Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia

mendasar di dalam peran dan fungsi merupakan bentuk pemerintahan lokal secara mikro yang diharapkan menjadi motor penggerak dan lini terdepan dalam pemerintahan dan pelayanan. Untuk konteks Indonesia, yang memiliki kompleksitas geografis, sukuetnis, agama, budaya, nampak tidak ada pilihan lain yaitu sistem pemerintahan yang desentralistis. Sistem ini akan lebih responsif terhadap tuntutan kebutuhan, situasi dan kondisi lokal, sementara pemerintah pusat akan memusatkan perhatiannya pada hal-hal yang bersifat strategis dan urusan-urusan lintas propinsi. Mencermati uraian perkembangan konsep desentralisasi, maka tidak berlebihan kiranya pandangan Fakih et.all 2001 bahwa sebuah kebijakan senantiasa mengandung 3 tiga dimensi, yakni content atau substansi muatan hukum sebuah kebijakan publik, struktur atau pelembagaan hubungan antar aktor dalam sebuah kebijakan publik maupun kultur atau nilai-nilai yang dianut dalam sebuah kebijakan publik sebagai satu kesatuan. Demikian halnya kebijakan desentralisasi, ketiga unsur tergambar dari muatan pasal-pasal yang dituangkan dalam peraturan perundangan tersebut sebagai content, struktur dan sebagai kultur.

2.2. Perkembangan Kebijakan Desentralisasi di Indonesia

Sejarah pemerintahan Indonesia sejak kemerdekaan selalu menghadirkan otonomi sebagai sistem bernegara. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu terdapat pasal yang mengatur penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan UUD, hampir setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai salah Universitas Sumatera Utara satu program kerjanya. Amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi sosial politik pada masanya. Setidaknya, sampai kini, tujuh undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Dinamika kebijakan desentralisasi serta dampaknya terhadap berbagai aspek dalam pembangunan daerah juga telah banyak dikaji. Secara umum, dalam perjalanan sejarah kebijakan desentralisasi selalu saja terjadi tarik menarik antara dua ekstrim sentralisasi dan desentralisasi. Ketika reformasi bergulir, di mana desentralisasi merupakan aspirasi yang masif dan intensif disuarakan rakyat sebagai antitesis langgam pemerintahan yang sangat sentralistis di masa Orde Baru, lahirlah UU No. 22 Tahun 1999 yang sangat desentralistis. Sayangnya, sebagaimana dikemukakan desentralisasi yang dimaksud UU No. 22 Tahun 1999 dipahami dan dilaksanakan secara kebablasan oleh elit di daerah. Sebagai koreksi atas hal itu lahirlah UU No. 32 Tahun 2004 yang ternyata merupakan pengaturan yang sama sekali baru dan dinilai banyak kalangan merupakan “resentralisasi” atas kewenangan otonomi yang sempat diatur dalam UU No. 22 Tahun 1999. Dinamika otonomi dan pembangunan daerah ternyata cukup beragam di bawah Universitas Sumatera Utara Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah khususnya UU nomor 22 Tahun 1999 dan UU nomor 32 Tahun 2004. Studi yang dilakukan Mudrajad Kuncoro yang dibukukan di bawah judul Otonomi dan Pembangunan Daerah; Reformasi, Perencanaan, Strategi dan Peluang 2004 mengungkap sejumlah fakta empirik terkait praktika desentralisasi di Indonesia. Berbagai studi kasus yang diangkat dalam buku tersebut membuka nuansa pemahaman bahwa otonomi senantiasa membawa peluang sekaligus tantangan. Perkembangan kebijakan desentralisasi yang cukup intensif ternyata kurang baik dalam membangun sistem yang padu. Revisi kebijakan dari UU Nomor 22 Tahun 1999 ke UU Nomor 32 Tahun 2004 misalnya, dilakukan dengan sangat tergesa-gesa dan nyaris menutup ruang partisipasi publik dalam proses penyusunannya. Bersamaan dengan itu terjadi perubahan amandemen konstitusi, yang belakangan dinilai masih menyimpan banyak kekurangan dan kelemahan yang menyebabkan kerancuan dalam sistem pemerintahan dan ketatanegaraan. Proses revisi yang terkesan tergesa-gesa digabung dengan proses amandemen konstitusi yang belum tuntasbelum sempurna menyebabkan UU No. 32 Tahun 2004 mengandung problematik yang cukup serius. Semakin problematik jika proses penyusunan UU No 32 Tahun 2004 didasarkan pada asumsi bahwa pelaksanaan otonomi luas di bawah UU No. 22 Tahun 1999 akan mengancam NKRI dan menyebabkan disintegrasi nasional, KKN baru yang menghasilkan “raja-raja kecil” di daerah, ekonomi biaya tinggi, dan atas nama itu semua diperlukan “resentralisasi.” Untuk itu, relevanlah pandangan Wasistiono 2010 yang menyebutkan bahwa revisi Universitas Sumatera Utara UU Nomor 32 Tahun 2004 yang dilakukan hendaknya membawa kembali desentralisasi pada titik keseimbangan tentunya keseimbangan antar pelbagai dimensi hubungan pusat-daerah.

2.3. Konsep Pembangunan Ekonomi Wilayah