1
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Setiap  orang  pernah  merasakan  marah,  karena  marah  itu  adalah  reaksi yang  normal  dan  alami.  Seseorang  juga  mungkin  akan  marah  ketika  sedang
frustrasi  karena  kebutuhan,  keinginan  dan  tujuannya  tidak  tercapai.  Adakalanya pula  seseorang  menjadi  marah  di  dalam  situasi  yang  membuatnya  merasa
terancam atau dapat merugikan dirinya sendiri, hal itupun merupakan reaksi yang wajar. Akan tetapi marah akan menjadi negatif dan tidak sehat, apabila seseorang
itu  menjadi  tidak  sabar  sehingga  bersikap  impulsif  dan  melakukan  agresivitas Bhave  Saini, 2009; Reilly  Shopshire, 2002.
Mengekspresikan  marah,  bukan  berarti  seseorang  harus  menjadi agresivitas.  Justru  faktanya,  dengan  mengekspresikan  marah  dapat  mencegah
terjadinya  agresivitas  dan  membuat  orang  lain  menjadi  meminta  maaf  Izard dalam Thomas, 2001. Maksudnya dengan mengekspresikan marah secara positif,
dapat  membuat  orang  lain  menjadi  tersadar  akan  kesalahannya  dan  dapat membantu  seseorang  pula  agar  bisa  bertahan  dalam  mengatasi  permasalahannya
di berbagai situasi Averil  Novaco dalam Bhave  Saini, 2009. Dalam hal ini antara  marah  dan  agresivitas,  jelas  berbeda.  Dimana  marah  merupakan  emosi,
sedangkan  agresivitas  adalah  perilaku  yang  dapat  menyebabkan  kerugian  bagi orang lain atau merusak barang dan kekerasan lisan Reilly  Shopshire, 2002.
Universitas Sumatera Utara
Para ahli mendefinisisikan marah cukup beragam, karena tidak semuanya terfokus ke arah yang negatif. Menurut McCarthy, Barnes,  Alpert dalam Blake
Hamrin,  2007,  marah  merupakan  emosi  negatif  yang  merusak  terkait  dengan penderitaan,  permasalahan,  mengamuk  dan  kebencian.  Kemudian  Cox,  Stabb,
Brucker,    Novaco  dalam  Lench,  2004  berpendapat,  marah  ialah  cara penanganan yang tidak tepat dengan keadaan menegangkan, menimbulkan konflik
yang  lebih  besar  dan  membuat  seseorang  menjadi  tidak  nyaman.  Bhave    Saini 2009 mengatakan, marah yaitu emosi yang disebabkan dari sumber internal dan
eksternal,  serta  sebagai  reaksi  yang  wajar  untuk  keberlangsungan  hidup. Sementara  Dunbar  2004  menDefinisisikan  marah  adalah  emosi  perasaan  tidak
menyenangkan, yang dapat berubah dari kejengkelan ringan hingga mengamuk. Semua orang pernah mengalami marah, namun setiap orang akan menjadi
penentu  bagi  dirinya  sendiri  dalam  mengekspresikan  marahnya.  Cara  seseorang dalam mengekspresikan  marahnya bisa digolongkan  menjadi  tiga: 1 agresivitas
ke orang lain directed toward others yaitu ekspresi marah yang merusak dengan cara negatif sehingga mengakibatkan timbulnya agresivitas secara fisik dan lisan,
seperti  berteriak,  menjerit,  memukul,  menghancurkan  barang,  melempar  buku atau kursi; 2 mengarah ke dalam diri directed inward atau ditekan supressed,
akibatnya  juga  dapat  merusak  pada  diri  seseorang,  karena  dapat  meningkatkan risiko  tekanan  darah  tinggi,  depresi,  bunuh  diri,  penyakit  pernapasan,  membuat
seseorang  menjadi  lebih  banyak  merokok,  minum  alkohol,  gagal  di  sekolah  dan sebagainya;  3  mengontrol  dengan  baik  well  controlled  yaitu  dengan
mengekspresikan marah secara positif Bhave  Saini, 2009.
