BAB IV HAMBATAN DALAM IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG
PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI SARANA MENANGGULANGI KEJAHATAN
TRAFFICKING
A. Hambatan Dari Sisi Materi Hukum
Soerjono Soekanto mengungkapkan bahwa penegakan hukum akan selalu dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak
hukum, faktor sarana dan fasilitas yang mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, faktor
kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
143
Demikian juga halnya dengan penerapan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai
sarana memberantas tindak pidana perdagangan orang, terdapat beberapa hambatan yaitu dilihat dari substansi hukumnya, dari struktur hukum dan dari sisi budaya
hukumnya. Substansi Undang-Undang No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jika dibandingkan dengan dua undang-undang tindak pidana pencucian uang terdahulu yaitu Undang-Undang No.
15 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, maka terdapat beberapa perubahan.
143
Soerjono Soekanto, “Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum”, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007, hal. 5-9
Universitas Sumatera Utara
Pada undang-undang yang lama secara teoretis hukum doktrin merupakan lex spesialis systematic, yaitu undang-undang administratif bersifat regulatif yang
diperkuat dengan sanksi pidana. Adapun dengan judul baru yaitu Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang UU PPTPPU,
secara teoretis doktrin mencerminkan undang-undang pidana khusus lex specialis yang bersifat preventive measure dan repressive measures dalam satu paket.
144
Hal ini tentunya bukan merupakan hal yang mudah untuk dilaksanakan, mengingat
begitu banyak kelengkapan yang harus dipenuhi agar undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan maksimal.
Konsekuensi perubahan judul undang-undang, maka menempatkan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana khusus yang memerlukan perhatian,
sikap, dan tindakan khusus dengan tujuan menghilangkan sumber dan operasional pencucian uang di Indonesia.
Kemudian Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang ini juga telah dengan sangat berani mendelegasikan wewenang
publik bersifat projustitia kepada sektor privat, yaitu Lembaga Penyedia Jasa Keuangan LPJK, termasuk perbankan, yaitu melaksanakan “penundaan transaksi
mencurigakan suspension of transaction” terhadap seseorang nasabah untuk paling lama 5 lima hari.
145
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 ayat 1 UU No. 8 Tahun
144
Romli Atmasasmita, “Dilema UU Tindak Pidana Pencucian Uang”, http:suar.okezone.comread2010111158392175dilema-uu-tindak-pencucian -uang, diakses
tanggal 3 Mei 2011
145
Ibid
Universitas Sumatera Utara
2010 yaitu disebutkan : penyedia jasa keuangan dapat melakukan penundaan transaksi paling lama 5 lima hari kerja terhitung sejak penundaan transaksi
dilakukan. Tentunya hal ini bukanlah hal yang mudah untuk dilaksanakan, mengingat
bahwa nasabah adalah orientasi bisnis perbankan. Untuk melaksanakan wewenang ini maka dibutuhkan pedoman pelaksanaan penundaan, sehingga tidak menimbulkan
resiko yang merugikan pihak lembaga Penyedia Jasa Keuangan demikian juga tidak merugikan nasabah.
Selain penundaan transaksi oleh penyedia jasa keuangan, Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana Pencucian Uang juga memberikan
wewenang kepada PPATK untuk melakukan tindakan penghentian sementara transaksi selama 5 hari dan dapat diperpanjang sampai dengan 15 hari. Jadi total
waktu di mana seseorang yang dicurigai tidak dapat melakukan transaksinya adalah 25 dua puluh lima hari. Perintah pemblokiran rekening tersangkaterdakwa dibatasi
lamanya sampai dengan 30 tiga puluh hari sehingga total waktu penundaan, penghentian sementara transaksi sampai pada pemblokiran, adalah 55 lima puluh
lima hari. Ketentuan Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang tidak jelas membedakan indikasi perbuatan yang dapat dikenai tindakan penundaan transaksi, penghentian sementara, dan pemblokiran transaksi,
undang-undang hanya mengatur siapa yang berwenang dan berapa lama waktunya,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip due process of law
146
dan transparansi serta akuntabilitas tidak diatur secara terperinci sehingga tidak ada due
diligence of power
147
terhadap kinerja lembaga terkait indikasi pencucian uang.
148
Mengenai mengenai profesi tertentu seperti lawyer, notaris, akuntan independent. Mengenai bidang profesi ini Rancangan Undang Undang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang memasukkannya sebagai pihak pelapor, dengan pemikiran bahwa bidang profesi ini dapat membantu upaya
penegakan hukum dan dapat berperan sebagai “palang pintu” gatekeeper karena sesuai dengan sifat pekerjaannya dimaksud dapat mendeteksi kemungkinan terjadinya
pencucian uang melalui penggunaan perjanjian-perjanjian legal, seperti trust dan corporate vehicles.
149
Kemudian dalam Undang Undang No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dalam pasal-pasalnya
tidak menyebutkan dengan tegas mengenai kewajiban ini, tetapi dalam penjelasan Pasal 41 ayat 1, secara tersirat dimasukkan sebagai pihak pelapor.
B. Hambatan Dari Sisi Struktur Hukum