Tujuan dan Fungsi Sanksi
c. Kemaslahatan yang bersifat pelengkap
Kemaslahata yang bersifat pelengkap adalah mengambil sesuatu yang baik dalam adat kebiasaan dan meninggalkan hal-hal yang buruk
yang mengotori akalnya, mengenai sesuatu yang baik dan buruk itu terakomodasi dalam perbincangan akhlak.
Dalam Hukum Islam, tujuan pemidanaan terbagi menjadi dua tujuan, yaitu:
117
a. Tujuan Preventif pencegahan dalam istilah fiqihnya ar-Rad’u wa
az-Zajru. Tujuan Preventif pencegahan artinya menahan pelaku jarimah
supaya tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana.
b. Tujuan Edukatif pengajaran dalam istilah fiqihnya al-Islah wa at-
Ta-dib. Tujuan Edukatif pengajaran artinya untuk memberikan pelajaran
bagi pelaku jarimah agar si pelaku tersebut dapat mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi perbuatannya.
Makhrus Munajat, Dalam bukunya Dekonstruksi Hukum Pidana Islam menuliskan bahwa tujuan pemidanaan adalah:
117
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet, ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Hal. 279.
a. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan
yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas, jangka panjang dari aspek ini adalah pemberian perlindungan
terhadap masyarakat luas social delence. Contohnya dalam hukum qishash yang merupakan bentuk keaadilan tertinggi, di dalamnya termuat
keseimbangan antara dosa dan hukuman. b.
Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif general prevention, yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi
orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh orang berzina harus didera di muka umum sehingga orang yang melihat diharapkan tidak
melakukan perzinahan. c.
Pemidanaan dimaksudkan sebagai tindak pencegahan khusus special prevention, artinya setiap orang yang melakukan tindak pidana setelah
diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, dalam aspek ini secara eksplisit terkandung nilai treatmen. Sebab
tercegahnya seseorang dari berbuat jahat bisa melalui penderitaan akibat dipidana atau timbul dari kesadaran pribadi selama menjalani pidana.
118
Tujuan utama yang ingin dicapai oleh Hukum Pidana Islam adalah untuk mengurang angka kriminalitas dan menjaga ketertiban yang ada di dalam masyarakat.
118
Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004. Hal. 55-56.
2. Tujuan dan Fungsi Sanksi dalam Undang-Undang
C.S.T. Kansil, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia menulis, hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum
dalam masyarakat dan hukum tersebut harus pula bersendikan pada keadilan yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat.
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya
serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan.
Berikut adalah beberapa teori tentang tujuan dari sanksi hukum.
119
a. Teori Absolut atau teori Pembalasan Absolute Strafrecht Theorien.
Teori absolute atau teori pembalasan adalah suatu teori yang mana suatu kejahatanharus diikuti dengan pemidanaan hukuman
tidaak boleh tidak, tanpa tawar-menawar seseorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan, tidak dilihat akibat-akibat
apapun yang timbul dari jatuhnya pidana.
120
Maksudnya adalah bahwa putusan pidana yang dijatuhkan sebagai sarana untuk balas dendam
atas perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Unsur pembalasan ini meskipun dapat dimengerti tidak selalu tepat menjadi ukuran untuk
penetapan suatu pidana.
119
Sofyan Sastra Wijaya, Hukum Pidana, Bandung: C.V. Amirco, 1990. I: 24.
120
Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Erisco, 1989. Hal. 21-24.
Menurut teori ini setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang timbul dari jatuhnya
hukuman. Teori ini hanya melihat pada masa lampau tanpa melihat masa yang akan datang. Menurut teori ini tujuan hukum adalah
penghukuman itu sendiri.
121
b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Doel Theorien
Teori relative atau teori tujuan adalah teori yang mengatakan suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Oleh
karena itu, tidak cukup adanya suatu kejahatan, melaikan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau
penjahat itu sendiri, maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanyaa menjatuhkan pidana. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada
usaha agar dikemudian hari kejahatan tidak dilakukan kembali oleh si pelaku.
Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Pencegahan ditujukan pada.
122
1. Masyarakat, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar
masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dilakukan oleh si terhukum, disebut juga
pencegahan umum. Teori ini pada intinya sebagai anasir
121
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta: Aksara Persada, 1983. Hal. 85.
122
Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati. Hal. 91.
utama yang dapat menahan niat jahat seseorang untuk melakukan kejahatan.
