Penyakit Blas dan Upaya Pengendaliannya
menentukan ketebalan dan kekerasan dinding sel sehingga mempengaruhi terjadinya penetrasi patogen ke dalam jaringan tanaman. Pupuk nitrogen
berkorelasi positif terhadap intensitas penyakit blas, dimana semakin tinggi pupuk nitrogne, semakin tinggi intensitas penyakit Anonim, 2009. Bila periode basah
lebih dari 5 jam, sekitar 50 konidium dapat menginfeksi jaringan tanaman dalam waktu 6-10 jam. Suhu optimum untuk perkecambahan konidium dan
pembentukan apresorium adalah 25-28
o
C. Keberhasilan pengelolaan penyakit blas pada padi dihasilkan oleh
pendekatan yang komprehensif dengan menerapkan beberapa strategi antara lain teknik budidaya, penggunaan varietas tahan, dan penggunaan fungisida sintetis
TeBeest, 2007; Ghazanfar
et al
., 2009; Anonim., 2009; IRRI, 2010. Pengendalian penyakit blas yang sampai saat ini dianggap paling efektif adalah
penggunaan varietas padi tahan, tetapi jamur
Pyricularia oryzae
sangat mudah untuk membentuk ras baru yang lebih virulen sehingga bisa mematahkan
ketahanan padi terhadap penyakit blas. Jadi penggunaan varietas tahan sangat dibatasi oleh waktu dan tempat, artinya varietas yang semua tahan setelah ditanam
beberapa musim akan menjadi peka, dan varietas yang tahan di satu tempat mungkin peka di tempat lain Anonim, 2009. Mengingat ketahanan padi terhadap
penyakit blas tidak bisa berlangsung lama, maka penggunaan varietas tahan perlu didukung dengan komponen pengendalian lainnya. Sekitar 40 gen untuk
ketahanan terhadap blas telah diketahui, namun getotipe baru dari patogen berkembang sangat cepat sehingga mematahkan ketahanan inang Zeigler
et al
., 1994. Pada beberapa situasi, penyakit blas bisa dikendalikan melalui penanaman
beberapa varietas dengan ketahanan yang berbeda disertai dengan modifikasi teknik budidaya. Pengendalian blas malai
panicle blast
diperoleh melalui rotasi varietas padi Zhu
et al
., 2000. Penggunaan galur majemuk yang terdiri atas beberapa galur yang membawa gen ketahanan yang berbeda sukses digunakan
untuk mengendalikan penyakit blas di Jepang Koizumi, 2001. Aplikasi nitrogen secara terpisah berdasarkan kebutuhan tanaman
direkomendasikan untuk mengurangi intensitas penyakit blas. Penggunaan pupuk nitrogen yang berlebihan memacu pertumbuhan vegetatif tanaman, yang bisa
menibngkatkan kelembaban relatif RH dan tingkat kebasahan daun tanaman
sehingga sangat sesuai dengan perkembangan penyakit blas. Menggenangi tanah sesering mungkin bisa efektif khususnya di daerah tropis IRRI, 2010.
