Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka

Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang” yang ditulis oleh Robinson Perangin-angin dengan permasalahan yang diangkat dalam tulisan itu adalah : 1. Bagaimanakah pengaturan praktek kejahatan perdagangan anak sebagai predicate crime dalam TPPU? 2. Bagaimanakah penanggulangan kejahatan perdagangan anak? 3. Bagaimanakah bentuk pembaharuan hukum tentang perdagangan anak? Dari judul memang terdapat kesamaan dengan judul yang penulis angkat yaitu Penanggulangan Kejahatan Trafficking Melalui Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, tetapi permasalahan yang diangkat adalah berbeda, maka dengan demikian penelitian ini dapat dijamin keasliannya serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsional 1. Kerangka

Teori Teori merupakan suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstraksi yang berinterkoneksi satu sama lain atau berbagai ide yang memadatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah cara yang ringkas untuk berpikir tentang dunia itu bekerja. 20 Penelitian ini akan dibahas dengan menggunakan kerangka pemikiran mengenai tindak pidana yang memberikan fokus perhatian pada perbuatan dan sifat melawan hukum dari tindak pidana pencucian uang. 20 Neuman dalam H.R. Otje Salman S., Arton F. Samson, “Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali”, Bandung: Refika Aditama, 2005, hal. 22 Universitas Sumatera Utara Pada dasarnya suatu tindak pidana menurut undang-undang terdiri dari tiga bagian yaitu : 21 a. Terdiri dari pasal-pasal yang mempunyai rumusan yang kompleks b. Terdapat rangkuman singkat dari rumusan dan pemberian nama pada rumusan, yaitu kualifikasi c. Ketentuan itu berisi ancaman pidana atau hukuman Perbuatan akan dikaji tentang adanya delik komisi dan delik omisi. Delik komisi adalah merupakan rumusan yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang melarang suatu perbuatan tertentu, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam perbuatan itu dengan pidana. Kemudian delik omisi adalah rumusan yang menghendaki ditepatinya suatu norma yang mengharuskan suatu perbuatan, maka terciptalah ketentuan pidana yang mengancam keadaan tidak berbuat dengan pidana. Dapat disimpulkan bahwa delik komisi melarang suatu perbuatan dilakukan sedangkan delik omisi adalah mengharuskan suatu perbuatan dilakukan. Selanjutnya dalam peraturan pidana dikatakan perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang mempunyai sifat melawan hukum yang berarti berkaitan dengan azas legalitas yaitu bahwa suatu tindakan dikatakan melawan hukum jika perbuatan itu telah terlebih dahulu ditentukan sebagai perbuatan yang dapat dipidana, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana KUHP yaitu : ”suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali didasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”. 21 Sahetapy dalam Tb. Irman S., Op. Cit., hal. 227 Universitas Sumatera Utara Makna yang terkandung didalam Pasal 1 ayat 1 KUHP ini, yaitu : 22 1. Berlaku azas non-retroaktif 2. Perbuatan yang dilarang harus dimuat dalam rumusan tindak pidana sejelas-jelasnya 3. Hakim dilarang menyatakan bahwa terdakwa melakukan perbuatan pidana berdasarkan pada hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan 4. Tidak berlaku penafsiran analogi Mengenai pengertian bersifat melawan hukum ini, Simons 23 menyatakan peristiwa pidana adalah merupakan perbuatan yang diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh seseorang yang bersalah dan yang mampu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Langemeyer dalam Moeljatno 24 mengatakan bahwa ”untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dapat dipandang keliru, itu tidak masuk akal”, yang menjadi soal adalah apakah ukuran dari keliru atau tidaknya suatu perbuatan. Mengenai hal ini ada dua pendapat, yang pertama adalah apabila suatu perbuatan bertentangan dengan undang-undang, maka sifat melawan hukumnya telah jelas yaitu melanggar ketentuan undang-undang, pendirian ini disebut pendirian yang formal. Pandangan yang kedua yaitu belum tentu perbuatan itu bertentangan dengan undang-undang, tetapi perbuatan itu bertentangan dengan norma-norma atau kenyataan-kenyataan dalam masyarakat, maka dalam hal ini sifat melawan hukumnya 22 Alvi Syahrin, “Sifat Melawan Hukum wederrechtelijk”, http:alviprofdr.blogspot .com201011melawan-hukum.html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011 23 Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 2000, , hal. 255 24 Moeljatno, “Azas-azas Hukum Pidana”, Jakarta: Rineka Cipta, 2008, hal. 140 Universitas Sumatera Utara terdapat pada perbuatan yang bertentangan menurut norma-norma atau kenyataan- kenyataan dalam masyarakat, pendirian ini disebut pendirian materil. 25 Sifat melawan hukum itu tidak selalu dicantumkan sebagai salah satu unsur delik, walaupun ada beberapa pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP yang menyebutkannya secara tegas. Mengenai hal ini maka penganut pendirian formal beranggapan jika dicantumkan sifat melawan hukum tersebut dalam norma, maka hal itu berarti menghendaki penelitian apakah tindakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Sedangkan bagi penganut pendirian materil bahwa sifat melawan hukum itu akan selalu ada dalam delik walaupun tidak dengan tegas dirumuskan dalam pasal. Selanjutnya penelitian ini akan dianalisis dengan teori Lawrence M. Friedman, yang menyatakan bahwa sistem hukum terdiri dari materi hukum substance of law, struktur hukum structure of law dan budaya hukum legal culture. 26 Materi hukum substance of law adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan hukum serta melakukan hubungan-hubungan hukum. Struktur hukum structure of law adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya di pengadilan, pembuatan hukum oleh para legislator, serta proses hukum itu dijalankan. Kemudian budaya hukum legal culture adalah unsur 25 Ibid. 26 Lawrence M. Friedman, “Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial”, Terjemahan oleh M. Khozim, Bandung : Nusa Media, 2009, hal. 12-19 Universitas Sumatera Utara yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari masyarakat atau para pemakai jasa hukum. Budaya hukum mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan sistem hukum.

2. Kerangka Konsepsional

Dokumen yang terkait

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Perpajakan Melalui Penerapan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang

1 69 151

Pembuktian Terbalik Dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Dan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 71 102

Kejahatan Perdagangan Anak Sebagai Predicate Crime Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang

3 39 136

.UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DARI HASIL KEJAHATAN NARKOTIKA MELALUI UNDANG-UNDANG NO. 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN UNDANG-UNDANG NO. 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG.

0 2 14

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG uu0082010

0 0 65

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DI INDONESIA

0 0 20

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

0 0 15

BAB II UPAYA PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Sejarah Terjadinya Pencucian Uang - Identifikasi Transaksi Keuangan Mencur

0 0 44

PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERPAJAKAN MELALUI PENERAPAN UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

0 0 14

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang JURNAL ILMIAH

0 0 35