Penelantaran Ayah Terhadap Anak (dalam Perpektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga)

(1)

PENELANTARAN AYAH TERHADAP ANAK (DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG

PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Syariah (S.SH)

Oleh :

Muhammad Syaifullah 1111045100021

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM

PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1437 H / 2016 M


(2)

(3)

(4)

(5)

v

ABSTRAK

Muhammad Syaifullah. NIM: 1111045100021. PENELANTARAN AYAH TERHADAP ANAK (dalam Perspektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Program Studi Jinayah Siyasah, Konsentrasi Kepidanaan Islam, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1437 H/2016 M.

Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Hak dasar anak adalah hak untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat, memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan sebagian dari hak-hak anak. Namun, pada kenyataannya seringkali hak-hak terhadap anak diabaikan oleh orang tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau yang sering disebut dengan penelantaran.

Metode yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan norma-nomra hukum sebagaimana dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam, serta dengan penelitian kepustakaan (library research) yaitu dengan cara menelusuri buku-buku dan literature-literature yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.

Hasil dari analisis penelitian ini menerangkan pertanggungjawaban orang tua (ayah) dalam menelantarkan anaknya menurut hukum Islam sangat bervariatif, dari yang terberat hingga teringan, karena dalam hukum Islam sanksi bagi pelaku penelantaran anak masuk dalam kategori Jarimah Ta'zir, yag berat dan ringannya hukuman diserahkan kepada penguasa atau hakim setempat. Sedangkan menurut UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, sebagaimana yang diatur dalam UU tersebut

bahwasannya “setiap orang yang menelantarkan orang dalam ruang lingkup rumah

tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau

perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut”. Yaitu

dipidana dengan penjara paling lama (3) tahun atau denda paling banyak Rp. 15.000.000,00.- (lima belas juta rupiah). Dan terkait UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam menangani kasus penelantaran anak dilingkup rumah tangga, tidak berpengaruh mengingat belum memberikan efek jera bagi sebagian orang tua pelaku penelantaran dan hal tersebut dapat dilihat dari jumlah penelantaran anak yang semakin meningkat setiap tahunnya.

Kata Kunci : Penelantaran, Ayah, Anak, Sanksi, Hukum Islam. Daftar Pustaka : 1959 – 2015


(6)

vi

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Yang selalu menganugrahi nikmat dan karunia yang tiada terkira, sholawat dan salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya sampai akhir zaman.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ungkapan kebahagiaan dengan penuh rasa syukur dengan terlaksananya penyusunan skripsi sebagai tanda lulus dan selesainya masa studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini. Dalam penyusunan skripsi ini, banyak ditemui halangan dan hal-hal lain yang menggangu fokus penulis, namun dengan kesungguhan hati dan dorongan motivasi yang tak terbatas dalam diri dan dari lingkungan sekitar penulis, segala dapat dilalui. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA. Selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(7)

vii

4. Bapak Nur Rohim, LLM. Selaku Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak H. Qosim Arsyadani, MA. Selaku Dosen Penasihat Akademik atas nasihat dan arahanya.

6. Bapak Amrizal Siagian S.Hum, M.Si. Selaku Dosen Pembimbing yang telah memberikan waktu , bimbingan, arahan, motivasi, dan semangat dalam penyusunan skripsi ini.

7. Seluruh Dosen dan Staf Jinayah Siyasah, semoga ilmu yang telah Bapak dan Ibu berikan selalu bermanfaat bagi penulis dan menjadi keberkahan dimasa yang akan datang.

8. Teristimewa untuk Bapak dan Ibu tercinta, Bapak H. Sadelih. E dan Ibu Hj. Sri Haryati yang selalu mencurahkan kasih sayang tak terhingga, serta dukungan moril dan materil serta doa kepada penulis.

9. Teruntuk Fadhilatunnisa sebagai calon istri yang selalu mendoakan, memberi semangat dan menemani dalam mengerjakan skripsi ini di keadaan on fire maupun magerrr..

10. Terkhusus Hadyan, Iqbal Gece, Iqbal Gimbal, Nopal, Izul Hasibuan selaku ce‟es kentel, juga teman-teman seperjuangan Program Studi Hukum Pidana Islam Konsentrasi Kepidanaan Islam angkatan 2011 yang telah memberikan semangat dan motivasi selama menjalani perkuliahan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


(8)

viii

12. Kepada Keluarga Besar Himpunan Mahasiswa Labuhanbatu (HIMLAB RAYA JAKARTA) yang telah memberikan support untuk penyelesaian penulisan skripsi. 13. Semua pihak yang telah membantu, mendukung, dan memberikan dorongan

semangat dan motivasi kepada penulis dalam menjalani kegiatan akademik dan organisasi selama ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan terindah, dan keberkahan-Nya selalu menyertai kita. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, penulis meminta kritik dan saran yang membangun demi adanya perbaikan dalam penulisan dimasa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat berguna bagi penulis khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Jakarta, 23 Oktober 2016

Penulis

Muhammad Syaifullah


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Rumusan Masalah ...5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...5

D. Kerangka Teori ...6

E. Metode Penelitian ...10

F. Studi Review Terdahulu ...13


(10)

x

C.Kriteria Penelantaran Anak ...34

D.Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam ...36

E. Hak Anak Menurut Islam ...40

F. Hak Anak Menurut Undang-Undang ...52

G.Batasan Pengertian Kekerasan KDRT ...56

H.Kategori Orang Tua dan Batasan Tanggungjawabnya ...63

BAB III SANKSI PIDANA TERHADAP AYAH YANG MENELANTARKAN ANAK MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A.Pengertian dan Dasar Sanksi…...68

1. Pengertian dan Dasar Sanksi Menurut Hukum Islam...68

2. Pengertian dan Dasar Sanksi Dalam Undang-Undang...71

B. Tujuan dan Fungsi Sanksi…...72

1. Tujuan dan Fungsi Sanksi Dalam Hukum Islam...72


(11)

xi

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI AYAH YANG MENELANTARKAN ANAKNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

A.Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak Menurut Hukum Islam...89 B. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga...92

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan…...98 B. Saran-Saran...101


(12)

1 A. Latar Belakang Masalah

Keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam tatanan kemasyarakatan. Keluarga merupakan sebuah group yang terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan.1 Dari keluarga itu juga akan melahirkan individu-individu baru yang akan meneruskan kehidupan selanjutnya. Dengan lahirnya individu tersebut maka akan menimbulkan tanggung jawab yang besar yang pada akhirnya harus dipertanggungjawabkan oleh kedua orang tuanya.2

Struktur keluarga yang ideal adalah keluarga yang di dalamnya terdiri dari suami sebagai kepala rumah tangga, istri sebagai ibu rumah tangga, dan anak-anak sebagai anggota keluarga. Kehadiran seorang atau beberapa anak-anak di tengah-tengah keluarga merupakan bagian tak terpisahkan dalam tujuan suatu perkawinan yang ingin membentuk rumah tangga dalam keluarga bahagia, dengan hadirnya anak, maka suasana keluarga dalam rumah tangga terasa ceria penuh dengan canda yang dapat menambah semangat kerja dan semangat membangun keluarga. Untuk membentuk suatu keluarga tentunya ada

1

William Goode J, Sosiologi Keluarga, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995). Hal. 107.

2

Soerjono Soekanto, Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004). Hal. 72.


(13)

2

tahapan yaitu perkawinan lalu kemudian memiliki anak dan terbentuklah suatu keluarga.3

Dalam berkeluarga memiliki anak merupakan kebahagiaan tersendiri bagi orang tua. Harapan keluarga dan tujuan akhir dari pernikahan telah terpenuhi. Berbagai harapan dan cita-cita telah dinantikan oleh orang tua dalam mendampingi, merawat, mendidik anak, agar kelak memiliki kepribadian yang baik pada waktu besar dan dewasa nanti. Anak dalam perkembangannya membutuhkan proses yang panjang, maka dalam membentuk prilaku anak yang berakhlak mulia peran orang tua sangat dibutuhkan. Karena dalam mengasuh anak tidak hanya sekedar mengasuh tetapi orang tua perlu bertanggung jawab dalam memberikan perhatian sempurna kepada anaknya semenjak dari masa mengandung, melahirkan hingga sampai masa dewasa, orang tua berkewajiban mempersiapkan pertumbuhan jiwa, raga dan sifat anak supaya nantinya sanggup menghadapi pergaulan masyarakat.4

Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan.5 Sesuai dengan pasal 52 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia yang menyebutkan bahwa anak di akui dan dilindungi

3

Abu Ahmadi, Psikologi Sosial, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2009), Hal. 239.

4

Djuju Sudjana, Peranan Orang Tua Dalam Lingkungan Masyarakat, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996). Hal. 98.

5

Indonesia, Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak, UU No. 23, LN. No. 109 tahun 2002, TLN. No. 4235, penjelasan umum.


(14)

oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan. Hak dasar anak adalah hak untuk memperoleh perlindungan baik dari Orang tua, Negara dan Masyarakat, memperoleh pendidikan, terjamin kesehatan dan kesejahteraannya merupakan sebagian dari hak-hak anak.6

Salah satu hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan.7 Perlindungan yang dimaksud ialah hak yang melekat pada diri anak sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun. Konvensi hak anak menyebutkan, ada 4 (empat) pokok yang dimiliki seorang anak yang harus dilindungi yaitu hak untuk hidup (survival), hak berkembang (development), hak mendapat perlindungan (protection), dan hak berpartisipasi (participation).8 Namun, selain hak anak tadi ada hak anak yang seringkali diabaikan oleh orang tua, terutama oleh ayah yaitu hak kasih sayang dan hak asuh terhadap anak atau yang sering disebut dengan penelantaran. Selain terabaikan kasih sayang dan hak asuh terhadap anak, penelantaran yang dimaksud dalam pengertian ini ialah tidak terpenuhinya hak-hak utama terhadap anak, seperti hak nafkah (sandang, pangan dan papan) dan juga hak dalam pendidikan.

Anak termasuk dalam kelompok rentan, jadi sudah sewajarnya memperoleh perlindungan khusus dari negara. Perlindungan khusus tersebut berupa pembaharuan

6

Levin Leah, Hak Asasi Anak-Anak dalam Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994). Hal. 89.

7

Bismar Siregar, Hukum dan Hak-Hak Asasi Anak, (Jakarta: Rajawali, 1986). Hal. 40.

8

Rika Saraswati, Hukum Perlindungan Anak di Indonesia, (Jakarta: Citra Aditya, 2015). Hal. 176.