2. Pembahasan dari segi terhukum, hukuman itu dijatuhkan
dengan tujuan agar terhukum tidak mengulangi kembali perbuatan yang telah dilakukannya. Hukuman tersebut
dijatuhkan untuk memperbaiki si pelaku agar tidak berbuat jahat kembali, disebut pencegahan khusus.
c. Teori Gabungan
Teori gabungan adalah teori yang satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur
pencegahan atau memperbaiki kejahatan atau pelaku. Teori ini mengambil jalan tengah atau penggabungan antara teori absolut dan
teori relative. Sehingga disamping pembalasan juga bertujuan mempertahankan ketertiban masyarakat.
Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam 4 empat bagian, yaitu:
a. Pembalasan Revenge.
b. Penghapusan data Ekspiation.
c. Menjerakan Datern.
d. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan Rehabilitation of
the criminal.
123
Sedangkan menurut Rencana Kitab UU Hukum Pidana, tujuan dari pemidanaan adalah:
a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan
menegakkan nama
hukum demi
pengayoman masyarakat.
b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan
pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna.
c. Menjelaskan konflik yang timbul oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.
d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.
124
Dalam asas legalitas hukum pidana positif, yang berbunyi “tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-Undang- Undangan”. Oleh sebab itu penetapan sanksi dalam peradilan haruslah sesuai dengan
aturan hukum dan tidak menafikkan hak dari si pelaku.
123
Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Akan Datang, Cet. Ke-2, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1985. Hal. 15.
124
Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1996. Hal. 2.
Dalam struktur pengadilan, suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Adapun unsur-unsur pidana dapat
dikategorikan menjadi 2 dua: Pertama, unsur formil yaitu perbuatan manusia yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai sanksi tertentu. Kedua, unsur materill
yaitu perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang patut dilakukan.
125
Suatu perbuatan tindak pidana yang melawan hukum khususnya dalam penelantaran anak, hakim memberikan sanksi pidana kepada pelaku atau orang tua
dengan hukuman percobaan bersyarat. Dalam hukuman pidana percobaan bersyarat ini, maka dapat dijelaskan:
Pidana bersyarat yang bisa disebut peraturan tentang “hukuman dengan p
erjanjian atau hukuman dengan bersyarat atau hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak perlu dijalankan, kecuali jika
kemudian ternyata bahwa pelaku atau orang tua sebelum habis tempo percobaan itu berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim
kepadanya, jadi penjatuhan hukuman tetap ada. Hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana percobaan bersyarat dilihat dari
keberadaan pelaku secara umum, dikaitkan dengan bentuk-bentuk tindak pidana
125
Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Alfaberta, 2010. Hal. 28.
tertentu atau kejahatan seseorang pelaku tindak pidana melainkan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan setiap kasus.
126
Sarana yuridis berupa perlindungan sementara dan perintah perlindungan belum bisa dicermati apakah sarana tersebut telah berjalan dengan semestinya atau
tidak. Kecenderungan penyidik untuk melakukan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana kekerasan dan penelantaran oleh karena hal tersebut
telah diberikan sarana oleh KUHAP yakni: -Pasal 20 ayat 1
KUHAP menyatakan “untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan
penahanan”. -
Pasal 21 ayat 1 KUHAP menyatakan “perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri,
merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak p idana”.
- Pasal 21 ayat 4 KUHAP menyatakan “penahanan tersebut hanya dapat
dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam
hal:
126
R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor: Politea, 1991. Hal. 53.
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat 3, pasal 296,
pasal 335 ayat 91, pasal 351 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 KUHP,
dan pasal 25. Yang menjadi pertanyaan apakah semua tidank pidana kekerasan dan
penelantaran merupakan jenis tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahan, sehingga secara otomatis tidak diperlukan adanya perlindungan sementara
apalagi perintah perlindungan?. Dengan berdasarkan pada syarat dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP, maka
tindak kekerasan dan penelantaran yang terkualifikasi sebagai perkara yang pelakunya dapat dilakukan penahanan karena tindak pidana tersebut diancam dengan
pidana penjara 5 lima tahun atau lebih adalah dalam bentuk: a.
