar (Anderson, et al. dalam Thomas, 2001), dan berlatih teknik-teknik mengontrol marah (Bhave & Saini, 2009). Secara singkat kerangka teoritis penelitian, ada pada gambar 2 di bawah ini:

Gambar 2. Kerangka Teoritis Penelitian

2.5. Hipotesis

Hipotesis yang ditetapkan berdasarkan kerangka teoritis penelitian ini adalah sebagai berikut:

Ho = Tidak ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders

sesudah mendapatkan intervensi anger management training.

Ha = Ada penurunan agresivitas pada remaja disruptive behavior disorders

sesudah mendapatkan intervensi anger management training.

Remaja disruptive behavior disorders (DBD):

oppositional defiant disorder (ODD)

conduct disorder (CD)

Mengekspresikan marah secara

negatif

Mendapat konsekuensi

negatif Marah diekspresikan secara

positif atau terkontrol

Agresivitas menurun

Anger Management Training (AMT):

Psikoedukasidengan belajar teknik-teknik mengontrol marah

Memunculkan agresivitas:

 fisik


(51)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan merupakan jenis penelitian True Experimental Designs dengan desain The Pretest-Posttest Control Group Design.

3.1. Variabel Penelitian

Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat (dependent variable) adalah agresivitas dan variabel bebasnya (independent variable) yaitu anger management training.

3.2. Definisisi Operasional 3.2.1. Agresivitas

Agresivitas adalah segala perilaku yang memiliki tujuan untuk melukai dan menyakiti orang lain, baik secara fisik atau verbal seperti: mengganggu, marah, memukul, mengejek, menghina, berkelahi, melaga (menyuruh orang untuk berkelahi), mendorong, menampar, menendang dan mengancam. Pengukuran tingkat agresivitas terhadap subjek dilakukan dengan menggunakan terjemahan dari skala Buss-Perry Aggression Questionnaire (BAQ), yang berisi 29 aitem (Demirtas, 2012). Skala ini mengungkap empat faktor yaitu: physical aggression,

anger, hostility dan verbal aggression. Alternatif jawaban hanya terdiri dari 5 karena dalam bentuk skala Likert, dari tidak pernah (skor 0) hingga sangat sering


(52)

31

(skor 5). Total skor akan mengindikasikan terhadap tinggi rendahnya agresivitas, maksudnya jika semakin tinggi skor yang diperoleh subjek, berarti semakin tinggi agresivitas yang dimilikinya.

3.2.2. Anger Management Training

Anger management training (AMT) merupakan intervensi berupa psikoedukasi, yang diberikan kepada remaja disruptive behavior disorders, bertujuan untuk membantu mereka agar mampu mengontrol marahnya dengan positif karena mengekspresikan marahnya dengan cara yang sehat sehingga nantinya dapat menurunkan agresivitas. Materi dan teknik-teknik yang diberikan pada AMT ini, dikembangkan peneliti dari beberapa buku yaitu: anger management for men (Greene, 2003); anger management (Bhave & Saini, 2009); dan anger management for substance abuse and mental health clients (Reilly & Shopshire, 2002). AMT akan dilakukan selama tiga kali pertemuan (pada pertemuan pertama ada 4 sesi, pertemuan kedua ada 1 sesi dan pertemuan ketiga ada 4 sesi), yang memerlukan waktu 2 jam (120 menit) disetiap pertemuannya.

Materi AMT yang dipelajari dalam penelitian ini yaitu tentang pemahaman dasar marah, ekspresi marah dan akibatnya, mengidentifikasi diri saat marah, mengontrol pikiran marah dan menentukan tingkat kemarahan, memahami

anger management melalui film, relaksasi otot dan pernapasan, cara menyelesaikan konflik, cara mengontrol marah dan perencanaan dalam mengontrol marah. Adapun metode AMT yang digunakan terdiri dari diskusi kasus, latihan individual, presentasi dan modelling perilaku.