(15)

4

hukum dengan cara menetapkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud untuk melindungi anak dari tindak penelantaran, termasuk memberikan pelayanan terhadap anak yang menjadi korban penelantaran.9 Pembaharuan di bidang legislasi berupa pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan, mengingat selama ini peraturan yang ada belum memadai dan tidak sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, serta belum memberikan efek jera kepada orang tua atau pelaku penelantaran karena sanksinya terlalu ringan. Mengingat terjadinya tindak penelantaran keluarga khususnya terhadap anak dalam masyarakat, maka fenomena tersebut perlu mendapatkan perhatian serius dari pihak terkait yang memerlukan peningkatan dalam penegakkan hukum. Oleh karena perbuatan penelantaran tersebut diancam pidana dalam Pasal 49 huruf (a) UU RI No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dengan pidana penjara 1 (satu) tahun dan diperintahkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali bila dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, karena terdakwa sebelum lewat masa percobaan telah melakukan perbuatan yang dapat dipidana.10 Maka dari itu penyusun ingin mengulas dan membahas lebih mendalam tentang penelantaran anak dan berusaha membahasnya dalam judul “Penelantaran Ayah Terhadap Anak (dalam Perspektif Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga)”.

9

Irma Setyowati Sumitro, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990). Hal. 92.

10

Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana, (lengkap dengan uraian unsur-unsur tindak pidananya), (Yogyakarta: Merkid Press, 2015). Hal. 101.


(16)

B. Rumusan Masalah

Masalah penelantaran anak yang terjadi menimbulkan beberapa pertanyaan yang menyangkut tentang pertanggungjawaban hukum orang tua khususnya seorang ayah yang melakukan penelantaran terhadap anaknya. Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian ini, maka penyusun membatasi pada pokok permasalahan dan di rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tanggung jawab ayah terhadap anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang PKDRT ?

2. Bagaimanakah bentuk pertanggungjawaban hukum terhadap ayah yang menelantarkan anak menurut hukum Islam dan Undang-Undang PKDRT? 3. Bagaimanakah Implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan

Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran anak?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian ini adalah:11

a. Untuk mengetahui bentuk tanggung jawab ayah menurut hukum Islam dan hukum positif.

b. Untuk mengetahui bentuk pertanggungjawaban hukum penelantaran ayah terhadap anak menurut undang-undang PKDRT.

11


(17)

6

c. Untuk mengetahui apakah implementasi Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga dalam penelantaran anak.

2. Manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi insan akademik dapat mengetahui dan lebih memahami problematika atau sebagai salah satu upaya pemberian informasi tentang penelantaran anak yang terdapat dalam Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga.

2. Penelitian ini diharapkan dijadikan landasan untuk penelitian lanjutan dan semakin membangkitkan atau menjadi motivasi peneliti selanjutnya dalam pengembangan kajian yang berkaitan dengan anak. Diharapkan hasil penelitian ini mampu memperkarya wancana intelektual

bagi setiap pribadi muslim dan masyarakat luas untuk memahami secara benar mengenai perihal penelantaran anak.12

D. Kerangka Teori

Anak adalah amanat sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa dan tidak bisa di anggap sebagai harta benda yang bisa diperlakukan sekehendak hati oleh orang tuanya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dituliskan bahwa anak adalah keturunan, yang menurut pengertian lain anak adalah manusia yang paling kecil namun dalam arti luas anak adalah manusia yang pada suatu masa perkembangan tertentu mempunyai potensi menjadi

12


(18)

dewasa.13 Dan anak senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi.14

Anak dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam agama Islam, anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberikan keperluan untuk kebutuhan baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia dan dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak merupakan titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan Negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lila’lamin dan sebagai pewaris ajaran Islam.15

Pengertian anak dalam Undang yang terdapat pada Undang-Undang 1945 di dalam Pasal 34 yang berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak

terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak

adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kata lain anak tersebut

13

Anton M Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988). Hal. 30.

14

Kedaulatan Rakyat, Jurnal Rubrik Keluarga: Pahami Dunia Anak, 17 Desember 2006, tahun LXI No. 112. Hal. 9.

15

Ahmad Rofiq, Anak Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke-6. Hal 37.


(19)

8

merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Ditegaskan pengaturan dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak harus memperoleh hak-hak kesejahteraan hidupnya dan dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar dan baik secara jasmani, rohani maupun sosial.16

Islam mengajarkan pemeluknya untuk memberikan perlindungan terhadap anak. Perlindungan anak tersebut berupa jaminan dan perlindungan hak-haknya sehingga anak dapat hidup tumbuh berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Serta dapat perlindungan dari setiap tindakan kekerasan, penelantaran, dan tindak diskriminasi.17

Tanggung jawab orang tua (ayah) terhadap anak adalah merupakan kewajiban yang tidak dapat diabaikan begitu saja demi terwujudnya kesejahteraan anak secara rohani, jasmani maupun sosial, orang tua yang terbukti melalaikan tanggung jawabnya sehingga mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak, maka orang tua dikategorikan telah menelantarkan anaknya dan dapat di jerat dalam hukuman pidana.18

16

J. Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, (Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000). Hal. 63.

17

Giwo Rubianto Wiyogo, Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007). Hal. I.

18

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, (Bandung: PT. Refika Aditama, 20080. Hal. 78.


(20)

Hukum pidana bertujuan untuk menegakkan keadilan dan berdasarkan prinsip bahwa tidak ada penghukuman tanpa adanya kesalahan (Geen straf zonder schuld). Dasar hukum perlindungan terhadap korban penelantaran dalam rumah tangga adalah Pasal 9, pasal 49, pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, hal-hal apa saja yang dapat dikatakan sebagai tindakan penelantaran dalam rumah tangga, serta pertanggungjawaban hukum tindak pidana lainnya dalam pelanggaran Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.19

Penyelenggaraan perlindungan terhadap anak merupakan kewajiban serta tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan daerah.20 Dan bagi kehidupan berumah tangga setiap orang dilarang menelantarkan siapa saja dalam lingkup rumah tangganya. Terutama menelantarkan anak. Sama halnya yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, bahwasannya setiap orang dilarang menelantarkan orang yang berada dalam lingkup keluarganya dan berlaku baginya karena persetujuan dan perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan. Konkretnya, penelantaran rumah tangga dimaksud disini setiap bentuk kelalaian dan kewajiban tanggung jawab orang tua kepada anaknya.

19

Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1983). Hal.34-35,40.

20


(21)

10

Sudah saatnya orang tua (ayah) menyadari tanggung jawab terhadap anak-anaknya, anak-anak pun memiliki hak asasi seperti manusia dewasa lainnya yang harus dilindungi dan dihargai. Maka hak-hak anak perlu ditegaskan dan ditegakkan, antara lain untuk hidup yang layak, tumbuh dan berkembang optimal, memperoleh perlindungan dan ikut berpartisipasi dalam hal-hal yang menyangkut nasibnya sendiri sebagai anak.21

A. Metode Penelitian

Untuk memperoleh suatu hasil yang maksimal dari suatu karangan ilmiah, maka metode penelitian yang dijalankan akan memegang peranan yang sangat penting. Hal ini yang sangat mempengaruhi sampai atau tidaknya isi penulisan itu kepada tujuan yang ingin dicapai. Pendekatan yang digunakan untuk memperoleh data yang valid dalam penelitian ini meliputi:22

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian a.) Pendekatan

Pendekatan yang digunakan adalah normative-yuridis, artinya melakukan pendekatan masalah serta penyelesaiannya berdasarkan norma-norma hukum sebagaimana yang ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta aturan hukum yang ada dalam agama Islam

21

Soejono Soekanto, Penegakkan Hukum, 1983. Hal. 48.

22

Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Cet. Ke-3, (Jakarta: UI-Press, 19860. Hal. 14.


(22)

b.) Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penyusun lakukan adalah penelitian pustaka (library research) yang menggunakan literature-literature berupa; buku, jurnal, kamus dan karya pustaka lainnya yang berhubungan dengan tema pembahasan dalam penelitian ini sebagai sumbernya. Karena dalam penyelesaian ini (menjawab rumusan masalah) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta Hukum Islam merupakan acuan bagi penyusun sebagai data-data primer yang menjadi pegangan penyusun.

1. Sumber Data a.) Data Sekunder

Melalui data sekunder penyusun dapat melakukan studi kepustakaan, dilakukan penelusuran bahan-bahan penelitian berupa buku, jurnal dan makalah yang berkenaan dengan masalah yang ada dalam penelitian ini. b.) Sifat Penelitian

Sifat dari penelitian yang digunakan adalah deskriptip-analitik, yaitu suatu penelitian yang bertolak belakang dari pemaparan kondisis obyektif masalah, secara komprehensif. Sebagaimana aturan yang ada dalam Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga serta menjelaskan data-data tersebut yang sesuai dengan pokok masalah. Yang sebagaimana penyusun lebih


(23)

12

cenderung meneliti tentang pertanggung jawaban hukuman bagi orang tua yang menelantarkan anaknya di dalam rumah tangga.

2. Metode Analisis Data

Oleh karena jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka (library research), maka dalam metode analisis data yang dilakukan yaitu dengan cara merujuk pada buku-buku yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Sebagai buku primer (utama) di antaranya: UU Nomoe 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, data-data sekunder lainnya berupa buku-buku, jurnal, makalah dan lain-lain yang berkaitan dengan judul penelitian ini.23

3. Analisis Data

Analisis Data merupakan yang dipakai untuk menelaah keseluruhan data yang tersedia dari berbagai sumber.24 Dalam hal ini penyusun menggunakan metode analisis perbandingan yang mana membandingkan data-data yang ada, serta mentitik beratkan pada studi pertanggung jawaban hukuman bagi orang tua yang menelantakan anaknya dalam rumah tangga.

23

Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988). Hal. 112.

24

Lexi. J. moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002). Hal. 190.


