3
multi organ pada sepsis Meisner M, 2000; Vienna R, 2000; Balci C , β00γ; O’Connor
E, 2001. Di Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta, pemeriksaan prokalsitonin belum
bisa dilakukan. Pemeriksaan yang biasa kita lakukan untuk penanda sepsis adalah hitung jumlah leukosit dan C-Reaktif Protein CRP, disamping itu biaya untuk
pemeriksaan prokalsitonin juga lebih mahal. Banyak penelitian yang meneliti hubungan antara kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin dengan sepsis, tetapi
belum banyak yang mengamati hubungan antara kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin dengan disfungsi multi organ akibat sepsis, oleh karena itu penulis ingin
membandingkan antara C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.
B. Rumusan Masalah
Apakah prokalsitonin lebih baik untuk menunjukkan disfungsi multi organ akibat sepsis pada anak dibandingkan dengan C- Reaktif Protein?
C. Tujuan
1. Umum
Untuk membandingkan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.
commit to user
4
2. Khusus
a. Untuk mengetahui kadar C-Reaktif Protein pada anak dengan disfungsi multi
organ akibat sepsis. b.
Untuk mengetahui kadar prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.
c. Untuk membandingkan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak
dengan disfungsi multi organ akibat sepsis. d.
Untuk mengetahui adanya hubungan prognosis dengan kadar C-Reaktif Protein dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.
D. Manfaat
1. Bidang Pelayanan Kesehatan
a. Sebagai landasan untuk memberikan tata laksana yang tepat pada anak dengan
disfungsi multi organ akibat sepsis. b.
Sebagai acuan untuk mengetahui prognosis pasien sepsis dengan disfungsi multi organ.
c. Sebagai landasan dalam memberikan edukasi kepada keluarga tentang keadaan
pasien. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
5
2. Bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Menambah pengetahuan tentang hubungan kadar C-Reaktif Protein dan
prokalsitonin dengan disfungsi multi organ akibat sepsis pada anak.
3. Bidang Penelitian
Sebagai landasan bagi penelitian selanjutnya, khususnya penelitian tentang kadar C- Reaktif Protein
dan prokalsitonin pada anak dengan disfungsi multi organ akibat sepsis.
commit to user
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Sepsis
1. Definisi
Sepsis adalah adanya SIRS
Systemic Inflammatory Response Syndrome
ditambah dengan adanya infeksi pada organ tertentu berdasarkan hasil biakan positif di tempat tersebut. Fauci AS, 2008; Guntur A, 2006 Definisi lain menyebutkan
bahwa sepsis merupakan respon sistemik terhadap infeksi, berdasarkan adanya SIRS ditambah dengan infeksi yang dibuktikan
proven
atau dengan suspek infeksi secara klinis Trevino S, 2007.
Berdasarkan Bone
et al
, SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria: suhu 38
C atau 36 C, denyut jantung 90x mnt, laju respirasi 20x
mnt atau PaCO2 32 mmHg, hitung leukosit 12.103 mm3 atau 10 sel imatur Trevino S, 2007; Munford RS, 2005.
Penyebab infeksi sistemik dihipotesiskan sebagai infeksi lokal yang tidak terkontrol sehingga menyebabkan bakteremia atau
toksemia endotoksin atau eksotoksin yang menstimulasi reaksi inflamasi di dalam pembuluh darah dan organ lain Munford RS, 2005.
Secara klinis, sepsis dibagi menjadi 3, berdasarkan beratnya kondisi yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya bukti
6
commit to user
7
kegagalan organ akibat hipoperfusi. Syok septik adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan hipoperfusi
jaringan. Pada 10-30 kasus syok septik didapatkan bakteremia kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-50 Guntur A, 2006.
2. Epidemiologi
Sepsis masih merupakan salah satu penyebab utama mortalitas dan morbiditas pada anak di negara industri dan negara berkembang. Sepsis juga merupakan
kedaruratan medik sehingga memerlukan pengobatan segera untuk menurunkan angka kematian Goldstein B, 2005; Powel KR, 2000; Hayden WR, 1994. Sepsis
selalu terjadi pada pasien dengan kondisi kritis dan angka kematiannya tinggi terutama di negara yang sedang berkembang Hayden WR, 1994; Data Rekam Medis
RSCM, 2009. Insiden sepsis pada anak 1-10 per 1000 kelahiran hidup dengan mortalitas 13-50. Brooks GF, 2001
Data di Amerika Serikat menunjukkan kejadian sepsis pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif anak
Pediatrics Intensive Care Unit
PICU mencapai lebih dari 42.000 kasus dengan angka kematian sebesar 10,3. Di Amerika Serikat sepsis merupakan penyebab kematian urutan ke-
13 pada anak yang berumur di atas 1 tahun dan dalam satu tahun dijumpai 500.000 –
750.000 kasus, 50-70 dilaporkan bertahan hidup Brooks GF, 2001. Di negara kita angka kematian karena sepsis masih sangat tinggi 50-70
dan apabila terjadi syok septik serta disfungsi organ multipel kematian meningkat perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
8
80 Brooks GF, 2001. Setiap tahun terdapat 750.000 kasus sepsis di Amerika
Serikat. Sekitar 10 penyebab pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif adalah karena syok, dengan 3 di antaranya akan mengalami syok septik.
Secara umum mortalitas di rumah sakit 30 pada sepsis berat dan 50- 60 untuk syok septic Mims C, 2005. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit
Umum Pusat Cipto Mangunkusumo RSCM Jakarta sejak awal tahun 2009 hingga saat ini menangani 61 kasus syok septik pada anak, dan 28 kasus 45,9 di
antaranya berakhir dengan kematian Brooks GF, 2001.
3. Etiologi
Sebagian besar kasus sepsis disebabkan oleh adanya infeksi bakteri, beberapa disebabkan oleh infeksi jamur dan penyebab lain virus dan protozoa. Bakteri
merupakan salah satu organisme golongan prokariotik tidak mempunyai selubung inti.DNA pada bakteri berbentuk sirkuler, panjang dan biasa disebut nukleoid.DNA
bakteri tidak mempunyai intron dan hanya tersusun atas ekson saja. Bakteri juga mempunyai DNA ekstrakromosomal yang tergabung menjadi plasmid yang
berbentuk kecil dan sirkuler Mims C, 2005. Bakteri dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu bakteri gram positif dan gram
negatif berdasarkan pewarnaan gram. Pewarnaan gram adalah prosedur mikrobiologi dasar untuk mendeteksi dan mengidentifikasi bakteri. Prosedur pewarnaan gram
dimulai dengan menggunakan pewarna basa, kristal violet, kemudian ditambahkan perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
9
larutan iodine. Semua bakteri akan terwarnai biru pada fase ini. Kemudian sediaan diberi alkohol. Sel gram positif akan tetap mengikat senyawa kristal violet-iodine
sehingga berwarna biru, sedangkan gram negatif akan hilang warnanya oleh alkohol. Sebagai langkah terakhir, ditambahkan counterstain misalnya safranin yang
berwarna merah sehingga sel gram negatif akan mengikat warna merah Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007.