Universitas Sumatera Utara
Mengekspresikan  marah  secara  positif  atau  terkontrol  merupakan  emosi yang  menyehatkan  dan  menjadi  tujuan  setiap  orang.  Sebenarnya  marah
merupakan tanda atau alarm yang akan mengalir ke otak, bahwa ada sesuatu yang salah,  sehingga  akan  memberikan  energi  pada  tubuh  berupa  adrenalin  untuk
memperbaiki  situasi  yang  terjadi.  Saat  keadaan  marah  terjadi,  seseorang  dapat memilih tiga cara primitif yang mendasar sekali untuk dilakukan yaitu: 1 dengan
mempersiapkan  segala  sesuatu  yang  nantinya  dapat  mengancam;  2  langsung berjuang menghadapinya; dan 3 mencoba lari untuk menghindarinya Bhave
Saini, 2009; Provenzana, 2004. Permasalahan  marah  menjadi  salah  satu  risiko  terbesar  yang  dialami
remaja  khususnya  laki-laki,  karena  emosi  mereka  masih  kurang  stabil.  Dimana keadaan  remaja  mudah  sekali  terpancing  marah,  memiliki  konflik  dalam
pertemanan  dan  melakukan  agresivitas.  Jika  dibandingkan  antara  anak-anak  atau orang  dewasa,  masa  remaja  cenderung  lebih  emosional,  Marcus,  2007.  Dalam
hal ini erat kaitannya dengan keadaan remaja, yang merupakan masa transisi dari masa  kanak-kanak  menuju  dewasa.  Meskipun  begitu  pada  masa  remaja,  juga
mengalami  perkembangan  dalam  berfikir  kritis  Keating  dalam  Santrock,  2010. Tidak  dipungkiri  jika  dibandingkan  dengan  anak-anak,  remaja  lebih  mampu
menciptakan  beragam  pilihan,  menelaah  situasi  dari  berbagai  sudut  pandang, memperkirakan  konsekuensi  dari  sebuah  keputusan  dan  mempertimbangkan
kredibilitas  dari  suatu  sumber.  Namun  pada  masa  remaja  sering  pula  dikaitkan dengan label juvenile delinquent kenakalan remaja, karena perilaku remaja yang
suka melanggar peraturan atau bertindak secara ilegal Santrock, 2010.
Universitas Sumatera Utara
Fakta  yang  terjadi  di  lapangan,  mengenai  kasus  tawuran  antar  pelajar  di Indonesia  cukup  memprihatinkan,  karena  setiap  tahunnya  terus  mengalami
peningkatan.  Komisi  nasional  perlindungan  anak  Komnas  PA  melaporkan tentang tawuran pelajar  pada tahun 2011  tercatat  128 kasus dan sepanjang tahun
2012  menjadi  147  kasus  hingga  memakan  korban  jiwa  sebanyak  82  orang Kuwado, 2012. Kasus kenakalan pelajar yang muncul juga beragam, mulai dari
melawan,  berbohong,  bolos,  mengganggu,  berkelahi,  memalak  memeras  dan mencuri uang atau barang temannya. Tindakan pelajar tersebut sering diberi label
sebagai  anak  nakal  dan  tingkah  laku  kenakalan  itu  dapat  istilahkan  dengan perilaku disruptive Mukhtar  Hadjam, 2006.
