Perkembangan Konsep Desentralisasi TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan konsep dan kebijakan desentralisasi hingga saat ini mengalami perjalanan yang cukup panjang. Demikian pula dengan konsep pembangunan ekonomi wilayah. Untuk menjelaskan kedua konsep besar tersebut pada bagian ini dijelaskan secara singkat perkembangan konsep desentralisasi maupun kebijakan yang mengatur desentralisasi di Indonesia. Pada bagian selanjutnya dijelaskan pula perkembangan konsep dalam menganalisis pembangunan wilayah. Tinjauan ini perlu dilakukan untuk memilih paduan strategi yang komprehensif dan aplikabel. Pada bagian akhir tinjauan pustaka ini dikonstruksikan kerangka konseptual penelitian untuk membantu penajaman uraian dan analisis agar tetap fokus dan runtut dalam menjawab permasalahan penelitian yang telah ditentukan.

2.1. Perkembangan Konsep Desentralisasi

Dinamika pelaksanaan desentralisasi pemerintahan menimbulkan beberapa pertanyaan penting tentang bentuk desentralisasi yang ingin dikembangkan di Indonesia, apakah desentralisasi yang sebaiknya dilakukan di Indonesia terbatas pada desentralisasi vertikal atau termasuk juga desentralisasi horisontal Rondinelli, 2007. Apakah desentralisasi terpisah dari dekonsentrasi dan tugas pembantuan sebagaimana yang digunakan di Indonesia, atau mengikuti klasifikasi Rondinelli dan Cheema 1983 yaitu desentralisasi dapat dilakukan melalui dekonsentrasi, delegasi dan Universitas Sumatera Utara devolusi. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini tentu penting menjadi bahan pemikiran bersama dalam mengembangkan kebijakan desentralisasi di Indonesia. Bentuk desentralisasi memiliki pilihan yang sangat beragam, berupa dekonsentrasi, medebewind, devolusi atau privatisasi. Pelaksanaan kebijakan desentralisasi ini berangkat dari asumsi bahwa kalau pemerintahan berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan lebih cepat, hemat, murah, responsif, akomodatif, inovatif, dan produktif. Semua pihak mengakui bahwa otonomi diperlukan, namun upaya mewujudkannya tidaklah “semudah membalik telapak tangan.” Bahkan, sekalipun kesepakatan telah dicapai melalui undang-undang atau peraturan pemerintah, namun dalam praktek otonomi tetap sulit untuk diwujudkan. Selama kurun waktu dua periode pelaksanaan otonomi daerah yaitu di era UU No.221999 dan UU No.322004, ternyata model otonomi daerah yang diberlakukan masih belum final dan belum menemukan pola yang mapan. Sekarang sedang muncul perspektif tentang kemungkinan akan diakomodasinya konsep desentralisasi asimetris, devolusi dan asas privatisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di Indonesia, prinsip-prinsip otonomi yang dianut dan dasar peraturan perundang- undangan yang menjadi landasannya senantiasa dilakukan perubahan. Dinamika konfigurasi hubungan pusat-daerah sejak masa pendudukan Belanda sampai sekarang lihat Tabel 2.1 di bawah ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 2.1. Konfigurasi Kebijakan Desentralisasi di Indonesia Kurun Waktu Prinsip Otonomi dan Landasan Yuridis Implementasi 1903 Sentralisasi Decentralisatie Wet 1903; Local Radenordonantie No.181 Thn 1905 Tidak terlaksana 1942-1945 Sentralisasi Osamu Sirei No.27 Thn 2602 1942 Tidak terlaksana 1945 sd. 1959 Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi UU No.1 Tahun 1945 UU No.22 Tahun 1948 UU No.1 Tahun 1957 Tidak terlaksana 1959 sd. 1966 Otoriter, Sentralistik,Dekonsentrasi Penpres No.181959 UU No.181965 Tidak Terlaksana 1966 sd. 19691971 Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi TAP MPRS No.211966 Tidak Terlaksana 1971 sd. 1998 Otoriter, Sentralistik, Dekonsentrasi TAP MPR No.IV1973 UU No.51974 UU No.51979 Tidak Terlaksana 1998- sekarang Demokratis, Otonomi Luas, Desentralisasi TAP MPR No.IV1998 UU No.221999 UU No.251999 UU No.322004 UU No.332004 Sudah Terlaksana