(24)

B. Studi Review Terdahulu

Dalam penelitian ini yang menjadi pokok bahasan tindakan penyimpangan terhadap anak yaitu berupa penelantaran anak oleh orang tua. Sejauh pengamatan penyusun, belum banyak ditemukan akan hal tersebut. Meskipun demikian, banyak karya tulis yang telah membahas tentang anak, akan tetapi tidak dalam lingkup penelantaran anak. Sehingga guna mendukung penelitian ini penyusun berusaha melakukan penelusuran karya-karya, penelitian, makalah, UU serta pustaka-pustaka yang berkaitan dengan judul penulisan ini, diantaranya adalah:

Penelitian yang dilakukan oleh Astrid Fransisca Natalia R., yang berjudul

“Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindakan Pidana Penelantaran Orang Tua”. Penelitian tersebut di teliti oleh Astrid pada tahun 2008. Hasil dari

penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa kerugian yang diderita oleh anak adalah berupa kerugian fisik dan kerugian psikologis. Kerugian fisik yaitu kekurangan gizi. Kerugian psikologis yaitu berupa kepribadian tapal batas, fobia sosial dan gangguan prilaku lainnya.25 Berbeda dengan hasil penelitian Astrid, penyusun cenderung meneliti tentang pertanggungjawaban hukuman orang tua terhadap anak yang di telantarkan dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

25 Astrid Fransisca Natalia R., “Kerugian Yang Diderita Anak Sebagai Akibat Tindak Pidana


(25)

14

Buku dengan judul Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan) karya DR. Arif Gosita yang merupakan sebuah kumpulan makalah-makalah yang dibukukan, yang mana dalam makalah ini banyak sekali permasalahan anak yang di paparkan tentang tindak kekerasan terhadap anak.26

Sedangkan dari penelusuran karya-karya lainnya yang bersangkutan dengan penulisan ini, diantaranya:

Skripsi karya Sana Ulaili dengan judul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga”27ruang lingkup pembahasan skripsi ini masih bersifat fisik serta hanya ditinjau dari Hukum Islam.

C. Sistematika Penulisan

Guna mempermudah dalam pembahasan, penyusun membagi susunan pembahasan dalam lima bab, yaitu:

Bab Pertama, Pendahuluan, pada bab ini terdiri dari: Latar belakang masalah, Rumusan masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Kerangka teori, Metode penelitian, Studi review terdahulu dan Sistematika penulisan.

Bab Kedua, Gambaran umum tentang penelantaran anak, yang meliputi: Pengertian pertumbuhan anak menurut ilmu pengetahuan, Pengertian penelantaran anak, Kriteria penelantaran anak, Hak anak menurut Islam, Hak

26

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), cet. Ke-3 (Jakarta: PT. Bhuana Ilmu Populer, tt).

27Sana Ulaili, „

Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga’, skripsi tidak diterbitkan, skripsi Strata Satu Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta (2002).


(26)

anak menurut undang-undang, Batasan pengertian kekerasan KDRT, Kategori orang tua dan batasan tanggung jawabnya.

Bab Ketiga, Sanksi pidana terhadap ayah yang menelantarkan anak menurut Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang meliputi: A. Pengertian dan dasar hukum sanksi - (1) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut Hukum Islam. - (2) Pengertian dan dasar hukum sanksi menurut undang-undang, B. Tujuan sanksi - (1) Tujuan/Fungsi sanksi menurut Hukum Islam. - (2) Tujuan/Fungsi sanksi dalam undang-undang.

Bab Keempat, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya menurut Hukum Islam dan UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, yang meliputi: Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya dalam Hukum Islam, Pertanggungjawaban hukum bagi ayah yang menelantarkan anaknya dalam UU nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Bab kelima, Merupakan terakhir dalam penulisan yang meliputi kesimpulan dari pembahasan, serta saran-saran berdasarkan analisis dari penelitian ini yang diharapkan dapat dijadikan bahan masukkan dan sumbangan penulis pada pihak terkait.


(27)

16 BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG PENELANTARAN ANAK

A. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Pengetahuan

1. Pertumbuhan Anak Menurut Islam

Pertumbuhan anak menurut Islam berlangsung fase demi fase, pertumbuhan itu digambarkan oleh Allah SWT dalam al-Qur‟an sesuai firmannya pada surat Ghafir ayat 67 sebagai berikut:

َ ݒݏ

َ

ݕܐڭ݃

َ

َڭمۿَ اܸٗۡܥَ ۡم݀جܒ ۡ܌ݗَڭمۿَ۸ ق ݄ ܯَ ۡ݊مَڭمۿَ۸ܸۡطڮ݋َ݊مَڭمۿَ۳۱ ܒۻَ݊گمَم݀ ق ݄ خ

َ اٗ ج أَ۱ٓݒغ݄ۡ۶ ۼ݃ ݑَ݂ۡ۶ قَ݊مَݔڭف ݒ ۼݗَ݊ڭمَم݀݌م ݑَۚ۲ اخݒݘشَ۱ݒ݋ݒ݀ ۼَ݃ڭمۿَ ۡمكڭ܎ش أَ۱ٓݒغ݄ۡ۶ ۼ݃

َ ݉ݒ݄ق ۡܰ ۻَ ۡم݀ڭ݄ ܰ ݃ ݑَݔ ا݈ سڮم

Artinya: “Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari setetes mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (kami perbuat demikian) supaya kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami(nya).28

Dari penjelasan ayat diatas bahwa proses individu mengalami tahapan dan dinamika sejak dalam kandungan hingga melahirkan.29 Seorang individu tumbuh

28

Lihat, QS. Ghafir [67].

29


(28)

menjadi anak, remaja atau dewasa yang mengarah pada proses pertumbuhan anak.30 Dalam fase pertumbuhan anak menurut konsep Islam, adalah sebagai berikut:

1. Masa Bayi (0 hingga 2 tahun)

Pada fase ini orang tua anak perlu untuk mengembangkan kasih sayang secara dua arah dimana ibu memberikan kasih sayangnya dan dalam waktu bersamaan juga mengembangkan kemampuan anak memberikan respon. Ini seperti yang sering diperhatikan dalam fase pertumbuhan anak secara umum dimana memang diharapkan mengajarkan dan memperhatikan anak untuk dapat memberikan respon. Disini yang

dimaksud dengan “mengembangkan kemampuan anak memberikan respon”.

2. Masa anak-anak (2-7 tahun atau disebut dengan fase thufullah)

Pada fase inilah merupakan fase penting memberikan pondasi dasar tauhid pada anak melalui cara aktif agar anak terdorong dan memiliki tauhid aktif dimana anak mau melakukan sesuatu yang baik semata menurut Allah. Fase ini fase penting penanaman pondasi bagi anak.

3. Masa Tanyiz (7-10 tahun)

Di fase ini anak sudah mulai mampu membedakan baik dan buruk berdasarkan nalarnya sendiri sehingga di fase inilah kita sudah mulai mempertegas pendidikan pokok syariat.

30

Aliah B Purwakania Hasan, Psikologi Perkembangan Islami, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2006), Hal. 97.


(29)

18

4. Masa Amrud (10-15 tahun)

Fase ini adalah fase dimana anak mulai mengembangkan potensi dirinya guna mencapai kedewasaan dan memiliki kemampuan bertanggungjawab secara penuh.

5. Masa Taklif (15-18 tahun)

Pada masa ini anak seharusnya sudah sampai pada titik bernama taklif atau bertanggung jawab. Bagi lelaki setidaknya fase ini paling lambat dicapai di usia 18 tahun dan bagi anak perempuan paling lambat dicapai usia 17 tahun. Tanggung jawab yang dimaksud selain pada dirinya sendiri juga tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat dan secara keseluruhan.31 Dalam sudut pandang yang dibangun oleh agama khususnya dalam hal ini adalah agama Islam. Anak merupakan makhluk yang dhaif dan mulia, yang keberadaannya adalah kewenangan dari kehendak Allah SWT dengan melalui proses penciptaan. Oleh karena anak mempunyai kehidupan yang mulia dalam pandangan agama Islam, maka anak harus diperlakukan secara manusiawi seperti diberi nafkah baik lahir maupun batin, sehingga kelak anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia seperti dapat bertanggung jawab dalam mensosialisasikan dirinya untuk mencapai kebutuhan hidupnya dimasa mendatang. Dalam pengertian Islam, anak adalah titipan Allah SWT kepada kedua orang tua, masyarakat bangsa dan

31

Popi Sopiatin dan Sohari Sahrani, Psikologi Belajar dalam Pespektif Hukum Islam, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2011). Hal. 99-102.


(30)

negara yang kelak akan memakmurkan dunia sebagai rahmatan lill a‟lamin dan

sebagai pewaris ajaran Islam.32

2. Pertumbuhan Anak Menurut Hukum

Selama hayatnya, manusia sebagai individu mengalami pertumbuhan yang berlangsung secara berangsur-angsur, perlahan tapi pasti, menjalani berbagai fase. Proses pertumbuhan yang berkesinambungan, beraturan, bergelombang naik dan turun, yang berjalan dengan kelajuan cepat maupun lambat.33 Semuanya itu menunjukkan betapa pertumbuhan mengikuti patokan-patokan atau tunduk pada hukum-hukum tertentu, yang disebut dengan “hukum perkembangan”.34

Dalam segi aspek hukum dan undang-undang menjadikan pengertian anak semakin rasional dan aktual dalam lingkungan sosial. Untuk meletakkan anak dalam pengertian aspek tersebut maka diperlukan unsur-unsur internal maupun eksternal di dalam ruang lingkup untuk menggolongkan status anak tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pengertian anak dari aspek hukum.

Dalam hukum kita terdapat pluralisme mengenai pengertian anak. Hal ini adalah sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan yang mengatur secara tersendiri mengenai peraturan anak itu sendiri. Pengertian anak dalam kedudukan hukum meliputi pengertian anak dari pandangan

32

Ahmad Rofiq, Anak Dalam Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 63.

33

Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2009). Hal. 141-142.

34

R. Akbar dan Hawadi, Perkembangan anak menurut Hukum, (Jakarta: PT. Grasindo, 2002). Hal. 79.


(31)

20

sistem hukum atau disebut kedudukan dalam arti khusus sebagai objek hukum.

b. Pengertian anak berdasarkan UU 1945.

Pengertian anak dalam UU 1945 terdapat di dalam pasal 34 yang

berbunyi: “Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Hal ini mengandung makna bahwa anak adalah subjek hukum dari hukum nasional yang harus dilindungi, dipelihara dan dibina untuk mencapai kesejahteraan anak. Dengan kaata lain anak tersebut merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.35 Terhadap pengertian anak menurut UU 1945 ini, Irma Setyowati Soemitri menjabarkan sebagai berikut.

“Ketentuan UU 1945, ditegaskan pengaturannya dengan dikeluarkannya UU No. 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, yang berarti makna anak (pengertian tentang anak) yaitu seseorang yang harus memperoleh hak-hak yang kemudian hak-hak tersebut dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar dan baik secara rahasia, jasmaniah, maupun sosial. Atau anak juga berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosial. Anak jugta berhak atas pemeliharaan dan perlindungan baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.36

35

Darwan Praist, HukumAnak Indoesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 20030. Hal 107.