Penggunaan fungisida sintetis merupakan teknologi yang sangat praktis dalam mengatasi penyakit blas, namun sering menimbulkan efek samping yang
tidak diinginkan diantaranya menimbulkan resistensi patogen dan pencemaran bagi lingkungan. Banyak jenis fungisida telah dikembangkan untuk
mengendalikan penyakit blas, khususnya fungisida sistemik. Penggunaan fungisida dengan mekanisme kerja yang mirip dalam periode yang lama tidak
dianjurkan, karena bisa menyebabkan munculnya populasi patogen yang resisten terhadap fungisida Kim
et al
., 2008. Beberapa jenis fungisida sintetis yang sering digunakan untuk mengendalikan penyakit blas di Indonesia adalah Topsin
500 F, Topsin 70 WP, Kasumiron 251 WP dan Delsene MX 80 WP Anonim, 2009. Ada dua teknik dasar yang dapat digunakan untuk mengelola penyakit
tanaman dengan fungisida sintetis, yaitu perlakuan benih untuk mencegah infeksi pada bibit setelah berkecambah dan teknik menggunakan fungisida untuk
mencegah infeksi pada daun dan malai selama masa pertumbuhan. Perlakuan fungisida bisa dilakukan sekali atau dua kali dengan menyemprotkan pada daun
untuk melindungi malai ketika baru muncul TeBeest
et al
., 2007. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengembangkan agen hayati
untuk mengendalikan penyakit blas pada tanaman padi. Taguchi
et al
. 2003 menguji
Bacillus subtilis
strain IK-1080 sebagai agen hayati untuk mengendalikan penyakit blas pada padi. Ketika
B. Subtilis
IK-1080 dibiakan bersama-sama dengan jamur patogen penyakit blas
Pyricularia grisea
pada medium
potato sucrose agar
PSA, pertumbuhan hifa jamur patogen tertekan. Kawamata
et al
. 2004 menguji sebanyak 967 isolat jamur, sebagian besar tergolong spesies
Epicoccum,
sebagai agen hayati untuk mengendalikan penyakit blas pada padi. Lima isolat yaitu MKP5111B, MKP5112, NOP541, NOP5112 dan MKP33222
menunjukkan daya hambat yang sangat kuat terhadap perkecambahan konidia jamur patogen penyakit blas karena menghasilkan antibiotika.
Bakteri antagonis,
Serratia marcescens
strain B2 diuji dan terbukti mampu mengendalikan penyakit blas setelah disemprotkan pada tanaman padi dan
suspensi dituangkan ke dalam rhizozfir tanaman padi Someya
et al
., 2002.
Induksi ketahanan terkait dengan peningkatan lipoxygenase yang diakibatkan oleh perlakuan akar dengan strain B2, tetapi tidak terkait dengan peningkatan aktivitas
peroksidase, phenylalanine ammonia lyase, tyrosin ammonia lyase, BETA,-1,3- glucanase, BETA,-1,4-glycosidase, N-acetylhexosaminidase atau chitinase
Someya
et al
., 2002. Formulasi biofungisida yang mengandung bahan aktif
Serratia marcescens
diuji untuk mengendalikan penyakit blas yang disebabkan oleh
Pyricularia ozyzae
Jaiganesh
et al
., 2007. Formulasi agen hayati yang mengandung
Bacillus megaterium
diuji di lapangan untuk mengendalikan penyakit blas di Thailand Kanjanamaneesathian
et al
., 2009. Hasil pengujian menunjukkan bahwa formula agen hayati yang mengandung
B. megaterium
efektif untuk mengendalikan penyakit blas dan meningkatkan hasil padi. Suprapta
et al
. 2014b membuktikan bahwa formula biofungisida yang mengandung suspensi
Enterobacter agglomerans
Gg14D efektif menekan intensitas penyakit blas pada tanaman padi varietas Ciherang.
2.3.
Plant Growth Promoting Rhizobacteria
Daerah perakaran tanaman dikenal dengan istilah rizosfer Dobbelaere
et al
., 2003. Daerah ini kaya akan unsur hara akibat akumulasi eksudat yang dihasilkan tanaman seperti asam amino dan gula yang merupakan sumber energi
dan unsur hara bagi bakteri Gray and Smith, 2005. Rizosfer ditempati oleh banyak jenis mirkoorganisme, dan bakteri yang mengkolonisai rizosfer disebut
dengan rizobakteri Schroth and Hancock, 1982. Bakteri yang hidup bebas pada rizosfer dan bermanfaat bagi tanaman biasanya dikenal sebagai
plant growth promoting rhizobacteria
PGPR Kloepper
et al
., 1989. Sekitar 1-2 rizobakteri dapat memacu pertumbuhan tanaman Antoun and Kloepper, 2001.
Walaupun banyak jenis rizokateri diidentifikasi sebagai PGPR, tetapi sebagian besar termasuk ke dalam genus
Bacillus
dan
Pseudomonas
Podile and Keshore, 2006.