Perilaku  disruptive  disebut  juga  dengan  perilaku  yang  tidak  pantas    atau inapproriate  behaviors  Matthys    Lochman,  2010.  Dalam  kehidupan  sehari-
hari,  perilaku  disruptive  sering  dijumpai  dari  masa  kanak-kanak  hingga  remaja. Seseorang  yang  berperilaku  disruptive  dapat  terjadi  hanya  sementara,  karena  hal
tersebut dipengaruhi oleh watak dan faktor lingkungan. Bahkan bisa juga menetap dan  berkembang,  menjadi  oppositional  defiant  disorder  ODD  atau  conduct
disorder CD. Gejala yang tampak pada remaja yang disruptive, biasanya mereka dengan  sengaja  melanggar  peraturan  seperti  mencuri,  merusak  barang-barang,
atau  menyerang  American  Academy  of  Pediatrics,  2010.  Jika  mengacu  pada DSM-IV-TR,  diagnosa  untuk  perilaku  ODD  dan  CD  dapat  dilihat  dalam
kelompok  disruptive  behavior  disorders,  yang  terpisah  dengan  attention deficithyperactivity  disorder  ADHD.  Sebagai  gambaran,  perilaku  ODD  tidak
begitu parah dibandingkan dengan CD American Psychiatric Association, 2000.
Universitas Sumatera Utara
Dikarenakan  remaja  yang  berperilaku  disruptive  tidak  hanya  akan membahayakan bagi dirinya sendiri, tetapi juga terhadap orang lain. Maka untuk
mengatasi  permasalahan  tersebut,  penanganan  dan  pencegahan  terhadap  remaja disruptive  sangat  perlu  dilakukan.  Salah  satu  intervensi  psikososial  yang  sangat
disarankan  yaitu  dengan  mengontrol  marah  American  Academy  of  Pediatrics, 2010,  atau  disebut  juga  dengan  anger  management  karena  merupakan  cara
terbaik  dalam  mengekspresikan  marah  secara  positif  Bhave    Saini,  2009. Anger management bertujuan untuk menghindari konsekuensi negatif, akibat dari
ekspresi  marah  yang  tidak  sesuai.  Secara  ekstrim,  marah  memungkinkan  sekali dapat  mengarah  pada  kekerasan  atau  agresivitas  secara  fisik.  Akibatnya  yang
terjadi setelah itu, seseorang bisa saja  akan ditangkap atau dipenjara, mengalami luka fisik,  membalas dendam,  kehilangan orang  yang disayang,  merasa bersalah,
menjadi malu atau menyesal Reilly  Shopshire, 2002. Penelitian  tentang  marah  sudah  banyak  dilakukan  dan  para  ahli  sepakat
bahwa marah akan menjadi masalah bila frekuensi, kekuatan dan lamanya marah begitu  tinggi  atau  dikelola  tidak  efektif.  Intervensi  psikoedukasi  seperti  anger
management  training  AMT  bukanlah  terapi,  melainkan  dapat  menghasilkan potensi  untuk  perubahan  perilaku  dengan  meningkatkan  pengetahuan,
menyediakan  perspektif  baru,  memberikan  klien  kesempatan  untuk  belajar,  serta berlatih dengan cara khusus dan strategis Anderson, et al. dalam Thomas, 2001.