36

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum dan Asas-Asas Hukum di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996). Hal. 78.


(32)

c. Pengertian anak berdasarkan UU Peradilan Anak.

Anak dalam UU No. 3 tahun 1997 tercantum dalam pasal 1 ayat (2)

yang berbunyi: “Anak adalah orang dalam perkara anak nakal yang telah

mencapai ussia 8 (delapan) tahun, belum mencapai usia 18 (delapan belas)

tahun dan belum pernah menikah”. Jadi dalam hal ini pengertian anak dibatasi dengan syarat sebagai berikut: pertama, anak dibatasi dengan usia antara 8 (delapan) sampai dengan 18 (delapan belas) tahun. Sedangkan syarat kedua, si anak belum pernak menikah, maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah menikah dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam pernikahan dan putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudag dewasa walaupun umurnya belum genap 18 (delapan belas) tahun.37

d. Pengertian anak menurut UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974.

UU No. 1 Tahun 1974 tidak mengatur secara langsung tolak ukur kapan seseorang digolongkan sebagai anak, akan tetapi hal tersebut tersirat dalam pasal 6 ayat (2) yang memuat ketentuan syarat perkawinan bagi orang yang belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan mendapati izi kedua orang tua. Pada pasal 7 ayat (1) UU memuat batasan minimum

37

M. Musa, Sistem Peradilan Sebagai Alternatif Peradilan Anak Indonesia, Bandung: CV. Rajawali, 2009). Hal. 49.


(33)

22

usia untuk dapat menikah, batasan bagi laki-laki adalah saat mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun.38

Menurut Hilman Hadikusuma, menarik batas antara belum dewasa dan sudah dewasa sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan. Hal ini dikarenakan pada kenyataanya walaupun orang belum dewasa namun ia telah melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum dewasa telah melakukan jual beli, berdagang dan sebagainya walaupun ia belum menikah.39

Dalam pasal 47 ayat (1) dikatakan bahwa anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernak melakukan pernikahan ada dibawah kekuasaan orang tua nya selama mereka tidak dicabut kekuasaan orang tua nya. Pasal 50 ayat (1) menyatakan bahwa anak yang belum mencapai usia 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah, tidak berada dibawah kekuasaan wali . dari pasal-pasal tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa anak dalam UU No. 1 tahun 1974 adalah mereka yang belum dewasa dan sudah dewasa yaitu 16 (enam belas) tahun untuk perempuan dan 19 (Sembilan belas) tahun bagi laki-laki.

38

Wahyono Darmabrata, Tinjauan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Beserta Undang-Undang Dan Peraturan Pelaksanaannya, (Jakarta: CV. Gitama Jaya Jakarta, 20030. Hal. 53.

39

Prof. H. Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan, (Bandung: Alumni, 1984). Xii, 198. Hal. 20.


(34)

e. Pengertian anak menurut hukum adat / kebiasaan.

Hukum adat tidak ada menentukan siapa yang dikatakan anak-anak dan siapa yang dikatakan dewasa. Akan tetapi dalam hukum adat ukuran anak dapat dikatakan dewasa tidak berdasarkan usia tetapi pada ciri tertentu yang nyata. Soepomo berdasarkan hasil penelitian tentang hukum perdata Jawa Barat menyatakan bahwa kedewasaan seseorang dapat dilihat dari ciri-ciri sebagai berikut:40

1. Dapat bekerja sendiri.

2. Cakap untuk melakukan apa yang disyaaratkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bertanggung jawab.

3. Dapat mengurus harta kekayaan sendiri f. Pengertian anak menurut hukum perdata.

Pengertian anak menurut hukum perdata dibangun dari beberapa aspek keperdataan yang ada pada anak sebagai seseorang subjek hukum yang tidak mampu. Aspek-aspek tersebut adalah: - status belum dewasa (batas usia) sebagai subjek hukum. – Hak-hak anak di dalam hukum perdata.41

Pasal 30 KUHPerdata memberikan pengertian anak adalah orang yang belum dewasa dan seseorang yang belum mencapai usia batas

40

Prof. Dr. R. Soepomo, Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat, Jakarta: Gita Karya, 1982). Hal. 43.

41

HFA. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS. Adiwinarta, jil, cet ke-II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1982). Hal. 60.


(35)

24

legitimasi hukum sebagai subjek hukum atau layaknya subjek hukum nasional yang ditentukan oleh perundang-undangan perdata. Dalam ketentuan hukum perdata anak mempunyai kedudukan sangat luas dan mempunyai peranan yang amat penting, terutama dalam hal memberikan perlindungan tergadap hak-hak keperdataan anak, misalnya dalam masalah pembagian harta warisan, sehingga anak yang berada dalam kandungan seseorang dianggap telah dilahirkan bilamana kepentingan si anak menghendaki sebagaimana yang yang dimaksud oleh pasal 2 KUHperdata.42

g. Pengertin anak menurut hukum pidana.

Pengertian anak menurut hukum pidana lebih diutamakan pada pemahaman terhadap hak-hak anak yang harus dilindungi, karena secara kodrat memiliki subtansi yang lemah dan di dalam sistem hukum dipandang sebagai subjek hukum yang dicangkokan dari bentuk pertanggung jawaban sebagaimana layaknya seseorang subjek hukum yang normal. Perngertian anak dalam aspek hukum pidana menimbulkan aspek hukum positif terhadap proses normalisasi anak dari perilaku menyimpang untuk membentuk kepribadian dan tanggung jawab yang pada akhirnya menjadikan anak tersebut berhak atas kesejahteraan yang layak dan masa depan yang baik.43

42

R Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 1995). Hal. 177.

43


(36)

Pada hakekatnya, kedudukan status pengertian anak dalam hukum pidana meliputi dimensi-dimensi pengertian sebagai berikut; - ketidakmampuan untuk pertanggung jawaban tindak pidana. – pengembalian hak-hak anak dengan jalan mensubtitusikan hak-hak anak yang timbul dari lapangan hukum keperdataan, tatnegara dengan maksud untuk mensejahterakan anak. – rehabilitasi, yaitu anak berhak untuk mendapat proses perbaikan mental spiritual akibat dari tindakan hukum pidana yang dilakukan anak itu sendiri. – hak-hak untuk menerima pelayanan dan asuhan . – hak anak-anak dalam proses hukum acara pidana. 44

Jika ditilik pada pasal 45 KUHP maka anak didefinisikan sebagai anak yang belum dewasa apabila belum berusia 16 (enam belas) tahun. Oleh sebab itu jika anak tersebut tersangkut dalam perkara pidana hakim boleh memerintahkan supaya si anak di kembalikan kepada orang tua nya, walinya atau pemeliharanya dengan tidak diikenakan suatu hukuman, atau memerintahkan supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman.45

Dengan demikian di dalam ketentuan hukum pidana telah memberikan perlindungan terhadap anak-anak yang kehilangan kemerdekaan, karena anak dipandang sebagai subjek hukum yang berada pada usia yang belum dewasa sehingga harus tetap dilindungi segala

44

Jeffry S, Nevied, Spencer, Beyerly. Hukum Pengertian Anak : Jilid II. (Jakarta : Erlangga . 2006). Hal. 32.

45


(37)

26

kepentingan dan perlu mendapatkan hak-hak yang khusus yang diberikan kepada negara atau pemerintah.

jadi dari berbagai definisi tentang anak di atas sebenarnya dapatlah diambil suatu benang merah yang menggambarkan apa atau siapa sebenarnya yang di maksud dengan anak dan berbagai konsekuensi yang diperolehnya sebagai penyandang gelar anak tersebut.

3. Pertumbuhan Anak Menurut Ilmu Kesehatan

Anak merupakan individu yang berada dalam suatu rentang perubahan perkembangan yang dimulai dari bayi hingga remaja. Menurut medis, masa anak merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang dimulai dari bayi (0-1 tahun) usia bermain/oddler, (1-2,5 tahun) pra sekolah, (2,5-5 tahun) usia sekolah, (5-11 tahun) hingga remaja (11-18 tahun). Rentang ini berada antara anak satu dengan yang lain mengingat latar belakang anak berbeda. Pada anak terdapat rentang perubahan pertumbuhan dan perkembangan yaitu rentang cepat dan lambat.46

Aspek tumbuh kembang pada anak adalah salah satu aspek yang diperhatikan secara serius oleh para pakar, karena hal tersebut merupakan aspek yang menjelaskan mengenai proses pembentukan seseorang, baik secara fisik maupun psikososial. Namun, sebagian orang tua belum memahami hal ini, terutama orang tua yang mempunyai tingkat pendidikan

46

D. A. Feiby, Tahap Perkembangan Anak Bayi Hingga Pra Sekolah, (Jakarta: Dian Rakyat, 2001). Hal. 71.


(38)

dan sosial ekonomi yang relatif rendah. Mereka menganggap bahwa selama anak tidak sakit, berarti anak tidak mengalami masalah kesehatan termasuk pertumbuhan dan perkembangannya.47

Perkembangan psikososial berkaitan dengan perubahan-perubahan emosi dan identitas pribadi individu, yaitu bagaimana anak berhubungan dengan keluarga, teman-teman dan gurunya. Pertumbuhan dan perkembangan walaupun hampir sama tetapi ada perbedaannya yaitu perkembangan akan berlanjut terus hingga akhir hayatnya, sedangkan pertumbuhan hanya terjadi sampai manusia mencapai kematangan fisik yang artinya bahwa seorang anak tidak akan bertambah tinggi atau besar jika batas pertumbuhannya telah mencapai kematangan.48

4. Pertumbuhan Anak Menurut Psikologi

Pertumbuhan dan perkembangan anak secara psikologi merupakan sebuah konsep yang cukup rumit dan komplek. Namun dapat diartikan bawasannya pertumbuhan dan perkembangan anak menurut psikologi adalah merupakan perubahan-perubahan yang dialami anak atau organism menuju tingkat kedewasaannya atau kematangannya (maturation) yang berlangsung secara sistematis dan progresif, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah). Yang dimaksud dengan sistematis dan progresif adalah:

47

E. B. Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 2000). Hal. 87.

48

Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002). Hal. 86.