Masih ada kendala Sumber: Hossein, 2002 Pada satu sisi, kebijakan desentralisasi membawa nuansa baru dalam tata kelola pemerintahan. Hal ini ditandai dengan semakin besarnya transfer dana perimbangan dari pusat ke daerah, semakin besarnya diskresi daerah dalam menetapkan kebijakan terkait dengan kepentingan lokal. Namun di sisi lain, kebijakan desentralisasi juga tak luput dari serangkaian permasalahan. Munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh elit lokal maupun gejala pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat adalah sebagian diantaranya Hidayat, 2003. Universitas Sumatera Utara Secara akademik Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memiliki landasan paradigma yang tegas dan jelas tentang sistem pemerintahan itu sendiri, termasuk landasan paradigma sistem administrasi dan manajemen publik. Sementara itu, secara praktis Undang-undang ini juga memerlukan peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah memberi beban yang relatif banyak untuk menyusun peraturan pemerintahnya karena terlalu banyak aspek yang diatur sehingga memperlambat pelaksanaannya. Kritikan lain yang paling sering dilontarkan oleh pemerintah daerah adalah bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 merupakan usaha Pemerintah untuk melakukan resentralisasi, karena mengurangi secara signifikan isi otonomi daerah terutama untuk daerah kabupatenkota yang telah memperolehnya secara sangat luas pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999. Undang-Undang sebelumnya yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 telah memberikan otonomi yang jauh lebih luas kepada daerah. Hal ini terjadi karena pemahaman tentang otonomi di negara kesatuan belum dirumuskan secara jelas sehingga banyak menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda, pertanyaan dan bahkan kecurigaan. Adapula yang berpandangan bahwa Undang-Undang ini dilihat sebagai milik Departemen Dalam Negeri. Akibatnya departemen sektoral merasa tidak harus memperhatikannya apalagi isi Undang-Undang ini tidak sejalan dengan Undang- Undang sektoral yang masih berlaku. Undang-undang tentang pemerintahan daerah seringkali dipersepsikan sebagai “lex generalis” sementara Undang-undang sektoral Universitas Sumatera Utara sebagai “lex spesialis”. Departemen sektoral lebih memperhatikan Undang-undang sendiri daripada Undang-undang tentang pemerintahan daerah. Isu ini sangat terkait dengan kurangnya fasilitasi kepada semua stakeholders baik di pusat maupun di daerah. Akibat beragamnya penafsiran terhadap UU Nomor 22 Tahun 1999 maupun UU Nomor 32 Tahun 2004, tidak sedikit daerah otonom melakukan improvisasi yang justru kontra produktif terhadap maksud awal pencapaian tujuan desentralisasi yang dibingkai dalam regulasi tersebut. Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia memang menghasilkan cerita yang beragam di daerah Dwiyanto, 2003a and Dwiyanto, 2003b. Walaupun secara umum desentralisasi mampu memperbaiki pelayanan publik tetapi juga menimbulkan banyak masalah dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengalaman mengenai kegagalan desentralisasi juga banyak ditemukan di negara-negara lain Rondinelli, 2007; Fleurke and Hulst, 2006. Karena itu tidak mengherankan kalau dalam beberapa tahun terakhir muncul pertanyaan yang serius ketika harapan tentang hasil yang dijanjikan desentralisasi tidak terwujud. Pertanyaan yang dikemukakan oleh Turner dan Hulme 1997, misalnya, menyoal tentang desentralisasi itu apanya yang salah, teori atau prakteknya. Pertanyaan Turner dan Hulme tentang sumber masalah dari pelaksanaan desentralisasi, yaitu apakah teori atau praktek, mengingatkan semua pihak secara terbuka dan kritis melihat persoalan yang terjadi dalam pelaksanaan desentralisasi di Indonesia. Universitas Sumatera Utara Persoalan desentralisasi dapat muncul dari