Semua bakteri berkembang biak melalui pembelahan biner aseksual dimana dari satu sel membelah menjadi dua sel yang identik. Beberapa bakteri dapat
membentuk struktur reproduktif yang lebih kompleks yang memfasilitasi penguraian dua sel yang baru terbentuk. Dalam laboratorium, bakteri dibiakkan melalui dua
metode yaitu menggunakan medium padat dan medium cair. Media pertumbuhan padat seperti plat agar digunakan untuk mengisolasi kultur murni dari bakteri yang
diinginkan. Jika kita menginginkan biakan dalam jumlah besar maka kita bisa menggunakan media cair karena sel biakan dapat dengan mudah berkembang biak
dengan membelah diri dibandingkan dengan media padat Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007.
commit to user
10
4. Patofisiologi
Patofisiologi sepsis sangat kompleks karena melibatkan interaksi antara proses infeksi kuman patogen, inflamasi dan jalur koagulasi yang dikarakteristikkan
sebagai ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi seperti
tumor nekrosis factor- a
TNF- α, interleukin-1 IL-1 , IL-6 daninterferon- IFN dengan sitokin
antiinflamasi seperti IL-1, reseptor antagonis IL- 1α, IL-4 dan IL-10. Overproduksi
sitokin inflamasi sebagai hasil dari aktivasi nuklear faktor кBNF-кB akan menyebabkan aktivasi respon sistemik berupa SIRS terutama pada paru-paru, hati,
ginjal usus dan organ lainnya yang mempengaruhi permeabilitas vaskuler, fungsi jantung dan menginduksi perubahan metabolik sehingga terjadi apoptosis maupun
nekrosis jaringan,
Multiple Organ Failure
MOF, syok septik serta kematian Hack GE, 2000; Wilson, 2007.
Respon inflamasi terhadap bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan sejumlah besar endotoksin berupa Lipopolisakarida LPS. LPS mengikat protein
spesifik dalam plasma yaitu LPB
Lipopolisacharide Binding Protein
. Selanjutnya kompleks LPS-LBP ini akan berikatan dengan CD14 yang merupakan reseptor di
membrane makrofag. CD14 akan mempresentasikan LPS kepada TLR4 yaitu reseptor untuk transduksi sinyal sehingga terjadi aktivasi makrofag Hack GE, 2000; Wilson,
2007. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
11
Respon inflamasi bakteri gram positif melalui dua mekanisme, yaitu menghasilkan eksotoksin yang bekerja sebagai superantigen dan dengan melepaskan
fragmen dinding sel yang merangsang sel imun.Superantigen mengaktifkan sejumlah besar sel T untuk menghasilkan sitokin proinflamasi dalam jumlah yang sangat
banyak. Bakteri gram positif yang tidak mengeluarkan eksotoksin dapat menginduksi syok dengan merangsang respon imun non spesifik melalui dua mekanisme yang
sama dengan bakteri gram negatif, namun melalui TLR2. Berbeda dengan bakteri gram negatif, respon imun bakteri gram positif memerlukan perantaraan sel T limfosit
yang kurang menimbulkan respon inflamasi yang hebat Hack GE, 2000; Wilson, 2007.
Kedua kelompok mikroorganisme di atas, memicu kaskade sepsis yang dimulai dengan pelepasan mediator inflamasi. Mediator inflamasi primer dilepaskan
dari sel-sel akibat aktivasi makrofag. Pelepasan mediator ini akan mengaktivasi sistem koagulasi dan komplemen. Infeksi akan dilawan oleh tubuh dengan imunitas
seluler monosit, makrofag, neutrofil, serta humoral membentuk antibodi dan mengaktifkan jalur komplemen. Pengenalan patogen oleh CD14, TLR2 dan TLR4 di
membran monosit dan makrofag akan memicu pelepasan sitokin untuk mengaktifkan sistem imunitas seluler. Pengaktifan ini akan menyebabkan sel T berdiferensiasi
menjadi sel
T helper-1
Th1 serta sel
T helper-2
Th2. Sel Th1 mensekresikan sitokin proinflamasi
seperti TNF dan IFN , IL-1 , IL-2, IL-6, IL-8 dan IL-12.Sel Th2 mensekresikan sitokin anti inflamasi seperti IL-4, IL-10 dan IL-13.Pembentukan
sitokin proinflamasi dan anti inflamasi diatur melalui mekanisme umpan balik yang perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
12
kompleks. Sitokin proinflamasi terutama berperan menghasilkan sistem imun untuk melawan bakteri penyebab infeksi, namun jika berlebihan dapat menyebabkan syok,
gagal multi organ dan kematian. Sebaliknya sitokin anti inflamasi berperan penting untuk mengatasi inflamasi berlebihan dan mempertahankan keseimbangan tubuh agar
fungsi organ vital dapat berjalan dengan baik. Sitokin proinflamasi dapat mempengaruhi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator sekunder
nitrit oxide
, tromboksan, leukotrien, PAF, prostaglandin dan komplemen. Kerusakan akibat aktivasi makrofag terjadi pada endotel dan selanjutnya akan
menimbulkan migrasi leukosit serta pembentukan mikrotrombi sehingga menyebabkan kerusakan organ. Aktivasi endotel akan meningkatkan jumlah reseptor
trombin pada permukaan sel untuk melokalisasi koagulasi pada tempat yang mengalami cedera. Cedera endotel juga berkaitan dengan gangguan fibrinolisis,
karena penurunan jumlah reseptor pada permukaan sel untuk sintesis dan ekspresi molekul anti trombik. Selain itu inflamasi pada endotel akan menyebabkan
vasodilatasi pada otot polos pembuluh darah Hack GE, 2000; Wilson, 2007.
5. Gejala Klinis
Menurut Doddy dan Eddy 1996, gejala dan tanda klinis pasien sepsis berdasarkan Bone 1993 adalah: temperatur 38,3
C atau 35,6 C, denyut jantung
90 kalimenit, frekuensi nafas 20 kalimenit atau PaCO2 32mmHg, jumlah leukosit 12.000 selmm³ atau 4000 selmm³ atau terdapat netrofil 10 Guntur A,
commit to user
13
2006; Trevino S, 2007. Sepsis secara klinis dibagi berdasarkan beratnya kondisi, yaitu sepsis, sepsis berat dan syok septik. Sepsis berat adalah infeksi dengan adanya
bukti kegagalan organ akibat hipoperfusi.Syok septik adalah sepsis berat dengan hipotensi yang persisten setelah diberikan resusitasi cairan dan menyebabkan
hipoperfusi jaringan. Pada 10-30 kasus syok septik didapatkan kultur positif dengan mortalitas mencapai 40-50 Guntur A, 2006.