(53)

3.3.Subjek Penelitian

Subjek penelitian dipilih dengan teknik purposive sampling, yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan atas ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Hadi, 2000). Dalam hal ini subjek yang dipilih adalah remaja yang tergolong disruptive behavior disorders, dengan skor berada pada taraf sedang hingga sangat tinggi. Adapun cara yang dilakukan yaitu melalui screening dengan skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen), berisi 7 aitem dan diisi oleh guru atau orangtua (Duncombe et al., 2012). Selain itu subjek penelitian juga memiliki tingkat agresivitas, dengan skor berada pada taraf sedang hingga sangat tinggi. Alat ukur agresivitas yang digunakan adalah skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire), berisi 29 aitem dan diisi oleh subjek langsung (Demirtas, 2012).

Peneliti menganggap perlu untuk mengetahui taraf kecerdasan subjek penelitian, agar dapat menyesuaikan cara yang dipakai dalam pelaksanaan intervensi nantinya. Dimana berdasarkan laporan penelitian dari Haditono dinyatakan bahwa, remaja yang melakukan agresivitas biasanya mempunyai skor inteligensi di bawah normal 69,59% dan sebagian kecil mempunyai skor yang tinggi 6,9% (Monks, Knoers dan Haditono, 1998). Oleh karena itu untuk mengukur kecerdasan subjek digunakanlah alat tes SPM (Standard Progressive Matrice), yang dilakukan secara klasikal.

Secara lebih rinci, karakteristik subjek penelitian adalah sebagai berikut: 1) Usia sekolah SMP (13 – 15 tahun).


(54)

33

2) Skor skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen), berada pada taraf sedang hingga sangat tinggi.

3) Skor skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire), berada pada taraf sedang hingga sangat tinggi.

4) Semua subjek penelitian yang terpilih akan diukur taraf kecerdasannya dengan alat tes SPM (Standard Progressive Matrice).

3.4. Desain Penelitian

Desain yang digunakan pada penelitian ini adalah The Pretest-Posttest Control Group Design (Shadish & Cook, 2002). Penempatan subjek penelitian ke dalam kelompok eksperimen dan kontrol, dilakukan dengan cara random assignment. Dalam hal ini random assignment (penempatan secara acak) digunakan untuk membentuk kelompok-kelompok yang dapat diperbandingkan dengan menyeimbangkan atau menyamaratakan karakteristik-karakteristik subjek atau perbedaan individual pada semua kondisi manipulasi variabel independen (Shaughnessy et al., 2007). Kedua kelompok akan diberikan pretest dan hanya kelompok eksperimen saja yang akan menerima intervensi. Sementara kelompok kontrol tidak mendapat perlakuan intervensi, namun setelah itu kedua kelompok akan diberikan posttest. Adapun format rancangan eksperimennya dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini:

Gambar 3. Rancangan Eksperimen

KE R O1 X O2


(55)

Keterangan:

KE = Kelompok Eksperimen X = mendapat perlakuan intervensi

KK = Kelompok Kontrol O1 = pretest

R = Random assignment O2 = posttest

3.5. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara yaitu: menggunakan skala, wawancara, observasi dan lembaran tugas yang diisi oleh subjek. Penggunaan skala merupakan metode utama dan yang lainnya metode tambahan.

3.5.1. Skala

Ada dua skala yang digunakan yaitu: skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) dan skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire).

1) Skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen)

Skala CPRS digunakan sebagai screening dan bertujuan untuk mendapatkan remaja yang tergolong disruptive behavior disorders. Skala ini dipilih berdasarkan pertimbangan kepraktisan, selain mudah untuk digunakan, juga hemat waktu dalam mengerjakannya karena jumlahnya yang sedikit (hanya 7 aitem). Pengisian skala akan dilakukan oleh orangtua atau guru dan alternatif jawaban terdiri dari 5 karena dalam bentuk skala Likert, berawal dari tidak pernah (skor 0) hingga sangat sering (skor 5). Adapun aspek-aspek yang diungkap, tidak hanya mewakili symptom CD tetapi juga ODD (Waschbusch, dalam Duncombe et al., 2012).