(39)

28

a. Sistematis, berarti perubahan dalam perkembangan itu bersifat saling kebergantungan atau saling mempengaruhi antara bagian-bagian organism (fisik dan psikis) dan merupakan suatu kesatuan yang harmonis.

b. Progresif, berarti perubahan yang terjadi bersifat maju, meningkat dan mendalam (meluas) baik secara kuantitatif (fisik) maupun kualitatif (psikis).

Beberapa definisi psikologi perkembangan menurut beberapa ahli, adalah sebagai berikut:49

a. Menurut Monks, Knoers dan Siti Rahayu Haditoro dalam psikologi pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang lebih mempersoalkan faktor-faktor umum yang mempengaruhi proses perkembangan (perubahan) yang terjadi dalam diri pribadi seseorang, dengan menitikberatkan pada relasi antara kepribadian dengan perkembangan.

b. Menurut Kartini Kartono dalam psikologi anak: psikologi pertumbuhan dan perkembangan adalah suatu ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia yang dimulai dengan masa bayi, anak bermain, anak sekolah, anak remaja, sampai masa dewasa.

Maka, jika dipahami secara cermat dari penjelasan tentang pengertian pertumbuhan dan perkembangan psikologi di atas, maka dapatlah

49

E. B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, (Jakarta: Erlangga, 2002). Hal. 71.


(40)

dimengerti tentang ruang lingkup pertumbuhan dan perkembangan psikologi yang merupakan; cabang dari psikologi, objek pembahasan prilaku atau gejala jiwa seseorang, dan tahapan yang dimulai dari masa konsepsi hingga masa dewasa.50

5. Pertumbuhan Anak Menurut Sosiologi

Pertumbuhan dan perkembangan anak menurut sosiologi adalah berinteraksi dalam lingkungan masyarakat bangsa dan negara. Dalam hal ini anak diposisikan sebagai kelompok sosial yang mempunyai status sosial yang lebih rendah dari masyarakat dilingkungan tempat berinteraksi.51 Makna anak dalam aspek sosial ini lebih mengarah pada perlindungan kodrati anak itu sendiri. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh sang anak sebagai wujud untuk berekspesi sebagaimana orang dewasa, misalnya terbatasnya kemajuan anak karena anak tersebut berada pada proses pertumbuhan, proses belajar dan proses sosialisasi dari akibat usia yang belum dewasa. Sosiologi menjelaskan tugas atau peran yang oleh anak pada masa pertumbuhan dan berkembangannya, yaitu:

a. Pada usia 5-7 Tahun, anak mulai mencari teman untuk bermain.

50

M. Dalyono, Pendidikan Psikologi Anak, (Bandung: PT. Rineka Cipta, 2004). Hal. 128.

51


(41)

30

b. Pada usia 8-10 Tahun, anak mulai serius bersama-sama dengan temannya lebih akrab lagi.

c. Pada usia 11-15 Tahun, anak menjadikan teman menjadi sahabatnya.52

6. Pertumbuhan Anak Menurut Antropologi.

Anak menurut perspektif antropologi sebagai individu yang merupakan bagian suatu kebudayaan, yang dibentuk melalui pola pengasuhan, dan melakukan sosialisasi dengan lingkungan sosialnya. Dari perspektif tersebut dapat diambil tiga garis besar yakni:

a. Bagian dari kebudayaan, anak berhadapan langsung dengan budaya yang diwariskan oleh nenek moyang melalui orang tua atau yang mengasuhnya. Anak yang diasuh oleh dua subyek (ayah-ibu) yang berlatar belakang budaya yang berbeda akan mempengaruhi budaya anak tersebut. Inilah yang disebut dengan istilah asimilasi, dimana budaya anak merupakan hasil bertemunya dua budaya yang berbeda.

b. Pola pengasuhan yang dilakukan oleh kedua orang tua, bukan salah satu.

c. Anak dipengaruhi oleh budaya yang ada di lingkungan sosial tempat ia bersosialisasi.53

52

Hartini, G. Kartasapoetra, Kamus Sosiologi dan Kependudukan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), Hal. 58.

53

Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, cet. Ke-2, (Jakarta: PT. Dian Pustaka, 1972). Hal. 203.


(42)

7. Pertumbuhan Anak Menurut Budaya

Dalam pertumbuhan dan perkembangan anak menurut budaya david

matsumoto mengatakan bahwa, “budaya merupakan suatu konstruk

individual-psikologis sekaligus konstruk sosial-mikro”. Artinya, sampai batas tertentu budaya ada di dalam setiap masing-masing diri anak secara individual, sekaligus ada sebagai sebuah konstruk sosial-global. Perbedaan individual dalam budaya bisa diamati pada orang-orang dari satu budaya sampai batas dimana mereka mengadopsi dan terlibat dalam sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku-perilaku yang berdasarkan kesepakatan yang membentuk budaya mereka. Bila anak bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan perilaku-perilaku tertentu, maka budaya tersebut akan hadir dalam diri si anak, sedangkan bila anak tidak memiliki nilai atau perilaku-perilaku tersebut, maka si anak tidak termasuk dalam budaya itu.54

B. Pengertian Penelantaran Anak

Penelantaran berasal dari kata lantar yang memiliki arti tidak terpelihara, terbengkalai, tidak terurus. Bentuk penelantaran anak pada umumnya dilakukan dengan cara membiarkan dalam situasi gizi buruk, kurang gizi, tidak mendapat perawatan kesehatan yang memadai, memaksa anak menjadi pengemis atau

54

David Matsumoto, Pengantar Psikologi Lintas Budaya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Hal. 73.


(43)

32

pengamen, anak jalanan, buruh pabrik, pembantu rumah tangga (PRT), pemulung, dan jenis pekerjaan lain yang membahayakan pertumbuhan dan perkembangan anak.55

Pengertian penelantaran anak adalah sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak, misalnya anak dikucilkan, diasingkan dari keluarga atau tidak diberikan pendidikan dan kesehatan yang layak.56

Penelantaran anak termasuk penyiksaan secara pasif, yaitu segala keadaan perhatian yang tidak memadai, baik fisik, emosi maupun sosial. Penelantaran anak adalah dimana orang dewasa yang bertanggung jawab gagal untuk menyediakan kebutuhan memadai untuk berbagai keperluan, termasuk fisik (kegagalan untuk menyediakan makanan yang cukup, pakaian atau kebersihan), emosional (kegagalan untuk memberikan pengasuhan atau kasih sayang), pendidikan (kegagalan untuk mendaftarkan anak di sekolah), atau medis ( kegagalan untuk mengobati anak atau membawa anak ke dokter).57

Macam-macam dalam penelantaran anak, yaitu sebagai berikut:

a. Penelantaran fisik, merupakan kasus terbanyak. Misalnya keterlambatan mencari bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai serta tidak tersedianya kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.

55

Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementrian, Melindungi Anak Korban Penelantaran, 2010.

56

Abu Huraerah, Kekerasan Terhadapa Anak, (Bandung: PT. Nuansa, 2006). Hal. 38.

57


(44)

b. Penelantaran emosional, penelantaran secara emosi dapat terjadi misalnya ketika orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika ribut dengan pasangannya. Atau orang tua memberikan perlakuan dan kasih sayang yang berbeda diantara anak-anaknya.

c. Penelantaran pendidikan, terjadi ketika anak seakan-akan mendapat pendidikan yang sesuai padahal anak tidak dapat berprestasi secara optimal. Lama kelamaan hal ini dapat mengakibatkan prestasi sekolah yang semakin menurun.

d. Penelantaran fasilitas medis, hal ini terjadi karena ketika orang tua gagal menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai. Dalam beberapa kasus orang tua, orang tua memberikan pengobatan tradisional terlebi dahulu, jika tidak ada perubahan pada anak barulah orang tua beranjak dan pergi untuk memberikan pelayanan pihak dokter.58

Seorang anak dikatakan terlantar bukan karena ia sudah tidak memiliki orang tua. Anak terlantar adalah anak-anak yang karena suatu sebab tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya secara wajar, baik rohani, jasmani, maupun sosial. Terlantar di sini juga dalam pengertian ketika hak-hak anak untuk tumbuh kembang secara wajar, hak anak untuk memperoleh pendidikan yang layak, dan

58

Irma Setyowati Soemitro, Aspek Hukum Penelantaran Anak, cet. Ke-1, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1990). Hal. 174.


(45)

34

hak memperoleh kesehatan yang memadai tidak terpenuhi karena kelalaian, ketidakmengertian orang tua, karena ketidakmampuan, atau karena kesengajaan.

Dibandingkan anak yang dijadikan korban tindak kekerasan, anak korban penelantaran sering kali kurang memperoleh perhatian publik secara serius karena penderitaan yang dialami korban tidak sedramatis sebagaimana layaknya anak-anak yang teraniaya secara fisik, sebagaimana para ahli menyatakan, anak-anak yang menjadi korban tindak kekerasan seksual, anak yang dianiaya oleh orang tuanya hingga tewas, atau anak yang dipaksa bekerja sektor prostitusi, masalah anak terlantar acap kali hanya dilihat sebagai masalah intern keluarga per keluarga, hanya bersifat kasuistis dan terjadi pada keluarga-keluarga tertentu saja yang secara psikologis bermasalah, tindak penelantaran anak baru memperoleh perhatian publik secara lebih serius tatkala korban-korban tindak penelantaran ini jumlahnya makin meluas, korban bertambah banyak, dan menimbulkan dampak yang tak kalah mencemaskan bagi masa depan anak.59

C. Kriteria Penelantaran Anak

Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tujuan perlindungan anak adalah untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup,

59

Modul Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Kementria Sosial RI. Milik Dinas Sosial Yogyakarta. 2004.


(46)

tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan. Serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera.60

Fenomena kekerasan keluarga (family volence) sering menggelayuti kehidupan kita. Diperkirakan, pada saat kehidupan semakin keras, terutama pada era indrusialisasi, akan banyak orang mengalami stress dan depresi yang dilampiaskan pada anggota keluarga, termasuk anak. Aapabila perlakuan kasar orang tua menyebabkan sakit, luka atau kematian anak, hal itu sudah merupakan tindak kriminal dengan konsekuensi dapat dijatuhi hukuman. Tidak sedikit anak mati di tangan orang tua. Namun, kekerasan terhadap anak bukan hanya dengan kekerasan fisik, dengan penelantaran anak yang di lakukan orang tua terhadap anak nya juga dapat dikategorikan sebagai tindak kekerasan.61

Berikut adalah beberapa upaya perlindungan terhadap anak dari tindak kekerasan, adalah:62

a. Harus ada perhatian penuh dari orng terdekat lainnya terhadap anak yang mempunyai masalah dengan keluarganya. Jika perlu, ditetapkan perwalian atas anak yang mengalami perilaku yang tidak menyenangkan dari orang tuanya, dan kekuasaan orang tua atas anaknya dicabut.