6. Diagnosis
a. Pemeriksaan Klinis
Tidak ada tes diagnostik yang spesifik terhadap sepsis. Temuan yang cukup sensitif untuk mendiagnosis pasien dengan suspek sepsis antara lain demam atau hipotermia,
takipneu, takikardia, leukositosis atau leukopenia, perubahan status mental akut, trombositopenia atau hipotensi. Gejala sepsis dapat bervariasi. Pada satu studi, 36
pasien sepsis berat mempunyai suhu tubuh yang normal, 40 dengan laju respirasi normal, 10 laju nadi normal, 33 didapatkan nilai hitung leukosit normal. Selain
itu terdapat pula kondisi- kondisi non infeksi dengan gejala seperti sepsis. Penyebab SIRS non infeksi antara lain pankreatitis, trauma, emboli paru, overdosis obat Fauci
AS, 2008. Sepsis adalah
Systemic Inflammation Respons Syndrome
SIRS yang disertai dugaan atau bukti ditemukan infeksi di dalam darah. Diagnosis SIRS dapat
ditegakkan jikaditemukan minimal 2 gejala seperti instabilitas suhu suhu lebih dari perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
14
38,5 C atau kurang dari 36
C, takikardia, takipnea,danatau peningkatan maupun penurunan jumlah leukosit,atau neutrofil imatur lebih dari 10. Standarbaku
diagnosissepsis adalah dengan ditemukannya bakteri dalam darah ditambah dengan gejala klinis berupa gangguan multi organ Guntur A, 2006; Munford RS, 2005.
b. Pemeriksaan Laboratorium
Untuk mendapatkan diagnosis definitif, dibutuhkan isolasi mikroorganisme dari darah atau situs lokal infeksi. Tidak begitu banyak studi yamg menjelasksn waktu
yang optimal untuk melakukan pengambilan spesimen kultur darah agar dapat memaksimalkan keberadaan bakteri dalam darah. Beberapa data eksperimental
menunjukkan bahwa masuknya bakteri ke aliran darah adalah sekitar 1 jam sebelum terjadi menggigil dan demam. Akan tetapi penelitian lain menunjukkan tidak ada
perbedaan yang bermakna dalam kepositifan kultur darah yang didapat terhadap puncak demam dari pasien Fauci AS, 2008.
Faktor-faktor yang mempengaruhi didapatkannya patogen dari spesimen kultur darah antara lain volume darah. Terdapat korelasi langsung antara volume
darah yang dikultur dengan hasil yang terkait dengan jumlah
Coloni Forming Unit
CFU per mililiter pada darah.Makin besar volume darah, makin besar kemungkinan untuk mendeteksi bakteri fungi dalam darah. Pasien anak seringkali memiliki jumlah
mikroorganisme yang lebih banyak di dalam darah, dan hasil yang cukup memuaskan bisa didapatkan dengan volume kultur darah yang lebih sedikit. Pada dewasa
commit to user
15
direkomendasikan untuk mengambil volume untuk kultur darah sebanyak 20-30 ml per kultur. Pada anak-anak volume darah yang diambil tidak melebihi 1 dari total
volume darah Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009.
Faktor lain yang mempengaruhi adalah rasio darah-medium. Darah manusia normal mengandung substansi yang menghambat pertumbuhan mikroba seperti
lisozime, fagosit, antibodi dan agen antimikroba bila pasien menggunakan antimikroba sebelum pengambilan spesimen kultur darah. Untuk mereduksi
konsentrasi faktor inhibitor dan menghambat aktivitasnya, darah harus didilusi pada media cair dengan rasio darah-medium 1:5 sampai 1:10. Kegagalan mempertahankan
rasio ini dapat mengakibatkan hasil kultur negatif palsu. Spesimen darah anak dapat di inokulasi pada botol pediatrik yang didesain untuk mempertahankan rasio darah-
medium dengan volume darah yang lebih sedikit Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009.
Faktor lainnya yang berpengaruh adalah zat tambahan antikoagulan. Semua media cair untuk kultur darah mengandung antikoagulan. Antikoagulan yang paling
efektif yaitu SPS
Sodium Polyanetholesulfonate
, dapat menetralkan lisozim, menghambat fagositosis, meginaktivasi beberapa aminoglokosida, dan menghambat
beberapa bagian kaskade komplemen. Namun SPS juga dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis bakteri, yaitu
Neisseria, Peptostreptococcus anaerobius, Moxarella catarrhalis
dan
Garnerella vaginalis
.Walaupun demikian SPS masih menjadi antikoagulan yang sering digunakan. Heparin, EDTA dan sitrat bersifat
commit to user
16
toksik terhadap mikroorganisme, sehingga darah tidak boleh di inokulasi pada media yang menggunakan antikoagulan tersebut Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack
GE, 2000; Wilson, 2007; Setiati TE, 2009. Kondisi inkubasi juga merupakan faktor yang berpengaruh, meliputi
temperatur dan lamanya inkubasi. Kultur darah harus di inkubasi pada suhu 35 C
setelah pengambilan dan dikirim ke laboratorium.Untuk metode konvensional manual, inkubasi yang direkomendasikan adalah selama 7 hari. Periode inkubasi
standar untuk kultur darah rutin yang dikerjakan dengan sistem otomatis adalah selama 5 hari Mims C, 2005; Kristine MJ, 2007; Hack GE, 2000; Wilson, 2007;
Setiati TE, 2009.
7. Tata Laksana
Penatalaksanaan pasien dengan sepsis harus disertai dengan pemantauan. Tata laksana yang baik antara lain dengan pengobatan yang tepat pada sumber infeksi dan
mengeliminasi mikroorganisme penyebab disertai dengan tata laksana suportif Fauci AS, 2008.
Pemberian antibiotika pada sepsis harus dimulai secepatnya. Apabila hasil pemeriksaan kultur belum didapatkan, maka dapat dilakukan terapi empirik yang
efektif melawan bakteri gram positif maupun gram negatif. Pemilihan antimikroba merupakan hal yang kompleks dan harus memperhatikan riwayat pasien,
komorbiditas, klinis dan pola resistensi lokal. Bila sudah didapatkan hasil kultur, perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
17
maka antimikroba disesuaikan dengan hasil kultur. Seringkali antimikroba tunggal dapat adekuat untuk pengobatan patogen yang diketahui Fauci AS, 2008.
Pemilihan antimikroba yang tepat untuk mengobati suatu penyakit tergantung pada beberapa faktor, antara lain:
a. Sensitivitas mikroba penyebab terhadap zat anti mikroba tertentu
b. Efek samping dari zat antimikroba, tergantung dari toksisitas langsung terhadap
sel mamalia dan mikrobiodata normal yang terdapat pada jaringan tubuh manusia c.
Biotransformasi zat antimikroba secara
in vivo
, tergantung apakah zat antimikroba akan tetap pada bentuk aktifnya pada jangka waktu yang cukup untuk mempunyai
efek toksik pada patogen infektif d.
Bahan kimia pada zat antimikroba yang menetapkan distribusinya dalam tubuh, tergantung konsentrasi dari bahan kimia aktif antimikroba yang bermakna yang
dapat mencapai
tempat infeksi
untuk menghambat
atau membunuh
mikroorganisme patogen penyebab infeksi Mims C, 2005. Hampir 10 pasien tidak mendapatkan terapi antibiotik yang cepat untuk patogen
penyebabnya, dan rata-rata mortalitasnya 10-15 lebih tinggi dibandingkan pasien yang mendapat terapi antibiotik yang cepat dan tepat.Tempat terjadinya infeksi yang
tersembunyi, organism yang jarang atau organisme yang resisten terhadap antibiotik serta infeksi polimikrobial memungkinkan untuk dilakukan penanganan empiris yang
cepat dan lengkap pada semua kasus. Pendekatan yang umumnya dilakukan adalah memulai terapi antibiotika spektrum luas bila patogennya belum dapat dipastikan,
commit to user
18
kemudian mempersempit terapi bila telah didapatkan data mikrobiologi Wolbink GJ, 1996.
B. Skor SOFA Sepsis Related Organ Failure Assessment
Skor SOFA adalah suatu sistem penilaian untuk menentukan sejauh mana organ seseorang masih berfungsi atau menentukan tingkat kegagalan fungsi organ.