Kekerasan fisik dalam bentuk kekerasan fisik biasa pasal 44 ayat 1 UU PDKRT, kekerasan fisik yang menyebabkan jatuh sakit atau luka berat
pasal 44 ayat 2 UU PDKRT, dan kekerasan fisik yang menyebabkan matinya korban pasal 44 ayat 3 UU PDKRT.
b. Kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual pasal 46
UU PDKRT, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu pasal 47 UU PDKRT dan
pemaksaan hubungan seksual dengan pemberatan pasal 48 UU PDKRT.
127
Sedangkan jenis dan bentuk tindak pidana kekerasan dan penelantaran yang pelakunya tidak dapat dikenakan penahanan karena tindak pidananya tersebut
diancam dengan pidana penjara kurang dari lima tahun adalah dalam bentuk: a.
Kekerasan fisik ringan pasal 44 ayat 4 UU PDKRT b.
Kekerasan psikis dalam bentuk kekerasan psikis biasa pasal 45 ayat 1 UU PDKRT dan kekerasan psikis ringan pasal 45 2 UU PDKRT.
c. Penelantaran rumah tangga dalam bentuk menelantarkan orang lain dalam
lingkup rumah tangganya pasal 49 huruf a UU PDKRT dan menelantarkan orang yang tergantung secara ekonomi pasal 49 huruf b
UU PDKRT. Dalam tataran perlindungan sementara dan perintah perlindungan akan efektif
dilakukan dalam hal tindak pidana kekerasan dan penelantaran dalam bentuk kekeraasan fisik ringan, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga. Dalam
tindak pidana dengan bentuk kekerasan fisik biasa, kekerasan fisik yang menyebabkan jatuh sakit dan luka berat, dan kekerasan seksual yang lebih berperan
adalah penahanan terdakwa, karena dengan ditahannya tersangka atau terdakwa selain korban akan otomatis terlindungi, juga akan membawa keuntungan lainnya
127
Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. Ke- 1, Yogyakarta: Merkid Press, 2015. Hal. 126-127.
yaitu memudahkan proses penyidikan, penuntutan dan persidangan. Sehingga ketika penyidik menemukan perkara yang diduga sebagai tindak pidana kekerasan fisik
ringan, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga menggunakan sarana “Perintah perlindungan” maka sesuai dengan pasal 35 UU PDKRT dapat menangkap
selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan meskipun tindak pidana KDRT jenis tersebut tidak
memenuhi persyaratan untuk penahanan pelaku menurut KUHAP. Dengan demikian, aturan khusus dalam UU PDKRT adalah dimungkinkan
penahanan terhadap tindak pidana yang ancamannya kurang dari lima tahun, dan hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan pasal 21 ayat 4 KUHAP.
Dibentuknya sarana yuridis berupa perlindungan dengan bentuk perintah perlindungan, memberikan konsekuensi yuridis yang bisa diterapkan kepada pelaku
kekerasan dan penelantaran dalam rumah tangga oleh pihak Kepolisian dan pihak Pengadilan.
1. Pihak Kepolisian
- Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan
tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan
di tempat polisi itu bertugas.
- Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud wajib diberikan
surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 satu kali dua puluh empat jam.
- Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan
sebagaimana dimaksud. Pasal 35 UU PDKRT.
- Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat
menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan.
- Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilanjutkan
dengan penahanan yang disertai surat perintah penahan dalam waktu 1 x 24 satu kali dua puluh empat jam.
Pasal 36 UU PDKRT Dengan demikian adanya perintah perlindungan pihak Kepolisian
diberikan sarana: -
Untuk menangkap dan menahan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan.
- Untuk menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena
telah melanggar perintah perlindungan.
2. Pihak Pengadilan.
- Korban, kepolisian dan relawan pendamping dapat mengajukan
laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan.
- Dalam hal Pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana
dimaksud, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 23 tiga kali dua puluh empat jam guna dilakukan pemeriksaan.
Pasal 37 UU PDKRT -
Apabila Pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan di duga akan melakukan pelanggaran lebih
lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi
perintah perlindungan. -
Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut Pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 tiga puluh
hari. -
Penahanan tersebut disertai dengan surat perintah penahanan. Pasal 38 UU PDKRT
Dengan demikian dengan adanya perintah perlindungan pihak Pengadilan diberikan sarana:
- Untuk mewajibkan pelaku membuat pernyataan tertulis yang isinya
berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan.
- Untuk menahan pelaku paling lama 30 tiga puluh hari, apabila
pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut.
88