keduanya, atau bahkan interaksi antar keduanya. Subtansi yang kabur dalam peraturan perundangan dapat menjadi sumber masalah dalam pelaksanaan desentralisasi sebagaimana juga kegagalan untuk melaksanakan desentralisasi sesuai semangat dari peraturan perundangan yang berlaku. Bahkan, subtansi yang salah dalam pengaturan dapat memicu implementasi yang salah pula. Banyak penelitian membuktikan bahwa ketidakjelasan dalam pengaturan kebijakan desentralisasi menimbulkan masalah dalam implementasi Dwiyanto, 2003a. Akibatnya, pelaksanaan desentralisasi tidak dapat berjalan sebagaimana diharapkan oleh para pemangku kepentingan dan masyarakat luas. Apa yang terjadi selama ini menunjukkan pentingnya membuat kebijakan desentralisasi yang jelas dan benar, karena kegagalan untuk membuat kebijakan yang tepat dan jelas dapat memicu bukan hanya kegagalan implementasi tetapi juga kegagalan untuk mencapai tujuan dari kebijakan desentralisasi itu sendiri. Untuk itu, upaya yang serius dan menyeluruh perlu dilakukan untuk meninjau kembali berbagai pengaturan yang ada dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dinilai menimbulkan kerancuan dalam memahami tujuan kebijakan desentralisasi dan dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Serangkaian koreksi terhadap persoalan baik yang sistemik ataupun yang kontekstual diharapkan dapat mewujudkan desentralisasi yang mampu membawa kemajuan, kesejahteraan rakyat di daerah, dan memperkokoh keberadaan NKRI. Universitas Sumatera Utara Munculnya paradigma New Public Management NPM yang mendoktrinkan agar dilakukan desentralisasi dalam tubuh pemerintahan, membawa implikasi bahwa isu desentralisasi menjadi semakin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengalaman tentang keberhasilan di luar negeri seperti di Inggeris, New Zealand, Australia, Amerika Serikat dan Kanada menumbuhkan keyakinan bahwa desentralisasi membawa perbaikan bagi kinerja pemerintah sekaligus kesejahteraan masyarakat. Banyak pihak berharap bahwa desentralisasi mampu memperbaiki kualitas lingkungan, pemberian pelayanan publik, dan peningkatan akuntabilitas pegawai daerah Kauneckis Anderson, 2006. Beberapa pakar yakin bahwa ada banyak keuntungan yang diperoleh dari desentralisasi. Melalui desentralisasi, kesejahteraan masyarakat di daerah akan lebih cepat terwujud karena pemerintah daerah akan lebih fleksibel bertindak dalam respons perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat di daerah. Desentralisasi juga lebih melibatkan partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan ketimbang menunggu keputusan dari pemerintah pusat sehingga kehidupan demokrasi lebih terwujud, lebih memberi ruang untuk berkreasi dan berinovasi, dan menghasilkan semangat kerja, komitmen dan produktivitas yang lebih tinggi Osborne Gaebler, 1993; Pollit, Birchall dan Putman, 1998. Keunggulan desentralisasi yang lainnya adalah preferensi penduduk lebih terakomodasikan Oates 1972; Manin, Przeworski and Stokes 1999, tingkat akuntabilitas ditingkat lokal akan menjadi lebih baik karena lebih mudah mempertanggungjawabkan kinerja pemerintah daerah terhadap dewan perwakilan Universitas Sumatera Utara setempat Peterson 1997, manajemen fiskal menjadi lebih baik Meinzen-Dick, Knox and Gregorio 1999, dan tingkat pertumbuhan ekonomi dan jaminan pasar akan menjadi lebih baik Wibbels 2000. Pendek kata, cukup banyak literatur sangat optimis bahwa tingkat efisiensi menjadi lebih baik, tingkat korupsi juga akan berkurang Fisman, dkk. 2002, dan akan terjadi peningkatan demokratisasi dan partisipasi Crook and Manor 1998. Meski banyak literatur yang mengandalkan desentralisasi, namun kenyataan atau pengalaman empiris tidak selamanya demikian. Kajian Treisman 2000, Oyono 2004 menyebutkan bahwa dalam implementasi desentralisasi didapati juga hal-hal seperti kinerja pemerintah daerah tidak