Biasanya digunakan untuk menilai keadaan pasien selama perawatan di ruang perawatan intensif.Ini merupakan salah satu dari beberapa penilaian yang digunakan
di ruang perawatan intensif. Skor SOFA dinilai berdasarkan enam aspek, yaitu sistem respirasi, sistem koagulasi, liver, sistem kardiovaskuler, sistem saraf pusat dan
ginjal.Peningkatan skor SOFA dalam 24-48 jam pertama selama perawatan di ruang intensif memberikan prediksi terjadinya kematian 50-95. Skor kurang dari 9
memberikan prediksi kematian sebesar 33, sedangkan skor lebih dari 11 memberikan prediksi kematian sebesar 95 atau lebih Meisner M, 1999.
commit to user
19
Tabel 1. Skor SOFA
Dikutip dari Meisner M, Tschikowsky K, Palmaers T, Schmidt J, 1999. Comparison of Procalcitonin PCT and C-Reactive Protein CRP Plasms Concentrations at Different SOFA Scores During The
Course of Sepsis and MODS. Crit Care 3;45-50
C. C-Reaktif Protein
1. Definisi
C- Reaktif Protein CRP merupakan protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini diregulasi oleh IL-
6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen. Sintesis ekstrahepatik terjadi di neuron, plak aterosklerotik, monosit dan limfosit Tillet WS, 1930.
Gen CRP terletak pada kromosom pertama 1q21-Q23. Pada manusia terletak pada kromosom 1q23,4, dan terdiri dari dua ekson dan satu intron. CRP disintesis
sebagai asam amino 206 polipeptida dan disekresikan oleh hepatosit sekitar 23 monomer Kda non-glikosilasi, yang non-kovalen rekan untuk membentuk struktur
commit to user
20
cincin karakteristik homopentamerik, termasuk kelompok Pentraxin Volanakis JE, 1977; Thompson D, 1999.
Masing-masing monomer beratnya 23027Da dan sangat tahan terhadap proteolisis.Yang termasuk golongan pentraxin lainnya adalah komponen amiloid
serum P. Protein ini ada dalam setiap evolusi vertebra, menunjukkan bahwa CRP memiliki peran sentral dalam respon imun. CRP serum akan meningkat ketika ada
infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Infeksi jamur sistemik juga menyababkan peningkatan CRP serum, bahkan pada pasien dengan
imunodefisiensi, sebaliknya kadar CRP cenderung lebih rendah pada pasien dengan infeksi virus yang akut. Belum ada data tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi
beberapa protozoa seperti malaria, pneumocystosis dan toxoplasmosis juga dapat meningkatkan kadar CRP serum. Pada infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra,
kadar CRP akan sedikit meningkat atau normal Yeh ET, 2005.
2. Biosintesis
CRP adalah suatu alfa-globulin yang diproduksi di hepar dan kadarnya akan meningkat dalam 6 jam di dalam serum bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar
CRP dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam dan mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah pengobatan yang efektif
dan rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya kira-kira 5- 7 jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen. Protein ini disebut demikian karena
commit to user
21
bereaksi dengan C-polisakarida yang terdapat pada pneumokokus. Semula disangka bahwa timbulnya protein ini merupakan respons spesifik terhadap infeksi
pneumokokus, tetapi ternyata sekarang bahwa protein ini adalah suatu reaktan fase akut, yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi, sama seperti LED. Berbeda dengan
LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau hiperglobulinemia. Pada penderita dengan inflamasi yang berkaitan dengan kelainan imunologis, kadar
CRP kembali normal bila pengobatan immunosupresif berhasil 9 Thompson D, 1999; Yeh ET, 2005; Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008.
CRP merupakan suatu protein fase akut yang dihasilkan dominan oleh hepatosit, merupakan suatu penanda inflamasi yang yang memberikan respon
terhadap keadaan-keadaan peradangan atau inflamasi. Respon fase akut ini dapat berupa respon fisiologis dan biokimiawi yang mungkin saja terjadi pada kerusakan
jaringan, infeksi, inflamasi dan keganasan. Secara sederhana yang dinamakan perubahan fase akut sebenarnya didasarkan pada perubahan konsentrasi dari protein-
protein fase akut itu sendiri, yang dapat bersifat positif atau negatif dalam artian dapat naik ataupun turun sebanyak 25. Protein fase akut itu sendiri terdiri dari banyak
jenis baik dari sistem komplemen, sistem koagulasi dan fibrinolitik, antiprotease, protein transpor dan lain-lain yang akan mengalami perubahan konsentrasi baik
berupa peningkatan maupun penurunan, termasuk di dalamnya CRP Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008.
commit to user
22
CRP mengikat bakteri, jamur, parasit dan ligan intrinsik membran sel yang rusak, kromatin, histon, dan sel apoptosis, kemudian mengaktifkan jalur komplemen
klasik dan mengikat reseptor imunoglobulin pada fagosit. Peran fisiologis CRP adalah untuk mengikat fosfokolin diekspresikan pada permukaan sel-sel mati dan
beberapa jenis bakteri untuk mengaktifkan sistem komplemen. CRP merupakan anggota dari kelas fase akut reaktan, sebagai tingkat yang meningkat secara dramatis
selama proses peradangan yang terjadi dalam tubuh. Peningkatan ini disebabkan oleh kenaikan konsentrasi plasma IL-6, yang diproduksi terutama oleh makrofag serta
adipose Balci C, 2003; Harbarth S, 2001. Ada suatu korelasi positif antara kadar
CRP dan IL-6.
Tumor Necrosis Factor
α TNF α dan IL-1 juga merupakan mediator pengaturan sintesis CRP. CRP mengikat fosfokolin pada mikroba untuk
membantu komplemen mengikat sel-sel asing yang rusak dan meningkatkan fagositosis oleh makrofag fagositosis yang dimediasi oleh opsonin, yang
mengekspresikan reseptor untuk CRP. Hal ini juga diyakini memainkan satu peran penting dalam kekebalan alamiah, sebagai sistem pertahanan awal terhadap infeksi.
Sekresi CRP dimulai dalam 4-6 jam dari adanya rangsangan, dua kali lipat dalam 8 jam dan memuncak pada 36-50 jam. Dengan rangsangan yang sangat intens,
konsentrasi CRP bisa naik di atas 500 mgl, yaitu lebih dari 1000 kali nilai referensi. Setelah rangsangan hilang, CRP akan menurun dengan cepat, memiliki waktu paruh
19 jam Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008; Pepys MB, 1983. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
23
CRP naik sampai 50.000 kali lipat dalam peradangan akut, seperti infeksi. Peningkatan di atas batas normal dalam waktu 6 jam, dan puncak pada 48 jam. Waktu
paruhnya konstan. Peningkatan terutama ditentukan oleh tingkat produksi dan tingkat keparahan penyebab pencetus. Kadar CRP serum pada manusia normal
memiliki rata-rata 8 mg l 0,3-1,7 mg l dan dibawah 10 mg l pada 99 dari sampel yang normal. Nilai di atas nilai normal menunjukkan adanya suatu proses penyakit
Widman, 1995.