PGPR mempengarughi pertumbuhan tanaman melalui dua cara yaitu secara langsung atau secara tidak langsung. Mekanisme secara langsung
dilakukan melalui produksi senyawa kimia oleh rizobakteri yang bermanfaat bagi tanaman seperti hormon tumbuh, atau memfasilitasi penyerapan unsur hara dari
lingkungan Glick, 1995. Pengaruh secara tidak langsung terjadi ketika PGPR mengurangi atau mencegah mikroorganisme yang bersifat sebagai patogen
melalui produksi antibiotik atau melalui induksi ketahanan pada tanaman Glick, 1995. Beberapa peneliti telah membuktikan bahwa PGPR dapat memacu
pertumbuhan tanaman, menginduksi ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen dan meningkatkan hasil tanaman Wei, 1991; Press
et al
., 1997; Palukaitis
et al
., 1992; Sherata
et al
., 2008; Khalimi, 2009; Suprapta
et al
., 2014b. Mekanisme rhizobakteri dalam memacu pertumbuhan tanaman adalah 1
mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi hormon tanaman seperti asam indol asetat IAA, asam giberelat, sitokinin, dan etilen atau prekursornya 1-
aminosiklopropena-1-karboksilat deaminase di dalam tanaman; 2 mampu memfiksasi N2, mempengaruhi pembintilan atau menguasai bintil akar; 3
mampu memproduksi osmolit sebagai osmoprotektan dalam kondisi cekaman osmotik maupun cekaman kekeringan, seperti
Azospirillum halopraeferens
menghasilkan osmoprotektan glisin betain yang mampu memacu aktivitas nitrogenase dalam fiksasi N pada kondisi cekaman osmotik; 4 memberi efek
antagonis terhadap patogen tanaman melalui beberapa cara yaitu produksi antibiotik, siderofore,
enzim kitinase, β-1,3-glucanase, sianida, parasitisme, kompetisi sumber nutrisi dan relung ekologi; 5 melarutkan mineral fosfat; 6
menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik Fernando
et al.,
2005, Cattelan
et al.,
1999. Salah satu mekanisme rhizobakteri untuk melindungi tanaman adalah
menginduksi ketahanan sistemik sehingga adanya infeksi patogen bisa dihambat dan tidak sampai mengganggu metabolisme tanaman. Ketahanan sistemik
terinduksi bergantung pada kolonisasi sistem perakaran oleh rhizobakteri. Kolonisasi oleh rhizobakteri dapat terjadi melalui penyelubungan benih atau
penambahan suspensi rhizobakteri ke dalam tanah pada saat pindah tanam. Aplikasi rhizobakteri dapat menginduksi ketahanan tanaman melalui
mekanisme ISR
induced systemic resistance
Wei, 1991; Press
et al
, 1997. Palukaitis
et al.
1992 melaporkan bahwa perlakuan benih mentimun dan tomat dengan rhizobakteri menghasilkan induksi ketahanan sistemik terhadap
Cucumber mosaic virus
. Shehata
et al.
2008 melaporkan bahwa perlakuan rhizobakteri
pada biji labu dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap
Zuccini yellow mosaic potyvirus
dibandingkan dengan perlakuan kontrol yang tidak diberi rhizobakteri. Khalimi 2009 melaporkan bahwa perlakuan
Pseudomonas aeruginosa
isolate PaJ mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman kedelai. Hal ini terbukti secara signifikan meningkatkan tinggi tanaman maksimum, jumlah
daun maksimum, dan luas daun maksimum. Perlakuan
P.aeruginosa
PaJ juga mampu mengurangi penghambatan tinggi akibat infeksi
Soybean stunt virus
SSV, menurunkan konsentrasi SSV didalam tanaman kedelai, dan meningkatkan aktivitas peroksidase. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
P. aeruginosa
isolate PaJ berhasil mereduksi keparahan penyakit kerdil pada tanaman kedelai akibat infeksi SSV.