Tujuan dan Fungsi Sanksi

c. Kemaslahatan yang bersifat pelengkap Kemaslahata yang bersifat pelengkap adalah mengambil sesuatu yang baik dalam adat kebiasaan dan meninggalkan hal-hal yang buruk yang mengotori akalnya, mengenai sesuatu yang baik dan buruk itu terakomodasi dalam perbincangan akhlak. Dalam Hukum Islam, tujuan pemidanaan terbagi menjadi dua tujuan, yaitu: 117 a. Tujuan Preventif pencegahan dalam istilah fiqihnya ar-Rad’u wa az-Zajru. Tujuan Preventif pencegahan artinya menahan pelaku jarimah supaya tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah supaya orang lain tidak melakukan tindak pidana. b. Tujuan Edukatif pengajaran dalam istilah fiqihnya al-Islah wa at- Ta-dib. Tujuan Edukatif pengajaran artinya untuk memberikan pelajaran bagi pelaku jarimah agar si pelaku tersebut dapat mencapai kesadaran batin untuk tidak mengulangi perbuatannya. Makhrus Munajat, Dalam bukunya Dekonstruksi Hukum Pidana Islam menuliskan bahwa tujuan pemidanaan adalah: 117 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, cet, ke-1, Jakarta: Bulan Bintang, 1967. Hal. 279. a. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pembalasan, artinya setiap perbuatan yang melanggar hukum harus dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan nas, jangka panjang dari aspek ini adalah pemberian perlindungan terhadap masyarakat luas social delence. Contohnya dalam hukum qishash yang merupakan bentuk keaadilan tertinggi, di dalamnya termuat keseimbangan antara dosa dan hukuman. b. Pemidanaan dimaksudkan sebagai pencegahan kolektif general prevention, yang berarti pemidanaan bisa memberikan pelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan kejahatan serupa. Contoh orang berzina harus didera di muka umum sehingga orang yang melihat diharapkan tidak melakukan perzinahan. c. Pemidanaan dimaksudkan sebagai tindak pencegahan khusus special prevention, artinya setiap orang yang melakukan tindak pidana setelah diterapkan sanksi ia akan bertaubat dan tidak mengulangi perbuatannya lagi, dalam aspek ini secara eksplisit terkandung nilai treatmen. Sebab tercegahnya seseorang dari berbuat jahat bisa melalui penderitaan akibat dipidana atau timbul dari kesadaran pribadi selama menjalani pidana. 118 Tujuan utama yang ingin dicapai oleh Hukum Pidana Islam adalah untuk mengurang angka kriminalitas dan menjaga ketertiban yang ada di dalam masyarakat. 118 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, cet. Ke-1, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2004. Hal. 55-56. 2. Tujuan dan Fungsi Sanksi dalam Undang-Undang C.S.T. Kansil, dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia menulis, hukum bertujuan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum tersebut harus pula bersendikan pada keadilan yaitu asas-asas keadilan dalam masyarakat. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan pidana kepada siapa yang melanggarnya serta mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara-perkara ke muka pengadilan. Berikut adalah beberapa teori tentang tujuan dari sanksi hukum. 119 a. Teori Absolut atau teori Pembalasan Absolute Strafrecht Theorien. Teori absolute atau teori pembalasan adalah suatu teori yang mana suatu kejahatanharus diikuti dengan pemidanaan hukuman tidaak boleh tidak, tanpa tawar-menawar seseorang mendapat pidana oleh karena telah melakukan kejahatan, tidak dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dari jatuhnya pidana. 120 Maksudnya adalah bahwa putusan pidana yang dijatuhkan sebagai sarana untuk balas dendam atas perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Unsur pembalasan ini meskipun dapat dimengerti tidak selalu tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana. 119 Sofyan Sastra Wijaya, Hukum Pidana, Bandung: C.V. Amirco, 1990. I: 24. 