3. Cara Pemeriksaan
Tes CRP dapat dilakukan secara manual menggunakan metode aglutinasi atau metode lain yang lebih maju, misalnya sandwich imunometri. Tes aglutinasi dilakukan
dengan menambahkan partikel latex yang dilapisi antibodi anti CRP pada serum atau plasma penderita sehingga akan terjadi aglutinasi. Untuk menentukan titer CRP,
serum atau plasma penderita diencerkan dengan buffer glisin dengan pengenceran bertingkat 12, 14, 18, 116 dan seterusnya lalu direaksikan dengan latex. Titer
CRP adalah pengenceran tertinggi yang masih terjadi aglutinasi Balci C, 2003. Tes sandwich imunometri dilakukan dengan mengukur intensitas warna
menggunakan
Nycocard Reader
. Berturut-turut sampel serum, plasma,
whole blood
dan konjugat diteteskan pada membran tes yang dilapisi antibodi mononklonal spesifik CRP. CRP dalam sampel tangkap oleh antibodi yang terikat pada konjugat
commit to user
24 gold colloidal particle
. Konjugat bebas dicuci dengan larutan pencuci
washing solution
. Jika terdapat CRP dalam sampel pada levelpatologis, maka akan terbentuk warna merah-coklat pada area tes dengan intensitas warna yang proporsional terhadap
kadar. Intensitas warna diukur secara kuantitatif menggunakan
Nycocard reader II
. Nilai rujukan normal CRP dengan metode sandwich imunometri adalah 5 mgL.
Nilai rujukan ini tentu akan berbeda di setiap laboratorium tergantung reagen dan metode yang digunakan Balci C, 2003.
D. Prokalsitonin
1. Definisi
Prokalsitinin PCT adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan prekursor hormon kalsitonin. Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13
kDa protein, yang disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin. Produksi
diatur oleh kalsitonin I CALC I, gen pada kromosom 11p15.2-p15.1, merupakan gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata diterjemahkan.
Pada manusia, PCT sebagian besar terdapat pada hepar, tetapi juga didapatkan pada paru, ginjal dan testis. Urutan lengkap rantai PCT sudah dikenal sejak tahun
1984, dan gen yang mengkode pembuatannya sudah diketahui sejak tahun 1989.Sejak tahun 1993 diketahui bahwa peningkatan konsentrasi PCT dalam serum berkaitan
commit to user
25
dengan sepsis bakteri pada anak-anak. Sejak awal tahun 1990-an PCT pertama kali digambarkan sebagai tanda spesifik infeksi bakteri. Kepekatan serum PCT meningkat
saat inflamasi sistemik, khususnya ketika disebabkan oleh infeksi bakteri.Telah terbukti bahwa kadar PCT dalam serum meningkat secara signifikan bila terdapat
infeksi bakteri, sehingga saat ini PCT dianggap merupakan suatu penanda awal yang spesifik untuk sepsis Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores
Juan C, 2003; Rau B, 2004.
2. Biosintesis dan Patofisiologi
Prokalsitonin pertama kali diidentifikasi dari
tyroid medullary carcinoma cell
Prokalsitonin adalah protein yang terdiri dari 116 asam amino dengan berat molekul kurang lebih 13 kDa, yang dikode dengan gen Calc-1 yang terletak pada kromosom
11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003, Rau B, 2004; Meisner M, 2002; Simon L,
2004; Reith HB, 2002; Lopez AT, 2008. Gen Calc-1 menghasilkan dua transkripsi yang berbeda oleh
tissue specific alternative splicing
. Yang pertama, didapat dari exon 1-4 dari 6 exonyang merupakan kode untuk pre PCT, adalah sebuah rantai peptida yang terdiri dari 25 asam amino
signal hidrofobik. Pada sel C kelenjar tiroid, proses proteolitik menghasilkan sebuah fragmen N- terminal 57 AA, kalsitonin 32 AA dan katakalsin 21 AA. Kehadiran
commit to user
26
sinyalo peptida membuat PCT disekresikan secara intak oleh glikosilasi oleh sel lain. Transkrip yang kedua dipotong secara terpilih yang mengandung exon 1,2,3,5,6 dan
merupakan kode untuk
Calcitonin Gene- Related Peptide
CGRP, dimana CGRP di ekspresikan secara luas pada saraf di otak, pembuluh darah dan saluran cerna. CGRP
ini mempunyai peranan dalam imunomodulasi, neurotransmitter dan mengontrol vaskuler Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004; Simon L, 2004.
Peningkatan nilai PCT pada tiroidektomi yang sepsis, menjelaskan bahwa tiroid C sel bukanlah satu-satunya tempat asal PCT. PCT mensekresikan semua
produk-produk biosintetik pathway dan telah dideteksi dalam
homogenates small cell carcinoma
pada paru manusia. PCT mRNA diekspresikan pada sel mononuklear darah
perifer manusia
dan bermacam-macam
sitokin proinflamasi
dan lipopolisakarida mempunyai efek stimulasi. Sekitar 13 limfosit dan monosit manusia
yang tidak distimulasi mengandung protein PCT yang dapat didemonstrasikan secara imunologi. Keadaan ini dapat dipicu oleh lipopolisakarida bakteri, tetapi monosit
pasien dengan syok septik menunjukkan nilai basal yang meningkat dan peningkatan kadar PCT yang distimulasi oleh lipopolisakarida Harbarth S, 2001; Whicher J,
2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004; Reith HB, 2002. Pada infeksi bakteri yang berat atau sepsis, proteolisis spesifik gagal sehingga
terjadi konsentrasi yang tinggi dari protein prekursor, begitu juga fragmen PCT yang berakumulasi dalam plasma. Asal mula sintesis PCT yang dirangsang oleh inflamasi
belum diketahui dengan jelas saat ini. Sel-sel neuroendokrin di paru atau usus saat ini perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
27
dianggap sebagai sumber utama PCT, karena pasien-pasien dengan tiroidektomi total mampu menghasilkan PCT pada keadaan sepsis Rau B, 2004; Reith HB, 2002.
Produksi plasma PCT dapat diinduksi dari manusia sehat dengan injeksi lipopolisakarida LPS dalam jumlah rendah. Peningkatan PCT, pertama kali
terdeteksi 2 jam sesudah injeksi endotoksin dan dalam waktu 6-8 jam kadarPCT akan meningkat dan mencapai plateau dalam waktu kurang lebih 12 jam. Setelah 2-3 hari,
kadar PCT akan kembali akan kembali normal. Induksi yang spesifik dan cepat oleh stimulus yang adekuat akan menimbulkan produksi yang tinggi dari PCT pada pasien
dengan infeksi bakteri yang berat atau sepsis. Keadaan ini memperlihatkan patofisiologi pada respon imun akut Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002.
Pada orang sehat, PCT diubah dan tidak ada sisa yang bebas ke aliran darah, karena itu kadar PCT tidak terdeteksi 0,1 ngml. Tetapi selama infeksi berat yang
bermanifestasi sistemik, kadar PCT dapat meningkat melebihi 100 ngml. Berbeda dengan waktu paruh kalsitonin yang singkat, PCT memiliki waktu paruh yang
panjang, yaitu 25-35 jam Harbarth S, 2001; Whicher J, 2001. Kadar PCT sangat stabil baik in vivo maupun ex vivo walaupun pada suhu
ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda.Tidak ada perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan yang
berbeda, perbedaan yang signifikan hanya pada plasma lithium heparin Shafig N, 2005. Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau ringannya infeksi, tetapi
commit to user
28
tidak dipengaruhi oleh tipe kuman.Anna Fernandez dkk, tahun 2003 melakukan penelitian tentang PCT pada pediatri untuk diagnosis awal pada bayi yang demam
karena infeksi bakteri. Mereka mendapatkan bahwa PCT merupakan marker yang baik untuk deteksi infeksi Oberhoffer M, 1999.