(56)

35

2) Skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire)

Skala BAQ digunakan untuk mengetahui tingkat agresevitas subjek, mengungkap empat faktor yaitu: physical aggression, anger, hostility dan

verbal aggression, yang berisi 29 aitem (Demirtas, 2012). Skala ini nantinya akan diisi langsung oleh subjek, yang diberikan sebelum dan sesudah intervensi. Alternatif jawabannya juga terdiri dari 5 karena dalam bentuk skala Likert, berawal dari tidak pernah (skor 0) hingga sangat sering (skor 5).

3.5.2. Wawancara

Wawancara merupakan metode tambahan, yang digunakan untuk memperkaya data penelitian. Tujuannya adalah untuk mengetahui hal-hal yang terjadi pada diri subjek selama penelitian berlangsung dan perubahan yang dialaminya setelah penelitian. Dalam hal ini peneliti juga akan menanyakan tentang kondisi subjek dari guru atau orangtua, untuk mencocokkan informasi yang sudah diterima oleh peneliti.

3.5.3. Observasi

Observasi merupakan metode tambahan, yang digunakan untuk memperkaya data penelitian. Dimana peneliti akan mengamati subjek selama proses intervensi berlangsung, begitu pula setelah penelitian dilakukan dengan memperhatikan perilaku subjek saat beraktivitas dalam kehidupan sehari-hari selama di sekolah.


(57)

3.5.4. Lembaran Tugas

Ada beberapa lembaran tugas yang harus diisi oleh subjek, pada sesi-sesi tertentu selama proses intervensi berlangsung. Dimana lembaran tugas tersebut akan menjadi alat bukti yang nyata terlihat dan nantinya juga dapat digunakan sebagai bahan evaluasi terhadap intervensi yang sudah dilakukan.

3.6. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian terbagi menjadi dua bagian yaitu: tahap persiapan penelitian dan tahap pelaksanaan penelitian.

3.6.1. Tahap Persiapan Penelitian

Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan peneliti dalam tahap persiapan penelitian ini adalah:

1) Menterjemahkan skala ke bahasa Indonesia

Skala CPRS (Conduct Problem Risk Screen) berisi 7 aitem dan skala BAQ (Buss-Perry Aggression Questionnaire) berisi 29 aitem. Adapun gambaran mengenai isi aitem skala CPRS, dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1. Blue-print Skala CPRS

Symptoms Nomor Aitem Jumlah

ODD 5, 6, 7 3

CD 2, 3 2

ADHD 1,4 2

Total 7

Kemudian untuk mengetahui lebih jelas tentang gambaran isi aitem skala BAQ, dapat dilihat dari tabel 2 di bawah ini:


(1)

Hasil Uji Normalitas Skala BAQ

Pretest

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Skala_BAQ ,203 20 ,031 ,866 20 ,010

a. Lilliefors Significance Correction

Pada skala BAQ (

Pretest

), terlihat signifikansinya < 0,05, maka dapat

disimpulkan bahwa data diambil dari populasi yang berdistribusi

TIDAK

NORMAL

.

Hasil Uji Normalitas Skala BAQ

Posttest

Tests of Normality

Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk

Statistic df Sig. Statistic df Sig.

Skala_BAQ ,123 20 ,200* ,947 20 ,322

a. Lilliefors Significance Correction

*. This is a lower bound of the true significance.

Pada skala BAQ (

Posttest

), terlihat signifikansinya > 0,05, maka dapat

disimpulkan bahwa data diambil dari populasi yang berdistribusi

NORMAL

.


(2)

Hasil Uji Homogenitas Data Subjek Penelitian

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Skala_BAQ_Pre_test Based on Mean ,001 1 18 ,980

Based on Median ,074 1 18 ,789

Based on Median and with adjusted df

,074 1 14,573 ,789

Based on trimmed mean ,002 1 18 ,964

Test of Homogeneity of Variance

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Skala_BAQ_Post_test Based on Mean ,557 1 18 ,465

Based on Median ,554 1 18 ,466

Based on Median and with adjusted df

,554 1 15,844 ,467

Based on trimmed mean ,556 1 18 ,465

Pada skala BAQ, dikarenakan signifikansinya > 0,05, maka dapat disimpulkan

bahwa variansi pada tiap kelompok data adalah sama atau

HOMOGEN

.