120 Wiryono Projodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Erisco, 1989. Hal. 21-24. Menurut teori ini setiap kejahatan harus dibalas dengan hukuman tanpa memperhatikan akibat yang timbul dari jatuhnya hukuman. Teori ini hanya melihat pada masa lampau tanpa melihat masa yang akan datang. Menurut teori ini tujuan hukum adalah penghukuman itu sendiri. 121 b. Teori Relatif atau Teori Tujuan Doel Theorien Teori relative atau teori tujuan adalah teori yang mengatakan suatu kejahatan tidak mutlak harus diikuti dengan suatu pidana. Oleh karena itu, tidak cukup adanya suatu kejahatan, melaikan harus dipersoalkan perlu dan manfaatnya suatu pidana bagi masyarakat atau penjahat itu sendiri, maka harus ada tujuan lebih jauh dari pada hanyaa menjatuhkan pidana. Tujuan ini pertama-tama harus diarahkan kepada usaha agar dikemudian hari kejahatan tidak dilakukan kembali oleh si pelaku. Menurut teori ini tujuan hukum adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Pencegahan ditujukan pada. 122 1. Masyarakat, hukuman dijatuhkan dengan tujuan agar masyarakat tidak melakukan kejahatan atau pelanggaran sebagaimana dilakukan oleh si terhukum, disebut juga pencegahan umum. Teori ini pada intinya sebagai anasir 121 Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati, Jakarta: Aksara Persada, 1983. Hal. 85. 122 Akhiar Salmi, Eksistensi Hukuman Mati. Hal. 91. utama yang dapat menahan niat jahat seseorang untuk melakukan kejahatan. 2. Pembahasan dari segi terhukum, hukuman itu dijatuhkan dengan tujuan agar terhukum tidak mengulangi kembali perbuatan yang telah dilakukannya. Hukuman tersebut dijatuhkan untuk memperbaiki si pelaku agar tidak berbuat jahat kembali, disebut pencegahan khusus. c. Teori Gabungan Teori gabungan adalah teori yang satu pihak mengakui adanya unsur pembalasan, tetapi di lain pihak mengakui pula unsur pencegahan atau memperbaiki kejahatan atau pelaku. Teori ini mengambil jalan tengah atau penggabungan antara teori absolut dan teori relative. Sehingga disamping pembalasan juga bertujuan mempertahankan ketertiban masyarakat. Menurut Andi Hamzah dan A. Simanglipu tujuan penjatuhan pidana dapat dihimpun dalam 4 empat bagian, yaitu: a. Pembalasan Revenge. b. Penghapusan data Ekspiation. c. Menjerakan Datern. d. Memperbaiki si pelaku tindak kejahatan Rehabilitation of the criminal. 123 Sedangkan menurut Rencana Kitab UU Hukum Pidana, tujuan dari pemidanaan adalah: a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan nama hukum demi pengayoman masyarakat. b. Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna. c. Menjelaskan konflik yang timbul oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat. d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 124 Dalam asas legalitas hukum pidana positif, yang berbunyi “tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam per-Undang- Undangan”. Oleh sebab itu penetapan sanksi dalam peradilan haruslah sesuai dengan aturan hukum dan tidak menafikkan hak dari si pelaku. 123 Andi Hamzah dan A. Simanglipu, Pidana Mati di Indonesia Masa Lalu, Masa Kini dan Masa Akan Datang, Cet. Ke-2, Jakarta: PT. Ghalia Indonesia, 1985. Hal. 15. 124 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 1996. Hal. 2. Dalam struktur pengadilan, suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya terpenuhi. Adapun unsur-unsur pidana dapat dikategorikan menjadi 2 dua: Pertama, unsur formil yaitu perbuatan manusia yang dilarang oleh suatu aturan hukum yang disertai sanksi tertentu. Kedua, unsur materill yaitu perbuatan itu harus bersifat melawan hukum, yaitu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan yang patut dilakukan. 