3. Induksi Plasma PCT
PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri virus, dan penyakit
autoimun tidak menginduksi PCT. Kadar PCT muncul cepat dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48-72
jam. Pada keadaan inflamasi akibat bakteri kadar PCT selalu 2 ngml. Pada kasus akibat infeksi virus kadar PCT 0,05 ngml, tetapi biasanya 1 ngml Oberhoffer M,
1999. Pada percobaan orang sehat, yang diberi dosis rendah secara intravena
endotoksin
Escherichiacoli
, setelah 1 jam injeksi ia merasa sakit. Kemudiandalam 1 sampai 2 jam demam dan berkembangmenggigil, kaku dan mialgia dalam waktu 1
sampai3 jam. PCT tidak dapat ditemukan dalam plasmapada 2 jam pertama, tetapi secara tetap tertemukansetelah 4 jam, meningkat tajam pada 6 jam dan tetaptinggi
selama 8 sampai 24 jam. Kadar plasma TNF- αmeningkat secara tajam setelah 1 jam,
puncaknyasetelah 2 jam dan menurun ke garis dasar sesudah6 jam. Kadar plasma IL- perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
29
6 mencapai puncak pada 3 jam dan kembali ke garis dasar setelah 8 jam.Peningkatan plasma PCT terjadi secara singkatsesudah kadar sitokin mencapai puncak. Penelitian
lain pada
pemberian rhTNF-
αdan
melphalan
melalui isolasi
perfusi tungkaimenunjukkan hasil yang hampir sama, tetapi
melphalan
menunjukkan perubahan kecil. Lebihlanjut, kadarIL-6 dan IL-8 meningkat sesudah perfusirhTNF-
α dan mencapai puncak beberapa jam sesudah PCT. Dapat disimpulkan bahwa
peningkatan kadarserum PCT secara langsung atau tidak langsung dibantu oleh sitokin rhTNF-
α dan rhIL-6. CRP dan Serum Amiloid A Protein SAA tanggap terhadap rangsangan yang sama walaupun lebih lambat Shafig N, 2005; Oberhoffer
M, 1999.
4. Pemeriksaan Serum Prokalsitonin
PCT diukur
pada serum
dengan menggunakan
pemeriksaan imunoluminometrik. Pemeriksaan menggunakan dua antibodi monoklonal antigen
spesifik, satu diarahkan ke kalsitonin menggunakan label
luminescence
dan lainnya ke katakalsin Gambar 4. Batas untuk mengetahui pemeriksaan adalah 0,1 ngml dan
koefisien variasinya 5 sampai 10 dengan rentang 1 sampai 1000 ngml. Pemeriksaan juga tidak dipengaruhi antibiotika, sedatif dan agen vasoaktif yang
secara umum digunakan di dalam unit perawatan intensif Hatheril M, 1999. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
30
Pemeriksaan PCT di laboratorium menggunakan bahan sampel serum atau plasma, stabilitas
in vitro
pada suhu kamar mengalami penguraiandekomposisi setelah 24 jam 10 , pada suhu -20
o
C stabil selama 1 bulan, pada keadaan beku atau cair siklus 3 kali PCT sampel menurun 3 . Waktu paruh
in vivo
kira-kira 24 jam, pengukuran PCT untuk memantau penderita minimum satu kali sehari.
Penafsiran interpretasi PCT paskabedah, bebassepsis dan pasca-awal pengobatan antibiotika: bila 50 PCT menurun menunjukkan keberhasilan pengobatan, tetapi
bila tetap atau kadar PCT meningkat tidak ada perubahan dengan pengobatan berarti penyakit memburuk. Penafsiran interpretasi PCT sesudah pemantauan penyakit
infeksi dengan risiko tinggi paska transplantasi atau politrauma: bukan komplikasi infeksi kadar PCT rendah atau menurun dari kadar yang tinggi sesudah beberapa hari
paskabedah. Bila kadar PCT tetap tinggi atau kadar PCT meningkat merupakan petunjuk ada
komplikasi.O’Connormendemonstrasikan bahwa pembekuan
freezing
dan pencairan
thawing cycles
tidak berpengaruh pada kepekatan PCT. Sesudahpenyimpanan plasma selama 24 jam pada suhuruang, akan kehilangan
kepekatan PCT sampai12,4 dan 6,3 pada suhu 4°C. Untuk pemeriksaan ini hanya dibutuhkan 20 ul sampel serum atau plasma. Kepekatan PCT yang berasal sampel
dari darah arteri atau vena tidak berbeda, paling baik menggunakan plasma EDTA. Sampel disimpan padasuhu ruang dan harus diperiksa dalam waktu 4 jam pasca
pengumpulan. Penggunaan antikoagulan litium heparin akan menghasilkan perbedaan serum 7,6 lebih tinggi. Pada penelitian lain ketelitian yang baik ditemukan
koefisien variasi CV antar pemeriksaan bervariasi antara 7,2 pada kepekatan perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
31
serum PCT1,2 ngml dan 3,2 pada kepekatan 52 ngml. Pada pengamatan kepekatan PCT tidak dipengaruhi oleh hemoglobin, bilirubin ataupun trigliserida
kecuali pada kasus haemolisis berat. Kadar PCT kemungkinan juga meningkat selama24 jam pertama kehidupan. Penderita dengan
carcinoma C-cell
tiroid dan sel kecil kanker paru jugadilaporkan mempunyai peningkatan kepekatan serum PCT
Oberhoffer M, 1999.
E. C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin sebagai Penanda Sepsis dan Disfungsi
Multi Organ 1.
Penanda Infeksi
Telah lama diketahui beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengetahui adanya proses- proses inflamasi seperti jumlah leukosit, laju endap darah,
C-Reaktif Protein, Tumor Nekrosis Fakto r α serta interleukin 1 dan 6. Akan tetapi
tes-tes tersebut tidaklah terlalu spesifik, karena itu, sulit sekali membedakan diagnosis antara
Systemic Inflamatory Response Syndrome
SIRS dan sepsis pada pasien-pasien di ruang rawat intensif dengan cepat karena harus menunggu hasil
kultur darah selama beberapa hari, sementara pasien harus mendapatkan pengobatan yang tepat dalam waktu segera. Sementara itu, hasil kultur darah positif bisa juga
karena kontaminasi dan hasil kultur darah negatif belum tentu menyingkirkan sepsis Hatheril M, 1999; Oberhoffer M, 1999.
commit to user
32
Secara tradisional, infeksi berat dapat dikenali dari beberapa tanda klinis seperti hipertermia atau hipotermia, takikardi, takipnu, hipotensi, ditambah beberapa
data laboratorium rutin seperti hitung leukosit, kadar C- Reaktif Protein. Namun demikian, tidak jarang ditemukan hasil laboratorium rutin dalam rentang normal.
Parameter lain yang digunakan antara lain sitokin pro inflamasi seperti TNF α, IL-1 dan IL-6. Sayangnya kadar sitokin pro inflamasi biasanya hanya meningkat untuk
waktu yang relatif singkat. Oleh karena pengukuran klinis dan laboratorium yang kurang sensitif dan spesifik, diperlukan tes yang dapat membedakan antara inflamasi
yang disebabkan karena infeksi dan non infeksi. Akhir-akhir ini telah dikembangkan tes baru yang digunakan untuk mendeteksi inflamasi karena infeksi yaitu
prokalsitonin PCT Whicher J, 2001.