AMT  merupakan  program  yang  bertujuan  untuk  mencegah  risiko kekerasan  yang  dialami  oleh  remaja,  khususnya  mengenai  agresivitas  Marcus
2007.  Secara  khusus  Feindler    Ecton  dalam  Kellner    Bry,  1999
Universitas Sumatera Utara
menyebutkan,  AMT  itu  meliputi:  1  menyediakan  informasi  kognitif  dan komponen  perilaku  tentang  marah;  2  mengajarkan  teknik  kognitif  dan  perilaku
untuk  mengelola  marah;  dan  3  memfasilitasi  penerapan  keterampilan  baru. Keterampilan  baru  yang  diajarkan  contohnya:  relaksasi,  berperilaku  asertif,
antisipasi,  instruksi  diri,  evaluasi  diri,  role  play  dan  pemecahan  masalah.  Dalam hal  pelaksanaan  AMT  menurut  Feindler    Engel  2011,  bisa  dilakukan  secara
individual  dan  kelompok.  Meskipun  yang  diberikan  terhadap  kedua  bentuk  itu pada prinsipnya sama, tetapi memiliki keuntungan yang berbeda contohnya, jika
diberikan  secara  individual  maka  penanganannya  menjadi  lebih  mendalam, sedangkan  jika  kelompok  akan  memberikan  kesempatan  adanya  contoh  dari
anggota  kelompok  dan  penguat  orang  lain  dari  perilaku  prososial.  Namun  pada umumnya  AMT  dilakukan  secara  kelompok,  karena  marah  itu  adalah  emosi
interpersonal Anderson, et al. dalam Thomas, 2001. Perintis  anger  management  menurut  Beck  dalam  Dunbar,  2004  adalah
Ellis,  dimana  marah  terjadi  akibat  dari  persepsi  seseorang  yang  dikelola  oleh pikiran  dan  dikeluarkan  dengan  ekspresi  marah  yang  tidak  sehat.  Pendekatannya
didesain  untuk  membantu  klien  agar  menyadari,  bahwa  pikiran  dan  perasaan  itu memiliki  keterkaitan  satu  sama  lainnya.  Dalam  hal  ini  emosi  seseorang
dipengaruhi  oleh  persepsinya  terhadap  suatu  kejadian  dan  itu  merupakan  asumsi dari cognitive behavioral therapy CBT. Kemudian Dobson 2010 menyebutkan
bahwa,  rational  emotive  behavior  therapy  REBT  yang  ditemukan  oleh  Albert Ellis pada tahun 1955, menjadi petunjuk yang dicontoh oleh pendekatan cognitive
behavioral.  Sementara  itu  Dunbar  2004  menyatakan,  kalau  CBT  merupakan
Universitas Sumatera Utara
program  dasar  pencetus  sebuah  pendekatan  holistik  untuk  menangani  seseorang yang tidak sehat dalam mengelola marahnya.
Dari  beberapa  laporan  penelitian  disebutkan  bahwa,  anger  management memberikan  hasil  positif  terhadap  remaja  yang  nakal,  mahasiswa,  pengemudi
dengan kemarahan yang tinggi, wanita Afrika-Amerika, agen lalu lintas kota New York,  individu  yang  learning  disabilities,  veteran  perang  yang  post  traumatic
stress disorder, pasien jantung dan wanita yang di penjara Thomas, 2001. Selain itu Benson dalam Fletcher  Poindexter, 1996 mendesain AMT, pada seseorang
yang mengalami mental retardation tergolong mild hingga moderate. Hasil penelitian dari Siddiqah 2010 tentang anger management program,
memberikan  sumbangan  sebesar  6  untuk  mengurangi  perilaku  agresif  remaja. Kemudian  penelitian  dari  Kellner    Bry  1999  mengenai  AMT  yang  dilakukan
secara  kelompok  pada  7  orang  remaja  di  sekolah  yang  mengalami  gangguan emosional,  juga  menunjukkan  pengaruh  positif  terhadap  penurunan  agresif  fisik
dan  menyarankan  untuk  penelitian  berikutnya  akan  lebih  baik  jika  adanya pendekatan yang memberikan insight pada remaja dengan diagnosa lebih khusus.
Jelas  terlihat  bahwa intervensi  AMT memiliki  pengaruh positif dan dapat mengurangi  agresivitas.  Oleh  karena  itu  peneliti  merasa  tertarik  ingin  melihat
efektivitas anger management training untuk menurunkan agresivitas pada remaja disruptive  behavior  disorders.  Apalagi  sepengetahuan  peneliti  mengenai
penelitian  anger  management  di  Indonesia  hanya  ada  beberapa  saja  dan  belum ditujukan untuk diagnosa khusus. Bahkan di kampus Universitas Sumatera Utara
belum ada yang melakukannya, sehingga semakin memotivasi peneliti.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Tujuan Penelitian