meningkat, partisipasi dan demokratisasi juga tidak membaik. Justru desentralisasi meningkatkan kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi. Meski demikian, desentralisasi tidak sekedar ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi lebih dari itu yaitu memberikan kesempatan belajar berdemokrasi, berpartisipasi, membangun kepercayaan dan tanggungjawab, memberdayakan masyarakat di daerah, dan menjamin pelayanan publik yang lebih luas dan baik. Desentralisasi adalah kata dengan multi makna. Menurut Conyers 1984: 187, hampir setiap orang mengetahui arti desentralisasi secara umum, namun perbedaan sering timbul dalam mendefinisikan desentralisasi secara tepat karena desentralisasi memiliki banyak aspek, sehingga konteks pembicaraan menjadi sangat penting dalam memahami makna desentralisasi. Sebagai contoh tentang kompleksitas makna Universitas Sumatera Utara desentralisasi, Rondinelli 1989: 9-15 sebagaimana dikutip Cohen and Peterson 1995: 10 memberikan pemahaman tentang desentralisasi dalam kaitannya dengan politik, wilayah, pasar dan administrasi. Di samping itu, desentralisasi juga merupakan suatu peristilahan yang kaya dengan konsep-konsep dan bersifat dinamis. Fesler 1964 mengemukakan, “desentralisasi adalah suatu terminologi yang kaya akan makna konseptual dan makna empiris, terminologi ini dapat menunjukkan dan menggambarkan suatu perubahan yang ideal dan suatu perubahan yang moderat dan bertahap”. Dalam beberapa dekade terakhir ini, mengenai defenisi desentralisasi dan identifikasi bentuk-bentuk dan tipe-tipe desentralisasi. Salah satu yang terpenting adalah elaborasi konsep pada awal tahun 1980-an yang merupakan hasil kerja Rondinelli dkk, 1983: 14. Menurut mereka, definisi desentralisasi yang relatif luas dan mencakup seluruh fenomena organisasi adalah pendelegasian kewenangan untuk merencanakan, mengambil keputusan, dan mengelola urusan publik dan tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada organisasi atau lembaga pada tingkatan yang lebih rendah. Berdasarkan tujuannya, Rondinelli 1989 mengklasifikasikan desentralisasi menjadi empat bentuk, yaitu desentralisasi politik, desentratisasi spasial, desentralisasi pasar, dan desentralisasi administratif. Desentralisasi potitik, digunakan oleh pakar ilmu politik yang menaruh perhatian di bidang demokratisasi dan masyarakat sipil untuk mengidentifikasi transfer kewenangan pengambilan keputusan kepada unit pemerintahan yang lebih rendah atau kepada masyarakat atau kepada lembaga Universitas Sumatera Utara perwakilan rakyat. Dengan demikian Desentralisasi poiltik juga melimpahkan kewenangan pengambilan keputusan kepada tingkat pemerintahan yang lebih rendah, mendorong masyarakat dan perwakilan mereka untuk berpartisipasi di dalam proses pengambilan keputusan. Dalam suatu struktur desentralisasi, pemerintah tingkat bawahan merumuskan dan mengimplementasikan kebijakan-kebijakan secara independen, tanpa intervensi dan tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Desentralisasi politik bertujuan memberikan kekuasaan yang lebih besar dalam pengambilan keputusan kepada masyarakat melalui perwakilan yang dipilih oleh masyarakat sehingga dengan demikian masyarakat dapat terlibat dalam penyusunan dan implementasi kebijakan. Biasanya desentralisasi dalam bidang politik merupakan bagian dan upaya demokratisasi sistem pemerintahan. Litvack dkk. 1998 juga menjelaskan sebagai berikut. Administrative Decentralization seeks to redistribute authority, responsibility, and financial resources for providing public services among different levels of government. It is the transfer of responsibility for planning, financing, and managing certain functions from the central government and its agencies to field units of government agencies, subordinate units or levels government, semi- autonomous public authorities