125 Suatu perbuatan tindak pidana yang melawan hukum khususnya dalam penelantaran anak, hakim memberikan sanksi pidana kepada pelaku atau orang tua dengan hukuman percobaan bersyarat. Dalam hukuman pidana percobaan bersyarat ini, maka dapat dijelaskan: Pidana bersyarat yang bisa disebut peraturan tentang “hukuman dengan p erjanjian atau hukuman dengan bersyarat atau hukuman janggelan” artinya adalah: orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak perlu dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa pelaku atau orang tua sebelum habis tempo percobaan itu berbuat tindak pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi penjatuhan hukuman tetap ada. Hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana percobaan bersyarat dilihat dari keberadaan pelaku secara umum, dikaitkan dengan bentuk-bentuk tindak pidana 125 Tolib Setiady, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: Alfaberta, 2010. Hal. 28. tertentu atau kejahatan seseorang pelaku tindak pidana melainkan harus didasarkan atas kenyataan-kenyataan dan keadaan-keadaan setiap kasus. 126 Sarana yuridis berupa perlindungan sementara dan perintah perlindungan belum bisa dicermati apakah sarana tersebut telah berjalan dengan semestinya atau tidak. Kecenderungan penyidik untuk melakukan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana kekerasan dan penelantaran oleh karena hal tersebut telah diberikan sarana oleh KUHAP yakni: -Pasal 20 ayat 1 KUHAP menyatakan “untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik berwenang melakukan penahanan”. - Pasal 21 ayat 1 KUHAP menyatakan “perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak p idana”. - Pasal 21 ayat 4 KUHAP menyatakan “penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: 126 R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus, Bogor: Politea, 1991. Hal. 53. a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih; b. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 282 ayat 3, pasal 296, pasal 335 ayat 91, pasal 351 ayat 1, pasal 353 ayat 1, pasal 372, pasal 378, pasal 379 a, pasal 453, pasal 454, pasal 455, pasal 459, pasal 480 dan pasal 506 KUHP, dan pasal 25. Yang menjadi pertanyaan apakah semua tidank pidana kekerasan dan penelantaran merupakan jenis tindak pidana yang pelakunya dapat dikenakan penahan, sehingga secara otomatis tidak diperlukan adanya perlindungan sementara apalagi perintah perlindungan?. Dengan berdasarkan pada syarat dalam pasal 21 ayat 4 KUHAP, maka tindak kekerasan dan penelantaran yang terkualifikasi sebagai perkara yang pelakunya dapat dilakukan penahanan karena tindak pidana tersebut diancam dengan pidana penjara 5 lima tahun atau lebih adalah dalam bentuk: a. Kekerasan fisik dalam bentuk kekerasan fisik biasa pasal 44 ayat 1 UU PDKRT, kekerasan fisik yang menyebabkan jatuh sakit atau luka berat pasal 44 ayat 2 UU PDKRT, dan kekerasan fisik yang menyebabkan matinya korban pasal 44 ayat 3 UU PDKRT. b. Kekerasan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual pasal 46 UU PDKRT, pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan komersial dan atau tujuan tertentu pasal 47 UU PDKRT dan pemaksaan hubungan seksual dengan pemberatan pasal 48 UU PDKRT. 127 Sedangkan jenis dan bentuk tindak pidana kekerasan dan penelantaran yang pelakunya tidak dapat dikenakan penahanan karena tindak pidananya tersebut diancam dengan pidana penjara kurang dari lima tahun adalah dalam bentuk: a. Kekerasan fisik ringan pasal 44 ayat 4 UU PDKRT b. Kekerasan psikis dalam bentuk kekerasan psikis biasa pasal 45 ayat 1 UU PDKRT dan kekerasan psikis ringan pasal 45 2 UU PDKRT. c. Penelantaran rumah tangga dalam bentuk menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya pasal 49 huruf a UU PDKRT dan menelantarkan orang yang tergantung secara ekonomi pasal 49 huruf b UU PDKRT. Dalam tataran perlindungan sementara dan perintah perlindungan akan efektif dilakukan dalam hal tindak pidana kekerasan