60

Psychology Today, Journal Child Abuse, 2002.

61

A. H. Buss, M. Perry, The Aggresion, Journal of Personality and Social. 1992.

62


(47)

36

b. Diperlukan perhatian dari lembaga sosial guna menampung anak yang menjadi korban kekerasan keluarga. Diberikan bimbingan sosial agar anak dapat keluar dari lilitan permasalahannya. Di samping itu, perlu ditingkatkan perhatian instansi pemerintah yang mengurusi kesejahteraan anak terhadap nasib anak malang yang menjadi korban kekerasan dalam keluarga.

Kasus seperti penelantaran anak memang sulit dideteksi karena pada masa lalu, di negara kita hal ini tidak menjadi perhatian dan belum ada dasae hukumnya. Sejauh ini, kasus penganiayaan dan penelantaran anak di Indonesia belum banyak dilaporkan dan dicatat secara resmi, karena sulitnya memperoleh data dan deteksi kasus-kasus seperti ini. Kesulitan disebabkan karena pelaku penelantaran anak adalah mereka yang berototitas lebih tinggi dari pada korban (anak). Sehingga untuk menutupi kasus seperti ini mereka membiarkan para korban tanpa mendapatkan bantuan. Oleh karena itu, sangat perlu bantuan dan kerjasama dari semua pihak, terlebih petugas kesehatan untuk mampu melakukan deteksi penganiayaan atau penelantaran anak, sehingga anak memperoleh pertolongan perlindungan yang semestinya.

D. Tanggung Jawab Ayah Menurut Islam

Anak merupakan anugerah sekaligus ujian bagi pasangan suami istri, dan tugas seorang suami ketika dikaruniai seorang anak akan bertambah tanggung jawab serta kewajibannya sebagai seorang ayah. Kedudukan seorang ayah sebagai pemimpin keluarga tidak hanya terpusat pada perannya dalam hal


(48)

menafkahi keluarga saja, tetapi lebih dari itu, seorang pemimpin akan diminta pertanggungjawabannya oleh Allah SWT atas segala tindak tanduk juga hasil dari kepemimpinannya, yang dalam hal ini adalah kepemimpinan keluarga yakni memimpin istri juga anak-anaknya.

Tanggung jawab seorang ayah terhadap anaknya, tidak hanya turut mendampingi perkembangan dan pertumbuhan anak-anaknya, namun ada beberapa hal seperti berikut ini:

1. Memberi nama yang baik bagi anak-anaknya

Pemberian nama pada seorang anak merupakan salah satu hak dan kewajiban pertama bagi seorang ayah. Sedangkan dalam Islam, pemberian nama haruslah mengandung arti yang baik dan agung, karena menurut salah satu

sabda Rasulallah SAW, “Pada hari kiamat setoap manusia akan dipanggil menggunakan namanya masing-masing, juga nama orangtuanya”. Oleh karena itu pemberian sebuah nama pada seorang anak haruslah mengandung makna yang baik, indah dan tidak ada makna merendah atau menghinakan sang anak.63

2. Menanamkan keimanan (tauhid) dan akhlak

Awal pendidikan seorang anak adalah dilingkungan keluarga atau dirumah, dan yang berperan sebagai guru pertama bagi mereka adalah ayah dan ibunya. Kedua orang tua memiliki porsi yang sama dalam perannya mendidik anak-anaknya agar tumbuh menjadi pribadi yang sesuai dengan yang

63

Ramayulis, Pendidikan Islam Dalam Rumah Tangga. (Jakarta: Kalam Mulia, 2001). Hal. 60.


(49)

38

diharapkannya. Dalam Islam, seorang anak selain sebagai penerus keturunan dari suatu kaum muslim juga untuk menjadi penerus mereka dalam hal keimanan dan ketakwaan pada Allah SWT. Sedangkan keimanan dan ketakwaan tidak akan muncul begitu saja tanpa adanya pola asuh dan didikan pada seorang anak. Ayah dalam hal ini menjadi kunci utama dalam hal penanaman keimanan dan ketakwaan bagi mereka. Seorang ayah bertanggung jawab mengajarkan anak-anak mereka tentang pada siapa mereka harus menyembah, mengabdi dan beriman.

3. Menyekolahkan dan membentuk cara berfikir anak

Ada sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan pertimbangan sekolah favorit, karena alasan ekonomis, mudah dijangkau dan lain sebagainya. Dimanapun orang tua menyekolahkan anaknya, yang terpenting adalah sekolah termasuk lingkungannya (teman-temannya, guru-gurunya, dsb). Bukan hanya mampu membuat anak kita menjadi pribadi yang berkembang dalam cara berfikirnya secara intelektual saja tapi juga tetap terjaga akhlak dan kepribadiannya. Oleh karena itu, menjadi suatu kewajiban bagi orang tua untuk menentukan sekolah yang baik bagi anak-anaknya. 4. Menjadi teladan bagi anak-anaknya

Mendidik anak bukan sekedar memberi perintah dan aturan. Anak tidak akan mengikuti dan memaknai apa yang dikatakan orang tuanya, jika mereka sendiri tak pernah mengamalkan suatu amalan. Sebagai contoh, tidak mungkin kita menyuruh anak kita rajin dan tidak pernah meninggalkan ibadah shalat wajib, jika sebagai orang tua pun kita tidak pernah atau tidak rajin


(50)

melaksanakan shalat wajib. Akan lebih bermakna ketika orang tua mendidik anak dengan memberinya teladan atau contoh yang baik. Anak akan belajar dari meniru apa yang dilakukan orang tuanya, dan begitupun mereka akan menerapkan hal yang serupa pada keturunannya.

5. Menjaganya dari lingkungan yang tidak baik

Menjaga anak kita dari lingkungan yang tidak baik, salah satunya seperti yang diungkapkan di atas, memilih sekolah yang tepat. Selain itu, lingkungan disekitar rumah pun turut berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan anak-anak. Ketika orang tua dirumah membiasakan anak untuk bertutur kata dengan bahasa yang baik dan santun, sedangkan diluar rumah dan lingkungan pertemanannya terbiasa berbahasa dengan bahasa yang kasar dan tidak sopan, tentunya akan mempengaruhi keberhasilan didikan dirumah. Oleh karena itu, memilih rumah sebagai tempat tinggal dilingkungan yang baik, tetap mengawasi pertemanan anak-anak, tentunya akan menjadi salah satu faktor pendukung keberhasilan dari pola didik kita pada anak-anak. Namun perlu diingat, menjaga bukan berarti bersikap berlebihan yang malah menjadikan penghambat bagi perkembangan mereka. Ketika seorang ayah mampu menyadari peranannya sebagai pemimpin dalam rumah tangga, melaksanakan semua tugas dan fungsinya secara baik, rumah tangga yang dibangun akan menjadi rumah tangga yang bahagia dengan dipenuhi keturunan-keturunan yang akan mejadi penyejuk juga penyelamat bagi orang tuanya kelak.64

64


(51)

40

E. Hak Anak menurut Islam

Hak anak dalam Islam memiliki aspek universal terhadap kepentingan anak. Meletakkan hak anak dalam pandangan Islam, memberikan gambaran bahwa dasar tujuan kehidupan umat Islam adalah membangun umat manusia yang memegang teguh ajaran Islam. Dengan demikian, hak anak dalam pandangan Islam ini meliputi aspek hukum dalam lingkungan seseorang. Cara pandang yang dimaksud tidak saja memposisikan umat Islam yang harus tunduk pada hukum Islam sebafai formalitasformalitas wajib yang harus ditaati dan apabila dilanggar maka perbuatan tersebut akan mendapatkan laknat baik di dunia maupun di akhirat.65

Dimensi Islam dalam meletakkan hak asasi manusia sangatlah luas dan mulia. Dari ajaran kehidupan moral, hal asasi anak juga dipandang sebagai benih dalam sebuah masyarakat.66 Dalam pandangan ini Abdur Razak Husein

menyatakan “jika benih anak dalam masyarakat itu baik, maka sudah pasti masyarakat akan terbentuk menjadi masyarakat yang baik pula”, lebig kanjut

dikatakan, Islam menyatakan bahwa anak-anak merupakan benih yang akan tumbuh untuk membentuk masyarakat di masa yang akan datang.67

Dalam dasar kehidupan, manusia mengalami 4 (empat) fase yang pasti dilalui yaitu: pertama, dari awal kelahirannya, kedua, dari awal kelahiran sampai

65

Abdul Ghani Abdullah, Pengantara Komplikasi Hukum Islam Dalam Tata Hukum Islam Indonesia, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994). Hal. 71.

66

Imam Jauhari, Hak-Hak Anak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003). Hal. 39.

67

Abdur Razak Husein. Hak dan Pendidikan dalam Islam. Alih bahsa H. Azwir Butun, (Bandung : Fikahati Aneka, 1992). II. Hal. 19.


(52)

anak menjelang dewasa (mumayyiz), ketiga, dari awal mumayyiz sampai dewasa (baligh), dan keempat, dari awal baligh sampai menjelang meninggal dunia.68 Selama daur yang dilalui manusia itu dibarengi dengan hak dan kewajiban, baik dalam garis vertikal maupun horizontal.

Hak dan kewajiban vertikal adalah hubungan manusia dengan tuhannya sebagai sang Khaliq (penciptanya). Sedangkan hubungan horizontal adalah kewajiban memperhatikan hak keluarganya, hak suami istri, dan hak anak-anaknya. Subhi Mamasani berpendapat bahwa orang tua memperhatikan hak anak untuk masa depan mereka yaitu baik hak menyusui, hak untuk mendapat asuhan, hak untuk mendapatkan nama baik dan kewarganegaraan, hak nafkah atau harta, hak pengajaran, serta hak pendidikan, akhlak dan agama.69

Secara garis besar, hak anak menurut Islam dapat dikelompokkan menjadi 7 (tujuh) macam, yaitu:70

a. Hak anak sebelum dan sesudah lahir.

