dan pandangan yang sama dari perbankan dan nasabah terhadap pentingnya penerapan ketentuan anti money laundering.
Dalam upaya penegakan hukum pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, maka kelemahan jaksa dimulai dari penuntutan yang ternyata tidak
sederhana, pertama berkenaan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan kejahatan lanjutan follow up crimes sehingga ada permasalahan lain yaitu
bagaimana dengan predicate crimenya predicate offencenya. Apakah harus dibuktikan keduanya atau cukup pencucian uangnya saja tanpa terlebih dahulu
membuktikan predicate offencenya.
162
Berdasarkan amanat undang-undang maka predicate offece tidak perlu dibuktikan, artinya cukup menggunakan bukti petunjuk saja. Sebagai konsekuensinya
maka dakwaan harus disusun secara kumulatif bukan alternative, karena antara predicate offence dan pencucian uang adalah dua kejahatan yang walaupun perbuatan
pencucian uang selalu harus dikaitkan dengan tindak pidana asalnya, namun pencucian uang adalah kejahatan yang berdiri sendiri as a separate crime.
163
C. Hambatan Dari Sisi Budaya Hukum
Permasalahan yang berikutnya adalah mengenai budaya hukum, selama ini pemahaman masyarakat tentang penggunaan rekening bank adalah sebagai
kepemilikan pribadi, sehingga dalam transaksi sering tidak memperhatikan clausa
162
Yenti Garnasih, Op. Cit., tanpa halaman
163
Ibid
Universitas Sumatera Utara
dalam pembukaan rekening serta cara penggunaannya, sehingga sering sekali teridentifikasi sebagai transaksi mecurigakan. Masyarakat cendrung selalu
menginginkan kemudahan dalam bertransaksi.
164
Demikian juga pihak penyedia barang dan jasa lainnya ada kecendrungan lebih mengutamakan profit keuntungan
165
sehingga tidak melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan yang seharusnya dijalankan. PJTKIPPTKIS juga memiliki
kecendrungan profit oriented dalam menjalankan usahanya, maka sangat sulit untuk menegakkan hukum dengan mengharapkan adanya kesadaran dari pihak pengusaha
atau pengelola perusahaan penyalur jasa tenaga kerja. Dibutuhkan kerjasama yang baik dengan pemerintah sebagai pengawas perusahaan, penyedia jasa keuangan dan
juga aparat penegak hukum. Jadi upaya preventif dapat dilakukan dari mulai awal pemberian izin usaha terhadap PJTKIPPTKIS tersebut, dengan persyaratan yang
semakin ketat dan pemeriksaan yang cermat, kemudiaan dalam pelaksanaan kegiatannya ada pengawasan yang ketat, maka dapat lebih diupayakan mencegah
terjadinya perbuatan pidana trafficking yang dilakukan oleh PJTKIPPTKIS.
164
Anonim, Op. Cit., tanpa halaman
165
Yenti Garnasih, Op.Cit., tanpa halaman
Universitas Sumatera Utara
. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Dari uraian bab-bab dimuka maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Bentuk kejahatan trafficking dalam sistem perundang-undangan Indonesia yaitu pekerja migran yang terbagi atas dua yaitu migran internal dan migran
internasional, pekerja anak, perdagangan anak melalui adopsi pengangkatan anak, pernikahan dan pengantin pesanan, inplantasi organ tubuh.
2. Implementasi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang sebagai sarana dalam untuk menanggulangi kejahatan trafficking dapat dilakukan dengan penerapan prinsip–prinsip dalam sistem
keuangan yaitu prinsip mengenali pengguna jasa customer due diligence dan identifikasi transaksi mencurigakan, kemudian juga dengan adanya ketentuan
perluasan pihak pelapor, yaitu dengan memasukkan pedagang kendaraan bermotor, permata dan perhiasanlogam mulia, demikian juga dengan adanya
ketentuan pelapor pribadi orang yang membawa uang tunai ke dalam atau ke luar pabean Indonesia.
3. Hambatan-hambatan dalam implementasi Undang-Undang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai sarana untuk menanggulangi kejahatan trafficking adalah hambatan dari undang-undang itu
sendiri yang kurang tegas dalam beberapa pasalnya. Mengenai kewenangan
Universitas Sumatera Utara
penundaan transaksi, penghentian sementara, dan pemblokiran transaksi, undang-undang hanya mengatur mengenai yang bewenang dan waktu dapat
dilakukan, tetapi tidak ada menyebutkan dengan jelas indikasi perbuatan yang dapat dikenai tindakan tersebut. Kemudian adanya ketidaksinkronan antara
pasal dengan penjelasan, hal ini dapat dilihat mengenai ketentuan pelaporan oleh profesi, dalam pasal tidak ada disebutkan bahwa profesi tertentu
dikategorikan sebagai pihak pelapor, tetapi dalam penjelasan pasal ada diatur secara terselubung. Hambatan yang kedua yaitu dari struktur hukum,
lambannya informasi intelijen tentang transaksi keuangan mencurigakan dan kurangnya kerjasama antara lembaga penyedia jasa keuangan, penyedia barang
dan jasa dengan aparat penegak hukum. Hambatan yang lainnya adalah pemahaman masyarakat tentang penggunaan rekening bank sebagai
kepemilikan pribadi, yang tidak memperhatikan clausa dalam pembukaan rekening serta cara penggunaannya. Kemudian adanya kecendrungan profit
orinted bagi pihak penyedia jasa keuangan, pihak penyedia barang dan jasa lainnya, demikian juga dengan PJTKIPPTKIS sehingga terkadang tidak
melaksanakan kepatuhan terhadap peraturan yang seharusnya dijalankan.
Universitas Sumatera Utara
B. Saran