dan penelantaran dalam bentuk kekeraasan fisik ringan, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga. Dalam tindak pidana dengan bentuk kekerasan fisik biasa, kekerasan fisik yang menyebabkan jatuh sakit dan luka berat, dan kekerasan seksual yang lebih berperan adalah penahanan terdakwa, karena dengan ditahannya tersangka atau terdakwa selain korban akan otomatis terlindungi, juga akan membawa keuntungan lainnya 127 Guse Prayudi, Berbagai Aspek Tindak Pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga, cet. Ke- 1, Yogyakarta: Merkid Press, 2015. Hal. 126-127. yaitu memudahkan proses penyidikan, penuntutan dan persidangan. Sehingga ketika penyidik menemukan perkara yang diduga sebagai tindak pidana kekerasan fisik ringan, kekerasan psikis dan penelantaran rumah tangga menggunakan sarana “Perintah perlindungan” maka sesuai dengan pasal 35 UU PDKRT dapat menangkap selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan meskipun tindak pidana KDRT jenis tersebut tidak memenuhi persyaratan untuk penahanan pelaku menurut KUHAP. Dengan demikian, aturan khusus dalam UU PDKRT adalah dimungkinkan penahanan terhadap tindak pidana yang ancamannya kurang dari lima tahun, dan hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan pasal 21 ayat 4 KUHAP. Dibentuknya sarana yuridis berupa perlindungan dengan bentuk perintah perlindungan, memberikan konsekuensi yuridis yang bisa diterapkan kepada pelaku kekerasan dan penelantaran dalam rumah tangga oleh pihak Kepolisian dan pihak Pengadilan. 1. Pihak Kepolisian - Kepolisian dapat menangkap untuk selanjutnya melakukan penahanan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan, walaupun pelanggaran tersebut tidak dilakukan di tempat polisi itu bertugas. - Penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud wajib diberikan surat perintah penangkapan dan penahanan setelah 1 x 24 satu kali dua puluh empat jam. - Penangguhan penahanan tidak berlaku terhadap penahanan sebagaimana dimaksud. Pasal 35 UU PDKRT. - Untuk memberikan perlindungan kepada korban, kepolisian dapat menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. - Penangkapan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat dilanjutkan dengan penahanan yang disertai surat perintah penahan dalam waktu 1 x 24 satu kali dua puluh empat jam. Pasal 36 UU PDKRT Dengan demikian adanya perintah perlindungan pihak Kepolisian diberikan sarana: - Untuk menangkap dan menahan tanpa surat perintah terhadap pelaku yang diyakini telah melanggar perintah perlindungan. - Untuk menangkap pelaku dengan bukti permulaan yang cukup karena telah melanggar perintah perlindungan. 2. Pihak Pengadilan. - Korban, kepolisian dan relawan pendamping dapat mengajukan laporan secara tertulis tentang adanya dugaan pelanggaran terhadap perintah perlindungan. - Dalam hal Pengadilan mendapatkan laporan tertulis sebagaimana dimaksud, pelaku diperintahkan menghadap dalam waktu 3 x 23 tiga kali dua puluh empat jam guna dilakukan pemeriksaan. Pasal 37 UU PDKRT - Apabila Pengadilan mengetahui bahwa pelaku telah melanggar perintah perlindungan dan di duga akan melakukan pelanggaran lebih lanjut, maka Pengadilan dapat mewajibkan pelaku untuk membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. - Apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut Pengadilan dapat menahan pelaku paling lama 30 tiga puluh hari. - Penahanan tersebut disertai dengan surat perintah penahanan. Pasal 38 UU PDKRT Dengan demikian dengan adanya perintah perlindungan pihak Pengadilan diberikan sarana: - Untuk mewajibkan pelaku membuat pernyataan tertulis yang isinya berupa kesanggupan untuk mematuhi perintah perlindungan. - Untuk menahan pelaku paling lama 30 tiga puluh hari, apabila pelaku tetap tidak mengindahkan surat pernyataan tertulis tersebut. 88