Allah SWT berfirman:

َ

َۡ܎ ق

َ

َ ܒس خ

َ ݊ݗܐڭ݃

َ

َܒۡݘ غ۵َ۲ۢ ݐ ܸ سَ ۡمݏ ܎ ݃ ۡݑ أَ۱ٓݒ݄ ۼ ق

َ مݐ ق ܓ َܑ ۲ مَ ۱ݒمڭܒ ح ݑَ ٖم݄ۡܯ

َڭّ

َ

َ ءٓ۱ ܒۼۡف

َ

َ ݔ ݄ ܯ

َۚڭّ

َ

َ۱ݒ݋۲ كَ ۲ م ݑَ ۱ݒڮ݄ ضَ ۡ܎ ق

َ ݊ݗ܎ ۼۡݐم

71

َ

68 Ali Hasaballah. Ushul at -Tasyri’ al-Islami. (Mesir : Dae al- Ma‟arif, 1959). Hal. 258. 69

Subhi Mamasani. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia. (Jakarta : Tintamas Indonesia, 1987). Hal. 204.

70

Abdur Razak Husein. Hak dan Pendidikan….,Hal. 11-34. Hak anak dalam fiqh sering dirinci menjadi hak nasab, hak rada’ah, hak hadanah, dan hak nafkah. Lihat Abu Zahrah, Ahwal Asy-Syakhsiyyah. (Kairo : Dar al-Fikr, 1957). Hal. 451-471.

71


(53)

42

Maksud ayat ini, upaya anak memperoleh penjagaan dan pemeliharaan akan keselamatan dan kesehatannya. Ditegaskan pula dalam surat at-Talaq (65): 6 tentang kewajiban seorang suami untuk menjaga istrinya yang sedang hamil.

Islam mengajarkan agar selalu menjaga kehidupan keluarga dari api neraka (jalan kesesatan) bahkan demi hak asasi manusia diperintahkan saling menjaga antar sesama manusia. Islam juga melarang membunuh perempuan dan anak-anak dalam keadaan perang.

Dalam Islam ada beberapa hal yang dianjurkan untuk dilakukan pada saat kelahiran anak, yaitu: 1). Disunnahkan menggembirakan bagi yang melahirkan. 2). Disunnahkan mengiqamati anak yang baru lahir. 3). Disunnahkan mentahnik anak yang baru lahir, dan 4). Disunnahkan mencukur rambut anak yang lahir.

b. Hak anak dalam kesucian keturunan (nasab).

Hak nasab (hak atas hubungan kekerabatan atau keturunan) merupakan sesuatu yang penting bagi anak. Kejelasan nasab akan sangat penting mempengaruhi perkembangan anak pada masa berikutnya. Allah SWT berfirman:

َ

َۡمݏݒܯ ۡ܍

َ

َ ܎݌ܯَ ܦ سۡق أَ ݒݏَ ۡمݐئٓ۲ ۵ِٓ

َۚڭّ

َ

َ۱ٓݒ݈ ݄ ۡܰ ۻَ ۡمڭَ݃ ݉۬ ف


(54)

َݖفَ ۡم݀݋ ݒ ۡخ۬ فَ ۡمݏ ءٓ۲ ۵۱ ء

َ݊ݗگ܎݃

َ

َمۻۡأ ط ۡخ أَٓ۲ ݈ݘفَ ٞ܅۲ ݌جَ ۡم݀ۡݘ ݄ ܯَ سۡݘ ݃ ݑَ ۚۡم݀ݘ݃ ݒ م ݑ

َݎ۵

َ

َ ݉۲ ك ݑَ ۚۡم݀۵ݒ݄قَ ۡ۹ ܎ڭ݈ ܰ ۻَ۲ڭمَ݊݀ ݃ ݑ

َڭّ

َ

َاܑݒܸ غ

۱َ

َ۲ ݈ݘحڭܑ

72

َ

Hal ini dimaksudkan demi ketenangan jiwa sang anak. Adanya kejelasan nasab bagi anak merupakan kebanggaan batin dan agar tidak terjadi kerancuan dan kebimbangan dalam masyarakat.73

c. Hak anak untuk menerima pemberian nama yang baik.

Diantara tradisi masyarakat yang berlaku ialah ketika seorang anak menjadi bahan ejekan serta cemooh hendaknya dihindari. Nama-nama yang paling utama adalah nama0nama para nabi atau nama Abd yang dirangkai dengan nama-nama Allah SWT, seperti Abd Al-Rahman, Abd Al-Rahim. d. Hak anak untuk menerima susuan (rada’ah).

Hak ini ini berdasarkan fiman Allah SWT:

َ ݑ

َ۹ ܎݃ ݒۡ݃

َ

َڭمۼݗَ ݉ أَ ܍۱ ܑ أَ ۡ݊ َ݈݃ ۖ݊ۡݘ ݄م۲ كَ ݊ۡݘ ݃ ۡݒ حَ ڭ݊ݏ ܎ ݃ ۡݑ أَ ݊ ۡܰض ۡܒݗ

َۚ ۸ ܯ۲ ضڭܒ݃

َ

َݔ ݄ ܯ ݑ

َ܍ݒ݃ ۡݒ ݈ۡ݃

َ

َݎ ݃

َ

َ۵َ ڭ݊ݐۻ ݒ ۡسك ݑَ ڭ݊ݐق ۡܓܑ

َۚفݑܒ ۡܰ ݈ۡ݃

َ

َ َ

َ ۲ ݏ܎ ݃ ݒ۵َ ۢ۷ ܎݃ ݑَ ڭܑٓ۲ ܤۻَ ََ ۚ۲ ݐ ܰ ۡسݑَ ڭََ۫ ٌسܸۡ ݋َ فڭ݄ ݀ۻ

َ َ ݑ

َ

َݎڭَ݃ ٞ܍ݒ݃ ۡݒ م

َ

َݍ܎ ݃ ݒ۵

ََۚ

َݔ ݄ ܯ ݑ

َ۽ܑ۱ ݒۡ݃

َ

َ َ۲ ܠفَ۱ ܍۱ ܑ أَ ۡ݉۬ فَ ۗ ك݃ ܏َ݂ۡ܀م

َ

َ ٖܡ۱ ܒ ۻَ݊ ܯ

َ۱ٓݒܰض ۡܒ ۼ ۡس ۻَ ݉ أَ ۡمڮۻ܍ ܑ أَ ۡ݉۫ ݑَ ۗ۲ ݈ݐۡݘ ݄ ܯَ ܅۲ ݌جَ ٗ فَ ܑٖݑ۲ ش ۻ ݑَ ۲ ݈ݐۡ݌گم

َڭمَمۼ ݈ۡڭ݄ سَ۱ ܏َ۫ ۡم݀ۡݘ ݄ ܯَ ܅۲ ݌جَ ٗ فَ ۡمك ܎ ݃ ۡݑ أ

َٓ۲َ

َ۵َمۼۡݘ ۻ۱ ء

َۗفݑܒ ۡܰ ݈ۡ݃

َ

َ ݑ

َ۱ݒقڭۻ

َ

َ ڭّ

َ

َ ݑ

َ۱ٓݒ݈ ݄ ۡܯ

َ

َ ڭ݉ أ

َ ڭّ

َ

َ ݉ݒ݄ ݈ ۡܰ ۻَ۲ ݈۵

َ

َٞܒݘܠ ۵

َ

74

َ

72

Lihat, QS. Al-Ahzab [33:5]

73

Untuk memperjelas tentang keturunan, dalam fiqh diterangkan bagaimana cara menentukian nasab, yaitu dengan pengakuan, penetapan hakim, dan persaksian. Lihat, Mustafa

as-Siba‟I, Ahwal asy-Syakhsiyyah. (Damaskus : tnp.., tt..). Hal. 291-294.

74


(55)

44

Sebagaimana ayat diatas, adapula ayat lain yang menerangkan bahwa ada keringanan dalam segi beribadah kepada Allah SWT bagi para ibu yang sedang menyusui, seperti dalam ibadah puasa.75 Dalam kondisi tertentu, apabila seorang tidak memungkinkan untuk memberikan ASInya kepada anaknya, karena kemaslahatannya, maka wajib orang tua untuk mencari orang lain untuk menyusui anaknya.76 Sebagai pemenuhan hak-haknya untuk mendapatkan ASI.

e. Hak anak untuk mendapatkan asuhan, perlindungan dan pemeliharaan. Diantara berbagi tanggung jawab yang paling menonjol yang diperhatikan Islam adalah mengajar, membimbing, dan mendidik anak yang berada dibawah tanggung jawabnya. Semua ini merupakan tanggung jawab yang besar, berat dan penting karena hal ini dimulai sejak anak dilahirkan sampai pada masa aktif (dewasa).]

Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia dan diantara fitrah manusia adalah ia dianugerahi akal dan kemampuan untuk berpikir. Sehingga selalu memiliki rasa ingin tahu (curiously). Oleh karena itu dalam Islam, orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan, bahkan mencari pengetahuan adalah suatu kewajiban. Begitu pula dengan

75

As-Sayyid Sabiq. Fiqh As-Sunnah. (Beirut : Dae al-Fikr, 1403H/1983 M). VII. Hal : 143.

76


(56)

anak-anak, dalam Islam, orang tua memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan kepada anak-anaknya.

Pendidikan anak ini dilaksanakan sebagai upaya mempersiapkan diri anak untuk menjalani kehidupannya, karena setiap anak yang dilahirkan itu tidak mengetahui apa-apa, sebagaimana firman Allah SWT:

َڭّ ݑ

َ

َۡݘ شَ ݉ݒ݈ ݄ ۡܰ ۻَ ََ ۡم݀ۼ ݐڭمأَ ݉ݒط۵َ ۢ݊گمَ م݀ ج ܒ ۡخ أ

َا َ

َم݀ َ݃ ݂ ܰ ج ݑَ ۲

َ ܮ ݈ۡڭس݃

َ

َ ݑ

َ ܒ ܠۡ۵ ِۡ

َ

َ ݑ

َۡف ِۡ

َ

َ ۷ ܎

َ

َ ݉ݑܒ݀ ۡش ۻَ ۡم݀ڭ݄ ܰ ݃

77

َ

Dalam hal ini dimaksudkan orang tua bertanggung jawab penuh untuk memberikan tanggung jawab pendidikan kepada anak-anaknya. Pendidikan tanggung jawab ini meliputi: pertama, pendidikan iman, kedua,

pendidikan moral, ketiga, pendidikan fisik, keempat, pendidikan intelektual, kelima, pendidikan psikologis, keenam, pendidikan sosial dan

ketujuh, pendidikan seks.