2. C-Reaktif Protein dan Prokalsitonin Sebagai Penanda Sepsis dan Disfungsi
Multi Organ
C-Reaktif Protein CRP merupakan protein pentamer siklik 115 kDa yang terdiri dari 5 protomer.Masing- masing protomer terdiri dari 206 asam amino.Dinamakan
CRP karena mempunyai kemampuan untuk mengikat somatik C polisakarida dari
Streptococcus pneumonia
. Beberapa penelitian mengatakan bahwa pemeriksaan CRP 30 mg l didapati sensitifitas 81, spesifisitas 89, PPV 91 dan NPV 76,
commit to user
33
namun peneliti lain mengatakan kadar CRP tidak berbeda bermakna antara sepsis dan SIRS Thompson D, 1999; Yeh ET, 2005.
Tabel 2. CRP pada Beberapa Keadaan Tertentu
Dikutip dari RuntunuwuAL, Manopo JI, Rampengan NH, Kosim S, 2008.Sari Pediatri 95;319-22
CRP merupakan reaktan fase akut yang akan meningkat jika terjadi proses peradangan atau infeksi bakteri. Infeksi bakteri akan memicu makrofag untuk
memproduksi sitokin-sitokin pro inflamasi. Peningkatan kadar sitokin di dalam plasma akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar CRP dalam plasma. Sekresi
CRP dimulai dalam 4-6 jam dari adanya rangsangan, dua kali lipat dalam 8 jam dan memuncak pada 36-50 jam Pasceri V, 2000.
Prokalsitonin PCT adalah polipeptida yang terdiri dari 116 asam amino dan merupakan prohormon kalsitonin. Kalsitonin terdiri dari 32 asam amino, sedangkan
PCT dibentuk oleh pre PCT yang terdiri dari 141 asam amino dengan bobot molekul 16 KDa. Pemecahan terjadi di sel C kelenjar tiroid. Pemeriksaan semi kuantitatif
PCT sangat praktis. Peningkatan PCT yang cukup besar terjadi bila terdapat reaksi perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
34
peradangan sistemik yang disebabkan oleh endotoksin bakteri, eksotoksin dan beberapa jenis sitokin. Beberapa penyakit di luar infeksi yang dapat meningkatkan
PCT antara lain malaria, penyakit jamur sistemik, penyakit autoimun bedah jantung, pankreatitis, luka bakar, penyakit kawasaki dan syok kardiogenik. Terjadi
peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi
alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT. Konsentrasi normal PCT dalam serum plasma di bawah 0,5 ngml. Pada keadaan
inflamasi kronik dan penyakit autoimun, infeksi virus dan infeksi lokal kadar PCT 0,5 ng ml, sedangkan pada keadaan SIRS, multipel trauma dan luka bakar kadar PCT
0,5-2 ng ml dan kadar PCT 2 ng ml merupakan prediktor infeksi berat, sepsis dan kegagalan beberapa organ paling sering 10-100 ng ml Meisner M, 1996.
PCT menghambat prostaglandin dan sintesis tromboksan pada limfosit in vitro dan mengurangi hubungan stimulasi LPS terhadap produksi TNF pada kultur
whole blood
. Menurut Whicher et al, pemberian rekombinan
human
PCT terhadap sepsis pada tupai menghasilkan peningkatan mortalitas yang berbanding terbalik dengan
pemberian netralisasi antibodi. Kemungkinan peran PCT dalam fisiologi sepsis yang didukung oleh untaian
sequencing homolog
antara PCT dan sitokin seperti TNF, IL- 6 dan
granulocyte colony stimulating factor
Guntur A, 2006. PCT merupakan penanda diagnostik infeksi bakteri populasi anak. Didasari
data yang telah dipublikasikan, terbukti bahwa baik infeksi virus maupun bakteri perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
35
disertai dengan SIRS berkaitan dengan kadar PCT yang tinggi dibandingkandengan infeksi bakteri dan virus yang bersifat lokal. Nilai 5 ngml pada anak-anak telah
dilaporkan untuk mengenali sepsis bakteri yang bernilai peramalan positif dan negatif adalah 100 dan 82 Guntur A, 2006.
Kadar PCT dalam darah ≥ 10 ngml selalu berhubungan dengan sepsis berat sepsis yang disertai paling tidak 1 disfungsi organ
Trevino S, 2007. Kadar PCT ≥ β0 ngml hampir selalu berhubungan dengan
terjadinya syok septik Watson RS, 2003. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
36
Kondisi Penderita Kadar PCT ngml
Normal 0,5
Inflamasi kronik dan penyakit 0,5
autoimun Infeksi virus
0,5 Infeksi lokal s.d berat
0,5 SIRS, multiple trauma, luka bakar
0,5-2 Infeksi berat, sepsis, kegagalan
2 beberapa organ
multiple organ
paling sering 10-100
failure
Tabel 3. Daftar Rujukan Kadar PCT pada Beberapa Keadaan Tertentu
Dikutip dari Oberhoffer M, Vogelsang H, Russwurm S, Hartung T, Reinhart K, 1999. Outcame Prediction by Traditional and New Markers of Inflamation in Patients with Sepsis. Clin Chem Med
37;363-8
3. Perbandingan Antara C-Reaktif Protein dan Prokalsitinin sebagai
Penanda Dini Sepsis dan Disfungsi Multi Organ
Berdasarkan definisi, C-reaktif protein CRP adalah protein yang disintesis di hepatosit dan muncul pada fase akut bila terdapat kerusakan jaringan. Protein ini
diregulasi oleh IL-6 dan IL-8 yang dapat mengaktifkan komplemen Tillet WS, 1930. Disintesis sebagai asam amino 206 polipeptida dan disekresikan oleh
hepatosit sekitar 23 monomer Kda non-glikosilasi, yang non-kovalen rekan untuk perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
37
membentuk struktur cincin karakteristik homopentamerik, termasuk kelompok Pentraxin Yeh ET, 2005; Pasceri V, 2000.
Masing-masing monomer beratnya 23027Da dan sangat tahan terhadap proteolisis. Sedangkan prokalsitonin PCT
adalah suatu protein, asam amino 116 dan merupakan prekursor hormon kalsitonin. Terdiri atas 116 asam amino dengan berat molekul 13 kDa protein Harbarth S, 2001;
Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004. Gen CRP terletak pada kromosom pertama 1q21-Q23. Pada manusia terletak pada
kromosom 1q23, 4, dan terdiri dari duaekson dan satu intron Volanakis JE, 1977; Thompson D, 1999, sedangkan PCT disandi oleh gen Calc-1 di lengan pendek
kromosom 11 dan diproduksi pada sel C kelenjar tiroid sebagai prohormon dari kalsitonin. Produksi diatur oleh kalsitonin I CALC I, gen pada kromosom 11p15.2-
p15.1, merupakan gen dengan enam ekson meskipun ekson pertama tidak nyata diterjemahkan Harbarth S, 2001;
Meisner M, 1996; Whicher J, 2001; Flores Juan C, 2003; Rau B, 2004.