BAB IV PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM BAGI AYAH YANG

MENELANTARKAN ANAKNYA MENURUT HUKUM ISLAM DAN UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGAHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA 1. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Menurut Hukum Islam Islam tidak menentukan secara rinci dan tegas hukuman yang akan dikenakan terhadap setiap pelanggar jarimah ta’zir. Islam hanya mengemukakan sejumlah hukuman yang dapat diterapkan sesuai dengan kemaslahatan yang dikehendaki. Oleh sebab itu, penetapan hukuman yang sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan, diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan penguasa atau hakim. Akan tatapi, pihak penguasa atau hakim tidak dibenarkan menyalahgunakan pendelegasian wewenang dalam menetapkan suatu hukuman terhadapa jarimah ta’zir. Dalam menetapkan suatu hukuman terhadapa jarimah ta’zir, pihak penguasa atau hakim harus senantiasa berpatokan pada keadaan terpidana, lingkungan yang mengitari terpidana, kemaslahatan masyarakat yang menghendaki dan berorientasi pada tujuan hukuman yang dikehendaki Islam, yaitu pencegahan seseorang dan berhentinya seseorang melakukan tindak pidana. 128 Jenis-jenis hukuman dalam jarimah ta’zir menurut ulama fiqih, bisa berbentuk hukuman yang paling ringan, seperti menegur terpidana, mencela atau mempermalukan terpidana dan bisa juga hukuman yang terberat seperti hukuman mati. 129 Hukuman tersebut ada yang bersifat jasmani seperti pemukulan atau dera. Ada yang bersifat rohani seperti peringatan atau ancaman, serta ada yang bersifat jasmani sekaligus rohani seperti hukuman penahanan atau hukuman penjara. Ada pula hukuman yang bersifat materi seperti hukuman denda. 130 Menurut Ahmad Wardi Muslich hukuman ta’zir jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada 4 empat kelompok yaitu sebagai berikut: 131 a. Hukuman ta’zir yang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid dera. b. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan. c. Hukuman ta’zir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan perampasan harta dan penghancuran barang. 128 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, cet. Ke-5, Jakarta: PT. Ihtiar Baru Van Hoeve, 2001. V: 1774. 129 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, V: 1774. 130 Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, V: 1774 131 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Hal. 258. d. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri hakim pemerintah demi kemaslahatan umum. Sehingga dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa, walaupun ta’zir sifatnya diserahkan kepada kebijakan hakim, tidak didefinisikan secara pasti, dan tidak pula dibahas secara terperinci, namun dapat dikatakan bahwa sertiap tindakan yang melanggar kepentingan pribadi atau masyarakat yang bersifat publik, terkena ta’zir. Otoritas publiknya yang menentukan aturan hukumnya dengan semangat syariah. Dalam hukum Islam, dasar hukum yang mengatur tentang hukuman bagi orang tua yang menelantarkan anaknya tidak dapat ditemukan secara jelas oleh syara’. Walaupun demikian, bukan berarti orang tua pelaku penelantaran anak dapat bebas dari pertanggungjawaban hukum atas berbuatannya. Para orang tua pelaku penelantaran anak dapat dikenakan hukuman ta’zir, karena ta’zir adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’. Adapun pelaksanaan hukuman ta’zir ini adalah mutlak menjadi hak dan wewenang kepala Negara imam, seperti hakim dan petugas hukum lainnya. Bila dilaksanakan orang lain yang tidak mempunyai wewenang melaksanakannya, maka ia dapat dikenakan sanksi. Alasannya setiap sanksi dan hukuman ittu diadakan bertujuan untuk melindungi masyarakat atau rakyat, oleh karena kepala Negara itu wakil rakyat maka hanya dia yang berwenang melaksanakan hukuman ta’zir ini. 132 Dalam Hukum Islam Tanggung Jawab orang tua terhadap anak adalah dengan pendidikan anak, yaitu proses mendidik, mengasuh, dan melatih jasmani dan rohani mereka yang dilakukan oleh orang tua sebagai tanggung jawabnya terhadap anak dengan berlandaskan nilai baik dan terpuji bersumber dari al- Qur‟an dan Sunnah. Bahkan dalam Islam sistem pendidikan keluarga di pandang sebagai penentu masa depan anak. Sampai- sampai diibaratkan bahwa surga dan neraka anak tergantung terhadap orang tuanya. 133 Maksudnya adalah untuk melahirkan anak yang menjadi generasi insan yang rabbani yang beriman, bertaqwa dan beramal shaleh adalah tanggung jawab orang tuanya.

2. Pertanggungjawaban Hukum Ayah Pelaku Penelantaran Anak dalam

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga Untuk mencegah, melindungi dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, negara dan masyarakat wajib melaksanakan pencegahan, perlindungaan, dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. 132 Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam. Hal. 51-52. 133 Ahmad Tafsir, Pendidikan dalam Hukum Islam, Bandung: Rosda Karya, 2001. Hal. 70.

Dokumen yang terkait

Tinjauan hukum Islam terhadap pembuktian tindak kekerasan psikis dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga

2 18 137

Tinjauan Hukum Mengenai Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dikaitkan Dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga

0 9 31

IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 5 18

SKRIPSI IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN

0 3 13

PENDAHULUAN IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 4 20

PENUTUP IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DALAM PROSES PERADILAN.

0 2 9

PERBANDINGAN TINDAK PIDANA KEKERASAN FISIK DAN PSIKIS TERHADAP ANAK DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.

0 0 12

Tindak Pidana Penelantaran Rumah Tangga Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor : 467k Pid.Sus 2013)

0 0 12

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Kota Batam

0 0 16

TINJAUAN HUKUM MARITAL RAPE DALAM UU PERKAWINAN DAN UU NO 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA - Test Repository

0 0 119