(3)

Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen & Kontrol - Pretest

Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Agresivitas Diberi AMT 10 55,10 9,036 2,858

Tidak diberi AMT 10 58,70 8,287 2,621

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-testfor Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-tailed)

Mean Differe nce

Std. Error Differe nce

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Agresi vitas

Equal variances assumed

,001 ,980 -,928 18 ,365 -3,600 3,877 -11,746 4,546

Equal variances not assumed

-,928 17,867 ,366 -3,600 3,877 -11,750 4,550

Nilai signifikansi (2-

tailed

) = 0,365 > 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa tidak

ada perbedaan tingkat agresivitas antara kelompok eksperimen dan kontrol pada

saat

pretest

. Dimana pada kedua kelompok tersebut, belum ada yang diberikan

AMT (

Anger Management Training

). Hal ini berarti, tingkat agresivitas pada

kedua kelompok saat

pretest

kondisinya sama.


(4)

Hasil Independent t-test Pada Kelompok Eksperimen & Kontrol - Posttest

Group Statistics

Perlakuan N Mean Std. Deviation Std. Error Mean

Agresivitas Diberi AMT 10 29,60 12,313 3,894

Tidak diberi AMT 10 69,80 9,319 2,947

Independent Samples Test

Levene's Test for Equality of

Variances t-testfor Equality of Means

F Sig. t df

Sig. (2-taile

d)

Mean Differen

ce

Std. Error Differe nce

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Agresi vitas

Equal variances assumed

,557 ,465 -8,233 18 ,000 -40,200 4,883 -50,459 -29,941

Equal variances not assumed

-8,233 16,764 ,000 -40,200 4,883 -50,513 -29,887

Nilai signifikansi (2-

tailed

) = 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan tingkat agresivitas antara kelompok eksperimen yang diberikan AMT

(

Anger Management Training

) dengan kelompok kontrol yang tidak diberikan


(5)

Hasil Uji Paired Sample t-test di Kelompok Eksperimen

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Agresivitas KE sebelum diberi AMT 55,10 10 9,036 2,858

Agresivitas KE setelah diberi AMT 29,60 10 12,313 3,894

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Agresivitas KE sebelum diberi AMT & Agresivitas KE setelah diberi AMT

10 ,013 ,971

Paired Samples Test

Paired Differences

t df Sig.

(2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 Agresivitas KE sebelum diberi AMT -

Agresivitas KE setelah diberi AMT

25,500 15,175 4,799 14,645 36,355 5,314 9 ,000

Nilai signifikansi (2-

tailed

) = 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan tingkat agresivitas pada kelompok eksperimen setelah diberikan AMT

(

Anger Management Training

), bahkan mengalami penurunan dengan

mean


(6)

Hasil Uji Paired Sample t-test Pada Kelompok Kontrol

Paired Samples Statistics

Mean N Std. Deviation Std. Error Mean

Pair 1 Agresivitas KK sebelum diberi AMT 58,70 10 8,287 2,621

Agresivitas KK tidak diberi AMT 69,80 10 9,319 2,947

Paired Samples Correlations

N Correlation Sig.

Pair 1 Agresivitas KK sebelum diberi AMT & Agresivitas KK tidak diberi AMT

10 ,736 ,015

Paired Samples Test

Paired Differences

t df

Sig. (2-tailed) Mean

Std. Deviation

Std. Error Mean

95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper

Pair 1 Agresivitas KK sebelum diberi AMT - Agresivitas KK tidak diberi AMT

-11,100 6,471 2,046 -15,729 -6,471 -5,424 9 ,000

Nilai signifikansi (2-

tailed

) = 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada

perbedaan tingkat agresivitas pada kelompok kontrol karena tidak diberikan AMT

(

Anger Management Training

), bahkan mengalami peningkatan dengan

mean