CRP serum akan meningkat ketika ada infeksi, baik infeksi oleh bakteri gram positif maupun gram negatif. Infeksi jamur sistemik juga menyababkan peningkatan
CRP serum, bahkan pada pasien dengan imunodefisiensi. Sebaliknya kadar CRP cenderung lebih rendah pada pasien dengan infeksi virus yang akut. Belum ada data
tentang CRP pada infeksi parasit, tetapi beberapa protozoa seperti malaria, pneumocystosis dan toxoplasmosis juga dapat meningkatkan kadar CRP serum. Pada
infeksi kronis seperti tuberkulosis dan lepra, kadar CRP akan sedikit meningkat atau perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
38
normal Despres JP, 2008. PCT diinduksi oleh endotoksin yang dihasilkan bakteri
selama infeksi sistemik. Infeksi yang disebabkan protozoa, infeksi non bakteri virus, dan penyakit autoimun tidak menginduksi PCT Meisner M, 1996. Terjadi
peningkatan sedikit kadar PCT pada keadaan infeksi virus, neoplastik dan penyakit autoimun, sedangkan pada penyakit infeksi bakteri kronik tanpa inflamasi, reaksi
alergi dan infeksi bakteri yang terlokalisasi tidak didapatkan peningkatan PCT. Pola produksi prokalsitonin tampak mirip dengan beberapa komponen tangga sitokin, dan
penanda aktivasi imunitas seluler yang menunjukkan bahwa ini merupakan pereaksi fase akut. Kadar prokalsitonin dalam serum yang ditemukan sangat berhubungan
dengan keparahan infeksi bakteri dan SIRS. Infeksi yang terjadi terbatas di organ tunggal tanpa ada tanggap sistemik reaksi inflamasi, kadar prokalsitonin rendah atau
sedang Hatheril M, 1999. CRP adalah suatu alfa-globulin yang diproduksi di hepar dan kadarnya akan
meningkat dalam 6 jam di dalam serum bila terjadi proses inflamasi akut. Kadar CRP dalam plasma dapat meningkat dua kali lipat sekurang-kurangnya setiap 8 jam dan
mencapai puncaknya setelah kira-kira 50 jam. Setelah pengobatan yang efektif dan rangsangan inflamasi hilang, maka kadar CRP akan turun secepatnya, kira-kira 5-7
jam waktu paruh plasma dari CRP eksogen. CRP merupakan suatu reaktan fase akut, yaitu indikator nonspesifik untuk inflamasi, sama halnya seperti LED. Tetapi berbeda
dengan LED, kadar CRP tidak dipengaruhi oleh anemia, kehamilan atau hiperglobulinemia Pasceri V, 2000; Despres JP, 2008.
Kadar PCT muncul cepat perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
39
dalam 2 jam setelah rangsangan, puncaknya setelah 12-48 jam dan secara perlahan menurun dalam 48-72 jam. Konsentrasi PCT berhubungan dengan berat atau
ringannya infeksi, tetapi tidak dipengaruhi oleh tipe kuman. PCT memiliki waktu paruh yang panjang, yaitu 25-35 jam Harbarth S, 2001; Meisner M, 1996; Whicher
J, 2001. Kadar prokalsitonin sangat stabil baik
in vivo
maupun
ex vivo
walaupun pada suhu ruangan. Konsentrasi PCT pada darah arteri dan vena tidak berbeda. Tidak
ada perbedaan konsentrasi PCT pada sampel serum dan plasma dengan antikoagulan yang berbeda Oberhoffer M, 1999.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Runtunuwu, dkk didapatkan hasil bahwa sensitifitas PCT dalam diagnosis sepsis adalah 80, namun spesifitasnya
rendah Runtunuwu AL, 2008, berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh O’Connor, dkk yang menyatakan PCT mempunyai sensitifitas 82-100 dan
spesifitas 70-100 dalam diagnosis sepsis O’Connor E, 2001. Penelitian lain, yang
dilakukan oleh Gendrel, dkk serta Lopez, dkk menyatakan bahwa PCT mempunyai spesifisitas yang tinggi, yaitu 100 dan sensitivitas 69. Penelitian Somech, dkk
menyebutkan bahwa PCT mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik daripada CRP, IL-
6 dan interferon α dalam membedakan infeksi virus dan bakteri Lopez AT, 2008; Bohuon C, 2002; Shafig N, 2005; Oberhoffer M, 1999; Runtunuwu
AL, 2008; Gendrel D, 1997. Penelitian lain yang dilakukan Meynaar, dkk mendapatkan bahwa PCT lebih
baik dalam membedakan antara SIRS dan sepsis dibandingkan dengan CRP dan IL-6, perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
40
terutama dalam 24 jam pertama, tetapi meskipun PCT adalah yang terbaik sebagai marker sepsis, tetap harus diintegrasikan dengan data klinis yang lainnya dalam
mendiagnosis sepsis Meynaar IA, 2011. Penelitian Charles, dkk menyebutkan bahwa PCT paling baik dalam membedakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri
gram positif atau gram negatif dibandingkan dengan CRP dan jumlah leukosit Charles PE, 2008. Penelitian yang dilakukan oleh Hatherill, dkk menyatakan bahwa
PCT mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada CRP dan jumlah leukosit dalam diagnosis sepsis dan mempunyai nilai prediktif yang paling
baik untuk syok septik Hatheril M, 1999. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
41
F. Kerangka Teori
Gambar 1. Kerangka Teori Bakteri
Jamur Virus
Gram - Gram +
Eksotoksin Sel T
Sitokin proinflamasi LPS
Kompleks LPB-LPS
CD14
TLR4 Aktivasi makrofag
LPB
CRP ↑
PCT ↑
Sepsis Parasit
Disfungsi multi organ perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
42
G. Kerangka Pikir Penelitian
Keterangan: Ruang lingkup penelitian
Gambar 2. Kerangka Pikir Penelitian Pasien dengan sepsis di PICU:
Klinis: Laboratorium: 1.
Suhu 38 C Leukosit 12.10
3
mm
3
2. HR 90x mnt atau 3.10
3
mm
3
3. RR 20x mnt
Eksklusi: Disfungsi multi organ bukan akibat
sepsis, keganasan, pankreatitis
CRP ↑
Prokalsitonin ↑
Kadar CRP dan PCT dihubungkan dengan
skor SOFA Aktivasi makrofag dan
sitokin pro inflamasi
Skor SOFA, dengan parameter: sistem respirasi, koagulasi, liver,
kardiovaskuler, saraf pusat dan ginjal
Disfungsi multi organ perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
43
Pasien dengan sepsis yang dirawat di PICU berdasarkan kriteria klinis yaitu suhu 38
C, HR 90xmnt, RR 20x mnt dan kriteria laboratorium leukosit 12.10
3
mm
3
, dengan kriteria eksklusi disfungsi multi organ bukan akibat sepsis, adanya keganasan dan pankreatitis. Karena adanya sepsis, terjadi aktivasi makrofag
dan sitokin pro inflamasi, sehingga bisa menyebabkan disfungsi multi organ. Hal ini menyebabkan CRP dan PCT meningkat. Pada pasien dengan sepsis tersebut juga
dilakukan perhitungan skor SOFA dengan parameter sistem respirasi, koagulasi, liver, kardiovaskuler, saraf pusat dan ginjal. Selanjutnya peningkatan kadar CRP dan
PCT tersebut dihubungkan dengan skor SOFA untuk menilai adanya disfungsi multi organ.
H. Hipotesis