or corporations, or area wide, regional, or functional authorities. Desentralisasi pasar, umumnya digunakan oleh para ekonom untuk menganalisis dan melakukan promosi barang dan jasa yang diproduksi melalui mekanisme pasar yang sensitif terhadap keinginan dan melalui desentralisasi pasar barang-barang dan pelayanan publik diproduksi oleh perusahaan kecil dan menengah, kelompok masyarakat, koperasi, dan asosiasi swasta sukarela. Universitas Sumatera Utara Desentralisasi administratif, memusatkan perhatian pada upaya ahli hukum dan pakar administrasi publik untuk menggambarkan hierarki dan distribusi kewenangan serta fungsi-fungsi di antara unit pemerintah pusat dengan unit pemerintah non pusat sub-national government. Rondinelli 1981:133 maupun Cheema and Rondinelli 1983: 18 membagi desentralisasi ke dalam empat bentuk, yaitu dekonsentrasi; delegasi atas organisasi semi-otonomi atau parastaral; devolusi; dan privatisasi transfer fungsi dan pemerintah ke lembaga non-pemerintah. Sementara itu, Mawhood 1983 menyatakan bahwa desentralisasi adalah pembentukan suatu badan hukum yang terpisah dan pemenintah pusat, di mana lembaga perwakilan lokal memberikan kewenangan formal untuk mengambil keputusan di dalam masalah-masalah publik. Basis politiknya bersifat lokalitas dan bukan merupakan kepanjangan tangan pegawai negeri. Ruang lingkup kewenangannya terbatas, tetapi didalam ruang lingkup kewenangan tersebut mereka mempunyai hak untuk mengambil keputusan yang dilindungi oleh hukum dan hanya dapat dibatalkan oleh perundang-undangan yang baru. Untuk menjelaskan tentang perbedaan antara dekonsentrasi dengan desentralisasi, Maddick 1963: 23 mengatakan bahwa desentralisasi merupakan pengalihan kekuasaan secara hukum untuk melaksanakan fungsi yang spesifik maupun fungsi residual yang menjadi kewenangan pemerintah daerah, sedangkan dekonsentrasi merupakan “the delegation of authority adequate for the discharge of specified functions to staff of a central department who are situated outside the headquarters. Secara singkat, Smith 1967: 2 merumuskan bahwa desentralisasi Universitas Sumatera Utara menciptakari “local self government” dan dekonsentrasi menciptakan “local state government” atau “field administration”. Dari pengertian desentalisasi yang dikemukakan oleh Maddick di atas dapat disimpulkan bahwa desentralisasi mengandung dua elemen pokok, yaitu melalui desentralisasi di satu pihak dilakukan pembentukan daerah otonom dan di lain pihak dilakukan penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang-bidang pemerintahan tertentu, baik yang dirinci maupun yang dirumuskan secara umum. Peristilahan desentralisasi yang dinamis mengalami perkembangan dan perluasan arti. Desentralisasi tidak hanya diartikan sebagai pelimpahan kewenangan dari Pusat kepada Daerah, tetapi juga diartikan pelimpahan kewenangan dan pemerintah kepada sektor swasta. Hal tersebut antara lain dikemukakan oleh Litvack dkk. 1998: yang memberi pengertian desentralisasi sebagai berikut. Decentralization—the transfer of authority and responsibility for public functions from the central government to subcordinate or quasi independent government or organization or the private sector—covers a broad rang of concepts. Each type of decentralization—political, administrative, fiscal, and market—has different characteristics, policy implications, and conditions for success. Pergeseran paradigma desentralisasi yang lebih memilih bentuk devolusi, menempatkan daerah otonom kabupatenkota sebagai daerah otonom murni split model. Penyelenggaraan pemerintahan daerah pada kabupatenkota dilaksanakan atas asas desentralisasi dan tugas pembantuan. Pada provinsi asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi dilaksanakan secara bersamaan. Dalam daerah otonom provinsi melekat Universitas Sumatera Utara wilayah administrasi, dan