Oleh karena itu, diperlukan adanya bimbingan, pengarahan dan pengawasan agar anak dapat berkembang menuju kedewasaan sebagaimana mestinya. Selain itu, pendidikan dalam Islam juga bertujuan untuk memelihara dan menjaga fitrah yang dimiliki anak itu sendiri, yaitu bersih dan suci, terutama fitrah manusia atas agama.78

Rincian hak anak diatas adalah kebutuhan anak yang harus diperhatikan. Kesemuanya itu merupakan pemenuhan kebutuhan anak

77

Lihat, QS. An-Nahl [16]:78

78

Nurcholis Madjid. Anak dan Orang Tua , Dalam Masyarakat Religius. (Jakarta : Paramadina, 2000). Hal. 81-82.


(57)

46

sejak ia di dalam kandungan sampai ia akan menginjak dewasa, baik dari pemenuhan kebutuhan fisik maupun nilai-nilai kerohanian (jiwa anak). Karena bagaimanapun, mempersiapkan anak agar menjadi generasi yang berkualitas sudah diamankan dalam al-Qur‟an maupun al-Hadist.

f. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Menurut Hukum Islam.

Kepribadian yang seimbang mempunyai pengaruh yang besar terhadap kehidupan individu dan kelompok, kepribadian ini tidak bisa sempurna kecuali bila diarahkan, dibina dan dibimbing dari segala aspeknya, tempat yang paling subur bagi pembinaan pendidikan adalah fase anaak-anak yang merupakan fase teristimewa, keistimewaan berupa kelenturan, kesucian dan fitrah. Jika pada fase tersebut dibangun dengan penjagaan, pembimbingan, dan arahan yang baik, maka kelak ia akan menjadi kokoh dihadapan goncangan hari depannya yang tentu akan ia hadapi ketika mulai menginjak dewasa.79

Pemeliharaan (perlindungan) anak pada dasarnya menjadi tanggung jawab kedua orang tuanya. Pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal, masalah ekonomi, pendidikan dan segala sesuatu yang menjadi kebutuhan pokok anak, oleh karenanya kerjasama dan tolong-menolong antara suami dan istri dalam memelihara anak, dan mengantarkannya hingga anak tersebut dewasa sangat dibutuhkan.80

79

Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid. Cara Nabi Mendidik Anak, )Solo : Pustaka Arafah. 2006). Hal. 108.

80

Ahmad Rofiq. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-6, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003). Hal. 235.


(1)

Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan, cet. Ke-5. Jakarta: Erlangga, 1989. Hurlock, E. B. Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga, 2000.

Hurlock, E. B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Jakarta: Erlangga, 2002.

Husein, Abdur Razak. Hak dan Pendidikan dalam Islam. Alih bahsa H. Azwir Butun, Bandung: Fikahati Aneka, 1992.

Jauhari, Imam. Hak-Hak Anak Dalam Islam. Jakarta: Pustaka Bangsa Press, 2003. Jeffry, S. dkk. Hukum Pengertian Anak : Jilid II. Jakarta : Erlangga, 2006.

Kartasapoetra, Hartini. G. Kamus Sosiologi dan Kependudukan, Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, cet. Ke-2. Jakarta: PT. Dian Pustaka, 1972.

Leah, Levin. Hak Asasi Anak-Anak dalam Hak-Hak Asasi Anak. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994.

Madjid, Nurcholis. Anak dan Orang Tua , Dalam Masyarakat Religius. Jakarta : Paramadina, 2000.

Matsumoto, David. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Mamasani, Subhi. Konsep Dasar Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta : Tintamas Indonesia, 1987.

Meiyanti, S. Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan 1997.

Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988.


(2)

Modul Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA). Kementria Sosial RI. Milik Dinas Sosial Yogyakarta. 2004.

Muhammad Ibn Isma‟il al-Kahlani, Subul as-Salam. Mesir: Maktabah Musthafa Baby al-Halaby, 1960. Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi.

Munajat, Makhrus. Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004.

Munir, Zaldy. Peran dan Fungsi Orang Tua dalam Mengembangkan Kecerdasan Emosional Anak. Bandung: Tarsito, 2010.

Muslich, Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam, cet. Ke-2. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2005. Musa, M. Sistem Peradilan Sebagai Alternatif Peradilan Anak Indonesia. Bandung: CV. Rajawali, 2009.

Mutahar, Ali. Kamus Arab-Indonesia, cet. Ke-1. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2005. Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Poerwadaminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Prayudi, Guse. Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. Ke-1. Yogyakarta: Merkid Press, 2015.

Praist, Darwan. HukumAnak Indoesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 2003.

Projodikoro, Wiryono. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Erisco, 1989. Purwakania Hasan, Aliah B. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa, 2006.

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum dan Asas-Asas Hukum di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.


(3)

Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender. Rekonstruksi Teologis, Yuridis, dan Sosiologis. Purwokerto: Pusat Studi Gender (PSG), 2006.

Rofiq, Ahmad. Anak Dalam Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Cet. Ke-6, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2003.

Sabiq, As-Sayyid. Fiqh As-Sunnah. Beirut : Dae al-Fikr, 1403H/1983 M.

Sabiq, As-Sayid. Fiqih as-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1980. Hadits diriwaytkan oleh Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim.

Salmi, Akhiar. Eksistensi Hukuman Mati. Jakarta: Aksara Persada, 1983. Santoso, Thomas. Teori-Teori Kekerasan. Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 2002.

Satrio, J. Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang. Bandung: Citra Aditya Bhakti, 2000.

Setiady, Tolib. Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Alfaberta, 2010. Siregar, Bismar. Hukum dan Hak-Hak Asasi Anak. Jakarta: Rajawali, 1986.

Sobur, Alex. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia, 2009.

Soeroso, Moerti Hadiarti. Kekerasan Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.

Soekanto, Soerjono. Sosiologi Keluarga Tentang Ikhwal Keluarga, Remaja, dan Anak. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.

Soekanto, Soejono. Penegakkan Hukum. Bandung: PT. Bina Cipta, 1983.

Soepomo, R. Hubungan Individu dan Masyarakat Dalam Hukum Adat. Jakarta: Gita Karya, 1982.


(4)

Soemitro, Irma Setyowati. Aspek Hukum Penelantaran Anak, cet. Ke-1. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1990.

Soesilo, R. Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus. Bogor: Politea, 1991.

Soetodjo, Wagiati. Hukum Pidana Anak. Bandung: PT. Refika Aditama, 2006.

Sopiatin, Popi dan Sohari Sahrani, Psikologi Belajar dalam Pespektif Hukum Islam. Bogor: Ghalia Indonesia, 2011.

Sudjana, Djuju. Peranan Orang Tua Dalam Lingkungan Masyarakat. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996.

Suparni, Niniek. Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1996.

Suryabrata, S. Metodelogi Penelitian. Jakarta: CV. Rajawali, 1992.

Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafizh. Cara Nabi Mendidik Anak. Solo : Pustaka Arafah. 2006.

Suyanto, Bagong. dkk, Tindak Kekerasan Mengintai Anak-Anak Jatim. Surabaya: Lutfansah Mediatama, 2000.

Thalib, M. Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Anak. Bandung: Irsyat Baitussalam, 1995. Tobach, dkk., Kekerasan Seksual Atas Hak Asasi Perempuan Terhadap KDRT. Bandung, PT. Rafika, 2008.

Ulaili, Sana. „Tinjauan Hukum Islam Terhadap Tindak Kekerasan Orang Tua Terhadap Anak Dalam Keluarga‟, skripsi tidak diterbitkan, skripsi Strata Satu Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2002.


(5)

Vollmar, HFA. Pengantar Studi Hukum Perdata, terj. IS. Adiwinarta, jil, cet ke-II. Jakarta: Balai Pustaka, 1982.

Wadong, Maulana Hasan. Pengantar Advokasi dan Hukum Perlindungan Anak. Jakarta : Grassindo, 2000.

Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak. Bandung: CV. Mandar Maju, 2009. Wijaya, Sofyan Sastra. Hukum Pidana. Bandung: C.V. Amirco, 1990.

Wiyogo, Giwo Rubianto. Perlindungan Anak Menurut Perspektif Islam. Jakarta: Komisi Perlindungan Anak Indonesia, 2007.

Yusuf, Syamsu. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.

Al-Qur’an

Lihat, QS. Al-An’am [6:140] Lihat, QS. Al-Ahzab [33:5] Lihat, QS. AL-Mu’Min [67]. Lihat, QS. Al-Baqarah [2:233] Lihat, QS. An-Nahl [16]:78 Undang-Undang

Indonesia, KUHP. Undang-Undang yang melindungi anak sebagai korban tindak pidana.(pasal 45, pasal 47, pasal 287 ayat 91), pasal 288, pasal 290 (k 2 dan k 3), pasal 292, pasal 293 ayat (1), pasal 294 ayat (1), pasal 295, pasal 297, pasal 301, pasal 305, pasal 308, pasal 330, pasal 332, pasal 341, pasal 342, pasal 346, pasal 347, pasal 348).

Undang-Undang Republik Indonesia, UUD 1945, UU RI No. 35 Th. 2014, UU RI No. 4 Th. 1979, UU No. 23 Th. 2004. (Disertai dengan pembahasan dan analisis penulis). 2016.


(6)

Internet

BKKBN, Patisipas Kategori Orang Tua, (2010). Diakses tanggal 21 Maret 2016 pada www.Bkkbn.co.id.

http://putusan.mahkamahagung.go.id/putusan/download/96230dfl8edc146a06203542b616ffb , Putusan Pengadilan Negeri Medan, No.2829/Pid.B/2008/PN.Mdn, tanggal 27 Januari 2009;putusanPengadilan Tinggi Medan, No.220/PID/2009/PT.Mdn, tanggal 27 April 2009; Putusan Mahkamah Agung, No.1786K/Pid.Sus/2009, tanggal 28 Desember 2009.

Jurnal

Kedaulatan Rakyat, Jurnal Rubrik Keluarga: Pahami Dunia Anak, 17 Desember 2006, tahun LXI No. 112.

Ditjen Bina Kesehatan Masyarakat Kementrian, Melindungi Anak Korban Penelantaran, 2010.

Psychology Today, Journal Child Abuse, 2002.

Buss, A. H, Perry M. The Aggresion, Journal of Personality and Social. 1992.


Dokumen yang terkait

Tinjauan hukum Islam terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

2 18 137

Tinjauan Hukum Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

0 9 31

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 5 18

SKRIPSI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 4 20

PENUTUP IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 2 9

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DAN PSIKIS TERHADAP ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.

0 0 12

Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467k Pid.Sus 2013)

0 0 12

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Batam

0 0 16

TINJAUAN HUKUM MARITAL RAPE DALAM UU PERKAWINAN DAN UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA - Test Repository

0 0 119