dengan demikian pemerintah propinsi melakukan fungsi otonomi dan fungsi dekonsentrasi. Sebagai daerah otonom Provinsi dan Kabupatenkota adalah dua bentuk otonomi yang setara, tidak hierarkhis atau subkordinasi. Dalam kedudukan sebagai daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan yang setara. Selain menjadi daerah otonom, Propinsi juga berkedudukan sebagai wilayah administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Pada kedudukan sebagai wakil Pemerintah Pusat, kemudian membentuk hubungan provinsi dan KabupatenKota yang bersifat hirarkhis karena propinsi menjalankan fungsi-fungsi koordinasi, fasilitasi, pembinaan, pengawasan terhadap KabupateriKota. Studi berbagai kepustakaan menunjukkan bahwa desentralisasi dan sentralisasi dilaksanakan secara simultan dalam suatu negara baik negara berkembang maupun negara maju Cheema dan Rondinelli, 1983; Conyers, 1983; Deakin, 1985. Hal ini juga ditunjukkan dalam perdebatan antara Slater 1989 dengan Rondinelli 1990 mengenai implikasi potitik dan desentralisasi. Rondinelli tidak sependapat dengan Slater yang menyatakan bahwa sentralisasi dan desentralisasi adalah dua konsep yang saling bertentangan dan bentuk organisasi politik dan administrasi yang lepas satu sama lain. Menurut Rondinelli, seluruh pemerintahan memiliki fungsi yang merupakan campuran antara sentralisasi dan desentralisasi. Kebanyakan analisis kebijakan desentratisasi memfokuskan diri pada kombinasi yang tepat dan keduanya, bukan pada apakah pemerintah atau sistem politik Universitas Sumatera Utara sentralisasi atau desentralisasi seratus persen. Hubungan antara sentralisasi dan desentralisasi sebenarnya lebih kompleks, seperti yang dikemukakan oleh Fesler 1968, Cohen et. all. 1981 Faltas 1982, Apthorpe dan Conyers 1982. Mengingat hubungan yang demikian kompleks, sangat penting untuk memahami bahwa sentralisasi dan desentralisasi lebih tepat dilihat sebagai suatu perubahan variable ketimbang keadaan yang statis attribute, dan tidak realistis apabila sistem pemerintahan sentralistis sepenuhnya atau sistem pemerintahan desentralistis diterapkan sepenuhnya. Dengan demikian, jangan melihat desentralisasi dan sentralisasi sebagai hal yang dikotomis, tetapi lebih realistis memandang desentralisasi dan sentralisasi sebagai serangkaian kontinum. Sampai sejauh ini, dan berbagai definisi mengenal pengertian desentralisasi yang diberikan oleh para ahli, dapat disimpulkan bahwa ada persamaan mengenai obyek yang didesentralisasikan, yaitu fungsi dan masalah publik; kewenangan, kekuasaan, atau kebebasan bertindak dengan tidak bertentangan terhadap perencanan, pengambilan keputusan, dan pengelolaan; tanggung jawab; dan pembiayaan sumber- sumber. Dengan demikian, terlihat bahwa pembagian urusan pemerintahan sebenarnya merupakan salah satu substansi atau elemen inti dan proses desentralisasi. Elemen desentralisasi lainnya sebagaimana dikemukakan oleh Smith 1985 meliputi pembagian wilayah; kewenangan politis dan birokratis; peran dan fungsi. Program desentralisasi di Inggris merupakan salah satu bagian dan banyak debat besar tentang pembagian kewenangan dan fungsi di antara semua tingkat politik dan administrasi yang berbeda-beda. Universitas Sumatera Utara Sehubungan dengan itu, pengertian desentralisasi dalam kajian akademis ini adalah penyerahan urusan pemerintahan dan Pusat kepada Daerah atau yang lazim disebut sebagai desentralisasi teritorial. Pengertian tersebut juga dipergunakan dalam Pasal 18 UUD 1945 setelah amandemen dan berbagai UU tentang pemerintahan daerah. Menurut Hoessein 1993 desentralisasi yang dimaksud dalam UUD 1945 Pasal 18 dan berbagai perundang-undangan yang mengatur pemenintah daerah terbatas pada desentralisasi teritorial dan desentralisasi pemerintahan. Dari uraian di atas terlihat bahwa kajian peran dan fungsi termasuk dalam kajian administrasi. Sementara tergambar dalam “preface” buku editorialnya, Farazmand mengutarakan bahwa “As a worldwide phenomenon, administrative reform has been a widespread challenge to almost all national and sub-national governments around the globe”. Dalam kajian akademis fokus desentralisasi umumnya pada kajian kedudukan, kewenangan, peran dan fungsi daerah otonom. Keberhasilan pembangunan di negara maju memicu munculnya gelombang kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup dalam bidang perekonomian dan sosial. Hal ini menjadikan sebagai agenda untuk memajukan negara dan bangsa. Pemerintah diharuskan memiliki inisiatif untuk membangun sistem yang lebih efisien, efektif, dan bahkan lebih responsif. Selain itu, didasarkan pada asumsi bahwa birokrasi pemerintah selayaknya dapat memainkan peran dan fungsi utama dalam membangun bangsa. Universitas Sumatera Utara Desentralisasi dan Otonomi Daerah merupakan keputusan politik yang sangat mendasar yang telah mengalihkan sentralisme dari pusat ke kekuasaan di daerah kabupatenkota. Pengalihan sentralisme dari pusat ke kabupatenkota mengakibatkan terjadi sentralisasi pemerintahan, pembinaan kemasyarakatan dan pembangunan di tingkat kabupatenkota. Dampak politis yang cukup nyata dari hal tersebut adalah terjadinya pelimpahan kekuasaan dan kewenangan yang berada di bawah kabupatenkota dalam menghadapi masyarakatwarga atau publiknya. Otonomi daerah yang sangat luas dan bertanggungjawab melalui tuntutan sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan politik yang digerakkan oleh berbagai elemen masyarakat yang menuntut koreksi total dan fundamental terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sangat desentralistik. Hoessein 1993 menggambarkan pencanangan kebijakan memperkuat otonomi daerah sebagai hasil bekerjanya dua kekuatan besar. Pertama, kekuatan internal dalam negeri berupa gerakan yang melanda tanah air dengan tuntutannya demokratisasi di segala bidang kehidupan. Kedua, kekuatan supra nasional berupa globalisasi dengan berbagai konsekuensi dan implikasinya yang memerlukan tanggap dalam negeri melalui proses penyesuaian terhadap struktur dan mekanisme pemerintahan demokratik di tingkat lokal. Implikasinya terjadi perubahan landasan hukum mendasar dalam tata pemerintahan yang membawa dampak pada perubahan berbagai aspek dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah mulai dari tataran filosofi hingga kepada tataran praktis. Berdasarkan hal tersebut, secara makro perlu diikuti secara mikro pada unit- unit perangkat daerah yang melaksanakan kebijakan pemerintah lokal. Perubahan Universitas Sumatera Utara mendasar di dalam peran dan fungsi merupakan bentuk pemerintahan lokal secara mikro yang diharapkan menjadi motor penggerak dan lini terdepan dalam pemerintahan dan pelayanan. Untuk konteks Indonesia, yang memiliki kompleksitas geografis, sukuetnis, agama, budaya, nampak tidak ada pilihan lain yaitu sistem pemerintahan yang desentralistis. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan, situasi dan kondisi lokal, sementara pemerintah pusat akan memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat strategis dan urusan-urusan lintas propinsi. Mencermati uraian perkembangan konsep desentralisasi, maka tidak berlebihan kiranya pandangan Fakih et.all 2001 bahwa sebuah kebijakan senantiasa mengandung 3 tiga dimensi, yakni content atau substansi muatan hukum sebuah kebijakan publik, struktur atau pelembagaan hubungan antar aktor dalam sebuah kebijakan publik maupun kultur atau nilai-nilai yang dianut dalam sebuah kebijakan publik sebagai satu kesatuan. Demikian halnya kebijakan desentralisasi, ketiga unsur tergambar dari muatan pasal-pasal yang dituangkan dalam peraturan perundangan tersebut sebagai content, struktur dan sebagai kultur.

2.2. Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia